Never Let You Go (Bab 03)

Bab 03
Nano dan Kesan Pertamanya






          Insiden mengejutkan yang tak terduga tadi pagi membuat Nano mandi agak siang. Selama tiga hari mulai dari hari ini, Nano diijinkan oleh Mas Guntur untuk mengambil cuti yang mendadak. Hanya tiga hari, tidak lebih. Nano berharap semoga keadaan Mira akan semakin membaik. Ia juga sudah meminta tolong ketua kelas untuk mengijinkan dirinya pada hari Senin dan Selasa. Karena ini hampir mendekati Ujian Akhir Semester, Nano cuma bisa berdoa supaya absennya dia selama dua hari itu tidak membuatnya ketinggalan materi pelajaran. Jika pertemuan di dua hari tersebut memang diberikan materi yang kemungkinan akan keluar di UAS, terpaksa Nano harus meminjam rangkuman mata kuliah milik ketua kelas.


          Meskipun menjalani aktivitas kuliah sambil kerja seperti itu, Nano tidak pernah memberatkan salah satu. Dia selalu berusaha adil dan seimbang. Sesungguhnya cowok satu ini tidak terlalu pandai di kelas, namun ia juga tidak pernah mendapatkan IP di bawah 3,50 selama dua semester belakangan. Berkat motivasi untuk merubah masa depannya menjadi lebih baik. Nano rela bersakit-sakit dahulu, lalu bersenang-senang kemudian.

          Sebelum Nano masuk ke kamar mandi dalam tadi, dia memastikan kalau dua pasien yang di rawat kamar itu terlelap. Apalagi si cowok yang tadi pagi hampir membuat kasus bunuh diri di rumah sakit. Siapa ya namanya? Ah, dia sendiri bahkan belum tahu nama cowok tersebut. Biarlah, nanti juga tahu sendiri. Bukankah di setiap tempat tidur pasien selalu ada tulisan nama pasien? Nano lupa hal itu. Ah, tapi itu juga bukan masalah besar.

          Setelah sekitar lima belas menit, Nano keluar dari kamar mandi dengan percaya diri, hanya mengenakan celana jeans panjang tanpa atasan. Handuk putih yang berada di tangannya ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang basah, menyelimuti seluruh kepala lalu mengusapnya. Rasanya sangat segar, mengembalikan sedikit energinya yang sempat terkuras karena cemas akan kondisi Mira, juga karena tubuhnya kurang mendapatkan jam tidur yang cukup.

          "No, kamu barusan mandi ternyata? Aku pikir kamu lagi keluar."

          Nano hampir melompat saat ada suara yang mengagetkan. Saat ia menyibak handuknya dari kepala, kini dia mendapati seorang cowok tampan bertubuh tinggi berdiri di depannya, berkemeja putih lengan panjang garis-garis yang dimasukkan, bercelana jeans biru dongker, dan memakai sneakers dengan kombinasi warna hitam dan putih.

          Dia bernapas lega kemudian. "Mas Guntur! Ya ampun, jantung aku mau copot rasanya! Mau kesini kok nggak bilang-bilang dulu?"

          "Hahaha! Bukannya semalem aku udah bilang? Kan aku tadi malem telpon kamu kalo aku pagi ini njenguk adik kamu?" Mas Guntur mendekati tubuh Nano lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia mengamati wajah Nano dengan seksama selama beberapa detik lamanya. Jarak muka mereka yang terlalu dekat membuat kepala Nano mundur secara otomatis. Ia merasa kurang terlalu nyaman jika ada orang lain yang belum terlalu akrab dengannya melakukan sesuatu semacam ini. Terlebih jika orang itu adalah berjenis kelamin laki-laki.

          Nano merngerjapkan matanya beberapa kali dengan ekspresi campuran antara bingung dan waspada, sebelum akhirnya Mas Guntur menegakkan kembali ruas-ruas tulang belakangnya.

          "Kamu kurang tidur ya, No?" tanya Mas Guntur dengan suara bass yang pasti bisa membuat cewek mana pun merinding.

          Yang ditanya cuma bisa melongo sambil menutupi kedua pipinya. "Kok Mas Guntur bisa tahu?"

          Cowok yang menjadi manager di tempatnya kerja itu menarik kedua sudut bibirnya ke atas sambil menunjukkan rentetan giginya. Bukan membentuk senyum sih, malah lebih cocok kalau hal itu disebut meringis. Mas Guntur meringis tipis melihat respon Nano yang mirip seperti seorang anak yang belum menginjak masa pubertas sama sekali. Tapi itu hal yang cukup wajar. Sedewasa apapun seseorang, pasti dia memiliki sisi kekanakan juga.

          "Nano, Nano.... Keliatan banget tuh lingkar hitam di mata kamu."

          Secepat kilat, Nano menghampiri cermin berbentuk persegi tanpa bingkai di samping pintu kamar mandi. Begitu ia menelusuri pantulan wajahnya di sana, ia cuma melihat samar-samar garis kehitaman melengkung di kantung mata dan di kelopak matanya. Ia memang kurang tidur. Namun ia tidak merasakan kantuk sedikit pun, hanya pegal-pegal di sekujur tubuh yang sedikit hilang berkat mandi barusan.

          "Kamu sudah sarapan belum? Nih, aku bawain kamu nasi bungkus," ujar Mas Guntur sambil mengangkat dua buah kantong plastik putih transparan di tangan kanannya setelah Nano kembali ke hadapannya. Kantong yang satu berisi sesuatu yang dibungkus kertas warna cokelat dan sebotol besar air mineral, kantong yang satu lagi berisi buah-buahan segar. Nano menerimanya sambil tersenyum kecil.

          "Makasih, Mas. Aku belum lapar sih sebenernya. Tapi nanti pasti aku makan." Nano meletakkan kantong-kantong plastik itu di atas meja. Mas Guntur selama beberapa minggu ini terlihat begitu perhatian padanya. Bahkan beberapa hari sebelum Mira mengalami kecelakaan, dia pernah mengantar Nano kuliah selepas pulang kerja. Awalnya Nano sempat menolak waktu itu, tapi Mas Guntur beralasan kalau dia juga hendak pergi ke suatu tempat yang searah dengan lokasi kampusnya.

Ia jadi sedikit curiga. Jangan-jangan gelagat Mas Guntur ini ada maunya. Sekejap, Nano melirik Mira yang masih terbaring lemah di sudut ruangan, lalu tatapannya kembali ke Mas Guntur. Kalau dipikir-pikir, Mas Guntur sepertinya memang ada maunya.

          Karena Nano tak langsung menikmati sarapan yang ia bawa, Mas Guntur dengan cepat mencubit perut Nano yang putih dan rata sambil berkata, "Langsung dimakan lah, No. Kan kamu belum sarapan. Kamu nggak boleh sakit. Kalo kamu sakit, siapa coba yang bakal ngerawat adik kembar kamu?"

          Merasa tergelitik, Nano sempat meledakkan tawa satu kali sambil mengenyahkan jemari Mas Guntur yang jahil dari perutnya. "Hahaha! Iya, Mas! Iya! Nggak perlu mas paksa juga nanti aku makan kok!"

          Mas Guntur ini sebenarnya baik sama orang lain, tipikal orang yang berusaha membangun kenyamanan di sekelilingnya. Termasuk pada anak-anak buahnya di tempat kerja. Sikapnya sama pada setiap bawahannya.

          Walaupun usia Mas Guntur hampir melewati dua puluh tujuh, namun sikapnya yang tenang dan fleksibel membuatnya terlihat awet muda. Mungkin ini agak sulit dipercaya, namun Mas Guntur itu masih lajang, pacar pun juga masih belum punya. Padahal usia sudah cukup matang, pekerjaan sudah mapan. Lihatlah, bahkan dari penampilannya saja sudah cukup menjanjikan. Wajah tampan dengan warna mata cokelat genetik mendayu-dayu, alis dan lurus tebal mewakili ketegasannya, hidungnya yang terpahat lurus dan mancung, bibirnya yang seksi di hiasi kumis tipis. Dia sangat layak untuk diberi julukan 'suami idaman para wanita lajang'. Baiklah, sepertinya cukup bagi Nano untuk melabeli orang-orang dengan julukan-julukan aneh.

Namun setahu Nano, tidak sedikit sih cewek yang berusaha mendekati dia, tapi ia tidak merespon balik. Mungkin Mas Guntur punya standarnya sendiri dalam memilih pasangan.

          "Oh iya, gimana keadaan adik kamu?" tanya Mas Guntur.

          "Mira..............," kalimat yang hendak dilisankan Nano mendadak macet di tenggorokan ketika tanpa sengaja, kedua mata Nano melihat cowok di tempat tidur sebelah sudah terjaga. Dia sedang menatap Nano namun tidak seperti biasanya. Kali ini tatapannya terasa agak tajam dan mengintimidasi.

          Ia tidak tahu sudah sejak kapan cowok itu terjaga, namun melihat mimik muka cowok itu yang terasa menyudutkan Nano membuatnya yakin kalau cowok itu sudah bangun sejak beberapa waktu yang lalu.

          Karena merasakan atmosfer kamar yang tiba-tiba berubah dingin dan tidak nyaman akibat tatapan cowok itu padanya, serta tidak ingin mengganggu dua orang pasien di kamar itu yang tengah beristirahat, akhirnya Nano mengajak Mas Guntur untuk mengobrol di luar kamar.

          "Mas, kita ngobrolnya di luar aja ya. Takut ganggu yang lagi istirahat di sini."

          Mas Guntur menaikkan kedua alisnya lalu mengangguk. "Ya udah, aku tunggu diluar kalo gitu. Kamu pakai baju dulu."

          Setelah atasannya itu menghilang duluan di balik pintu, Nano langsung mengenakan kaos dalaman lengan pendek berwarna putih yang tadi dia gantung bersama kemeja yang ia kenakan kemarin.

          Untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, Nano berjalan cepat menuju pintu tanpa menoleh sedikit pun pada cowok itu. Nano dalam hati juga merasa sedikit takut jika meninggalkan cowok itu di dalam kamar berdua dengan Mira. Bunuh diri saja dia tidak takut, apalagi membunuh orang lain. Segala kemungkinan buruk yang mampir di pikirannya membuat Nano dirundung cemas.

          Dan pada akhirnya, Nano pun mengajak Mas Guntur ngobrol di kursi koridor di depan kamar sambil membuka pintu kamar selebar-lebarnya. Sepertinya hal ini kurang etis untuk dilakukan, tapi ia terpaksa.

          "Mira tadi pagi udah sadar sih, Mas. Dan dia pingsan lagi. Tadi juga jahitannya kebuka sedikit dan berdarah. Tapi tadi perbannya udah diganti sama dokter, dan Mira disuntik obat bius lagi biar nggak terlalu banyak gerak selama beberapa jam kedepan dan jahitannya bisa lebih nutup," jelas Nano.

          Kepala Mas Guntur tampak naik turun secara perlahan. "Lalu kira-kira kapan Mira bakal siuman lagi?"

          "Kata dokter tadi sih efek obat biusnya sampek nanti siang. Nggak pasti sih, Mas. Tergantung kondisi Mira nanti." Nano memberi jeda sambil menggerakkan kepalanya ke kiri kanan.

          "Ngomong-ngomong Mas Guntur nggak kerja? Ini udah jam......," Nano mengangkat pergelangan tangan kirinya, namun ia menyadari kalau jam tangannya masih berada di saku kemeja di dalam, ".... jam berapa, Mas, sekarang?"

          Mas Guntur melirik cepat jam tangannya. "Jam sembilan lebih tujuh belas. Nggak usah khawatir. Aku kan bisa dateng ke tempat kerja kapan aja, No. Tugasku kan bukan nungguin kasir atau ngelayanin customer di toko."

          Hidung Nano mengerut mendengar jawaban Mas Guntur. "Sok 'ngebos' banget deh!"

          "Kan aku emang bosmu! Jadi kamu nggak bisa ngatur-ngatur aku! Haha!" Mas Guntur tertawa menang. Ngobrol dengan Nano takkan pernah membuatnya bosan karena pasti ada banyak hal yang bisa dibicarakan, atau sekadar untuk didiskusikan.

          Sesaat, Mas Guntur menoleh dan mendapati Nano tengah tertunduk lesu. Wajahnya terlihat lelah. Sepertinya dia datang di waktu yang salah. Mas Guntur tidak mempermasalahkannya, yang paling penting ia sudah bertemu dengan Nano meski cuma sebentar dan mendapati cowok itu masih sehat. Itu saja sudah lebih dari cukup. Dan yang sangat Nano butuhkan saat ini adalah istirahat.

          "Em, No. Kayaknya aku musti pamit dulu deh. Mau ke rumah Om aku sebentar buat ngambil pesenan mama aku."

          "Loh, kok buru-buru banget sih, Mas. Baru juga nyampek sini, masak udah mau pergi?"

          Mas Guntur sebenarnya berbohong. Namun jika ia bilang pada Nano bahwa Nano butuh istirahat, cowok itu pasti bakal menyangkal dan bertingkah seolah-olah dirinya masih kuat. Dia tahu betul hal itu, karena Nano sering merasa tidak enak pada orang lain yang baik padanya.

          "Nanti aku ke sini lagi kok." Mas Guntur berdiri diikuti Nano. Dia mengusap-usap kepala Nano sebentar sebelum benar-benar pamit.

          "Ya udah kalo begitu. Aku duluan ya, No. Salam buat Mira kalo dia siuman."

          "Iya, Mas. Hati-hati di jalan. Makasih udah repot-repot bawain sarapan."

          "Jangan lupa dimakan, No. Sampai nanti." Mas Guntur berjalan meninggalkan Nano melewati lorong-lorong rumah sakit sebelum akhirnya belok dan menghilang di balik dinding.

* * *


          Baru juga memejamkan mata selama dua jam di sofa panjang dalam kamar, Nano terjaga. Saat ia menoleh ke ranjang Mira, masih belum terlihat tanda-tanda kalau adik kembarnya bakal siuman. Itu bukan masalah baginya. Namun yang membuatnya terkejut adalah keberadaan sebuah sosok yang kini sudah duduk di kursi kecil di ujung sofa sambil memandanginya.

          Nano terkejang sekali lalu menegakkan punggungnya untuk duduk. Dia juga baru menyadari sebuah selimut menutupi tubuhnya semenjak ia tidur tadi. Dia menebak cowok itulah yang sudah menyelimutinya. Tapi bagaimana cara cowok itu menyelimuti dirinya sedangkan sebelah tangannya yang diperban sedang berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk digerakkan secara leluasa. Jika benar cowok itu menggunakan tangannya yang diperban itu, pasti sakit sekali rasanya bahkan untuk sekadar bergerak sedikit.

          "Makasih atas bantuan kamu tadi pagi," tutur cowok itu mendadak. Suaranya masih terdengar rendah dan dingin. Nano hanya mengangguk saja. Ia tidak benar-benar mendengarkan apa yang diucapkan cowok itu, karena kalimat cowok itu meluncur saat Nano menguap lebar untuk membangkitkan ruhnya yang masih belum terkumpul semua.

          Mata Nano memicing mentap cowok itu. "Kamu yang udah nyelimutin aku?"

          "Kamu pikir siapa lagi yang nyelimutin kamu? Hantu?"

          Nano tertohok mendengar kalimat balasan yang tajam dari cowok itu. Menyebalkan sekali. Baru juga terlelap dua jam sudah diganggu orang.

          Tanpa meminta ijin, cowok itu beranjak dari kursi kecilnya, kemudian duduk di samping kiri Nano, di atas sofa.

          "Nano." ucap cowok itu tanpa memandang Nano. Si pemilik nama menoleh sambil memamerkan ekspresinya yang agak datar.

          Nano nggak merespon, ia sendiri tidak terlalu paham apakah cowok itu memanggilnya atau sekedar menyebut namanya. Lebih baik diam saja, menunggu cowok itu melanjutkan.

          "Nama kamu Nano, kan?" tanya cowok itu. Nano tidak heran kalau cowok itu sudah tahu namanya yang mungkin tidak sengaja terdengar saat dirinya ngobrol dengan Mas Guntur tadi.

          Bukannya menjawab, Nano malah memalingkan wajah ke sisi yang lain. Ia tidak punya maksud sama sekali untuk mengacuhkan lawan bicaranya, namun ia berusaha mencari tahu nama cowok itu yang tertulis di tempat tidurnya.

          Adinata Andreas. Nama yang menurutnya cukup sulit ditebak bagian suku kata yang mana yang digunakan sebagai nama panggilan cowok itu. Bisa saja Adi, bisa Nata, bisa juga Andre atau Andreas. Tapi bisa saja kan cowok itu dipanggil Dina dari nama depannya, Adinata?

          Nano menoleh ke arah Adinata Andreas sambil memaksakan senyum yang semoga saja terlihat bersahabat. "Iya. Namaku Nano. Nama kamu?"

          Selama beberapa saat, kesunyian menyelimuti mereka berdua karena cowok itu tak langung menjawab pertanyaan Nano. Tidak ada satu pun yang berusaha mencairkan suasana. Hanya saling pandang dengan pikiran yang berkecamuk di kepala masing-masing. Nano menunggu respon, sedangkan cowok yang bernama Adinata Andreas itu masih membeku.

          Hingga kemudian, ledakan tawa renyah terdengar dari cowok itu. "Hahaha! Nama apaan itu? Emang kamu punya rasa manis-asem-asin?"

          Yang punya nama langsung menarik selimutnya dengan kasar membentuk buntalan lalu ia lempar ke muka cowok itu. Nano tidak tahan jika namanya dianggap orang lain sebagai lelucon konyol. "Dasar rese!"

          "Sorry, sorry. Aku nggak bisa nahan ketawa, soalnya baru kali ini ketemu orang yang namanya unik kayak nama kamu. Nano! Hahaha!" cowok itu berjuang keras menghentikan tawanya yang terdengar begitu menyakitkan di telinga Nano, membuat si pemilik nama menyilangkan lengan. Namun diam-diam, Nano merasa sedikit lega juga sih, melihat cowok itu sudah tidak terlihat begitu tertekan seperti tadi pagi. Buktinya kini dia sudah bisa tertawa lepas, menunjukkan wajah riangnya yang bisa lebih memancarkan sisi ketampanannya.

          "Udah puas ketawanya? Jangan ketawa lebar-lebar, nanti bibir kamu robek baru tau rasa!" sentil Nano.

          Beberapa puluh detik berselang, cowok itu akhirnya sukses menghentikan tawanya sambil memegangi perutnya sendiri yang terasa kaku. "Sorry, sorry. Kan aku udah bilang sorry tadi. Nama aku Adi."

          Nano tidak bernafsu lagi untuk ngobrol. Tak ada niat untuk mengingat-ingat nama panggilan cowok itu lagi. Pandangan pertama saja sudah mengecewakan. Dan obrolan pertama mereka memberikan kesan yang buruk pada Nano. Dia hanya bisa melempar pandangan mematikan, yang sesungguhnya malah terlihat lucu, pada anak tuyul bertubuh jangkung itu lalu melenggang beranjak dari sofa.

          "Gitu aja kok ngambek? Kamu mau kemana?" tanya Adi.

          "Mau ke WC? Kenapa? Mau jadi sukarelawan buat nyebokin aku?" balas Nano sewot lalu melenggang ke kamar mandi, meninggalkan Adi yang masih terkekeh samar di tempatnya.

          Entah kenapa, Nano merasa kalau bekenalan dengan Adi akan mengubah hari-harinya ke depan menjadi lebih buruk.

.

.

.

(Bersambung....)


Previous Chapter | Next Chapter


.

.

.


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)