Never Let You Go (Bab 02)
Matahari sudah menerikkan panasnya ke celah-celah jendela kamar Melati nomor empat, menyinari wajah Nano yang perlahan membuatnya terbangun. Ia mengerjap beberapa kali. Pipinya terasa kaku dan kelopak matanya terasa mengganjal karena sempat menangis dini hari tadi sebelum terlelap. Tadi ia sempat terbawa karena mengingat-ingat masa kecil yang telah ia lewatkan dengan Mira. Momentum-momentum saat mereka masih imut-imut dan menggemaskan, hingga sekarang saat mereka sudah dewasa. Semua itu terjadi begitu cepat seolah-olah Nano belum sempat menikmati masa lalu itu sepenuhnya.
Tepat pada saat yang sama, Mira pun terdengar mengerang. Awalnya ia merintih kesakitan pada bagian bahunya yang telah dijahit oleh tim medis. "Auh! Aduh! Aduh, aduh! Sakit!"
"Kamu udah sadar? Mira, jangan terlalu banyak gerak dulu. Luka jahitan di bahu kamu masih belum sembuh!" Nano menahan tubuh Mira untuk memperbaiki posisi berbaringnya yang harus menyamping ke kanan.
Mira sepertinya masih belum sadar betul, karena setelahnya, cewek itu kembali tidak sadarkan diri. Mungkin pengaruh obat bius saat operasi masih belum hilang. Tapi Nano langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan adik kembarnya itu.
Setelah diperiksa, dokter cuma mengatakan kalau luka jahit di bahu Mira agak sedikit berdarah. Perbannya harus diganti dan Mira harus kembali di beri obat bius untuk beberapa jam ke depan supaya jahitannya bisa lebih rapat dan lebih kuat. Nano pun mengiyakan saran dari dokter dan memintanya untuk segera menangani Mira.
Pada saat dokter sedang merawat luka jahit Mira, Nano mendengar suara dari arah matras sebelah, dimana ia melihat pasien cowok yang kemarin malam baru di bawa ke sini itu tengah bersusah payah untuk bangkit dari matrasnya.
Nano ragu apakah dia musti membantu cowok itu atau tidak. Tapi Nano merasa kasihan karena sejak kemarin tidak ada satupun sanak saudara dari cowok itu yang merawat dia. Sekedar menjenguk pun bahkan tidak. Apa mungkin cowok itu bukan berasal dari kota ini? Atau mungkin cowok itu sebatang kara? Tapi kan walaupun sebantang kara, pasti dia punya teman. Kenapa tidak ada satupun teman yang menjenguk dirinya? Jika Nano ada di posisi cowok itu, pasti Nano sudah stres duluan. Sudah sakit, tidak ada yang merawat pula.
Awalnya Nano enggan untuk menolong cowok itu, karena dia semalaman memandangi Nano dengan raut datar tanpa merasa sungkan. Tapi karena alasan kemanusiaan, akhirnya Nano berjalan menghampiri cowok itu untuk membantunya bangkit dari matras. Ia memegang teguh salah satu pepatah yang mengatakan 'perlakukan orang lain sebagimana kamu ingin diperlakukan oleh mereka'. Bukannya Nano membantu orang lain untuk mengharapkan balasan. Namun ia berpandangan bahwa membantu orang sepertinya sudah menjadi tugas pokok setiap manusia yang pada dasarnya tidak akan bisa hidup tanpa manusia lainnya.
"Ayo. Pelan-pelan turunnya." Nano sudah siap membantu cowok itu turun, tapi yang bantu malah seolah membeku selama beberapa detik lamanya sambil menatapi Nano dengan ekspresi seperti sebelumnya. Nano jadi merasa harga dirinya jatuh. Ia berniat membantu, namun yang diberi bantuan malah memandanginya seolah-olah dia tidak butuh pertolongan dari Nano, membuat Nano mengumpat dalam hati dan merasa keputusannya salah untuk membantu cowok itu. Namun ia sudah terlanjur pada posisi memegang kedua pundak cowok itu dan tidak mungkin ia melepaskan tubuh cowok itu begitu saja. Ia tidak mau terjadi drama kecil pagi-pagi begini, jadi Nano harus melanjutkan apa yang harus dilakukannya.
"Mau aku bantuin nggak?" tanya Nano tajam.
Si cowok itu akhirnya kambali berjuang untuk turun dari matras tanpa merespon ucapan Nano barusan. Nano tidak paham kenapa cowok itu memiliki sikap sedingin temperatur udara di kutub bumi. Apa mungkin dia tidak suka pada Nano? Tapi apa yang sudah Nano lakukan pada cowok itu? Kenal saja tidak. Bertemu juga baru semalam, maksudnya dini hari tadi. Melakukan kontak fisik juga masih baru sekarang.
Apa mungkin Nano bau mulut?
Benar juga, dia belum melakukan apapun semenjak bangun tidur. Pun untuk sekedar membasuh muka. Tapi kan cowok itu juga belum gosok gigi. Siapa tahu dia sadar diri dan menolak untuk berbicara karena bau mulut juga? Tidak ada yang tahu.
Setelah ia membantunya turun, Nano baru menyadari kalau postur tubuh cowok itu tinggi tegap, lebih tinggi darinya. Ia jadi agak minder karena memiliki ukuran tubuh yang lebih pendek dengan usia yang sudah memasuki kepala dua puluh awal, tapi ia berusaha tidak peduli dengan hal itu. Toh manusia memiliki fisik yang berbeda-beda, jadi itu bukan masalah untuknya.
Sejujurnya Nano hendak membiarkan cowok itu berjalan sendiri kemana pun dia mau setelah ia selesai membantunya bangkit dari tempat tidur pasien. Tapi kelihatannya cowok itu masih belum mampu untuk menggerakkan otot-otot kakinya untuk melangkah sendiri.
Nano menghela napas panjang lewat hidungnya. Baiklah, ia mengaku kalah jika itu berhadapan dengan rasa kasihan. "Kamu mau kemana? Biar aku bantu kamu jalan."
Cowok itu tak kunjung merespon. Nano pun memutuskan untuk membantunya tanpa persetujuan cowok itu. Dia tidak menjawab apapun, dan bagi Nano itu sama saja dengan butuh bantuan, tapi enggan meminta bantuan. Orang yang seperti itu sebenarnya layak diberi penghargaan sebagai 'orang yang bisa bertahan hidup tanpa memfungsikan organ bicara'. Baiklah, julukan itu memang terdengar konyol dan tidak keren, tapi cowok itu sebenarnya mau kemana? Nano jadi sebal sendiri.
Dengan kesal, Nano mengangkat lengan cowok itu yang bebas dari perban lalu di kalungkan ke pundaknya untuk membantunya berjalan. Ia heran dengan cowok itu. Ia baru di perban kemarin, dan sekarang dia sudah nekat untuk bangun dari tempat tidurnya lalu berjalan seperti sekarang tanpa merintih kesakitan sedikit pun.
"Antar aku ke balkon rumah sakit," ujar cowok itu pada akhirnya tanpa memandang Nano. Suaranya terdengar lebih berat dan lebih maskulin dari pada suara Nano. Terdengar sedikit serak namun mantap.
"Hm." Nano menjawab ala kadarnya. Ia sudah tidak punya niat sama sekali untuk sekedar berteman dengan cowok dingin itu.
Nano memang tipe pemilih dalam mencari teman. Ia tidak perlu memiliki teman banyak jika mereka pada akhirnya tidak bisa memberinya efek positif di hidupnya. Beda dengan kenalan, Nano punya banyak kenalan. Rekan-rekan di tempat kerjanya juga ia anggap sebagai kenalan, karena sebagian besar dari mereka cuma bisa diajak bicara di tempat kerja. Jika sudah diluar area kerja, biasanya mereka lebih cenderung mengurusi masalah mereka masing-masing.
Sama dengan mahasiswa-mahasiswa yang sekelas dengannya. Nano tidak bisa menyebut mereka teman, hanya bisa di sebut teman kuliah, namun bukan teman dalam arti yang sebenarnya. Nano sendiri juga bersikap ala kadarnya kepada mereka, karena jika sudah berada diluar kampus Nano sering menolak ajakan mereka untuk sekedar kumpul bareng karena ia harus cari uang. Mungkin bakal beda ceritanya jika kerjaan Nano cuma part-time. Namun kenyataannya kerjaan Nano full-time dan sulit sekali untuk diatur shift kerjanya, kecuali meminta pada Mas Guntur untuk bertukar shift dengan karyawan lain. Tapi kan ia juga makin merasa tidak enak. Sudah untung banget dia diperbolehkan melanjutkan pendidikannya sambil bekerja. Jadi, itu semua juga bergantung pada sikap Nano.
Tapi walaupun begitu, Nano masih berusaha untuk membaur dan supel dengan sekitarnya, senang membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau balasan.
Kalau masalah teman, cowok yang sekarang sedang ditolongnya itu bukan temannya, bukan pula kenalan atau sejenisnya. Namanya saja ia tidak tahu, dan ia memang tidak perlu tahu. Tidak penting juga mengetahui nama cowok dingin itu, tidak ada gunanya.
Lorong-lorong rumah sakit terlihat agak sunyi di pagi hari. Mungkin para penghuni kamar inap dan para sanak saudaranya tengah antri mandi di kamar mandi di dalam. Walau matahari sudah mulai menampakkan silaunya, tapi udara di sini masih dingin menusuk. Namun hawa dingin masih kalah dengan dinginnya sikap cowok itu.
Setibanya di balkon rumah sakit, Nano melepaskan tangannya dari pundak cowok itu. Dari atas sini, dia bisa melihat pemandangan kota yang cukup indah di pagi hari. Tentu saja. Ini letaknya di lantai tiga, jadi bisa lihat dengan jelas atap-atap rumah yang memadat dan kendaraan-kendaraan yang lalu-lalang di jalanan.
Sejenak, ia merentangkan kedua tangannya dengan bebas sambil menghirup udara pagi. Ia akui kalau jam segini udara sudah tidak terlalu bersih, namun ia masih merasa kalau udaranya cukup segar. Apalagi dengan pemandangan yang bisa dibilang cukup memanjakan mata.
"Tinggalin aku sendiri di sini, " tiba-tiba cowok itu membuka suara dengan nada yang masih dingin dan cenderung tak bertenaga.
Nano dibuat kesal lagi dan kini rasanya sudah memuncak.
"Fine!" balas Nano tajam. Ia tidak bisa menebak apa yang ada di dalam otak cowok itu. Ucapan terimakasih saja bahkan tidak terlontar setelah mendapatkan bantuan dari Nano. Bukannya Nano mengharapkan cowok itu mengucapkan terimakasih untuknya, tapi yang benar saja! Cowok itu seperti kurang mendapatkan pengasuhan yang buruk dari orang tuanya.
Nano mendengus kesal sambil mengerutkan hidungnya, lantas berbalik dan berjalan dengan langkah lebar meninggalkan cowok itu sendirian di balkon rumah sakit. Ternyata ada juga orang yang seperti itu. Tidak hanya di dalam film-film atau sinetron di layar kaca. Rupawan secara fisik, tapi perangainya berbanding terbalik.
Namun langkah Nano langsung berhenti saat ia tidak sengaja menoleh ke arah belakang. Dari sudut matanya, ia bisa melihat cowok itu bersusah payah menaiki sisi pembatas balkon dan sepertinya hendak terjun dari sana. Bulu kuduknya meremang.
Cowok itu hendak bunuh diri!
"WOY! JANGAN GILA!" Nano berlari cepat ke arah cowok itu lalu merengkuh dan menarik perut rata cowok itu dengan kasar hingga jatuh terjengkang ke belakang, menimpa tubuh Nano.
"Aduh! Sial!" seru Nano saat tubuh cowok itu jatuh ke atas perutnya dengan cukup keras. "Kamu apa-apaan sih?! Kamu mau mati?! Jangan tolol! Kalo kamu bunuh diri, sama saja kamu itu lemah. Dasar bego!"
"Lepasin aku! Kamu nggak usah ikut campur urusan orang lain! Lepasin aku!" cowok itu membentak dengan kasar hingga perban di lengan kirinya menunjukkan darah yang keluar dari luka di baliknya. Nano melepas rangkulannya dengan cepat. Dia langsung beralih posisi menduduki tubuh cowok itu lalu menampar pipinya sekeras yang ia bisa.
Plak!
Cowok itu berhenti meronta. Ia memegangi pipinya dengan tangan yang tak dibalut perban. Yang tersisa sekarang hanyalah deru napas cepat di antara keduanya. Dari sini, Nano bisa melihat ada sedikit raut kebingungan yang tersorot dari mata cowok itu.
"Kamu ini gila atau apa sih? Kamu kenapa mau bunuh diri segala? Kamu pikir semua masalahmu bakal selesai setelah kamu mati! Mikir dong! Punya otak tuh dipake! Jangan mikir pake dengkul!" Nano berteriak dengan emosi yang menggebu.
"Kamu nggak ngerti gimana rasanya jadi aku! Semua masalahku nggak akan selesai sebelum aku mati! Nggak ada yang peduli sama aku! Pergi kamu! Aku cuma mau mati!" balas cowok itu dengan suara rendah namun tajam.
Hati Nano terasa dirobek. Ucapan cowok itu benar terdengar begitu putus asa. Tapi tetap saja. Nano tidak bisa membiarkan ataupun membenarkan keputusan cowok itu untuk mengakhiri hidupnya dengan sia-sia.
Plak!
Satu tamparan kembali mendarat di pipi cowok itu. Nano ingin cowok itu sadar bahwa mati itu bukan jalan pintas.
"Coba bayangin gimana perasaan orang tua kamu! Perasaan temen-temen kamu! Perasaan keluarga kamu! Bukannya menyelesaikan masalah, kelakuan kamu cuma bisa bikin masalah yang udah ada jadi tambah rumit!" balas Nano tak mau kalah. Dia berada di sisi yang benar, jadi mau bagaimana pun caranya, dia harus bisa menyadarkan cowok itu.
Napas cowok itu memburu dan tak beraturan. "Emang kamu siapa? Ha?! Nggak ada yang mau peduli sama aku, sama masalah yang aku hadapin sekarang!"
"Aku peduli!" balas Nano tanpa pikir panjang yang akhirnya membuat cowok itu terdiam. Nano akui apa yang dikatakannya barusan adalah dusta, namun ia tak peduli untuk saat genting seperti ini. Ia hanya ingin memberi dorongan pada cowok itu dan mencegahnya melakukan hal bodoh.
Sesaat setelah sunyi melimuti keduanya, cowok itu meneteskan air mata tanpa suara. Nah, kan? Nano jadi merasa benar-benar kasihan sekarang. Bahkan cowok sekuat apapun pasti bakal menangis jika ia sudah merasa berada diposisi paling bawah di hidupnya. Posisi paling terpuruk.
Perlahan Nano menyingkir dari atas tubuh cowok itu lalu duduk di sampingnya dan membantunya duduk. Awalnya Nano ragu harus melakukan apa sekarang. Cowok itu cuma menunduk dan menangis dalam diam. Nano sendiri juga tidak paham seperti apa masalah yang tengah dihadapi cowok itu hingga dia nekat melakukan percobaan bunuh diri.
Hingga Nano pun memutuskan untuk merangkul pundak cowok itu dan berusaha menenangkannya. "Coba pikirkan lagi keputusan bodohmu ini. Bahkan aku yang tidak kamu kenal aja masih peduli sama kamu."
Di sisi lain, Nano hampir ikutan menitikkan air mata karena ikut terbawa perasaan, tapi ia mencoba menahannya. Baru sekali ini Nano berada di situasi semacam ini, jadi dia tidak tahu betul bagaimana cara memberi semengat pada orang yang benar-benar terpuruk dan hampir bunuh diri. Ia jadi membayangkan adik kembarnya, Mira. Bagaimana jika cowok itu adalah Mira? Pasti hidupnya hancur total sekarang.
Dia kembali mengusap lembut pundak cowok itu. "Kamu harus jadi cowok yang kuat. Hidup itu emang sulit. Tapi sesulit apa pun hidup yang kamu jalani sekarang, pasti Tuhan sudah punya rencana lain yang indah buat kamu nantinya. Sekarang kamu harus bangkit! Kalo kamu nggak bisa bangkit sendiri, aku bakal bantuin kamu bangkit. Kamu pasti bisa ngelewatin semuanya."
Cowok itu tidak memberi respon. Hingga akhirnya tubuh cowok itu limbung beberapa saat kemudian. Kepalanya terkulai lemas di pundak Nano. Cowok itu tidak sadarkan diri. Nano sudah mengira hal ini bakal terjadi. Karena ia yakin kalau pikiran yang lelah itu pasti menguras tenaga yang cukup banyak.
Cepat-cepat, Nano menggendong tubuh cowok itu di punggungnya dengan terseok-seok. Jelas saja karena ia bersusah payah untuk menggendong orang yang pada dasarnya memiliki tubuh lebih tinggi darinya. Kepala cowok itu bersandar di pundak bagian belakangnya saat Nano berjalan cepat untuk membawa cowok itu melewati lorong-lorong rumah sakit yang tadi mereka lewati untuk bisa kembali ke kamar.
Sayup-sayup, sebelah telinga Nano mendengar kata 'terimakasih' yang lirih dan lemah meluncur dari bibir cowok itu. Entah itu cuma imajinasi Nano atau suara angin, Nano cuma bisa tersenyum kecil.
"Jangan ngelakuin hal bodoh kayak gitu lagi." balas Nano yang entah di dengar oleh cowok itu atau tidak.
.
.
.
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say