Never Let You Go (Bab 01)

Bab 01
Nano dan Dunianya




Hadapi aku,

Yang di depan matamu salah,

Hadapi kamu,

Yang selalu memandang marah,

Hadapi aku,

Kita perbaiki yang salah.

Hadapi.....

Berdua.....

Marcelino Akshara menghela napas panjang, lalu memejamkan matanya.

Bait demi bait lagu milik Astrid dengan judul Demi Kita itu mengalun dari ponsel, mengalir melewati earphone dan menggema di telinga seorang cowok berambut cepak yang kini tengah berbaring di bangku taman sebuah rumah sakit itu. Padahal sekarang sudah jam dua dini hari, tapi ia tidak merasakan kantuk sama sekali. Terlalu banyak kejadian yang membuatnya kepikiran akhir-akhir ini.

Pertama-tama, seharusnya sekarang Nano, nama kecilnya, berada di dalam kamar inap adik kembarnya yang tengah terbaring sakit dan menemaninya, namun ia tidak betah berada di dalam gedung rumah sakit pada malam hari karena suasananya sepi dan agak sedikit menyeramkan. Adiknya, Mirabella Shakira kemarin siang mengalami kecelakaan motor tunggal di perempatan dekat sebuah minimarket tempat Nano bekerja, dan tadi malam adiknya itu baru saja mendapatkan tindakan operasi di bahu kirinya. Karena semua itulah Nano akhirnya memohon ijin cuti pada managernya selama tiga hari penuh berturut-turut.

Yang kedua, lagu ini sangat mewakili perasaannya sekarang, setelah sekian lama ia berhubungan dengan seorang cewek. Ketika hubungan mereka sudah berada di ambang batas kerenggangan, Nano mencoba untuk berbicara secara baik-baik dengan mantan pacarnya yang sekarang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Namanya Sophie Lentika. Mengingat namanya saja Nano sudah bisa membayangkan betapa cantiknya cewek itu, dengan bulu mata lentik dan rambut hitam bergelombang yang indah, mirip dengan penyanyi pendatang baru jebolan Mamamia di salah satu stasiun televisi swasta. Wizzy, atau siapalah itu namanya.

Nano sudah berusaha memberikan seluruh perhatian yang ia miliki pada Sophie selama enam bulan belakangan, namun akhir-akhir ini cewek itu selalu menghindarinya, hingga akhirnya kemarin lusa tepat pas malam minggu, Nano mengajaknya kencan di sebuah kafe kecil yang dekat dengan tempat kerjanya. Cewek itu tampak begitu polos jika dilihat dari wajahnya, apalagi waktu dia sedang cemberut. Nano sampai gemas dibuatnya.

Awalnya Nano hanya ingin meluruskan hubungannya dengan Sophie dan meminta pengertian pada cewek itu mengenai semuanya. Termasuk waktu senggang yang dimiliki Nano yang mulai berkurang karena ia sudah mulai aktif kuliah lagi dan sekarang memasuki semester tiganya.

Namun Sophie malah acuh dan meminta untuk mengakhiri hubungan mereka saat itu juga. Tentu saja Nano menolak mentah-mentah keputusan sepihak yang diambil oleh cewek itu. Nano sudah terlanjur jatuh hati padanya. Jatuh terlalu dalam.

Ya, Sophie adalah cinta pertamanya. Nano belum pernah pacaran sebelumnya. Namun harapannya pada Sophie sepertinya terlampau tinggi dan semu hingga cinta pertama Nano benar-benar berakhir dengan sakit hati parah, seolah usaha dan perasaannya selama ini dia jaga bukanlah sesuatu yang penting hingga Sophie enggan dibujuk untuk memperbaiki hubungannya kembali dengan Nano.

Hati Nano seakan membeku sekarang. Ia sebenarnya sadar betul dengan keputusannya untuk memacari seorang gadis ABG yang masih labil dan belum bisa diajak untuk berpikiran dewasa. Tapi Nano tidak menyangka semua akan berakhir semenyedihkan ini.

Nano membuka kelopak matanya kembali sambil menatap langit gelap tanpa ada satupun cahaya dari kerlipan bintang yang menaungi dirinya dari atas. Semua masalah yang ia hadapi benar-benar sesuatu yang berat dan nyata. Melewatinya mungkin akan terasa agak sulit, namun ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih baik yang telah menunggu di depannya.

Yang harus ia lakukan sekarang hanyalah fokus dengan pekerjaan dan pendidikan yang dijalaninya sekaligus. Urusan cinta soal belakangan, akan dia nomor duakan. Masa depan yang cerah tak selalu dibarengi dengan bertemu jodoh yang cocok, kan?

Ketika alunan suara merdu Astrid hendak memasuki reffrain yang kedua, mendadak lagu itu berhenti diikuti getaran ponsel yang sekarang ia genggam. Ditatapnya deretan nama di layar ponsel.

Mas Guntur memanggil....

Guntur adalah si bos alias kepala toko di minimarket tempatnya bekerja. Kening cowok itu mengerut bingung karena jam segini si bos masih terjaga. Mungkin dia punya info penting yang harus disampaikan pada Nano hingga harus menelpon pagi-pagi buta begini.

"Halo, Mas Guntur?" sapa Nano memberi salam. Ia memang tak biasa memanggil cowok itu dengan sebutan 'Pak' karena cowok itu masih berusia dua puluh enam tahun, lima tahun lebih tua daripada usia Nano sendiri.

Namun jika sudah di area minimarket, Nano akan menggunakan kata panggil 'Pak' untuk cowok itu, karena dia sadar kalau dia harus bersikap hormat pada atasannya itu di tempat kerja.

Dari Mas Guntur menjadi Pak Guntur. Oke, sepertinya masalah panggilan nama bukanlah hal penting yang perlu diperdebatkan.

Ada hal lainnya yang mungkin juga perlu diluruskan di sini. Di luar sana banyak teman Nano bertanya-tanya semacam kok sudah umur dua puluh satu tapi Nano mau menginjak semester tiga di kampusnya? Cowok itu memang sempat menunda pendidikannya selama dua tahun sebelum mendaftar di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris salah satu universitas swasta di kota ini, jadi wajar saja.

"Halo, No, adikmu di ruang mana?" tanya Guntur dari seberang telpon. Suara deruman mobil membuat Nano yakin kalo cowok itu sedang berkendara di jalanan.

"Anu, Mas. Di kamar Melati nomor empat. Mas Guntur lagi dimana? Kok belum tidur jam segini?" balas Nano.

"Oke, tungguin aku, No. Bentar lagi aku tiba di situ."

Tut! Tut! Tut!

Nano melirik ponselnya dengan kening berkerut. Ia tak paham untuk apa Guntur menjenguk adiknya malam-malam begini. Kan besok pagi juga masih ada waktu, sedangkan sekarang itu jam istirahat. Ah, mungkin cowok itu baru saja pulang dari suatu tempat, lalu sekalian mengunjungi adiknya. Atau mungkin saja dia sedang mabuk.

Anyway, Nano sekarang musti balik ke kamar adiknya sebelum Guntur datang. Dia bangkit berdiri dari bangku besi itu sambil memutar kembali playlist lagu yang ada di ponselnya, lalu berjalan santai memasuki gedung rumah sakit.

* * *

Kamar Melati.

Di rumah sakit ini, kamar melati bukanlah kamar VIP atau kamar inap dengan harga sewa selangit. Di kamar nomor empat ini memang ada dua matras, namun hanya satu yang dipakai. Mira, adik Nano, masih terbaring di sana dengan mata terpejam lemah. Selang oksigen melilit di wajahnya, dan selang infus pun juga bersarang di punggung tangan kirinya.

Nano duduk di samping Mira sambil membelai lembut rambut adiknya yang lurus dan panjang. Ia menghembuskan napas berat, merasakan kalau pundaknya semakin berat jika ia berada di kamar ini. Beban tak kasat mata itu terus saja berusaha untuk menekan batinnya.

Sepertinya dia perlu ke kamar mandi sebentar untuk cuci muka. Selagi Guntur belum datang, Nano melompat dari kursinya, berlari kecil menuju ke wastafel terdekat. Ia membuka kran air lalu membasuh wajahnya, seolah ingin menghilangkan perasaan sedih yang membuatnya dirinya merasa tak berdaya menghadapi kenyataan yang telah terjadi akhir-akhir ini. Setelah dirasa cukup, Nano mengelap wajahnya dengan sapu tangan yang ia bawa sendiri.

Sesampainya di kamar Melati nomor empat, Nano sedikit terkejut begitu melihat matras kosong di sudut selatan kamar sekarang sudah di tempati oleh seorang cowok dengan tangan kanan serta kepala yang dibebat perban.

Nano berpikir bahwa para dokter di rumah sakit ini benar-benar pekerja keras. Tak peduli siang atau malam, pasien baru yang membutuhkan pertolongan tetap mendapatkan layanan yang seharusnya. Tak diragukan lagi kalau rumah sakit ini begitu terkenal dengan penanganannya yang sigap.

Tanpa menghiraukan pasien baru itu, Nano berjalan mendekati Mira dan duduk di kursi kecil di samping kanannya. Adiknya yang berbaring miring ke kanan itu terlihat agak pucat dengan beberapa luka gores kecil di bagian antara bibir bawah dan dagunya. Tangan Nano terulur membelai pipi Mira dengan lembut sambil menahan sesak. Ia sangat menyayanginya. Karena hanya Mira satu-satunya harta yang dimiliki Nano sekarang. Sudah jelas hatinya merasa hancur saat melihat Mira terbujur tak berdaya seperti ini.

Dari hati yang paling dalam, ia ingin menangis sekuat yang ia mau sekarang juga, detik itu juga. Namun ia sadar jika dia terus-terusan merasa terpuruk oleh takdir yang terjadi, segalanya tidak akan pernah berubah menjadi lebih baik. Tak ada yang akan mengasihaninya. Nano menarik napas panjang hingga mengisi penuh paru-parunya lalu menghembuskan napas sambil berharap semoga beban yang ia rasakan bisa berkurang secuil saja. Dan sekarang saatnya untuk mencoba kembali pada kenyataan dan berpikir realistis.

Sekarang karena kamar melati nomor empat ini mendapatkan pasien baru, jadi Nano kira ia tidak akan merasakan sepi. Itulah yang ia harapkan. Siapa tahu dengan adanya pasien baru, ada teman ngobrol untuk dirinya. Jadi dia ingin mengenal pasien itu, atau kalau tidak, keluarga pasien juga tidak masalah.

Sekali-sekali, Nano menatap pasien cowok yang berbaring di seberang dengan kening berkerut. Cowok itu menatap langit-langit tanpa ekspresi yang berarti.

Cowok yang bekerja sebagai pegawai minimarket itu dibuat penasaran. Jika wajahnya dilihat dengan seksama, cowok itu terlihat masih muda sekali. Mungkin akhir tahun SMP atau awal tahun SMA. Intinya dia masih tampak begitu muda. Tapi kenapa orang tuanya tak ada yang kesini untuk menjaganya? Setidaknya saudara gitu, atau kerabat, atau teman? Kenapa sendirian? Nano merasa kasihan melihatnya. Kalau saja cowok itu adik Nano, pasti Nano akan meluangkan waktu untuk menjaganya. Karena ia tahu rasanya sendirian di rumah sakit ketika tidak ada yang menemani. Rasa ketidak-berdayaan yang luar biasa pasti bakal muncul.

Atau jangan-jangan cowok itu yatim piatu? Ide itu yang pertama kali masuk di otak Nano, yang asalnya entah dari mana.

Saat Nano sedang memperhatikannya sambil menerka-nerka latar belakang cowok itu, ponsel di saku kemejanya bergetar.

"Halo?" sapanya langsung mengangkat telpon tanpa melirik deretan nama yang tertera di layar ponselnya sambil memalingkan muka ke bawah.

"No, kayaknya aku njenguk adik kamu besok aja ya," balas suara berat dari seberang telpon yang langsung dikenali Nano. Itu suara Guntur.

"Iya, Mas, gak masalah kok. Lagian juga jam segini mana ada jam besuk? Mas Guntur ada-ada aja ya," balas Nano.

"Oh iya, ya? Aku lupa! Astaghfirullah! Kamu sih nggak ngingetin."

Nano tergelak mendengar nada bicara Guntur yang menggelitik telinganya. "Salah mas sendiri tadi, aku belom bales apa-apa udah main mutusin telpon."

"Hahaha!" Guntur juga terdengar tertawa geli di seberang sana. Mungkin dia menyadari betapa konyol dirinya saat ini. "Ya udah, No. Aku besok pagi ke sana. Kamu sekarang tidur gih. Udah hampir jam tiga pagi loh."

Bola mata Nano berputar mendengarnya. "Mas Guntur ngaca dulu kek ke spion atau ke-apa gitu. Kan mas jam segini juga baru pulang ngelayap kayak burung hantu."

"Loh? Kok kamu tahu?"

Nano meraupkan telapak tangan kirinya ke wajah dengan gemas. "Itu, mas sekarang lagi ngendarain mobil kan? Kalo lagi berkendara tuh nggak boleh main hape mas. Ya udah, aku tutup dulu kalo gitu."

"No, jangan ditutu~,"

Tut! Tut! Tut!

Cowok itu terkekeh senang sambil menatap layar ponselnya. Kali ini ia bisa membalas balik perbuatan Guntur yang suka asal memutuskan sambungan telpon. Walaupun dia adalah atasan Nano di tempat kerja, tapi Nano tak pernah memandangnya terlalu tinggi. Guntur sendiri yang memintanya untuk seperti itu. Maksudnya ia masih menaruh rasa hormat dengan pria itu, tadi lebih sebagai kakak. Jadi hubungan mereka sekarang sudah lebih mirip seperti saudara.

Setelah puas, Nano meletakkan ponselnya di atas meja. Ia kembali melempar pandangannya pada pasien cowok yang ada di sudut kamar yang lain. Agak terkejut ternyata cowok itu juga sedang memperhatikan Nano tanpa ekspresi.

Mungkin dia sudah memandang Nano sejak ia menerima telpon barusan. Jika posisinya begini, Nano bisa melihat kalau cowok yang kepala dan lengan kanannya di perban itu memiliki tipe wajah yang tampan dan menarik. Rambutnya yang ikal cenderung keriting, alis matanya yang tebal, kulit wajahnya yang bersih, bola matanya juga.....

Ah, stop!

Kenapa Nano jadi seolah-olah sedang mengagumi wajah tampan cowok itu? Tidak! Dia tidak kagum, kok. Ia sungguh yakin. Ia tadi hanya memperhatikan detail-detail yang.... yang sebenarnya tidak penting. Karena selagi mengamati cowok itu, Nano menyadari dia kurang nyaman dengan cara cowok itu memandang balik ke arahnya.

Untuk menjaga kesopanan, akhirnya Nano menarik sudut bibirnya untuk membentuk seulas senyum sambil mengangguk polos pada pasien cowok itu. Yang disenyumi bukannya balas tersenyum, malah terus memandangi Nano dengan wajah datar seperti sebelumnya. Nano jadi dibuat malu. Bukannya malu karena dipandang cowok itu, melainkan malu karena perbuatannya barusan, senyum sambil mengangguk pelan tadi, tak mendapatkan respon yang serupa. Dia diabaikan. Sialan!

Oke, mungkin pasien cowok itu bukanlah orang yang bisa diajak untuk berinteraksi atau sekadar beramah-tamah. Jadi ya sudah, biar dia bersama dunianya sendiri.

Tapi setelah Nano membuang pandangan ke arah lain selama beberapa saat dan kembali melirik cowok itu sekilas sekali lagi, cowok itu masih memandanginya.

Kenapa sih dengan dia? Apa ada sesuatu yang salah di wajah Nano sekarang? Nano sesegera mungkin mengambil ponselnya, membuka aplikasi kamera dan menggantinya dengan mode kamera depan. Ia memperhatikan wajahnya sendiri dengan seksama.

Tak ada yang salah kok. Masih tetap manis dan tampan seperti biasanya. Tidak ada kotoran mata. Ia tidak menemukan upil, dan sejenisnya. Tapi kenapa cowok itu sampai sekarang masih memandanginya tanpa berkedip? Bukan itu hal yang kurang sopan jika dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak dikenal?

-

-

-

(Bersambung....)


Next Chapter


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)