Heartbeat (Chapter 06)



Alanda berjalan masuk sambil menyeret kopernya ke dalam. Harvi segera menutup pintu apartemennya sambil menahan malu. Ia jadi kepikiran dengan tetangga-tetangga apartemennya tadi. Kira-kira apa yang ada di dalam pikiran mereka?


"Ah! Aku rindu sekali suasana di apartemen ini. Padahal aku baru saja pergi tadi pagi," kata Alanda yang membuat Harvi tersadar dari renungannya yang sama sekali tidak penting. Alanda sudah menyandarkan tubuhnya di sofa seakan-akan ini apartemennya sendiri.


Harvi berjalan mendekat. "Untuk apa kau kesini lagi?"


"Aku kan sudah bilang kalau aku ingin tinggal disini. Untuk sementara waktu saja," jawab Alanda sambil memejamkan mata.


"Iya, aku sudah tahu hal itu. Tapi untuk apa kau tinggal disini? Memangnya kau tak punya rumah sendiri?" balas Harvi dengan jengkel.


Alanda membuka kelopak matanya sambil menggeser sedikit kepalanya untuk memandang Harvi yang berdiri di samping kirinya. "Aku sedang ada masalah di rumah. Dan aku masih belum bisa menceritakannya sekarang."


"Aku tidak bisa menerimamu disini kalau kau tak juga menceritakan masalahmu," ancam Harvi.


"Aku benar-benar belum bisa menceritakannya sekarang, Harvi."


"Kamu hanya punya dua pilihan. Menceritakan masalahmu atau pergi dari sini."


Alanda menghela napas panjang, susah sekali menghadapi orang yang keras kepala seperti Harvi. "Baiklah! Baiklah! Aku hanya ingin menghindari mantan kekasihku."


"Menghindari mantan kekasihmu? Kenapa harus dihindari?" tanya Harvi dengan lugu. Alanda sudah bisa mengira hal itu.


"Aku memergokinya berselingkuh dengan laki-laki lain semalam. Hingga aku harus mendapat luka lebam di wajahku ini karena berkelahi dengan laki-laki itu. Dan setelah kejadian itu dia terus saja menelpon dan mengirimiku pesan singkat. Tapi tak pernah ku pedulikan. Aku yakin dia pasti akan datang ke rumahku cepat atau lambat, tapi aku sudah terlanjur kecewa berat. Dan....." Alanda diam sesaat, lalu melanjutkan. "Dan aku yakin kamu pasti sudah menyadari luka-luka lebam di wajahku ini. Kenapa kau tidak bertanya apapun sampai kita berpisah tadi pagi?"


"Hei! Itu masalah pribadimu. Aku tidak akan mungkin selancang itu dan memaksamu menceritakannya," jawab Harvi sambil memperhatikan biru-biru di beberapa bagian wajah Alanda yang masih belum hilang. Mungkin perlu beberapa hari untuk membuatnya hilang secara alami.


"Dan sekarang, kau sudah dengan sangat lancang memaksaku untuk menceritakan masalah pribadiku padamu," balas Alanda.


Harvi menaikkan kedua alisnya. "Hei! Hei, Bung! Tunggu dulu! Kau berniat untuk tinggal disini kan? Kalau aku tidak tahu alasanmu, bagaimana bisa aku mengijinkanmu? Lagi pula rumah adalah sesuatu yang sifatnya privasi. Terlebih lagi kamar tidur. Dan kau sudah melanggar privasiku sejak kau berada di kamarku kemarin malam. Namun setelah ku pikir-pikir kita pasti tidak akan bertemu lagi. Jadi aku bisa tolerir. Tapi kali ini beda. Kau dengan beraninya datang kemari dan meminta untuk tinggal disini. Kau pikir ini hotel umum?" cerocos Harvi panjang lebar karena mulai naik darah.


Alanda menunduk. Tampaknya anak ini memang ingin melupakannya. Buktinya dia punya pikiran kalau mereka pasti tidak akan bertemu lagi.


"Baiklah! Baiklah! Kau yang menang. Aku tidak ingin berdebat lagi. Sekarang, apakah aku sudah bisa mengantongi ijin darimu untuk tinggal disini? Aku sudah menceritakan semua alasanku padamu."


Harvi terhenyak. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Ia sebenarnya tidak begitu bisa mempercayai orang yang bahkan belum ia kenal selama 24 jam. Ia takut kalau nanti jangan-jangan Alanda punya maksud jahat padanya.


Tapi kalau diperhatikan secara seksama, sepertinya Alanda tidak punya pikiran jahat. Walaupun belum genap 24 jam mereka berkenalan, tapi sepertinya Alanda adalah orang baik-baik. Pasti ia berkata jujur. Lagi pula ia juga sudah membawa koper ke sini. Kalau diusir ya kasihan juga.


"Apa saja barang-barang dari rumahmu yang kau bawa kesini?"


Alanda mengernyit. "Kau ingin aku membuka koperku dan memperlihatkan pakaian-pakaian dalamku padamu? Kenapa kau tidak menelanjangi aku saja sekalian?" tukasnya.


Harvi terbelalak mendengar jawaban spontan Alanda. "Kau gila ya? Bukan itu maksudku. Apakah masih ada barang-barang lain di luar selain kopermu ini?"


"Tidak ada. Hanya mobil pribadiku yang ku parkirkan di garasi umum. Bukankah tadi aku sudah bilang kalau aku tinggal disini untuk sementara waktu, bukan selamanya. Untuk apa aku bawa barang banyak-banyak?" gerutu Alanda.


Harvi jadi teringat akan hal itu. "Jadi rencananya, berapa lama kau akan tinggal disini?"


Alanda tersenyum sambil menegakkan punggungnya dari sandaran sofa. Sepertinya ada tanda-tanda kalau Harvi akan memberi ijin. "Hanya sampai mantan kekasihku lelah sendiri dan berhenti mengejar-ngejarku lagi."


"Jangan memberiku jawaban seperti itu. Aku butuh kepastian darimu."


Alanda terdiam sambil berpikir matang-matang. "Satu bulan mungkin cukup. Lama-lamanya mungkin sekitar dua bulanan."


Harvi mengangguk pelan. Lalu ia menengadahkan tangan kanannya di depan kepala Alanda. Alanda mengerjapkan mata.


"Apa?" tanya Alanda yang tidak paham maksud Harvi.


"Aku tidak mungkin membawa dompetmu setiap waktu. Kau pasti juga membutuhkannya. Jadi sekarang aku hanya butuh KTP dan nomor ponselmu." jelas Harvi.


"Baiklah! Baiklah!" Alanda segera berdiri dari sofa dan merogoh dompetnya di saku celana bagian belakang. Dikeluarkannya KTP dan kartu namanya lalu disodorkan pada Harvi. Harvi mengambilnya cepat-cepat dari tangan Alanda lalu membaca kartu namanya.


Tertulis nama Alanda Trihatmadja dengam huruf-huruf besar yang kelihatan lebay. Tapi begitu membaca kata-kata kecil di bawahnya, Harvi sedikit terkejut. Tapi ia berusaha untuk tetap tenang.


Ternyata Alanda adalah kepala salah satu cabang perusahaan perbankan di Surabaya. Pantas saja Alanda memakai pakaian dan atribut formal. Harvi pikir Alanda hanya pegawai kantoran biasa.


Padahal dilihat dari wajahnya, laki-laki itu masih cukup muda. Bagaimana mungkin ia memiliki jabatan setinggi itu? Dengan segera, ia menggeser kartu nama ke belakang dan mulai memperhatikan KTP-nya.


Kali ini Harvi benar-benar terkejut dan tidak bisa ia tutup-tutupi dari Alanda.


"Baru berusia dua puluh enam tahun dan kau sudah menjadi seorang kepala cabang?!" seru Harvi. Begitu sadar dengan omongannya, Harvi menutup mulut dengan salah tingkah.


"Memang kenapa? Apakah aku ini laki-laki yang hebat dimatamu?" tanya Alanda dengan tingkat kepercayaan-diri selangit, sambil mengusap rambutnya sendiri dari samping dengan gaya perlente.


Harvi mencibir. Tapi ia tahu kalau Alanda pasti hanya berusaha untuk bersikap humoris. "Kau terlalu percaya diri. Kau sama sekali bukan apa-apa disini. Kau harus ingat siapa tuan rumah disini."


"Baiklah, Tuan Muda Harvi. Sekarang, bolehkah saya beristirahat sebentar saja. Saya merasa sangat lelah karena sudah bekerja seharian dan baru pulang beberapa saat yang lalu," kata Alanda dengan gaya bahasa seola-olah menjadi pembantu sambil membungkukkan badannya sebagai tanda hormat ala penduduk Jepang.


Tapi beberapa saat ia membungkuk, tak terdengar balasan dari Harvi. Ia menengadahkan kepalanya sedikit untuk memandang wajah Harvi. Ternyata anak itu tengah tertawa kecil tanpa suara. Alanda segera kembali menegakkan punggungnya sambil tersenyum malu.


"Kau itu orang yang sangat menjengkelkan. Tapi kau bisa lucu juga ternyata," tukas Harvi jujur. Sikapnya langsung berubah 180 derajat daripada tadi ketika Alanda datang. Sepertinya Alanda memang orang yang mudah bergaul dan menyesuaikan diri.


Alanda meringis. "Mungkin kelihatannya saja aku menjengkelkan. Tapi kalau kau sudah mengenalku lebih dekat, pasti akan tahu bagaimana diriku yang sebenarnya."


"Sudahlah. Sudah cukup kau membual. Sebenarnya di apartemenku ini ada dua kamar. Tapi hanya ada satu kamar yang ada tempat tidur dan lemarinya. Kamar yang satu lagi aku jadikan gudang," ujar Harvi.


"Lalu kau menyuruhku untuk tidur bersama kecoa dan sarang laba-laba di gudang?" sergah Alanda.


"Aku tidak mungkin setega itu. Aku akan berbagi kamar denganmu. Tapi dengan satu syarat!"


"Apa syaratnya?"


"Jangan pernah ngompol di kasurku," gurau Harvi.


Alanda hanya mencibir. "Aku sudah berhenti ngompol sejak aku berusia tiga tahun. Paling-paling kasurnya basah hanya karena keringat. Tapi jangan khawatir. Aku tidak bau keringat kok."


Kasur basah karena keringat? Memang kegiatan apa yang bisa membuat berkeringat di atas kasur. Tiba-tiba pikiran Harvi langsung menjurus ke arah yang negatif. Segera ia mengenyahkan pikiran-pikiran yang sama sekali tidak penting itu.


"Aku tidak pernah mempermasalahkan soal bau keringat. Yang penting jangan ompoli kasurku. Itu saja."


"Iya... iya. Baiklah! Terserah kau. Kita lanjutkan percakapan kita nanti saja. Sekarang bolehkah aku istirahat sejenak? Aku lelah. Setelah pulang dari kantor tadi aku langsung berkemas dirumah dan meluncur kesini," keluh Alanda.


"Kurasa tidak ada yang memaksamu untuk ngobrol. Kalau memang capek, sana tidur," suruh Harvi.


Alanda tersenyum senang. "Terimakasih."


"Tidak usah berterimakasih. Kau tahu ini bukan penginapan, jadi kau harus menyediakan uang makanmu sendiri," sahut Harvi sambil menempati sofa yang tadi diduduki Alanda.


"Iya. Aku tahu. Aku ke kamar dulu."


"Hm," balas Harvi


Alanda berjalan menuju kamar Harvi sambil menyeret kopernya. Ia sudah merasa sangat lega. Harvi sudah memberi ijin untuknya sekarang. Paling tidak, ia bisa menghindari Dezia. Jika wanita itu datang ke rumah, paling ia hanya menemukan pembantunya.


(Bersambung...)


Previous Chapter | Next Chapter


Comments

Post a Comment

Komen yuk, say

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)