Heartbeat (Chapter 16)



Sudah hampir satu jam Alanda dan Harvi mencari-cari keberadaan Marik. Tapi mereka tak kunjung menemukan laki-laki itu. Hari juga semakin malam. Mereka sudah ke rumah Marik beberapa kali dan menelusuri tempat-tempat yang biasanya didatangi Marik. Harvi tidak habis pikir kemana perginya anak itu. Harvi jadi berpikiran buruk. Laki-laki itu tadi mabuk-mabukan. Seharusnya ia tidak keluyuran mencari keberadaan Harvi sejak sore hingga saat ini. Bagaimana nanti kalau ia bernasib hampir sama dengan Alanda. Tergeletak di jalanan.


"Marik bodoh! Kau sudah membuat hariku tidak tenang," gerutu Harvi dalam bisikan.


Alanda mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang sambil memperhatikan jalanan, siapa tahu bisa menemukan Marik. Tapi Harvi tampak memegangi keningnya. Kepalanya sakit dan pusing.


Kemana lagi ia harus mencari Marik? Sudah semua tempat ia kunjungi. Harvi menoleh memandang Alanda yang masih tetap setia membantunya untuk mencari Marik. Padahal Alanda pasti harus bekerja besok. Ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit.


"Alanda," panggil Harvi.


Yang dipanggil hanya menoleh sebentar lalu kembali fokus dengan kemudinya. "Hm?"


"Kita pulang saja sekarang."


Alanda menaikkan kedua alisnya. "Apa kau yakin?"


"Iya. Kita pulang saja. Lagipula kau pasti harus bekerja besok."


Alanda tersenyum kecil. Ternyata anak itu juga menaruh perhatian padanya. Walaupun mungkin masih sedikit. "Tidak apa. Aku masih belum terlalu mengantuk. Lagian Marik kan belum juga ketemu."


"Percuma juga kalau kita mencarinya. Kita sudah kemana-mana. Hari juga sudah malam."


Alanda memelankan mobilnya sambil memandang Harvi yang tengah menatap ke luar kaca jendela dengan raut penuh beban. Ia merasa kasihan dengan anak itu.


Dengan hati-hati namun pasti, Alanda meraih tangan kanan Harvi dengan tangan kirinya, sambil tetap berkemudi. Diremasnya tangan Harvi, mencoba memberi kehangatan. Harvi hanya menoleh memandang Alanda tanpa kata-kata. Dada Alanda berdegup kencang ketika tangannya memegang tangan Harvi. Sedikit gugup, tapi ia berusaha untuk menutupinya.


"Marik pasti baik-baik saja," Alanda berusaha menenangkan pikiran Harvi.


"Ku harap kau benar," balas Harvi membiarkan tangannya terbungkus oleh tangaan Alanda. Selama beberapa detik, akhirnya Alanda bisa bernapas lega. Anak itu tidak berusaha menghindar ataupun mendumel ketika ia menggenggam tangannya. Kini ia bisa berkendara dengan tenang.


Jalan menuju apartemen Harvi tampak sedikit lengang. Hanya sedikit saja kendaraan yang berlalu lalang.


"Kau sudah makan?" tanya Alanda masih tetap menggenggam tangan Harvi. Namun Harvi tampak murung sambil menatap ke luar kaca mobil.


"Belum."


"Bagaimana kalau kita makan malam di luar? Biar aku traktir," ajak Alanda sambil tersenyum, tapi Harvi tidak sedikitpun menoleh ke arahnya.


"Aku tidak lapar kok. Sekarang aku hanya butuh istirahat."


Alanda menaikkan alisnya. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Sini!" ujarnya lalu dengan cepat menarik kepala Harvi untuk bersandar di pundaknya. Tapi Harvi berusaha untuk menjauhkan kepalanya.


"Kamu kenapa sih? Aku tidak mau!"


"Jangan cerewet! Cepat tidur" seru Alanda yang akhirnya bisa membuat Harvi menyerah dan menyandarkan kepalanya di pundak Alanda.


Tapi bukannya berusaha untuk tidur, Harvi malah mengerutkan hidungnya sambil memejamkan mata dengan erat. Rasanya dadanya berdebar-debar. Sedangkan Alanda tampak tenang tenang saja sambil mengemudikan mobil dengan mantap.


Bau deodoran Alanda menyeruak di hidungnya dan membuatnya jadi semakin gelisah dan membuatnya terangsang. Memalukan sekali.


Harvi langsung menarik kembali kepalanya. "Aku perlu mengirim pesan ke temanku dulu untuk kuliah besok," ujarnya berbohong. Tapi setelah ia meraba-raba sakunya, ia tidak menemukan ponselnta. Ia baru ingat kalau ponselnya ada di kamar, sedang di-recharge.


Pada saat yang sama, Alanda menawarkan ponselnya. "Ini, pakai ponselku saja. Bukankah ponselmu masih ada di kamar?"


Harvi meringis. Ia memandang jalanan yang ternyata sudah dekat dengan apartemennya. "Tidak! Tidak perlu. Kita kan hampir sampai."


Beberapa menit kemudian mobil itu mulai memasuki jalan yang menjurus langsung ke apartemen. Namun dari kejauhan, Harvi dapat melihat siluet sesorang laki-laki di depan pagar gedung apartemennya, sedang berdiri di samping sebuat motor.


Semakin dekat dan semakin dekat, Harvi baru menyadari kalau itu adalah Marik. Marik tampak memandang mobil Alanda hingga berhenti sempurna tepat di depannya.


Harvi langsung melompat ke luar dari mobil dan menghampiri Marik dengan langkah lebar. Ia langsung memukul-mukul tubuh Marik tanpa arah.


"Kau bodoh!! Kemana saja kau?! Aku hampir gila karena mencarimu ke sana kemari! Apa kau tidak tahu kalau aku mencemaskanmu?!" teriak Harvi sambil menyerangkan pukulan-pukulannya. Alanda keluar dari mobil dengan sedikit bimbang. Sepertinya mereka bedua tidak perlu dilerai


Namun beberapa saat kemudian, Marik malah memeluk tubuh Harvi dengan erat, seerat yang ia bisa. Harvi langsung menangis dan balas memeluk Marik sambil sesekali memukuli punggung Marik, namun tak sekuat tadi.


"Maafkan aku, Harvi. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu cemas. Aku memang bodoh!! Aku memang tolol!! Hina aku sebisamu!! Hina aku sepuasmu, Harvi! Asalkan kau bisa memaafkan kebodohan yang sudah ku lakukan," seru Marik sambil mendekap tubuh Harvi lebih erat lagi.


Alanda membuang muka, merasa menyesal. Seharusnya tadi ia segera melerai mereka berdua. Dan sekarang ia harus menyaksikan pemandangam yang benar-benar membuatnya tidak tahan.


Harvi melepas pelukannya lalu terkesiap melihat hidung Marik yang tampak bengkak dengan bekas jejak darah.


"Hidungmu!! Astaga!! Ayo kita sekarang ke klinik!"


(Bersambung...)


Previous Chapter | Next Chapter


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)