Generation (Chapter 02)
"Ya sudah kalau menurut kakak tingkahku berlebihan, aku minta maaf, Kak," ujar Ari menyudahi perlawanan. Lagian tidak baik juga kalau baru hari pertama MOS, ia sudah membuat ulah seperti ini, walaupun ia sendiri tidak ada maksud membuat ulah.
Tomi menoleh ke arah Ari selama beberapa detik lamanya tanpa ekspresi. Kemudian dengan cepat, ia menutup pintu ruang OSIS dari dalam dan berjalan dengan langkah santai menuju tempat Ari duduk.
Suasana menjadi hening.
Ketika ia sudah berdiri di depan Ari, ia merundukkan punggungnya dan menumpukan kedua tangan ke samping kursi.
Ari pun langsung memundurkan kepalanya karena jarak wajah Tomi terlalu dekat. Dan tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang melihat wajah Tomi sedekat ini. Wajah bersih itu mendadak tersenyum sinis kepada Ari dan membuat fantasi liar di pikirannya yang sempat muncul beberapa saat yang lalu menjadi lenyap tak berbekas.
"Baiklah... Kurasa aku bisa maafin kelakuanmu," kata Tomi dengan suara desisan aneh. Ari memejamkan mata sejenak lalu membukanya lagi sambil mengangguk pelan. Yang bisa dilakukannya sekarang adalah mengalah supaya bisa keluar dari masalah ini dan menjauh dari Tomi sebisa mungkin.
Ketika Ari hendak berdiri dari kursinya, Tomi langsung menahannya dan mendorong dada Ari untuk kembali duduk di kursi.
"Siapa yang bilang kamu boleh pergi? Ha?!" tanya Tomi.
"Apalagi sih, Kak? Kan aku udah minta maaf tadi. Emang itu belum cukup ya? Atau aku mesti berlutut dihadapanmu sambil menangis memohon supaya dimaafkan?" protes Ari keras. Ia tidak betah berada di ruang osis. Suasananya tidak nyaman. Ditambah lagi sekarang disana hanya tinggal mereka berdua saja.
Tanpa menjawab, Tomi duduk di sofa yang tak jauh dari Ari dan mendesah pelan. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api dari saku celana belakangnya.
"Temani aku disini dulu," titah Tomi layaknya menganggap Ari seperti jongosnya.
"Kenapa harus aku? Kan masi-."
"Jangan bawel! Diam dan turuti perintahku!" bentak Tomi sambil menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dengan seksama. Ari membuang muka sambil melipat lengan. Berani-beraninya cowok itu merokok di area sekolah. Diruang osis lagi.
Ia mengutuki dirinya sendiri karena perbuatannya. Jika tadi di kelas ia bersikap manis seperti anak babi yang menggemaskan, pasti hal seperti ini tidak akan terjadi padanya.
"Kau mau minum apa?" tanya Tomi tiba-tiba sambil berdiri.
Ari mengerjapkan mata sekali, berusaha mencerna kalimat yang keluar dari mulut Tomi. "Apa?"
"Kau tuli ya?"
Tuh kan! Itu hanya perasaan Ari saja jika mendadak Tomi bertingkah baik padanya. Tidak ada sisi baik sama sekali dari cowok ini.
"Aku nggak haus. Nggak usah repot-repot. Lagipula aku tidak akan lama berada disini."
Tomi ternyata sudah pergi ke ruang belakang tanpa mendengar perkataan Ari barusan. Sial. Dan beberapa saat kemudian, cowok itu sudah kembali lagi sambil membawa dua kaleng dingin minuman bersoda.
"Nih, minum," Tomi mengulurkan salah satu kaleng minuman pada Ari. Ari pun hanya bisa menurut dan menerimanya.
Dengan santai, Tomi mendaratkan tubuhnya tepat di samping kanan Ari, membuat anak itu tersentak sedikit.
"Jangan ngerokok didekatku, Kak!" usir Ari ketika Tomi menghembuskan asap rokoknya ke arah Ari.
"Kamu yang buat aku stres saat ini. Jadi kamu mesti tanggung jawab!"
Nah loh? Apa yang sudah dilakukan Ari hingga membuat Tomi stres? Memikirkan hal itu lebih jauh membuat Ari pusing karena tidak menemukan jawabannya.
Ia menoleh ke arah Tomi yang menyandarkan kepalanya di kursi sambil memandang ke atas dengan tatapan kosong dan ekspresi... lelah?
***
Ari baru keluar dari ruang OSIS begitu bel istirahat dibunyikan. Ia tak menyangka hampir 3 jam penuh ia berada di sana, berduaan bersama Tomi.
Sebenarnya ia tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Lagipula mereka berdua juga tidak melakukan hal apapun yang mencurigakan disana (untuk para pembaca, mohon singkirkan pikiran ngeres kalian). Namun yang membuat Ari bingung adalah selama 3 jam penuh itu, Tomi tidak berbuat apa-apa selain berbaring di sofa sambil memejamkan mata, namun tidak terlelap. Dan ketika Ari mengambil kesempatan untuk mengendap menuju pintu, Tomi selalu mengetahuinya dan menyuruh Ari untuk kembali dudum di kursinya.
Benar-benar menyebalkan! Cowok sialan! umpatnya dalam hati begitu ia menutup pintu ruang OSIS dari luar dan berjalan menuju kelasnya dengan langkah lebar.
Setibanya di kelas, tiba-tiba anak-anak yang lain langsung menyambutnya dengan tepuk tangan. Mata Ari membulat ketika Titi berlari ke arahnya.
"Kamu bikin khawatir aja! Kamu dibawa kemana sama Kak Tomi? Kamu nggak diapa-apain kan?" tanyanya.
"Enggaklah. Aku nggak diapa-apain kok. Tenang aja."
"Oh iya, tau nggak? Tadi pas kamu pergi, disini tadi mendadak wakil ketua OSIS nyuruh seluruh junior cowok yang ada di setiap kelas buat lari muterin lapangan tujuh kali?"
Ari mengerutkan hidung. "Ha? Maksudnya?"
"Iya, kan hari ini hampir sebagian besar junior cowok pagi ini terlambat masuk MOS, jadi wakil OSIS menyama-ratakan hukuman untuk semua junior cowok."
Hukuman yang sangat tidak masuk akal, omel Ari dalam hati. Tapi beruntung dia tadi dibawa Kak Tomi, jadi dia tidak perlu capek-capek lari keliling lapangan. Atau jangan-jangan Tomi memang berniat membebaskan Ari dari hukuman tadi? Ah, tidak mungkin! Palingan Tomi juga tidak tahu apapun.
"Kita ke kantin, yuk! Aku lapar," ajak Titi sambil mengusap-usap perutnya.
"Nggak ngajak Leo?" tanya Ari sambil mencari sosok Leo di dalam kelas.
"Dia sudah buru-buru keluar tadi pas bel istirahat bunyi."
Ari menaikkan alis. Ia merasa ada yang aneh dengan si Leo. "Sebentar, ku ambil dompetku dulu di tas," balas Ari.
Setibanya disana, ternyata meja kantin sudah begitu penuh. Akhirnya Ari dan Titi hanya memesan nasi pecel yang bungkusan untuk dibawa ke kelas. Ketika Ari berbalik hendak kembali ke kelas, mendadak seseorang menabrak bahunya, membuat nasi bungkus yang dipegangnya jatuh dan terinjak oleh orang lain.
"Sori, aku nggak sengaja. Sori banget," ucapnya. Ari mendongak memandang orang yang sudah menabraknya. Seorang junior tampan dengan wajah putih bersih, mata sipit dan rambut pendek. Sepertinya Ari pernah bertemu dengan cowok ini.
Tanpa disadarinya para junior cewek menatap cowok tampan itu dengan kagum. Bahkan beberapa ada yang berbisik dengan temannya sambil senyum-senyum.
Yah, sepertinya sekolah ini kedatangan idola baru, pikir Ari dalam hati. Ia merasa cowok-cowok tampan yang ada di sekolah ini kebanyakan berperangai buruk. Termasuk Kak Tomi. Mungkin ada yang lainnya yang belum Ari kenal.
Bukannya Ari memuji atau apa. Tapi kalau dipikir-pikir percuma saja kalau punya wajah setampan dewa Yunani kalau perilakunya seperti hewan.
"Tidak masalah. Aku akan beli lagi," ujar Ari. Ia tidak mempermasalahkan hal seperti ini selama orang yang bersalah meminta maaf lebih dulu. Ia berbalik sambil berdesakan ke meja ibu kantin dan memesan nasi pecel bungkus yang sama. Namun ternyata nasi pecelnya sudah habis. Adanya tinggal nasi soto sama nasi rawon.
"Nggak perlu sedih gitu, aku mau berbagi sama kamu kok. Lagian ini porsinya cukup banyak untuk di makan berdua," ujar Titi. Ari menoleh sambil tersenyum. Ia belum terlalu lama mengenal Titi, tapi cewek ini bersikap begitu hangat padanya. Beruntung sekali ia menjadi teman Titi.
"Tidak perlu, Ti. Aku nggak lapar kok sebenernya. Aku beli jajanan aja deh. Kamu bisa balik ke kelas duluan. Nanti aku nyusul."
"Beneran? Baiklah kalau gitu. Jangan lama-lama ya," kata Titi lalu meninggalkan Ari.
Ketika ia hendak beranjak dari tempatnya, Ari baru menyadari kalau cowok yang menabraknya tadi masih berdiri di depannya dan memandang Ari tanpa berkedip sama sekali dengan senyum samar. Ari memiringkan kepalanya, membuat cowok tampan itu langsung sadar.
"Maaf, maaf. Tadi benar-benar tidak sengaja," ucapnya lagi.
"Nggak usah khawatir. Aku nggak lapar kok."
"Oh iya, namaku Nicholas Jinandar. Kamu bisa panggil aku Nicholas aja," Nicholas mengulurkan tangannya.
Ari menyambut uluran tangan Nicholas. "Namaku Arinanda Djapri. Panggil aja Ari. Aku....," kalimat Ari berhenti ketika mendadak Nicholas menarik tangannya secepat kilat, membuatnya jatuh ke pelukan cowom itu.
Ari melirik ke belakang dan melihat seorang junior cewek baru saja menumpahkan minumannya secara tidak sengaja. Ia langsung beralih pada Nicholas. Wajahnya benar-benar memukau. Dan napas cowok itu terasa berhembus di wajahnya.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Nicholas. Ari langsung menarik tubuhnya sambil menggaruki ubun-ubun.
"I-Iya. Aku nggak apa-apa. Ya sudah kalau begitu. Sampai jumpa," dengan gugup, Ari mengucapkan salam. Ia mungkin tidak menyadari kalau wajahnya sekarang memerah seperti kepiting rebus. Jantungnya berdetak tidak beraturan.
Tenang, Ari, tenang. Jangan ikutkan perasaanmu untuk hal-hal sepele seperti ini, masak setiap ketemu cowok cakep mesti deg-degan sih?, batinnya dalam hati.
Ia langsung saja berlari menuju kelas dan tidak jadi membeli jajanan. Walaupun sebenarnya ia sangat lapar. Tapi kalau dia kembali ke kantin, pasti ujung-ujungnya ketemu cowok itu lagi.
Namun karena kurang fokus, Ari terpeleset saat melewati undakan, membuatnya jatuh dan tangan kanannya terkilir karena ia gunakan sebagai tumpuan.
"Aw! Sial" erangnya. Ia merasa perih di bagian siku kirinya. Dan ternyata benar, ketika ia melihat siku kirinya, ada luka gores.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya seseorang yang mendadak sudah berada di belakangnya dengan nada dan aksen yang familiar di telinganya. Ari menoleh dan menemukan sosok Tomi, yang entah sejak kapan dan datang dari dimensi mana, sudah berjongkok di sampingnya dan hendak membantu Ari untuk berdiri.
"Ada yang luka nggak?" tanya Tomi dengan air muka yang serius.
Ia melihat pergelangan tangan kanan Ari yang sedikit membengkak dan siku kirinya yang berdarah.
"Ikut aku ke UKS," ujar Tomi sambil menarik tangan kiri Ari.
"Aku nggak apa-apa kok, Kak!" protes Ari.
"Jangan bawel! Diam dan turuti perintahku!" ucapnya. Ari langsung diam dan menurut seperti anak anjing.
Kenapa musti dia lagi sih?! Jamban!, omel Ari dalam hati.
Sesampainya di UKS, Ari langsung disuruh duduk di sebuah sofa, tanpa menghiraukan beberapa anak yang lain. Yang bisa dilihat Ari hanyalah dua orang junior cewek yang sedang berbaring di atas matras. Mungkin mereka berdua barusan pingsan atau kecapekan.
Beberapa menit kemudian, Tomi sudah jongkok di depan Ari sambil menarik pergelangan tangan kanannya. Namun anehnya, Ari tidak merasakan sakit lagi.
Tomi juga terkejut melihat Ari tidak bereaksi apapun ketika ia menarik dengan kasar pergelangan tangan Ari yang terkilir. Bengkaknya juga sudah hilang.
Ari langsung melipat sikunya dan memeriksa luka di siku kirinya. Luka gores di sikunya telah tertutup dengan sendirinya.
Ari mengernyit sambil menatap Tomi. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya?
(Bersambung...)
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say