Generation (Chapter 03)
Ari langsung melipat sikunya dan memeriksa luka di siku kirinya. Luka gores di sikunya telah tertutup dengan sendirinya.
Ari mengernyit sambil menatap Tomi.
"Bagaimana mungkin?!" tanya Tomi setengah berbisik sambil mengusap luka gores di siku Ari dengan kapas polos. Dan tidak ada bekas luka sama sekali di sana selain sisa darah.
Ari juga menggerak-gerakkan pergelangan tangan kanannya layaknya seorang penari jaipong. Tidak sakit lagi. Ari bingung. Sudah dua kali ia mengalami kejadian aneh seperti ini.
Ari sebenarnya pernah satu kali mengalami hal seperti ini. Tepatnya kemarin lusa saat ia sedang membantu ibunya memotong sayur di dapur, jarinya terkena pisau. Namun ketika ia baru mengambil kotak obat dan membersihkan lukanya, ia terkejut ketika melihat luka itu sudah menutup.
"Kamu penyihir ya?" mendadak Tomi melempar pertanyaan yang tidak masuk akal.
"Mana mungkin ada penyihir di dunia ini? Jangan konyol!" balas Ari sambil menarik tangannya dari pegangan Tomi.
"Jangan buru-buru! Sini aku periksa dulu!" bentak Tomi sambil kembali menarik tangan kanan Ari dan memeriksa pergelangannya. Ari mengalah (lagi) dan akhirnya membiarkan Tomi memeriksa tangannya sesuka hati.
Dalam hatinya ia mulai bertanya-tanya, kenapa dengan dirinya. Ia merasa ada sesuatu yang mulai tidak beres yang mulai membuatnya pusing.
"Sepertinya nggak ada masalah. Tapi bagaimana bisa...?" bisik Tomi pada dirinya sendiri.
Ari, sekali lagi, menarik tangannya sambil berdiri dari sofa. "Ya sudah, Kak, kalau gitu. Makasih atas bantuanmu."
Dia langsung menyelonong pergi, meninggalkan Tomi yang masih berada di tempatnya, memandang punggung Ari yang menghilang dibalik pintu.
Sementara itu Tomi memutuskan untuk menutup mulutnya rapat-rapat mengenai masalah ini.
***
MOS hari ini berjalan dengan lancar. Menegangkan di pagi hari, tapi menyedihkan di akhir. Karena sejak kejadian di UKS tadi, Ari lebih banyak diam dan patuh dengan semua kakak seniornya. Bahkan saat ia dihukum melakukan push up karena terlambat masuk kelas setelah jam istirahat kedua, Ari hanya bisa menurut.
Di benaknya muncul puluhan pertanyaan yang membuatnya takut akan dirinya sendiri. Membuatnya merasa kalau dirinya bukan manusia normal. Ia takut jika nanti teman-temannya tahu mengenai hal itu, ia akan dikucilkan karena memiliki sesuatu yang aneh yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Ari baru saja menikmati makan siangnya di kantin sekolah, sendirian. Perutnya terasa cukup panas karena lapar. Ia sebenarnya tadi sudah mengajak Titi, tapi cewek itu katanya ingin buru-buru pulang karena pagi tadi ayah dan ibunya datang dari Kota Malang untuk menemuinya.
Setelah ia men-start motornya, Ari mengemudikannya menuju gerbang sekolah. Sekolah sudah sangat sepi sekarang, kecuali mungkin panitia MOS yang masih mondar-mandir di sekitar ruang OSIS. Ketika ia lewat, mendadak seorang junior cowok memakai tas selempang mencegatnya.
"Ari! Tunggu bentar!" serunya. Ari langsung menghentikan motornya tepat di depan cowok itu. Ia merasa tidak mengenalnya.
"Ada perlu apa, ya?" tanya Ari polos.
"Kamu udah lupa? Aku Nicholas, yang tadi di kantin."
Sel-sel di dalam otak Ari langsung bekerja pada saat itu juga. "Oh, Nicholas. Iya, aku ingat. Kenapa, Nic?"
Ari jadi teringat kejadian di kantin tadi ketika Nicholas menyelamatkannya dari ketumpahan es. Ia merasa malu lagi, tapi ia mencoba bersikap santai.
Nicholas tampak sedikit bingung dan ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu, bisa dilihat dari raut wajahnya yang senyum-senyum sendiri sambil memegangi tengkuknya. Nicholas itu memang tampan sekali. Ari yakin, siapapun nanti cewek yang bisa menjadi pacar Nicholas adalah cewek yang sangat beruntung.
"Boleh aku main ke rumahmu?"
Ari menaikkan alisnya. "Main ke rumahku?" Ari merasa aneh jika ada seseorang yang belum akrab dengannya, tiba-tiba mengatakan sebuah permintaan seperti ini.
"Iya. Itu kalau boleh."
Ari tersenyum meringis. "Bukannya aku nolak, Nic. Tapi....," mendadak perkataanya terpotong karena suara seseorang yang datang dari belakang.
"Ada apa ini?"
Ari menoleh dan menemukan Mas Agung, si ketua OSIS, dan Tomi yang kebetulan melintas. Ari mengumpat dalam hati, merasa kalau setiap saat selalu diikuti oleh Tomi yang sepertinya tidak akan pernah membiarkan Ari menikmati hidupnya dengan tenang.
Secepat mungkin, ia harus bisa kabur sebelum Tomi melakukan sesuatu yang bisa membuatnya malu. Ia melirik Nicholas sejenak.
"Nggak ada apa-apa, Kak. Ini, Nicholas mau bareng pulang. Yuk, Nic, aku bonceng," Ari berusaha mengeluarkan seluruh kemampuan aktingnya. Tomi hanya memandang keduanya tanpa ekspresi berarti.
"Nggak, biar aku saja yang bonceng kamu," balas Nicholas. Ari memelototi cowok itu, berusaha memberi kode supaya Nicholas mau menurut dan ia bisa cepat-cepat pergi dari situ. Namun sepertinya Nicholas tidak cukup peka untuk menyadarinya.
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati. Jangan kebut-kebutan," pesan Mas Agung lalu pergi. Namun Tomi masih tetap berada di situ sambil melipat kedua lengannya.
"Jangan bodoh. Kamu kira aku nggak tahu kalau kamu berpura-pura? Terlihat jelas kalo tingkah lakumu tidak natural," ucap Tomi lalu menatap Nicholas dengan tajam.
"Jangan sotoy deh, Kak!" balas Ari cepat.
"Dimana sopan santunmu pada senior?!" bentak Tomi. Ari diam, pura-pura tidak mendengar, karena kalau ia ikutan ngelunjak pasti urusannya panjang nantinya. Akhirnya ia mengalah dan memberikan helmnya pada Nicholas, membiarkan cowok itu memboncengnya.
Nicholas langsung meng-gas motor Ari, meninggalkan Tomi di gerbang sekolah. Ketika ia menoleh ke belakang, Tomi sudah menyalakan sebatang rokok dan berjalan kembali ke dalam.
Cowok itu, bagaimana bisa ia merokok di area sekolah? Benar-benar cowok gila!, gerutu Ari dalam hati. Di samping itu, ia juga khawatir karena Tomi adalah orang pertama yang mengetahui tentang keanehan dirinya. Ia takut nanti cowok itu membeberkan rahasianya pada orang lain.
"Rumahmu dimana?" tanya Nicholas, membuat Ari membuang jauh-jauh pikiran negatifnya.
"Terus aja ke timur sampai ada Jembatan Lembu Peteng. Kan di baratnya sungai itu ada jalan, itu ke selatan. Entar rumahku di barat jalan. Kalau udah sampai aku kasih tahu," Ari diam sejenak. "Ngomong-ngomong, kenapa sih kamu pengen main ke rumahku? Maksudnya bukannya aku nolak, tapi kan kita belum kenal dekat. Baru juga kenal tadi pagi."
"Entahlah. Aku pikir kamu orangnya baik. Semua cowok di kelasku tidak suka padaku. Mereka pikir aku suka cari perhatian sama cewek-cewek. Dan kamu cowok pertama yang aku ajak kenalan di sekolah hari ini."
Ari mengangguk paham. Mungkin teman-teman cowok di kelas Nicholas berlebihan. Ia pikir cowok yang sedang memboncengnya ini cowok yang tidak suka cari perhatian. Pasti cewek-ceweknya saja yang kegatelan.
"Tapi apa hubungannya denganku?" tanya Ari lagi.
"Kamu nggak sudi ya kenal sama aku?"
Ari menggeram. Ia tidak suka kalau pertanyaan yang dia lemparkan dibalas dengan pertanyaan.
"Bukannya gitu, Nic. Aku senang kok bisa jadi orang pertama yang kamu ajak kenalan. Tapi kan entar cepat atau lambat kamu bakal butuh teman-temanmu sekelas. Coba deh dekati mereka dan kenalan satu persatu. Aku nggak mau kamu terus-terusan nutup diri dari mereka."
Mereka terdiam beberapa saat.
"Kamu bijak juga ternyata. Nggak salah kalau aku deketin kamu. Sebenarnya aku nggak se-introvert itu. Aku sudah berkenalan dengan beberapa junior tadi." balas Nicholas.
"Dan aku yakin kalau aku bukan cowok pertama yang kamu ajak kenalan. Kamu pasti bohong," Ari mencubit pinggang Nicholas. Yang dicubit hanya bisa teriak minta ampun sambil tertawa.
"Jadi apa alasanmu main ke rumahku? Jangan-jangan kamu bawa bom ya?"
"Enak aja? Aku bukan teroris."
"Jadi apa alasanmu?"
"Aku pengen kita bisa deket. Soalnya aku sudah ngerasa cocok saat pertama ketemu kamu. Siapa tahu kita bisa jadi sahabat karib."
Ari kembali terdiam, tapi setengah bingung dengan kalimat yang tadi diucapkan Nicholas.
Mendekati Ari? Maksudnya dalam hal apa? Menjadi teman?
Ah sudahlah. Ari tidak mau ambil pusing. Mungkin Nicholas ini anaknya terlalu polos dan tidak tahu kalau hampir setiap kalimat yang ia ucapkan bermakna ambigu.
Mendadak, Nicholas menarik tangan kiri Ari dan diposisikan di depan perutnya. Membuat Ari langsung manarik kembali tangannya.
"Maksudmu apa, Nic?" protes Ari. Wajahnya merona malu karena ia sempat merasakan perut Nicholas yang keras dan rata.
"Aku takut kamu nanti jatuh kalau nggak pegangan."
"Aku bukan balita lagi, Nic."
"Iya, sori. Gitu aja marah."
"Aku nggak marah, kok. Cuma bete aja, hampir setiap orang yang ku kenal selalu menganggapku seperti anak kecil."
Sesampainya di rumah Ari, mereka berdua langsung masuk. Ari menyalami mamanya yang sedang menonton televisi.
"Kok baru pulang?"
"Iya, Ma. Tadi aku makan dulu di kantin," Ari mencium tangan mamanya. "Oh iya, Ma. Kenalin, ini Nicholas. Temen Ari."
Nicholas menampilkan senyum mautnya pada mama Ari. "Saya Nicholas, tante."
Entah tersihir oleh pesona Nicholas atau apa, mama Ari langsung berdiri setelah Nicholas mencium tangannya. Ia menatap Nicholas lekat-lekat sambil tersenyum.
"Temanmu sangat ganteng."
"Mama apaan sih? Sudah ah, aku ke kamar dulu ya."
Ari langsung mengajak Nicholas ke kamarnya.
Di kamar, Ari langsung menyalakan televisi dan membuka jendela kamarnya lebar-lebar.
"Papamu dimana? Kerja?" tanya Nicholas sambil dudul di pinggiran kasur dan melepas tas selempangnya.
"Papaku udah nggak ada."
"Maaf, aku gak ada maksud buat..."
"Nggak usah khawatir. Aku nggak sedih kok," jawab Ari sambil duduk di samping Nicholas.
"Enak ya kamu. Punya kamar tidur luas, kasur empuk, ada televisinya lagi dalam kamar. Di rumahku mah nggak ada."
Ari mendesah. "Jangan bohong, cowok tampan kayak kamu? Mana mungkin?"
"Aku besar di panti asuhan."
Ari tercengang. "S-sori..."
"Aku bukan cowok kaya yang seperti kamu pikirkan. Aku tidak punya orang tua. Aku pernah diadopsi oleh sepasang suami istri sembilan tahun yang lalu, tapi aku dikembalikan lagi ke panti asuhan enam bulan kemudian karena sikapku yang buruk pada orang tua angkatku. Aku gak suka sama mereka, mereka ngadopsi aku, tapi nggak nganggep aku seperti anak."
Ari terdiam mendengarnya.
(Bersambung...)
Previous Chapter | Next Chapter
mau tanya, kak kok chapter 02 nya gk ada ):
ReplyDeletetrimakasih