Generation (Chapter 13)



Semuanya sudah berkumpul di ruang tamu sekarang. Nicholas dan Tomi duduk berdampingan, sedangkan Ari berusaha untuk menenangkan diri di pelukan mamanya.

"Cup! Cup! Sudah, nggak usah nangis lagi, sayang. Ada mama di sini. Kamu ada masalah apa sih?" tanya mama Ari sambil mengelus-elus rambut Ari. "Mama nggak pernah loh liat kamu nangis kayak gini."

Tomi tampak merasa bersalah. Bagaimana tidak? Ari langsung menangis seperti anak kecil ketika ia melihat dirinya. Walaupun ia sendiri tidak tahu apa penyebab pastinya.

Dan anehnya, dari tadi mama Ari memandangi Tomi dengan sayu, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan karena waktunya tidak pas.

Aneh memang. Padahal ia dan mamanya Ari baru bertemu sekali ini.

Ari yang sudah lebih tenang pun melepas pelukannya dari mama. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, berharap perasaannya bisa menjadi lebih baik. Ia tidak ingin memendam segala hal yang selama ini disembunyikannya. Ini terlalu berat.

"Ma, aku pengen ngasih tahu sesuatu sama mama."

Mama Ari memegang kedua tangan anaknya dengan erat. "Katakan apa yang pengen kamu katakan sama mama. Kalo ada masalah jangan pendem sendiri. Kan masih ada mama."

Ari mengangguk pelan sambil menoleh pada Nicholas dan Tomi yang tampak tegang, lalu kembali ke mamanya. Yah, ini adalah saatnya Ari memberitahu tentang apa yang telah terjadi pada dirinya.

Ari mengedarkan padangannya untuk mencari sesuatu yang dapat ia gunakan. Namun yang ada di situ hanyalah asbak kaca kosong yang kelihatannya bisa membantu dia.

"Tolong mama jangan kaget," tanpa banyak bicara lagi, Ari melepas genggaman mamanya, mengambil asbak itu dengan cepat sambil memejamkan mata dan...

PRAAKK!!

"ARII!!" seru Tomi dan Nicholas bersamaan.

Ari menghantamkan asbak itu ke keningnya dengan sangat keras hingga hancur berkeping-keping, membuat kening Ari bocor dan berlumuran darah.

Namun mama Ari tidak kaget sama sekali ketika Ari melakukannya. Beliau hanya sedikit melebarkan mata lalu tersenyum kecut dengan mata berkaca-kaca.

Kening Ari mengernyit. Apakah mamanya tidak kaget dengan yang barusan dilakukannya?

Dalam sekejap, luka di dahi Ari mulai menghilang dan menguap begitu saja, menyisakan jejak lumuran darah yang mengalir hingga ke dagu Ari.

Mama Ari mengusap darah di wajah Ari dengan lembut dan senyuman pahit yang masih tersungging di bibirnya, membuat Ari bingung sendiri.

"Apa.... mama nggak kaget? Mama nggak takut sama keadaan Ari yang... seperti ini?" tanya Ari.

Mama Ari mengulum senyum lagi sambil mengusap-usap pipi Ari. "Kenapa mama harus kaget? Mama udah tau segalanya tentang kamu."

Ari menundukkan kepala. Ternyata mama sudah mengetahui tentang keanehan pada dirinya. Tentu saja. Beliaulah yang membesarkan Ari hingga sekarang.

"Mama yang ngasuh kamu dari kecil. Mau bagaimanapun, kamu tetep anak mama tersayang."

Mama Ari mulai terisak, membuat Ari ikutan menitikkan air mata. Ia tidak tega melihat mamanya menangis seperti ini.

Ari menghambur memeluk mamanya erat. Semua yang selama ini membeku di dadanya seakan mulai mencair.

Ia tahu ini terlalu kekanak-kanakan, tapi Ari sudah tidak peduli lagi. Persetan dengan pendapat orang lain!

Ia hanya ingin hidup lebih lama dengan mamanya!

Ari sangat menyayangi mamanya lebih dari apapun!

Ari nelangsa sekarang. Benar-benar kacau! Bahkan tangisannya meledak tanpa bisa dibendung.

Ia tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian di dunia yang kejam ini! Kalau pun ia memang harus mati, ia ingin membuat mamanya bahagia dulu. Itulah impian terbesar Ari.

"Maa! Ari sayang mama!" jerit Ari di sela-sela tangisannya.

"Mama juga sayang kamu, sayang," balas mamanya lirih sambil mengecup kening anak laki-laki satu-satunya, yang menjadi harta paling berharga di hidupnya.

"Sepertinya sekarang udah saatnya mama kasih tahu sama kamu soal papa kamu," ujar mama Ari yang langsung membuat punggung Ari menegak seketika.

Soal papanya?

Mama Ari menghela napas panjang sambil menghapus jejak air mata di pipinya. "Kamu, punya bakat yang menurun dari papamu."

"Jadi papa... juga seperti Ari?" pekik Ari. Kesedihannya seketika dikalahkan oleh rasa penasaran yang berlipat-lipat. Apalagi Nicholas dan Tomi yang dari tadi masih tutup mulut dan tidak berani mengganggu momen ibu dan anak yang ada di depan mereka.

"Mama pikir begitu. Tapi kekuatan papamu jauh melebihi kekuatan yang kamu miliki sekarang."

Ari mengangguk. Mungkin papa mengembangkan kekuatannya dengan maksimal, mengingat kemampuan regenerasi itu tidak memiliki batas.

"Dan papamu meninggal bukan karena serangan jantung. Tapi dia...," ucapan mamanya terhenti, disusul isakan kecil yang membuat Ari semakin penasaran dengan mendiang papanya. Karena selama ini yang ia tahu, papanya meninggal karena serangan jantung saat Ari baru mulai SMP, tepatnya sebelum ia pindah rumah. Walaupun ia sendiri tidak tahu bagaimana kronologinya karena saat itu terjadi, ia sedang berada di sekolah.

"Papa kenapa, Ma?"

Mama Ari mencoba untuk bersikap tenang dan mengatur napasnya. "Papamu... dia menjadi incaran orang-orang jahat buat diambil kekuatannya."

Jantung Ari serasa berhenti saat itu juga. Mendiang papanya menjadi incaran orang-orang jahat? Atau jangan-jangan mereka itu sama dengan para penjahat yang sekarang juga mengincar Ari?

Tomi tampak memperhatikan penjelasan Mama Ari dengan serius, sementara Nicholas memandang ibu dan anak itu dengan tatapan sedih.

"Kenapa mereka ngincer papa?"

Mama Ari terlihat ragu sambil membasahi bibirnya. "Mereka ngincar kekuatan papa buat jadi abadi pada titik usia tertentu."

Ari kini tercenung, tidak mengerti sama sekali dengan apa yang barusan dikatakan mamanya barusan. "Maksud mama?"

"Regenerasi bisa bikin abadi pemiliknya. Tolong jangan kaget," jeda sebentar, "Papa kamu sebenernya udah berumur seratus tiga puluh tahun jika dia masih hidup sampek saat ini. Sebelum ketemu mama, dia udah pernah nikah sekali. Tapi istrinya meninggal karena leukimia. Setelah berpuluh-puluh tahun berkelana dan bergonta-ganti identitas, akhirnya mama ketemu dengan mendiang papa kamu, lalu menikah."

Pernyataan mamanya membuat Ari syok. Jadi papanya selama ini sudah hidup sangat lama. Dan ia baru tahu hal ini sekarang.

"Lalu apa yang terjadi sama papa, Ma?"

"Papamu udah nggak bisa lari lagi. Tapi dia nggak pengen mati sia-sia dibunuh para penjahat. Akhirnya dia ngorbanin nyawanya cuma buat... cuma buat...," mama Ari terisak lagi. Ari mengusap-usap punggung tangan mamanya.

Pasti sangat sulit dan sakit rasanya untuk membuka luka lama. Tapi ini kesempatannya untuk mengetahui segalanya.

"Papamu milih buat nggunain kemampuannya untuk... ngehidupin Panda."

"Panda? Maksud mama boneka beruangku dulu? Papa bisa bikin boneka jadi... hidup? Buat apa papa ngelakuin itu?"

Ari tidak habis pikir kalau kemampuan regenerasi bisa sampai seperti itu.

Mama Ari mengangguk sambil menyeka air matanya. "Dia pengen Panda-mu nanti bisa jadi pelindung bagimu. Karena papa tahu kalo kamu ngewarisin bakat dari papa kamu. Tapi konsekuensi yang harus diterima papamu ialah kehilangan nyawanya."

Ari tersentak. Jadi... Panda-nya sekarang sudah menjadi manusia?

"Waktu Panda menjelma jadi bayi kecil, papamu menghembuskan napas terakhirnya. Itu pilihan yang sulit buat papa kamu. Tapi kamu harus ngerti, sayang. Papa kamu pengen kamu selalu aman dari penjahat-penjahat itu."

Ari menangis lagi. Dadanya terasa sesak dan sulit untuk ditahan. Sampai ia harus menggigit bibir bawahnya.

Papa....

"Sebelum papa kamu meninggal, dia minta mama buat ngasih bayi Panda ke temannya yang bisa kembali ke masa lalu. Supaya bayi Panda bisa tumbuh sebesar kamu dan bisa ngelindungin kamu. Tapi waktu dia kembali, ia diserang sama salah satu penjahat. Dia sempet koma lama sekali, satu tahun lebih sampai akhirnya dia meninggal tanpa sempet ngasih tahu pada mama, dimana dia menitipkan bayi Panda." Mama Ari mengatur napas.

"Kenapa papa nggak lari ke masa lalu aja, Ma, kalo emang keadaannya udah kayak gitu? Atau kita sekeluarga kan bisa lari ke masa lalu?" protes Ari.

"Waktu itu mama juga berpikir begitu, tapi terlambat. Papa kamu udah nggak ada. Jadi mama cuma bisa nganterin bayi Panda ke rumah temen papamu buat di kirim ke masa lalu."

Mama Ari berusaha untuk tetap tegar walaupun ia harus menahan perih di hatinya saat bercerita tentang papa Ari. Ia mengelap pipinya yang basah dengan tangan lalu menoleh pada Tomi.

"Tapi sekarang mama tahu dimana bayi Panda sekarang. Dia... adalah temanmu ini," ujar Mama Ari sambil menunjuk Tomi.

Ari dan Nicholas sontak terbelalak, menoleh pada cowok itu bersamaan. "To..mi..?"

Tomi terkesiap. "Sa-saya?"

"Betul. Kamu adalah wujud manusia dari boneka Panda milik Ari," balas mama Ari yakin. "Di tengkukmu ada sesuatu semacam tanda lahir berwarna merah bulat dengan tiga titik hitam di tengahnya, tante sempat melihatnya tadi. Papa Ari membuat itu supaya kamu bisa tumbuh layaknya manusia. Tapi kalau itu dilepas, maka kamu akan jadi abadi. Dan yang bisa ngelepas itu cuma orang yang punya kemampuan regenerasi."

Tomi menyentuh tengkuknya. Memang benar ia memiliki tanda lahir seperti itu. Bagaimana mama Ari bisa berpikir seperti itu? Apa jangan-jangan ia memang jelmaan dari sebuah boneka? Tapi itu tidak mungkin! Ia adalah anak kandung dari papanya sendiri.

"Saya memang punya tanda lahir di tengkuk saya, Tante. Tapi saya yakin kalo saya bukan jelmaan boneka. Saya anak kandung dari papa saya."

Ari juga berpikir sama seperti Tomi. Tidak mungkin dia adalah Panda.

"Siapa nama mama kamu?" tanya mama Ari.

"Julia Poernomo. Tapi mama saya udah meninggal," jawab Tomi.

"Dan nama papa kamu adalah Jonathan Poernomo, kan," tukas Mama Ari sambil menunduk.

Tomi menahan napas saat wanita itu menyebutkan nama papanya. Ada apa ini? Apa benar ia jelmaan sebuah boneka?

Mendadak ia merasa dunia ini tengah mempermainkan dirinya.

"Mama kamu adalah orang yang paling baik yang pernah tante kenal. Dialah yang udah ngirim kamu ke masa lalu saat kamu bayi. Tapi setelah mama kamu meninggal, papa kamu marah besar sama tante dan ngejauhin keluarga tante."

Tomi tertawa sumbang. "Nggak mungkin, Tante. Saya anak kandung dari papa dan mama saya. Nggak mungkin saya boneka," elak Tomi.

"Papa kamu itu juga punya kemampuan. Dia bisa ngehapus ingatan orang lain dan diganti dengan ingatan buatan. Kamu boleh kok nggak percaya sama tante. Tapi tante berkata jujur, sejujur-jujurnya. Sebenarnya kekuatan regenerasi Ari bikin bantu kamu buat memperbaiki ingatanmu yang rusak."

Ari mengerutkan kening. "A-apa? Aku? Memperbaiki ingatan?"

"Walaupun itu cukup sulit, tapi mama yakin kamu bisa melakukannya."

"Aku... a-aku...," Tomi ingin menolak. Ia yakin kalau ia adalah anak kandung dari kedua orang tuanya. Tapi kenapa perkataan mama Ari terdengar lebih masuk akal?

Dan lagi, ia ingin membuktikan apakah mama Ari ini berkata bohong atau tidak.

Tomi menghela napas dengan jantung berdebar-debar. "Oke kalo gitu. Mari kita coba. Tapi semoga aja itu semua nggak bener."

Ari menoleh ke arah mamanya. "Gimana caranya, Ma? Aku nggak tahu."

"Pegang kepala Tomi dengan kedua tanganmu lalu konsentrasilah. Anggap di kedua tanganmu ada dua buah magnet yang saling bertolak. Lalu bayangkan magnet itu saling menarik dan menyatu secara perlahan. Dan ingatlah satu hal, kalau regenerasi itu tidak terbatas," jelas mamanya.

Ari mulai gemetaran. Ia merasa kalau ia tidak mungkin bisa melakukan hal seperti itu. Maksudnya memperbaiki ingatan.

Tomi mendehem sambil mencondongkan badanya pada Ari. Ia tidak mengerti kenapa ia harus menuruti perkataan mama Ari. Yang jelas ia hanya ingin mengetahui kebenaran yang sebenarnya.

Ari memejamkan mata sambil mendesah lalu membukanya lagi. Dengan sedikit canggung, ia memposisikan kedua tangannya di kedua sisi kepala Tomi lalu mulai berkonsentrasi dan mengikuti arahan dari mamanya dengan mata terpejam lagi.

Konsentrasi hingga titik fokus meruncing dan tajam seperti jarum benang. Dan setelah ia mendapatkan moment yang pas, Ari mem-visualisasi-kan dua buah magnet ada di kedua tangannya.

Dan ajaib, rasanya di kedua tangannya memang ada magnet yang saling tolak-menolak. Dan tujuan Ari adalah membuat kedua magnet tersebut menjadi tarik menarik secara perlahan.

"Tetaplah fokus, sayang, tapi jangan paksakan dirimu," pinta mamanya yang agak cemas melihat buliran keringat mulai muncul di kening Ari.

Ari merasa kalau gaya tolak di kedua tangannya terlampau kuat, tapi ia harus bisa membuatnya saling tarik-menarik.

Dengan sekuat energi mental yang ia miliki, Ari membayangkan kalau kedua magnet tersebut saling tarik-menarik.

Tapi sial! Gaya tolaknya terlalu besar! Dan mendadak, suara di sekitarnya menghilang karena tingkat konsentrasi yang di capai Ari terlalu tinggi. Namun ia berharap dengan begini ia bisa mengembalikan ingatan Tomi.

Sementara itu mama Ari merasa semakin was-was karena keringat mulai membanjiri wajah dan tubuh Ari.

"Tolong jangan paksakan dirimu, sayang," pinta mama Ari lagi. Namun Ari masih bergeming dan melanjutkan.

Mama Ari beranjak menuju meja terdekat untuk mengambil tas kerjanya dan mencari sapu tangan untuk mengelap keringat Ari yang sudah bercucuran kemana-mana.

Hingga sesaat kemudian, Tomi merasa kalau kepalanya menjadi ringan berpuluh-puluh kali lipat. Ia menengadah dan menatap wajah Ari.

Tomi tersentak. "Tante, Ari mimisan!"

Mama Ari yang sedang berdiri agak jauh langsung berlari ke arah anaknya sambil memegang sebuah sapu tangan.

"Ari sayang, sudah cukup. Hentikan. Jangan dilanjutin lagi!" pekik mamanya, tapi hasilnya nihil. Ari masih tetap melanjutkannya seolah-olah ia tidak mendengar pekikan mamanya. Tomi pun juga berusaha untuk melepas kedua tangan Ari dari kepalanya.

Astaga! Tangan Ari terasa sangat kuat mengurung kepalanya, sekuat besi. Bahkan baru kali ini Tomi merasakan kekuatan Ari yang seperti ini.

"Ari, sadarlah, sayang!" Mama Ari berusaha kuat untuk menyadarkan, tapi tubuh Ari seperti manekin, sangat keras.

"Ari cukup!" seru Tomi.

Hingga kemudian, kedua telapak tangan Ari mulai memancarkan cahaya kehijauan, tepat pada saat darah mulai keluar dari kedua telinga Ari.

"YA TUHAN! ARII! HENTIKAAAAN!" jerit mama Ari

"AAARRRGGGHHH!!" teriak Tomi sambil memejamkan mata erat-erat. Ia merasa kepalanya sakit, seperti ada sesuatu yang besar, yang memaksa masuk ke dalam otaknya.

Lalu mendadak sebuah tangan memegang kepala Ari dari belakang, membuat anak itu terkulai lemas tak sadarkan diri di pangkuan mamanya. Sedangkan Tomi terjerembab di atas lantai dengan napas menderu, tapi tubuhnya tidaj bergerak sama sekali.

"Ku harap kalian semua nggak apa-apa!" seru seseorang yang berdiri di belakang mama Ari. Beliau pun langsung menoleh dan menemukan dua orang pria berjaket kulit hitam dengan kumis tipis.

Yang satu mirip dengan Ari, memakai kacamata lensa bening. Tangan kanannya masih berada di depan, sepertinya dialah yang baru saja menghentikan Ari.

Dan yang satu lagi berwajah seperti orang India dengan kedua tangan merentang ke samping.

"Syukurlah! Kayaknya kita masih belum terlambat!" ucap pria yang mirip Ari sambil menunjuk ke satu arah.

Mama Ari yang masih syok dengan ketidak-sadaran Ari langsung menoleh ke arah yang ditunjuk dan menemukan sosok Nicholas yang tengah membeku seperti patung dengan tangan kanan yang membawa pistol dan di arahkan pada Tomi tapi masih belum menarik pelatuknya.

Oh Tuhan! Apa yang sedang Nicholas lakukan?! Ketakutan yang luar biasa mulai menjalar di tubuh mama Ari. Ia kembali memandang dua pria yang muncul secara tiba-tiba tadi.

"Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi?! Siapa kalian berdua dan mau apa kalian?" pekik mamanya Ari sambil memeluk anaknya erat-erat.

.

(Bersambung....)
.
.

Previous Chapter| Next Chapter 

Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)