Generation (Chapter 12)
"Akhirnya setelah lima tahun berlalu, aku bisa ketemu kamu lagi," ucap pria yang mirip Tomi itu dengan suara lirih dan serak seperti menahan tangis. Membuat rasa takut Ari perlahan memudar sedikit demi sedikit.
Mata pria yang menyentuhnya itu memancarkan kesedihan yang mendalam dan sulit diartikan.
Tenggorokan Ari seperti terkunci. Ia sudah membuka mulutnya, tapi tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya.
"Aku pengen kamu tahu kalo aku mencintaimu," ujar pria yg mirip Tomi itu yang sekarang mengelus-elus pipi kiri Ari dengan telapak tangannya yang terasa sedikit kasar.
Dengan cepat ia langsung mencium Ari tepat di bibir. Mata Ari terpejam erat merasakan bibir pria yang mirip Tomi itu.
Astaga! Ada apa ini?
Bibir Tomi terasa nikmat, walaupun ada aroma rokok yang pekat disana.
Sontak, Ari mendorong tubuh pria itu kasar lalu mengusap bibirnya dengen punggung tangannya. "Siapa kamu?!"
"Aku Tomi, Ri! Tomi!" pria yang barusan mencium Ari mengaku dirinya Tomi. Tapi Ari bukan orang bodoh. Ia tidak akan percaya begitu saja. Apalagi seorang Tomi berani menciumnya? Mana mungkin? Apa yang sebenarnya ada di dalam otak pria ini?
"Percuma, Tom. Dia nggak bakalan percaya. Liat aja penampilanmu, kamu udah tua," balas pria yang mirip Mas Agung sambil berkacak pinggang.
"Tapi, Mas...,"
"Mending kamu jelasin dulu sama dia siapa kamu yang sebenarnya, Tom."
Pria yang duduk di depan Ari tampak menghela napas panjang sambil membelai lembut pipi anak itu. "Aku Tomi, Ri. Dan ini Mas Agung. Kami datang dari masa depan, lima tahun yang akan datang."
Otak Ari berjalan agak lambat sekarang. Ia masih belum paham dengan ucapan pria yang terus mengakui dirinya sebagai Tomi itu. Dan sialnya debaran jantungnya masih belum kembali normal akibat ciuman tadi.
"Lalu apa buktinya kalo kalian berdua bener-bener Tomi dan Mas Agung?" tanya Ari sambil meraba-raba bibirnya.
Kedua pria itu tampak saling berpandangan selama beberapa detik lamanya lalu kembali menoleh pada Ari.
"Namamu Arinanda Djapri, mampu melakukan regenerasi. Kita pertama ketemu waktu MOS di SMA. Aku pernah nyilet pipi kamu di ruang OSIS. Aku ngasih tahu kamu soal kemampuan transformasi-ku dengan nunjukkin jari-jari tanganku yang ada banyak, aku yang ngajak kamu masuk ke grup rahasianya Mas Agung. Aku pernah ngajak kamu bolos sekolah cuma buat nemenin aku ke makam mama aku. Dan itu semua masih tergambar jelas di pikiranku walaupun udah lima tahun berlalu. Apa itu udah cukup buat bikin kamu percaya?" Tomi menjelaskan panjang lebar.
Napas Ari tercekat. Mereka berdua memang Tomi dan Mas Agung dari masa depan. Tomi menatap Ari dengan begitu dalam.
"Jangan tinggalin aku lagi, Ri," ucap Tomi lirih dengan suara yang memilukan, membuat hati Ari terasa seperti tersayat-sayat.
Ari mencoba tersenyum. "Aku nggak akan ninggalin kamu kok. Akan masih tetap disini."
Tiba-tiba, Tomi menarik kepala Ari, disandarkan di dadanya lalu memeluk tubuh Ari erat seperti tidak ingin jauh-jauh dari Ari.
Jantung Ari hampir melompat keluar ketika Tomi melakukan hal itu. Bisa dia dengar detak jantung Tomi yang berdegup kencang lewat telinga kirinya yang menempel di dada Tomi.
Ini benar-benar terasa aneh jika Tomi yang ada di masa sekarang melakukan hal ini. Tapi Ari langsung menyadarkan diri bahwa itu Tomi dari masa depan, bukan dari masa sekarang. Jadi ia tidak boleh terlalu terbawa perasaan.
Tomi dari masa depan tampak begitu terobsesi padanya. Ia juga bilang tadi kalau ia mencintai Ari. Ari tidak tahu kenapa bisa begitu.
Tak lama, terdengar suara isakan dari orang yang sekarang sedang memeluk Ari. Tomi menangis dalam diam, membuat hati Ari mencelos kasihan. Pasti dia terlalu takut kehilangan Ari lagi.
Walaupun agak ragu, akhirnya Ari balik merangkul pinggang Tomi dan menepuk-nepuk punggung pria itu.
"Udah, jangan nangis lagi. Aku masih disini kok. Nggak bakal kemana-mana," tutur Ari berusaha menenangkan, walaupun sebenarnya ia tidak tahu pasti kenapa Tomi menangis. Tapi ia tidak ingin melihat Tomi yang ini menangis, karena entah kenapa hatinya juga ikut sakit.
Sedangkan Mas Agung cuma bisa tersenyum geli melihatnya.
Setelah Tomi sedikit tenang, Ari hendak melepas pelukan pria itu, tapi tangan Tomi dari masa depan ini tidak mau melepas pelukannya, malah makin mengeratkan lengan kanannya yang melingkar di tubuh Ari, dan tangan kiri yang mengusap-usap kepalanya dengan manja.
"Nggak usah ngelawan dan nggak usah banyak gerak! Diem aja!" titahnya yang membuat Ari semakin yakin kalau pria ini memang Tomi.
Walaupun agak menyebalkan, tapi Ari merasakan kedamaian dan kenyamanan yang belipat-lipat dipelukan Tomi. Bau tubuh Tomi yang maskulin menyeruak di hidungnya.
Apakah benar yang diucapkan Hana? Sepertinya memang benar kalau ia sebenarnya menaruh rasa pada Tomi. Maksudnya Tomi yang ada di masa sekarang.
Oke, sekarang saatnya Ari fokus untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa kalian berdua ke sini?" tanya Ari memandang Mas Agung. Bukannya ia tidak ingin memandang Tomi, tapi susah memandang wajah Tomi yang ada di atas ubun-ubunnya.
Mendengar pertanyaan Ari itu membuat Mas Agung menghapus senyum yang tadi sempat tersungging di bibirnya, berubah menjadi sebuah ekspresi yang sulit ditebak.
"Ceritanya rumit banget. Muncul masalah-masalah yang berawal saat kita semua pertama kali teleportasi ke bagian luar stadion Old Trafford. Intinya, orang-orang yang berusaha buat bunuh kita saat disana itu bukan orang sembarangan. Mereka itu kelompok yang lagi nyari orang yang punya kemampuan regenerasi supaya bisa hidup kekal," jelas Mas Agung yang membuat Ari puyeng.
Tapi Mas Agung kembali melanjutkan. "Waktu itu aku sempet ngambil dompet mereka, tapi ternyata nggak ada kartu identitas sama sekali buat ngebantu kita nyari tahu siapa mereka sebenernya."
Ari masih bingung.
"Maksudnya gimana sih, Mas? Aku nggak ngerti," Ari hendak melepas pelukan Tomi, tapi dia hasilnya tetap nihil. Tomi malah mengomel dan marah-marah tidak jelas. Terpaksa Ari harus berdiam terus di dekapan pria itu.
"Kamu mikirnya lemot banget. Udahlah, Mas. Nggak usah dijelasin lagi. Nanti Ari juga paham sendiri kok," ujar Tomi sambil merapatkan pelukannya pada Ari.
"Aku nggak lemot kali," gerutu Ari sambil mendengus. "Lalu mau apa kalian ke sini?"
"Kami mau ngingetin kamu, sekaligus bantu kamu supaya nggak dibunuh sama orang-orang itu," jawab Mas Agung.
Napas Ari tertahan mendengarnya. "Jadi maksudnya di masa depan nanti aku mati gitu? Konyol banget!" tukas Ari sambil tertawa hambar.
"Hm? Jadi menurutmu kamu mati terus ngeliat aku hampir gila kayak gini keliatan konyol?" tambah Tom, membuat Ari mendengus menahan malu. Tapi di sisi lain dia juga merasa sedikit khawatir.
Rasanya aneh sekali kalau ada orang yang memberi tahu dia akan mati dalam waktu dekat. Ari tidak takut soal mati atau apapun itu karena menurutnya yang namanya mati itu sesuatu yang alami.
Tapi kalau dibunuh? Kenapa semuanya jadi rumit begini sih?
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ada cara yang lebih mudah untuk untuk mereka. "Lalu kenapa kalian berdua nggak balik masa yang tadi sebelum Om Raju ngajakin kita ke Inggris? Kan otomatis kita nggak bakal ketemu sama mereka. Atau kalo enggak kalian berdua balik ke masa pas kita semua di Inggris. Kalian bunuh aja mereka semua."
Lidah Ari agak kelu saat mengucapkan kata 'bunuh'. Kedengarannya kejam sekali dan tidak manusiawi, tapi yah, mungkin itu pemikiran Ari yang paling rasional saat ini.
Tapi lagi-lagi Mas Agung memasang tampang menyebalkan, yang artinya ada hal lain yang membuat pendapat Ari barusan terpatahkan begitu saja.
"Mereka udah ngicer kamu sejak kamu masuk SMA. Entah gimana caranya, mereka bisa tahu kalo kamu punya kemampuan regenerasi. Lagian kemampuanku juga terbatas Ri. Masa sekarang adalah waktu maksimal yang bisa aku capai. Mungkin aku bisa mutar kembali waktu ke beberapa menit yang lalu, tapi untuk kejadian pas kita ke Inggris, aku nggak bisa, Ri. Kemampuanku masih belum cukup tinggi," jawab Mas Agung sedih.
Ari masih belum menyerah dengan pendapatnya. "Kenapa bisa kayak gitu? Kan udah lima tahun berlalu, pastinya Mas Agung sekarang udah cukup mahir makek kemampuan chronokinesis."
Mas Agung menghembuskan napas berat sambil mengurut kening. "Sehabis kejadian dari Inggris waktu itu, aku koma selama empat tahun, Ri. Setelah bangun lagi, kemampuanku menurun drastis. Sampek-sampek aku latihan terus selama setahun penuh. Dan sekarang aku nggak pengen maksain diri lagi buat nggunain kemampuanku ngelebihin batas. Aku takut ntar aku koma lagi."
Napas Ari tercekat. Jadi selama empat tahun ke depan, Mas Agung bakal koma?
Koma?
Ini benar-benar sudah kelewatan. Ari harus bisa membalas kelakuan tiga orang jahat itu. Tapi ia tidak tahu siapa mereka.
"Lagian kita sebenernya nggak boleh ngerubah masa lalu secara sembarangan. Tapi di sisi lain aku sama Tomi nggak bakal rela ngebiarin kamu mati dibunuh sama mereka gitu aja," tambah Mas Agung yang sekarang sudah mulai berkeringat di seluruh keningnya.
Melihat itu, Tomi melepas pelukannya pada Ari dan beranjak menghampiri Mas Agung. "Apa udah sampai batas, Mas?"
Mas Agung menggeleng. "Masih belum. Tapi sebaiknya kita kembali lagi ke masa kita."
Tomi mengangguk paham. Sedangkan Ari hanya bengong sambil menatap kedua pria itu secara bergantian.
Mas Agung langsung memejamkan matanya erat-erat. Dengan cepat, tiba-tiba tubuh Hana kembali duduk di tepi tempat tidur dengan mulut mengangga sedikit seperti ingin mengatakan sesuatu. Lalu waktu berhenti kembali pada saat itu juga.
Ari tahu, Mas Agung pasti mengembalikan waktu ke beberapa menit yang lalu sebelum ia dan Tomi datang.
"Ari, jaga dirimu baik-baik. Tujuan kami ke sini cuma mau ngingetin kamu biar kamu lebih hati-hati lagi. Nanti kami bakal ke sini lagi kalo kemampuanku udah agak pulih. Dan satu lagi, kelemahanmu bukan terletak pada lambungmu, Ri. Tapi di tengkukmu," ujar Mas Agung.
Ari mengangguk dengan kaku. Ia meraba-raba tengkuknya. Jika titik kelemahannya terluka, maka ia tidak mungkin bisa ber-regenerasi.
Sedangkan ketika tadi lambungnya tertusuk pisau, ia masih bisa ber-regenerasi. Mungkin tadi ia pingsan karena terkejut akan rasa sakit yang ia rasakan.
Tomi berjalan mendekati Ari dan mengusap-usap rambut anak itu. "Kamu jaga diri baik-baik ya. Dan aku mohon, jangan mati. Tetep hidup demi aku."
Wajah Ari memanas. Hingga perasaan yang aneh mendadak muncul dari dalam hatinya. Perasaan yang mungkin ia miliki untuk Tomi.
Ya, Ari mengakui hal itu sekarang. Ia tidak bisa menghindar lagi dari perasaannya.
Tomi tersenyum sedih, seperti tidak rela berpisah dengan Ari lagi, namun harus ia lakukan demi kepulihan Mas Agung. Dengan cepat, Tomi mengecup kening Ari lalu menghilang bersama Mas Agung.
Pada saat itu pula waktu kembali berjalan lagi, tepatnya beberapa menit yang lalu saat Hana menceritakan masa lalunya yang kelam pada Ari.
Namun curhatan Hana tidak terlalu ia perhatikan, karena ia sudah mendengarnya. Yang ada di pikirannya adalah berhati-hati dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi di masa depan.
Kemungkinan buruk dimana dia akan mati dalam waktu dekat.
* * *
Pagi ini adalah pagi yang sangat menyebalkan bagi Ari. Ia hampir tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan kejadian kemarin.
Lagipula siapa orang yang bisa bersikap tenang-tenang saja ketika ia tahu kalau dia akan mati dalam beberapa hari ke depan?
Pikiran Ari sampai terbang kemana-mana karena hal itu, memikirkan segala kemungkinan dimana ia akan meninggalkan mamanya, teman-teman, dan orang-orang di sekitarnya.
Tapi untuk sekarang, lebih baik Ari berusaha untuk mengesampingkan masalah itu untuk sementara, walaupun rasanya sulit sekali. Ia harus bisa bersikap wajar dengan orang-orang di sekitarnya dan menahan rasa frustasi yang menyerangnya.
Setelah Ari berpakaian rapi dengan seragam sekolahnya, ia langsung turun dari kamar menuju ruang makan dengan kepala tertunduk lesu.
"Pagi, Ari," sapa seseorang dari arah meja makan. Itu bukan suara mamanya.
Ketika Ari mendongak, ia melihat Nicholas yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan dengan senyum lebar.
Ari menghentikan langkahnya. Ia baru ingat lagi dengan cowok itu, dengan perasaannya yang masih digantungkan oleh Ari, membuat Ari gundah seketika.
"Sini, sayang, sarapan dulu. Nicholas barusan datang buat ngajak kamu berangkat sekolah bareng. Hari ini dia bawa motor loh," ucap mama Ari yang sedang menyiapkan roti panggang dan beberapa botol selai.
Ari tidak menggubris perihal Nicholas yang bawa motor sendiri.
Ari malah melihat mamanya yang tersenyum lebar padanya. Sungguh, tidak ada yang lain yang ia inginkan saat ini selain melihat senyum yang mengembang di wajah mamanya.
Yah, Ari sangat menyayangi mamanya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan senyum mamanya itu jika mungkin ia benar-benar mati nanti. Tapi yang jelas untuk sekarang, ia hanya ingin membahagiakan orang tua satu-satunya yang ia miliki.
Sedih memang. Ia bahkan tidak akan sanggup melihat mamanya bersedih, karena seumur-umur, Ari tidak pernah melihat mamanya bersedih kecuali saat papanya meninggal. Sudah, cuma sekali itu saja.
Ari sendiri sampai tidak bisa menahan air matanya sekarang.
"Kok malah nangis gitu sih, sayang?" mamanya mengibas-ngibaskan kedua tangannya pada kain lap sambil berjalan menghampiri Ari.
"Kamu kenapa?" tanyanya sambil memegang kedua pundak anaknya itu. Tanpa ia tahu, Nicholas sudab berdiri di belakang mamanya Ari dengan raut wajah cemas.
Ari cepat-cepat menghapus sisa air mata di pipinya lalu tertawa renyah. "Nggak apa-apa, Mah. Mama keliatan cantik banget kalo lagi nyiapin sarapan. Padahal hampir tiap hari mama ngelakuinnya, tapi Ari baru nyadar."
Mama Ari tersenyum. "Kamu ini. Kirain ada apa. Ya udah duduk sana. Mama bikinin susu dulu."
Ketika Ari hendak berjalan mendekati meja makan, terdengar bel pintu berbunyi.
"Biar aku yang bukain pintu. Nicholas sama Mama tunggu disini aja."
Ari berlari kecil ke pintu depan sambil mengatur deru napasnya yang masih sesak karena memikirkan mamanya.
Rasanya tidak akan mudah untuk menutupi kesedihan yang ia rasakan.
Ketika ia membuka pintu depan, perasaan Ari kembali kacau. Segenap hatinya luluh lantak dan semakin nelangsa. Orang yang sekarang berdiri di depannya ini membuatnya kembali teringat akan kemungkinan kematian yang akan ia alami.
Tomi menatapnya dengan acuh seperti biasa. "Kamu udah siap belum? Berangkat sekolah bareng aku aja naik mobil. Pulangnya ntar kita jenguk Mas Agung," pintanya.
Kedua kaki Ari melemas, membuatnya jatuh berlutut di depan Tomi. Tanpa bisa ditahan lagi, Ari menangis sejadi-jadinya sambil menutup muka.
──
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say