Generation (Chapter 11)



"YA TUHAN!! ARI!!" pekik Nicholas dan Tomi bersamaan sambil menghampiri tubuh Ari yang tengkurap lemas dengan sebuah pisau belati yang menancap di punggungnya, tepat di posisi lambung dengan jejak darah yang keluar dari letak pisau itu tertanam.

Tubuh Tomi bergetar hebat melihat Ari dengan keadaan seperti itu.

"Cepet cabut pisaunya!" seru Om Raju tepat ketika Tomi tengah berusaha menarik pisau belati dari punggung Ari.

Begitu pisau tercabut, terdengar suara Ari yang menarik napas dengan kasar. Perlahan, luka tusuk itu menguap perlahan dan menghilang, menyisakan bercak-bercak darah yang sangat banyak di kemeja seragamnya.

Namun tubuh Ari tak kunjung bergerak. Tomi tampak begitu khawatir. Ia langsung membalik tubuh Ari dan menaruh kepalanya di atas pangkuan. Nicholas menatap Tomi tajam. Ia tidak suka melihat cowok liar itu memperlakukan Ari. Tapi ia tidak bisa berbuat banyak saat ini dan memilih untuk mengesampingkan egonya.

"Lukanya udah nutup, tapi dia nggak sadar-sadar juga, Om!" Tomi kebingungan.

Sementara itu Mas Agung juga masih belum sadarkan diri. Om Raju tidak punya banyak waktu. Ari dan Mas Agung harus dibawa ke rumah sakit sekarang juga.

Dengan gerakan cepat, Om Raju menggendong tubuh Mas Agung di depan dadanya. "Tomi, cepat gendong Ari. Kita ke rumah sakit sekarang!"

Tomi mengangguk cepat. Ia menatap wajah Ari lekat-lekat sambil menggendongnya di depan dada. "Bertahanlah, ku mohon..."

* * *


"Ungh....," desah Ari begitu ia berhasil membuka mata sedikit demi sedikit. Ia langsung sadar dengan rasa sakit yang menimpa perutnya, rasanya seperti barusan terkena beberapa tinjuan tepat di lambungnya.

Setelah rasa nyerinya agak sedikit mendingan, ia memandang ke seisi ruangan yang agak gelap. Ia berada di sebuah kamar. Tapi bukan rumah sakit.

"Dimana aku?"

"Nggak usah banyak gerak. Kamu ada di rumahku sekarang."

Ari menoleh ke asal suara dan menemukan sosok Tomi dengan kaos hitam dan celana jeans selutut, yang baru saja menyalakan lampu kamar lalu berjalan ke arahnya dan duduk di pinggiran tempat tidur.

Kamar Tomi terlihat berantakan dengan beberapa poster besar band rock yang entah apa namanya. Semuanya serba hitam, walaupun dindingnya sebenarnya di cat putih, tapi tempelan-tempelan dan pernak-pernik di dinding yang mayoritas berwarna hitam membuat Ari merasa.... yah, memang seperti inilah bayangannya tentang kamar Tomi. Tapi ia segera ingat dengan kejadian yang barusan menimpanya.

"Dimana Om Raju dan yang lainnya? Gimana keadaan Mas Agung?!" Ari berusaha untuk bangun, tapi Tomi mencegahnya.

"Kamu diam aja apa susahnya sih? Om Raju sama Geraldine sekarang ada di rumah sakit, lagi jagain Mas Agung. Kata Om Raju dia terlalu maksain diri padahal tubuhnya belum terlalu kuat. Jadi sampek sekarang dia belum sadar karena tubuhnya masih lemah. Mungkin koma, aku nggak tahu, tapi moga aja bentar lagi bisa bangun. Kamu tadi juga dibawa ke rumah sakit, tapi kata dokter kamu tidak apa-apa. Lalu Om Raju men-teleportasi kamu ke rumahku."

Ari masih tetap meronta ingin duduk dan Tomi pun menyerah. "Lalu.... Nicholas...."

"Dia tadi disini, tapi sudah pulang satu jam yang lalu."

Kedua kelopak mata Ari terpejam. Ia sudah tidak ingat apapun lagi setelah balik ke Indonesia. Karena yang ia tahu, ketika Om Raju membawa mereka semua balik, Ari merasakan punggungnya tertusuk sesuatu yang amat menyakitkan dan membuatnya pingsan.

Mendadak, suasana sedikit canggung sekarang karena hanya ada dia dan Tomi saja di ruangan itu. Ari menunduk malu setelah melirik luka lebam di wajah Tomi akibat tinjuannya tadi pagi.

Jantungnya berdetak kencang ketika tangan kanan Tomi meraih kedua tangan Ari. Ia bingung kenapa perasaannya jadi seperti ini. Karena ia yakin kalau dia tidak menyukai Tomi sama sekali.

"Aku minta maaf atas semua kejadian yang terjadi hari ini," tutur Tomi tulus. Tubuh Ari lemas mendengarnya, hingga ia tidak memiliki tenaga sama sekali untuk menarik tangannya. "Aku nggak bisa jagain kamu. Aku... aku bodoh..."

Nada kecewa terdengar dari kalimat Tomi, membuat napas Ari tercekat saat itu juga. Ucapan cowok berdarah Jepang yang berada di depannya itu benar-benar membingungkan.

Ari menarik napas dalam-dalam sambil membasahi bibirnya dengan lidah. "Udah aku maafin kok. Dan aku bisa jaga diriku sendiri. Nggak perlu kamu jagain. Kan aku bisa be-regenerasi."

"Tapi gimana kalau kejadian kayak tadi terulang lagi?! Kamu terluka, lalu pingsan! Kamu pikir aku tidak khawatir?!" ucap Tomi setengah membentak. Genggaman tangan Tomi semakin erat.

"Kamu kenapa sih? Nggak usah teriak-teriak gitu deh," omel Ari.

"Gimana aku bisa tenang kalo ngeliat kamu sekarat di depan mata dan kepalaku sendiri?!"

Ari bungkam seketika. Ia tidak tahu kalau Tomi mencemaskannya hingga seperti ini. Tomi menghela napas melihat Ari yang terdiam.

"Kamu masih marah sama aku karena kejadian tadi pagi?" tanyanya dengan volume suara yang mulai melunak.

"Aku nggak marah kok. Cuman kesel aja. Kamu ngajakin aku bolos buat nemenin kamu ke makam mendiang mamamu, tapi kamu malah nggak ngajak aku berziarah sekalian."

Tomi tersenyum kecut. Ari menahan napas beberapa saat ketika melihat cowok itu tersenyum. Bukan senyum sungguhan, tapi benar-benar sangat memesona.

"Lain kali aja aku kenalin kamu sama mamaku," ucap Tomi yang entah kenapa membuat perasaan Ari terbang.

Pada saat yang sama, pintu kamar terbuka.

"Ari sudah bangun? Ini, aku bawain bubur ayam sama susu hangat," Hana langsung menyelonong masuk, membuat Ari tersentak dan langsung menarik tangannya dari genggaman Tomi dengan panik.

Hana yang melihat reaksi Ari barusan cuma tersenyum kecil sambil menaruh nampan di atas meja. "Nggak usah malu gitu kali sama calon kakak ipar."

Pipi Ari bersemu merah.

"Apaan sih, Kak? Masuk kamar orang lain gak pake ketuk pintu dulu," protes Tomi.

Cewek berwajah oriental itu hanya mendengus. "Aku itu kakakmu, bukan orang lain. Oh iya, barusan si Alna dateng. Dia nyariin kamu, katanya ntar malem ada temenmu yang mau balapan motor. Terus aku bilang aja, Tomi lagi ada di kamar sama pacarnya. Emang siapa sih dia? Perasaan udah tiga hari ini dia sering banget dateng ke rumah buat nyari kamu."

Ari terdiam menunduk. Malu sekali. Tapi di sisi lain, ia merasa agak kecewa juga mendengar ada cewek yang mungkin lagi dekat dengan Tomi. Sepertinya perlakuan Tomi barusan hanya sebatas teman.

Ari menggeleng-gelengkan kepala. Sudahlah, Tomi tidak mungkin gay. Dan kenapa pula Ari harus kecewa dengan kenyataan itu? Ia kan tidak suka sama Tomi.

"Kakak kalo ngomong gak pernah disaring dulu ya?!" Tomi berdiri sambil marah-marah. "Sekarang dia dimana?"

"Udah pulang. Kayaknya jalan kaki," Hana menjawab sekenanya. Tomi bergegas mengambil jaket kulit hitam di balik pintu dan meraih kunci motor di atas meja.

"Jaga Ari sebentar," suruh Tomi lalu berlari keluar. Perasaan Ari mendadak sesak.

Melihat perubahan raut wajah Ari membuat Hana menggigit bibir bawahnya. Ia berjalan mendekat dan duduk di tempat Tomi tadi.

"Nggak usah sedih gitu. Aku ngerti gimana perasaanmu. Tapi Tomi itu sebenarnya anak baik, dan aku yakin dia gak bakal nyakitin kamu."

"Aku sama Tomi nggak pacaran, Kak," jawab Ari. Mengetahui kenyataan itu membuat perasaannya sedikit nyeri.

"Iya, aku tahu, kok. Tapi aku akan ngedukung banget kalo kalian berdua beneran pacaran."

Ari mendesah. "Tapi kayaknya Tomi nggak tertarik sama cowok deh, Kak."

"Nggak usah buru-buru. Nanti pasti cepat atau lambat dia bakal nyadar sama perasaannya. Yah, walaupun selama ini yang aku tahu emang si Tomi itu gak terlalu mengumbar kisah cintanya di depan umum."

Ari menghela napas panjang. Membicarakan masalah Tomi membuatnya semakin penasaran dengan sosok sebenarnya cowok itu.

"Apa Kak Hana pernah kenal sama pacar-pacarnya Tomi dulu?" Ari tidak mengerti kenapa pertanyaan semacam itu meluncur dengan begitu lancar dari mulutnya.

"Aha! Kamu pasti jealous kan?" goda Hana, membuat semburat merah muncul di pipi Ari.

"Kak, kita berdua sama-sama cowok loh. Kak Hana perlu bukti?"

"Gak perlu kamu kasih bukti aku juga udah tahu kali," Hana memicingkan sambil mengetuk-ngetuk pipinya, berusaha mengingat sesuatu. "Nggak semuanya sih. Palingan cuma ceweknya pas SMP aja yang aku tahu, selebihnya itu aku nggak tahu. Ada dua, Margareth sama si Alna, yang tadi nyariin Tomi. Kayaknya si Alna pengen balikan sama Tomi deh."

Oke, cukup. Ari tidak ingin lagi mendengar kenyataan mengenai Tomi daripada dadanya semakin sesak. Dan satu lagi, apapun yang terjadi ia tidak boleh jatuh hati pada cowok itu.

Kenapa? Karena dia sepertinya sekarang dalam masa CLBK dengan cewek namanya Alna itu. Lagipula mana mungkin seorang cowok se-gentle Tomi menyukai Ari yang biasa-biasa saja? Itu bisa saja terjadi jika Ari berada di negeri dongeng.

Dan untuk apa pula dia berharap Tomi suka padanya? Ia tidak suka dengan Tomi. Titik!

"Dan ngomong-ngomong, aku udah tahu kenapa kamu bisa sampek kayak gini. Tomi tadi udah nyeritain semuanya."

Ari bersyukur Hana mau mengganti topik pembicaraan. Tapi ia agak was-was, takut kalau Hana nanti marah atau apa. "Lalu...?"

"Ya aku jelas kaget lah. Kata Tomi kamu tadi hampir mati. Terus soal temannya yang sekarat itu...," Hana menggigit bibir bawahnya tanpa mau melanjutkan ucapannya. "Sudahlah. Aku sudah ngerti sekarang kamu punya 'apa' dan Tomi punya 'apa'."

Hana mengulurkan tangannya ke laci meja di samping tempat tidur. Namun Ari tersentak saat tangan Hana menembus laci kayu itu tanpa membukanya.

Dan sekarang tangannya sudah keluar dari sana dengan menggenggam sebuah charger ponsel.

"Aku yakin kamu nggak kaget lagi ngeliat apa yang baru aku lakuin. Akhirnya aku bisa nemuin orang yang punya keanehan kayak aku. Kamu dan Tomi. Aku udah nggak ngerasa kesepian lagi sekarang," Kak Hana tersenyum haru lalu memeluk Ari dengan erat. Ari balas memeluk Hana.

Setelah melepasnya, tampak jejak linangan air mata di pipi cewek itu, membuat dada Ari mencelos karena kasihan.

Lalu Hana menceritakan sedikit kisah hidupnya, dimana ia pernah hampir mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai delapan sebuah hotel saat dirinya masih berusia lima belas tahun, saat liburan bersama orang tuanya.

Saat itu Hana masih sekolah, namun teman-teman cewek di kelasnya selalu membully dirinya karena pada saat itu dia masih berpenampilan amat sangat udik. Dengan kulit putih pucat, sedikit gendut, memakai kacamata kuda, dan kurang pergaulan, membuatnya kurang dilirik lawan jenis.

Bahkan dulu, ia sempat di fitnah oleh salah satu cewek di kelasnya kalau dia itu anak hasil adopsi, karena papa sama mendiang mama Hana waktu itu memiliki wajah yang bisa di bilang di atas rata-rata. Sedangkan Hana hanya seperti itik buruk rupa.

Hana tidak pernah menceritakan hal itu pada kedua orang tuanya saat itu. Dia malu, lagipula orangtuanya sudah bekerja susah payah untuk menafkahi keluarga, dan ia tidak ingin memberi masalah lagi pada orang tua yang menurutnya paling hebat di dunia.

Hingga pada saat liburan tiba, papa dan mendiang mamanya mengajak dia dan Tomi untuk liburan di Korea, mengingat pada saat itu Hana berhasil menduduki peringkat empat paralel pada ujian kelulusan, dan Hana sangat amat menyukai berbagai hal yang berbau negeri ginseng tersebut. Namun itu tidak bisa membuat Hana melupakan rasa sakit dan nyeri di hatinya akibat bully-an teman-temannya di sekolah.

Pada waktu tengah malam di hari pertama liburan, Hana melompat dari lantai delapan sebuah hotel.

Ia sudah sangat putus asa pada saat itu. Yang ia tahu, ia hanya ingin masalah yang ada di hidupnya selesai.

Tubuhnya terjun bebas begitu saja seperti jasad yang sudah tak bernyawa.

Ketika beberapa meter sebelum menyentuh tanah, Hana memejamkan matanya erat-erat, membayangkan rasa sakit yang mungkin akan ia rasakan. Namun, mendadak tubuhnya tenggelam ke dalam tanah dan beberapa detik kemudian ia muncul ke atas permukaan tanah tanpa luka sedikitpun.

Hana langsung tersadar dengan apa yang barusan ia lakukan. Percobaan bunuh diri.

Saat itu juga, Hana kembali ke kamar hotelnya. Dan di sana ia menemukan kedua orang tuanya yang tengah duduk santai di depan televisi sambil makan snack. Hana menghambur ke pelukan orang tuanya sambil menangis sekencang yang ia mampu.

Ia menyesal melakukan percobaan bunuh diri itu. Ia masih ingin melihat kedua orang tuanya. Ia masih belum bisa membahagiakan orang tuanya. Ia yakin kalau kejadian waktu tubuhnya menembuh tanah adalah pertanda bahwa masih ada Tuhan yang akan selalu melindunginya. Dan masih ada orang-orang yang sangat menyayanginya.

Dan pada saat itu juga, Hana bertekad untuk merubah penampilannya di jenjang SMA. Jadilah Hana menjadi cantik seperti sekarang.

"Udah, Kak, nggak perlu sedih lagi, oke? Masih ada aku dan Tomi yang bakal ngejagain Kak Hana."

Hana mengelap air mata serta ingusnya dengan cemberut. "Aku udah punya pacar kali sekarang."

Ari tertawa girang. "Nah tuh. Malah udah punya pacar. Jadi semakin banyak orang yang bakal sayang dan ngelindungin kakak, kan?"

Hana mengangguk damai dengan mata yang sudah agak sembab, membuatnya terlihat makin sipit. "Makasih ya, Ri. Tahu nggak, kamu orang satu-satunya, setalah pacarku, dimana aku berani berbagi cerita soalnya pengalaman hidupku."

"Sama-sama, Kak."

"Dan aku yakin nanti kita bisa jadi sodara ipar."

Ari tersenyum meringis. "Jangan gitu dong, Kak Jangan jodoh-jodohin aku sama Tomi. Kasihan dia nantinya. Dia kan straight, Kak."

"Kalo dia straight pun kenapa? Gak masalah kan straight pacaran sama gay kalo emang sama-sama cinta?"

Kalimat itu membuat Ari terhenyak. Seolah langit-langit kamar itu baru saja runtuh dan mengenai kepalanya. Gimana Hana bisa tahu tentang dirinya?

"Nggak perlu kaget gitu. Aku fujoshi loh, jadi dikit-dikit aku bisa tahu mana cowok straight, mana yang enggak. Dan yah, walau kamu dari luar kelihatan cukup straight, tapi kamu keliatannya agak manja. Apalagi waktu pertama kamu kesini terus rogoh-rogoh saku celana Tomi dengan wajah malu, itu bikin aku yakin kalo kamu tujuh puluh lima persen non-straight," jelas Hana panjang lebar.

Ari kena skat-mat. Mengelak pun percuma. Karena kalau ia melakukannya, sama saja ia membohongi diri sendiri.

"Ta-tapi aku... aku nggak suka sama Tomi, Kak," Ari membela diri dengan gugup luar biasa.

"Jangan bo'ong deh. Nggak mempan tahu! Keliatan jelas di mukamu. Kamu bisa cerita apapun sama aku, Ri. Dan aku harap aku bisa bantu kamu."

Sial! Ari berusaha mengontrol detak jantungnya, sehingga wajahnya kembali seperti semula, tidak merona lagi.

"Aku... udah punya orang yang lagi nunggu jawaban aku, Kak," ujar Ari sambil menghela napas panjang.

Kali ini Hana tahu kalau Ari berkata jujur. "Apa? Siapa dia? Berani-beraninya mau nyolong calon adik ipar aku?!"

Ari membasahi bibirnya dengan lidah sebelun menjawab, "Dia... Nicholas."

"Nicholas? Maksudnya Nicholas yang abis dari sini tadi? Dia bukannya straight ya? Aku nggak ngerasa ada aura gay dari dirinya."

Ari mengangguk pasrah. Ia memang sudah terlanjur bingung dengan keputusamnya yang masih menggantungkan perasaan cowok itu. Mungkin Hana yang seorang fujoshi ini bisa membantunya.

"Dia nunggu kamu? Maksudnya kamu lagi ngegantungin dia gitu?!"

Ari mengangguk lagi. Ucapan-ucapan Hana semakin ke sini semakin membuatnya terpojok.

"Tolak aja dia kalo kamu nggak yakin," kata Hana santai.

Mendengarnya membuat Ari terbelalak. "Kenapa musti aku tolak, Kak?"

"Kan kamu cintanya sama Tomi?"

Entah kenapa, Ari merasa hati kecilnya tidak menolak ketika Hana mengucapkan kalimat barusan. Sepertinya Hana memang benar. Kakak kandung Tomi itu seperti tahu sangat banyak tentang dirinya daripada Ari sendiri.

Tapi... Ari ingin berpikir realistis saja.

"Tapi kalo Tomi nggak suka aku gimana? Aku nggak pengen nyia-nyiain si Nic, Kak. Mungkin aku belum bisa cinta sama dia. Tapi lama-kelamaan aku pasti bisa cinta sama Nicholas."

Ketika Hana hendak menyanggah lagi, mendadak pintu terbuka dengan kasar.

BRAKK!!

"Ya Tuhan!" teriak Hana dan Ari kaget.

Di ambang pintu, muncul sosok pria bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dengan berewok tipis pada rahang bawahnya yang tegas. Matanya sedikit sipit sayu dan rambutnya ikal agak panjang.

Itu bukan pria biasa. Dia sangat mirip dengan... Tomi, hanya saja sedikit lebih tua beberapa tahun. Dan di belakangnya seorang yang sedikit lebih pendek dari orang yang mirip Tomi itu. Dan dia mirip sekali dengan... Mas Agung.

Siapa mereka? Kenapa mereka berdua mirip sekali dengan Tomi dan Mas Agung?

"Tarik kembali kata-katamu tadi! Kamu itu milikku! Dan cuma aku yang boleh mencintai kamu!" seru pria yang mirip Tomi.

"Siapa kalian?!" Hana langsung berdiri sambil merentangkan kedua tangannya. Ia berusaha melindungi Ari. Jantung Ari berdetak dua kali lebih cepat karena takut jika dua pria itu hendak melakukan sesuatu yang buruk.

"Minggir!" bentak pria yang mirip Tomi pada Hana.

"Langkahi dulu mayatku!" bentak Hana balik. Hana benar gadis pemberani.

Ari sendiri tidak bisa berbuat banyak dan hanya meringkuk ketakutan. Bekas luka di lambungnya masih sedikit nyeri. Padahal seharusnya dialah yang melindungi Hana.

Pria yang mirip Tomi itu menatap pria yang mirip Mas Agung sambil mengangguk.

Dan sesaat kemudian, suara angin berhenti. Semuanya berhenti termasuk deru napas Hana dan kebisingan jalan raya di luar sana. Sekarang, Hana terdiam mematung seperti manekin.

Namun anehnya Ari dan dua pria itu tidak, masih bisa bergerak seperti biasa, membuat Ari semakin dilanda ketakutan.

Kedua pria itu berjalan cepat ke arah Ari yang memeluk lutut.

"Siapa kalian? Mau apa kalian berdua?!" teriak Ari berusaha berani. Namun suaranya malah terdengar menyedihkan.

Pria yang mirip Tomi itu langsung duduk di tempat Hana tadi dan membelai rambut Ari. Wajahnya tersenyum lembut, matanya sedikit berkaca-kaca.

Ari tidak mampu bergerak. Ia terlalu takut untuk bergerak sedikit pun.

"Akhirnya setelah lima tahun berlalu, aku bisa ketemu kamu lagi," ucap pria yang mirip Tomi itu dengan suara lirih dan serak seperti menahan tangis. Membuat rasa takut Ari perlahan memudar sedikit demi sedikit.

Mata pria yang menyentuhnya itu memancarkan kesedihan yang mendalam dan sulit diartikan.

Tenggorokan Ari seperti terkunci. Ia sudah membuka mulutnya, tapi tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya.

"Aku pengen kamu tahu kalo aku mencintaimu," ujar pria yg mirip Tomi itu yang sekarang mengelus-elus pipi kiri Ari dengan telapak tangannya yang terasa sedikit kasar.

Dengan cepat ia langsung mencium Ari tepat di bibir. Mata Ari terpejam erat merasakan bibir pria yang mirip Tomi itu.

Astaga! Ada apa ini?

~

(Bersambung...)



Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)