Generation (Chapter 10)



Om Raju, papanya Mas Agung, ternyata keturunan India-Indonesia. Tentu saja, nama beliau saja 'Raju'. Dan ketampanan yang dimiliki Mas Agung pasti turun dari ayahnya.

Ngomong-ngomong, Om Raju ialah seorang pegawai bank biasa di salah satu bank swasta yang ada di Kabupaten Tulungagung. Sepertinya beliau barusan pulang kerja dan langsung ke sini.

Ari berdecak kagum begitu mereka berempat -Nicholas, Kak Geraldine, Tomi, serta dirinya- langsung akrab dengan papanya Mas Agung. Apalagi Tomi, yang tampak begitu santun menghadapi orang yang sudah berumur. Benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat.

"Om dengar kalian ini punya kemampuan ya?" tanya Om Raju. Yang lain bukannya menjawab, malah tersenyum kikuk malu-malu.

"Oh, astaga. Nggak perlu malu begitu. Om juga sama kayak kalian kok," Om Raju terkekeh lalu menatap Kak Geraldine. "Kamu, Geraldine, kamu punya kemampuan apa?"

"Telekinesis tingkat 1, Om. Belum cukup mahir. Jarang latihan soalnya," jawab Kak Geraldine sekenanya sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Rajinlah berlatih, Geraldine, biar kamu bisa menggerakkan banyak barang dalam satu kendali." Om Raju mengangguk pelan. "Kalau Tomi?"

"Transformasi tingkat 1."

"Transformasi? Coba tunjukkan pada Om." Om Raju tampak tertarik.

Tomi mendelik pada yang lain sejenak lalu menghembuskan napas. "Oke. Akan ku coba."

Tomi berusaha memusatkan pikirannya dan fokus pada satu titik. Setelah ia merasa fokusnya sudah setajam jarum, ia memejamkan matanya erat dan sesaat kemudian rambut pendek hitamnya sudah berubah menjadi bergaya bob.

Ari tampak kegelian ketika melihat model rambut Tomi yang hampir sama dengan batok kelapa tengkurap. Tomi mendengus kesal melihat anak itu terkikik dan langsung mengubah model rambutnya seperti sedia kala.

"Luar biasa. Teruslah berlatih maka kemampuanmu akan lebih bisa dikendalikan. Kalau kamu udah naik beberapa tingkat, Om yakin kamu bisa melakukan transformasi pada benda lain, dan mengubah fisikmu menjadi orang lain secara utuh. Tapi transformasi bukan hanya itu aja. Kamu bisa memunculkan anggota tubuh yang baru kalau tingkatanmu sudah tinggi," pesan Om Raju lalu menoleh pada Nicholas. "Gimana denganmu, Nicholas?"

"Aku levitasi tingkat 1. Masih perlu banyak latihan."

"Tingkatkan lagi, Nic. Kalau udah mahir, kamu bisa me-levitasi-kan orang lain dan membuat orang lain melayang. Kemampuanmu hampir sama kayak Geraldine. Hanya saja Kemampuanmu lebih luas. Tapi kemampuan Geraldine lebih ke arah multitasking lebih potensial dalam melakukan telekinesis." Om Raju mengangguk. Kini tinggal Ari yang terakhir. "Kalau Ari?"

Ari membasahi bibir dengan lidah. "Aku bisa melakukan regenerasi."

Om Raju menaikkan kedua alinya. "Sungguh? Wah, nggak nyangka kalau ternyata ada yang punya kemampuan yang cukup langka disini."

"Ya... begitulah, Om. Walaupun kata Mas Agung masih tingkat 1."

Om Raju mengernyit. "Tidak.. Tidak.. Regenerasi itu tidak punya tingkatan kayak kemampuan yang lain, Ari. Mungkin Agung lupa."

Mas Agung hanya terkekeh sambil meminta maaf.

"Eh? Kenapa begitu, Om?"

"Regenerasi itu kemampuan tak sadar, jadi tidak punya batasan. Kamu bisa menggunakan kemampuanmu dengan maksimal. Jika kamu terluka sampai separah apapun, kamu akan tetap ber-regenerasi walau mungkin kamu akan tetap merasakan sakit, tapi rasa sakitnya nggak lama kok."

Ari menelan ludah ketika Om Raju mengucapkan kata 'sakit', dan sejujurnya Ari sangat membenci rasa sakit. Sakit gigi saja rasanya sudah luar biasa mengerikan, apalagi yang lebih parah. Ia merinding sendiri membayangkannya.

"Om sebenernya nggak terlalu paham sama regenerasi. Tapi katanya ada satu bagian tubuh dari pemilik kemampuan tersebut yang menjadi kelemahan. Posisinya berbeda-beda setiap pemilik. Ada yang di jantung, ada yang di kepala, ada yang di leher, di lambung, bahkan ada juga yang di alat kelamin. Itu sih kata neneknya Agung. Tapi Om juga gak terlalu ngerti."

Ari mengangguk pura-pura paham, padahal tidak. Namun kalau Ari pikir-pikir lagi, papanya Mas Agung tampak sangat mengerti kemampuan yang mereka miliki.

"Kok Om bisa tahu banget sih soal kemampuan kita? Padahal kita aja nggak terlalu mikirin soal itu."

Om Raju terkekeh. "Dulu pas Om SMA, Om juga pernah membentuk grup seperti kalian. Om juga alumni SMA sini loh. Ya kayak gini. Grup rahasia yang isinya anak-anak berkemampuan khusus. Dan waktu itu kami bertekad untuk membantu sesama."

"Semacam superhero gitu?" celetuk Kak Geraldine antusias.

"Bisa dibilang kayak gitu sih. Kedengarannya konyol kalo dikatakan superhero. Tapi kenyataannya emang gitu. Dan generasi Om waktu itu jadi generasi terakhir karena tidak ada pengganti dari siswa baru kelas satu. Jadi setelah itu grupnya di bubarkan. Dan yang terakhir itu adalah generasi ke empat. Setelah itu tidak ada lagi," jawab Om Raju sambil memijat pelipisnya. Suasana mendadak jadi canggung.

"Dan pada akhirnya kalian membentuk grup lagi seperti Om dulu. Kalian generasi ke lima, sekaligus generasi pertama yang setelah tiga puluh lima tahun lamanya."

Ari bingung sendiri melihat yang lain yang masih terdiam seperti orang bodoh. Ia berusaha mencairkan suasana dengan melemparkan pertanyaan.

"Kira-kira sekolah lain ada grup kayak kita nggak ya?"

"Mungkin nggak ada. Nggak ada orang yang berani menunjukkan kemampuan mereka di depan orang lain, kecuali kalian tentunya. Mereka nggak pengen dianggap aneh," jawab beliau.

Ari manggut-manggut. "Um.. Gimana dengan Om Raju? Om sendiri bisa melakukan apa?"

Om Raju menarik napas. "Oke. Tapi sebelum itu, coba kalian semua berdiri. Ayo berdiri."

Setelah semuanya berdiri, papanya Mas Agung itu memejamkan mata dan berkonsentrasi. Ketika titik fokusnya sudah mengerucut pada satu titik, Om Raju menjentikkan jarinya.

Terdengar bunyi mendenging selama beberapa sekian detik sebelum akhirnya mereka berenam secara tiba-tiba sudah berada di sisi luar sebuah gedung yang sangat besar dan tinggi.

Tunggu dulu, ini mah bukan gedung biasa! Ini stadion! Dan di sini keliatannya masih sangat pagi, bahkan matahari belum tampak jadi suasananya sangat sepi walaupun langitnya sudah terang. Hal itu membuat Ari yakin ini bukan di Indonesia.

"Wow!" seru mereka semua takjub, kecuali Om Raju dan Mas Agung tentunya.

"Teleportasi tingkat 8. Om bisa melakukannya bersama orang-orang di dekat Om, maksimal tiga meter, tanpa menyentuh mereka, dan Om bisa teleportasi ke mana aja," jelasnya panjang lebar.

Nicholas memicingkan matanya memperhatikan banguan stadion ini sedetil-detilnya sampai akhirnya ia berseru. "Ini stadion Old Trafford ya, Om?! Gila! Kereen! Mimpi apa aku semalem?! Ini beneran kan?! Aku udah lama mimpi pengen ke sini!"

Nicholas merentangkan kedua tangannya dan berseru seperti anak kecil yang baru pertama kali datang ke tempat wisata anak. Ari dan Kak Geraldine cuma mencibir melihat kelakuan Nicholas yang memalukan. Wajar saja, hanya mereka berdua yang tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang berbau sepak bola, sedangkan Tomi dan Mas Agung sudah ngobrol berdua sejak mereka tiba disini.

Ari menatap Tomi yang tampak antusias ketika membicarakan soal sepak bola dengan Mas Agung, walau sikap cowok itu masih kelihatan sedikit angkuh, tapi entah kenapa, Ari senang melihatnya.

"Kalau ada waktu luang bersama, Om sama Agung biasanya datang ke sini untuk nonton pertandingan bola. Tidak hanya di sini sih, di stadion yang lain juga pernah. Tergantung klub yang main," ujar papanya Mas Agung.

Ari dan Kak Geraldine mendengus. Mereka berdua tahu kalau itu ilegal, masuk ke dalam stadion tanpa membayar tiket untuk melihat pertandingan, bahkan berada di wilayah negara lain tanpa memiliki paspor.

Tapi walaupun begitu, Om Raju sudah memanfaatkan kemampuannya dengan baik sesuai kebutuhannya dan tidak terlalu berlebihan.

"Om sudah sering keliling dunia dong," timpal Kak Geraldine.

"Biasanya gitu kalau lagi liburan," balas Om Raju kemudian tertawa renyah.

"Kapan-kapan ajakin liburan ya Om," pinta Ari dengan mata berbinar. "Oh iya. Ngomong-ngomong, Om pernah ikut andil dalam masalah besar gitu nggak sih?" Ari menyeletuk. Ia penasaran dengan grup yang dulu pernah dibentuk oleh Om Raju saat masih sekolah.

"Umm... menurut Om sih dulu nggak pernah. Soalnya dulu grup yang Om bikin intinya cuma buat seru-seruan aja. Nanti deh kalo ada kesempatan lagi, Om ajak kalian liburan. Lagian di sini daerah sekitar sini tidak aman. Bahaya, banyak... ARGH!" mendadak tubuh Om Raju terhuyung ke depan dan rubuh begitu saja.

"ASTAGA! OM RAJU!" teriak Ari dan Kak Geraldine begitu melihat sebuah pisau belati menancap sempurna di punggung beliau, mengarah tepat pada jantungnya.

"PAPA!" seru Mas Agung langsung menghampiri papanya yang tergeletak tak berdaya dengan punggung berlumuran darah. Ayahnya tak bergerak sedikitpun.

"PAPA! BANGUN, PA! YA TUHAAN!" teriak Mas Agung histeris menahan tangis. Yang lain terkejut setengah mati dan mengerubungi Om Raju dan Mas Agung.

Jantung Ari berdegup kencang sambil menoleh ke segala arah. Dari kejauhan, ia melihat tiga orang pria bule tinggi besar berjeket hitam dan memakai topi muncul dari semak-semak dan berjalan cepat ke arah mereka. Kenapa bisa begini? Siapa mereka? Apa mereka penculik? Di sini benar-benar bukan tempat yang aman, padahal belum ada lima menit mereka berada disini.

"ARGHH!!" teriakan kedua berasal dari Nicholas. Dengan sebuah pisau lain yang berhasil mengenai pundak kanannya.

"NIC!!" Ari histeris. Suasana jadi tegang, membuat yang lain kalang kabut, tak terkecuali Tomi dan Kak Geraldine.

"AARRGGH!!" Mas Agung berteriak kencang begitu lengan kirinya tergores lemparan pisau belati yang berasal dari salah satu penculik itu. Beruntung lemparan barusan meleset sedikit, walaupun tetap memberika luka pada lengannya.

Mas Agung harus melakukan sesuatu. Dengan cepat ia langsung menggunakan kemampuannya untuk menghentikan waktu.

Suara angin dengan cepat menghilang dan waktu berhasil dibekukannya. Papa, teman-teman serta para penculik itu terdiam seperti manekin di tempat mereka.

"BANGSAT!!" umpat Mas Agung. Napasnya tersengal-sengal dengan deru jantung yang tak karuan. Ia tidak boleh membiarkan papanya mati. TIDAK!

Berpikiiir!! Ayo berpikirr!

Dan sesaat kemudian, Mas Agung mendapatkan ide dan langsung beraksi.

Sambil memegang lengannya yang mulai mengeluarkan darah, Mas Agung berjalan kepayahan menghampiri tiga orang bule yang sudah melukai Papanya dan Nicholas. Dengan cepat, ia mengambil dompet mereka dan mengantonginya. Sebenarnya ia hanya ingin mengambil kartu identitas yang ada di dompet mereka, tapi itu kelamaan.

Begitu ia mengambil dompet yang terakhir, tubuhnya jatuh tersungkur. Menggunakan kekuatannya terlalu lama membuatnya cukup letih, seperti baru berlari memutari lapangan sekolah sebanyak lima kali tanpa henti. Selain itu darah yang keluar dari lukanya juga semakin banyak.

Setelah ini ia harus bisa memutar waktu kembali lima menit yang lalu sebelum papanya terkena lemparan pisau. Ini bukan hal yang mudah, mengingat ia baru tingkat 4 dalam chronokinesis. Perlu naik ke tingkat 5 untuk bisa memutar waktu ke belakang.

Jika ia memaksa melakukan chronokinesis tingkat 5, ia hanya punya 30% kesempatan untuk berhasil, dan itu pun mungkin ia hanya bisa kembali ke beberapa menit yang lalu.

Napas Mas Agung semakin sulit. Tapi ia harus melakukannya demi papanya, juga demi teman-temannya yang sedang dalam bahaya.

Ini demi mereka!

Kini ia memejamkan matanya dan berusaha mengatur fokus, napas, dan detak jantungnya, mempertajam konsentrasi hingga tingkat tertinggi yang ia mampu sambil berdoa supaya Tuhan membantu ia, papa, serta teman-temannya lolos dari maut.

***


"Ini stadion Old Trafford ya, Om?! Gila! Kereen! Mimpi apa aku semalem?! Ini beneran kan?! Aku udah lama mimpi pengen ke sini!" Nicholas merentangkan kedua tangannya dan berseru seperti anak kecil yang baru pertama kali datang ke tempat wisata anak.

Ari dan Kak Geraldine cuma mencibir melihat kelakuan Nicholas yang memalukan.

Ari menatap Tomi dan Mas Agung yang sedang ngobrol. Namun sesaat kemudian tubuh Mas Agung menghilang berganti teriakan cowok yang mirip dengan suara Mas Agung.

"PA! PAPAA! CEPAT KITA PULANG! DISINI NGGAK AMAN!!"

Sontak, semuanya menoleh ke arah suara itu berasal. Dan di sana tampak Mas Agung yang tergeletak tak berdaya dengan lengan kiri yang berdarah.

Ari terbelalak. Bagaimana bisa Mas Agung tiba-tiba menghilang dan langsung berada di sana dengan keadaan mengenaskan seperti itu? Padahal tadi ia ada di depan Tomi.

Mereka semua bergegas menghampiri Mas Agung secepat mungkin.

"Ya Tuhan! Agung, apa yang terjadi padamu, Nak?!" suara Om Raju terdengar serak menahan pilu. Ia mengangkat kepala Mas Agung dan menaruhnya di atas paha.

Jantung Ari berdegup tak beraturan. Ia gemetar melihat luka di lengan Mas Agung yang mengeluarkan banyak darah.

Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bisa seperti ini?

"Pokoknya cepat balik! Tempat ini tidak aman!" volume suara Mas Agung makin berkurang.

Om Raju mengangguk paham. Dengan cepat ia berkonsentrasi lalu menjentikkan jarinya.

Tapi mereka masih berada di tempat itu dan belum berpindah. Sepertinya konsentrasinya untuk ber-teleportasi terpecah karena kecemasannya pada Mas Agung yang sudah mulai lemas.

"Cepetan, Pa! Keburu terlambat!"

"Oke!" Om Raju kembali memusatkan titik fokus di pikirannya, hingga konsentrasinya mengerucut pada satu titik kecil. Dengan cepat Om Raju menjentikkan jarinya lagi.

Dan sesaat kemudian setelah bunyi mendenging sepersekian detik, mereka semua sudah kembali di markas teater sekolah. Mas Agung sudah keburu pingsan di pangkuan Om Raju.

Namun belum sempat ada yang bicara sepatah kata pun, tubuh Ari mendadak rubuh ke depan dan jatuh terkapar.

"YA TUHAN!! ARI!!" pekik Nicholas dan Tomi bersamaan sambil menghampiri tubuh Ari yang tengkurap lemas dengan sebuah pisau belati yang menancap di punggungnya, tepat di posisi lambung dengan jejak darah yang keluar dari letak pisau itu tertanam.


(Bersambung...)


Previous Chapter| Next Chapter 

Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)