Generation (Chapter 09)

 


Ari kembali ke rumah Tomi dengan wajah kusut. Ia sedang jengkel dengan Tomi.

Bagaimana tidak? Cowok itu yang mengajaknya membolos untuk sekedar menemaninya ke makam mendiang ibunya, namun di sana Tomi malah tidak mengajak Ari untuk ikut berziarah. Bukankah itu menjengkelkan? Lantas buat apa cowok itu mengajaknya?

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ia juga salah karena pas mereka tiba di pemakaman, Ari malah sudah tertidur pulas dan baru bangun begitu Tomi melajukan mobilnya untuk pulang. Dan walaupun Ari sudah mengomel seperti apapun, tetap saja Tomi bersikap seolah-olah cowok itu tidak bersalah.

Setibanya di rumah Tomi, Ari langsung saja menuju kamar Tomi tanpa mengoceh sedikitpun. Ia tidak melihat Hana. Mungkin dia sedang berada di kamarnya. Sedangkan Tomi berjalan di belakangnya, masih bersikap seperti biasa seakan-akan tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua.

Sesampainya di kamar Tomi, Ari menutup pintu dari dalam dan berganti seragam secepat mungkin. Setelah itu dia membuka pintu kamar, namun langkahnya terhenti begitu melihat Tomi menghalanginya.

"Kamu marah?" tanya Tomi dengan mimik muka yang terkesan tak peduli. Ari tak mau menjawab. Ia melipat lengan sambil buang muka.

"Oh, ayolah, Ri. Jangan kayak anak kecil!" ucap cowok itu diikuti tawa garing. Ari masih bergeming. Dalam hatinya ia bertekat untuk menjauhi cowok yang ada di depannya itu karena bisa jadi dia membawa pengaruh buruk pada Ari jika ia berlama-lama dengan cowok berandal macam Tomi.

Tanpa di duga, Tomi meraih dagu Ari, menariknya sedikit supaya anak itu bisa menatapnya. Tidak tahu kenapa, tapi ketika Tomi melakukan hal kecil tersebut, detak jantungnya serasa meningkat.

"Lihat tuh! Wajahmu jadi keliatan jelek kalo lagi marah!" ucap Tomi berkelakar. Ari bisa melihat gerakan bibir Tomi yang tampak sensual, walaupun bibir cowok itu agak sedikit gelap. Mungkin karena kebanyakan mengonsumsi rokok.

"Kenapa tadi kamu nggak bangunin aku? Terus buat apa dong aku nemenin kamu bolos?" omel Ari sambil menyingkirkan tangan Tomi dari dagunya. Sebenarnya hanya satu yang Ari tunggu sejak perjalanan pulang tadi, yaitu kata maaf dari Tomi. Tapi entahlah, cowok sepertinya alergi dengan kata 'maaf'.

Tomi mendecih. "Terus maumu apa?!"

"Ya harusnya kamu minta maaf lah!"

"Males! Udahlah, kamu tunggu di ruang tamu dulu. Aku ganti baju dulu sebentar, abis itu kita balik lagi ke sekolah!" ucap Tomi kembali dengan sikapnya semula.

Kedua tangan Ari terkepal erat. Dan beberapa saat kemudian seolah terjadi begitu cepat. Tomi sudah terjengkang beberapa langkah ke belakang setelah Ari meninju pipinya dengan keras.

Tomi tampak menggerak-gerakkan rahang bawahnya dan menyeka sedikit darah yang keluar dari sudut bibir kirinya.

"Udah dikasih hati malah minta jantung... Kau--," Ari menahan ucapannya sambil menunjuk wajah Tomi. Dengan cepat, Ari melenggang melewati Tomi dan pergi dari rumah cowok itu dengan sebal.

***


Jam tangan Ari sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang saat ia kembali ke sekolah, itu artinya jam istirahat baru saja usai. Untung saja gerbang depan tidak terlalu di awasi oleh satpam, jadi dia bisa masuk ke area sekolah dengan mulus, dan ia bersyukur karena itu.

Sambil berjalan menuju kelasnya, pikiran Ari masih melayang-layang dengan kejadian beberapa saat yang lalu, dimana ia menonjok muka Tomi dengan cukup keras hingga membuat sudut bibir cowok itu berdarah. Mungkin kalau cowok itu lebih bisa peka dan menjaga sikap di hadapannya, mungkin Ari tidak akan melakukan hal senekat itu.

Sekarang ia benar-benar benci dengan cowok yang tak punya hati itu.

Hah! Sudahlah! Ari tidak ingin memikirkan orang itu lagi.

Setibanya di kelas, suasana sudah ramai sekali. Jelas saja, tadi dia meninggalkan sekolah pagi-pagi sekali.

Tampak beberapa pasang mata menatapnya dengan bingung sambil berbisik-bisik begitu ia masuk ke dalam kelas. Mungkin mereka semua merasa kebingungan karena Ari yang sejak tadi pagi tidak menampakkan batang hidungnya, secara tiba-tiba muncul di kelas. Dan Ari memilih untuk tidak menggubris mereka semua dan berjalan menuju bangkunya.

Disana sudah ada Nicholas yang sudah asyik bersendau gurau dengan Titi, serta tiga teman baru mereka yang entah siapa, pokoknya dua cewek dan satu cowok.

"Hai, Nic! Hai, Titi! Maaf baru balik!" sapa Ari ceria. Titi, Nicholas, dan tiga anak menoleh ke arah sumber suara.

"Kamu kemana aja sih, Ri? Nggak niat sekolah ya?" kalimat dari Titi barusan benar-benar menyeletuk dan membuat Ari tersenyum masam. Sebenarnya ia sedikit kesal dengan ucapan Titi barusan. Tapi mau bagaimana lagi? Setiap orang pasti berpikir seperti itu tentangnya. Bahkan ia tadi pagi juga mengatai Tomi seperti itu.

Ari mengernyit ketika pikirannya secara tidak sengaja merujuk ke arah cowok berandalan itu. Ia melirik ke arah Nicholas, tapi anak itu malah buang muka.

"Aku tadi abis nganterin temenku pulang. Katanya ada bukunya yang ketinggalan," Ari berbohong. Ia tahu itu, tapi tidak mungkin kan ia bilang pada mereka kalau tadi dia diajak kakak kelas untuk membolos hanya untuk ke pemakaman?

Dan pemikirannya barusan membuat Ari mengingat si Tomi lagi dan lagi.

"Temenmu bener-bener sok pinter ya, Ri. Padahal hari ini kan nggak ada pelajaran sama sekali," timpal Titi yang membuat Ari memaksakan seulas senyum sambil menjawab sekenanya.

Ari memandang tiga anak yang tadi ngobrol dengan Nicholas lalu mengulurkan tangan. "Kenalin. Namaku Arinanda Djapri. Panggil Ari aja."

"Namaku Huan," balas si cowok bernama Huan itu. Dia memiliki wajah yang rata-rata, dengan mata bulat, alis tebal dan hidung yang tidak terlalu mancung, dan warna kulit sawo matang membuat tampilan Huan tampak begitu sederhana, namun memancarkan aura yang wibawa.

"Aku Juli," sekarang ganti seorang cewek berambut kuncir kuda yang menyalami Ari. Wajahnya tampak begitu cantik tak selaras dengan suaranya yang cempreng nan berisik bagai suara speaker rusak. Mungkin itu pengambaran yang sedikit jahat, tapi menurut Ari itu malah yang paling sopan.

"Namaku Yuna, semoga bisa jadi teman baik," cewek yang terakhir menjabat tangan Ari. Mendengar namanya saja membuat Ari teringat dengan salah seorang personil girl band Korea. Namun Yuna yang ini memiliki penampilan yang lebih sederhana daripada Juli. Cewek ini memiliki rambut panjang sepinggang yang terkepang rapi ke belakang dan dari tadi ia melirik-lirik Nicholas terus. Ari tidak suka melihatnya.

Ari yakin Yuna pasti suka dengan Nicholas. Dan ia juga yakin ada beberapa cewek di kelasnya yang menyukai Nicholas, mengingat di antara cowok di kelas, wajah Nicholas tampak paling bening, tampan, dan juga menarik.

"Bu Guru datang! Bu Guru datang!" teriak seorang siswa dari arah pintu yang membuat seisi kelas kabur ke bangku mereka masing-masing.

Ari langsung duduk di tempat duduknya. Ia melirik Nicholas yang masih memasang tampang sebal tanpa menghiraukan Bu Endang yang memperkenalkan diri sebagai wali kelas.

Cowok itu marah padanya. Ari menyenggol-nyenggol paha Nicholas. Cowok itu masih terdiam tak menanggapi.

Ari mendekatkan kursinya dengan kursi Nicholas sedekat mungkin lalu berbisik di telinga kiri cowok itu. "Kamu marah sama aku?"

"Apa mukaku masih keliatan belum jelas?" balas Nicholas tak acuh.

"Kenapa marah? Apa aku udah bikin salah sama kamu?" tanya Ari.

"Jangan tanya aku! Tanya dirimu sendiri! Coba cek ponselmu!" ucap Nicholas menggebu, namun masih dalam bentuk bisikan.

Ari langsung mengeluarkan ponsel di saku kanan depan celananya lalu menghidupkan ponsel sambil menutupi speakernya supaya nada aktivasinya tidak terdengar. Setelah itu ia buru-buru men-silent ponselnya diikuti beberapa pesan yang mulai masuk.

Ia membaca pesan-pesan itu yang semuanya dari Nicholas.

Setelah membaca semuanya, Ari menyimpulkan kalau inti pesan-pesan yang dikirim cowok tampan di sampingnya itu adalah supaya Ari balik sekolah.

"Maaf, tadi ponselku mati," balas Ari sambil tersenyum kikuk. Ini semua gara-gara si Tomi. Karena cowok itu, ia tidak tahu kalau Nicholas berusaha menghubunginya sejak tadi pagi.

Nicholas tidak menjawab dan masih terdiam seperti menganggap Ari tidak ada.

"Maaf, Nic... Maaaaff banget! Maafin aku ya? Aku bener-bener nggak tahu... Sumpah, aku gak tahu, Nic..," Ari memohon sambil merajuk di lengan kiri Nicholas.

"Aku mau maafin, tapi janji ya lain kali jangan pergi seenaknya kayak tadi. Aku kuatir nanti kamu kenapa-napa. Pikiranku nggak tenang," balas Nicholas yang akhirnya luluh.

Ari sebenarnya tidak paham, kenapa Nicholas bisa bersikap berlebihan seperti ini, padahal status mereka berdua masih teman, bukan pacar. Tapi karena Ari tidak ingin cowok yang di sampingnya itu ngambek lagi, akhirnya ia menyetujuinya.

"Iya deh. Aku janji."

Nicholas tersenyum kecil lalu menggenggam erat tangan kanan Ari dengan tangan kirinya.

Samar-samar, Ari mendengar suara cekikikan dari arah belakang. Ketika ia menoleh, tampak Titi dan Juli yang menatap gemas pada Ari dan Nicholas.

Dan Ari hanya membalas mereka dengan tatapan horor.

***


Bel pulang sekolah berbunyi tiga puluh menit yang lalu. Kini Ari, Nicholas, dan Kak Geraldine sudah berada di markas teater. Seperti yang di janjikan Mas Agung beberapa waktu yang lalu, dia akan membawa ayahnya untuk menemui mereka bertiga, dan juga Tomi.

Ngomong-ngomong, Tomi belum juga datang. Tadi dia sudah bertanya pada Kak Geraldine karena ia sekelas dengan Tomi, namun katanya ia tidak balik ke sekolah dan meminta Kak Geraldine untuk membawakan tasnya. Dan katanya cowok itu akan datang ke sekolah setelah jam pelajaran usai.

"Mas Agung lama banget sih," gerutu Kak Geraldine sambil memain-mainkan ponsel, membuatnya melayang-layang di atas kepala dengan kemampuan telekinesis yang ia miliki.

"Bentar lagi palingan juga tiba, Kak," balas Ari sambil menikmati pisang goreng yang barusan ia beli di kantin bersama Nicholas.

Sebenarnya tadi pas bel pulang, si Yuna mengajak Nicholas untuk pulang bersama. Namun cowok itu menolak secara halus dan mengatakan kalau dia pulang sama Ari. Padahal pada kenyataannya, hari ini Nicholas tidak akan pulang bersama Ari. Tapi tentu saja Ari merasa senang karena ia diprioritaskan.

Tapi di sisi lain ia juga bimbang, sampai kapan ia akan menggantungkan perasaan Nicholas, karena ia masih belum memiliki 'perasaan yang lebih dari teman' untuk cowok itu. Walaupun Ari akui kalau ia sudah merasa semakin nyaman dengan Nicholas.

"Aku mau ke toilet sebentar ya, Ri," Nicholas berdiri sambil melepas tas selempangnya dan diberikan pada Ari.

Ari menerimanya dan menaruhnya di pangkuan. "Iya. Jangan lama-lama."

Nicholas mengangguk lalu keluar markas, meninggalkan Ari dan Kak Geraldine berduaan. Tak berselang lama, seseorang masuk ke dalam markas teater. Ari dan Kak Geraldine menoleh bersamaan dan menemukan sosok Tomi yang berjalan masuk dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celana jeansnya. Tomi sepertinya masih mengenakan pakaian untuk ziarah tadi pagi.

"Kamu bolos kemana aja sih? Dari tadi pagi nggak keliatan. Baliknya pas sekolah usai pula! Terus itu kenapa pipimu lebam kayak gitu? Kamu baru berantem ya?" omel Kak Geraldine begitu Tomi duduk di samping cewek itu.

"Bawel banget sih?! Noh, tanya dia!" kata Tomi sambil mengarahkan jari telunjuknya pada Ari.

"Aku? Kenapa jadi aku yang disalahin?!" protes Ari yang emosinya jadi ikutan terpancing.

"Pikir aja sendiri!" balas Tomi sambil mengambil tasnya yang tergeletak di samping kiri Geraldine dengan kasar.

Ari menatap Tomi dengan tajam, seperti ingin mencabik-cabik tubuh cowok itu dengan tatapan matanya.

"Ngapain liat-liat?! Tuh coba periksa lagi celana seragammu! Itu punya siapa coba!" seru Tomi sinis.

Bulu kuduk Ari langsung meremang mendengar perkataan Tomi barusan. Celana yang ia pakai tentu saja celana Ari. Walaupun tadi di rumah Tomi, ia menaruh seragamnya di atas seragam Tomi.

Apalagi ponselnya ada di celana yang dipakainya itu. Sudah pasti itu celana..........

Ari terlonjak dari duduknya sambil menepuk dahi. Ia benar-benar bodoh. Bodoh sekali. Ia baru ingat kalau sejak pulang dari rumah Tomi, cowok itu masih belum menyerahkan ponselnya.

Itu artinya ponsel Ari masih berada di dalam saku celana seragam Tomi, yang sekarang ia kenakan. Ari juga baru menyadari kalau celana yang dipakainya sedikit kepanjangan. Juga di saku kiri celananya ada sesuatu yang mencurigakan. Setelah dikeluarkan, ternyata iti sebungkus rokok dan korek.

Sedangkan Kak Geraldine terperangah dengan mulut ternganga lebar. "Itu bukannya celana kamu, Tom? Kenapa bisa dipake Ari? Kalian berdua baru ngapain sih?"

Tomi tidak menjawab. Ia memandang Ari seakan menunggu anak itu mengatakan sesuatu.

"Um... Sori," ucap Ari sambil menyerakan rokok dan korek itu pada Tomi.

"Makanya, sebelum dipake, liat-liat dulu itu punya siapa!" Tomi memperingatkan.

"Kalau begitu, besok aku kembalikan deh!"

"Kamu bodoh atau apa sih? Besok kan sekolah. Terus kamu balikinnya kapan? Pas di sekolah? Kamu pikir aku mau pake celanamu yang kecil itu?!"

Ari mengerutkan dahi. Mungkin ini salah satu alasan kenapa Tomi tidak balik ke sekolah. Celana Ari kekecilan untuknya.

"Terus gimana?!" tanya Ari malu-malu.

"Abis ini, mampirlah ke rumahku. Kamu ambil tuh celana kamu!"

Ari mendesah pelan sambil mengangguk. Ia bersyukur Tomi tidak memiliki niat sama sekali membalas tinjuan Ari tadi. Mungkin Tomi menyadari kesalahannya, jadi Ari pikir Tomi menyesali kesalahannya, walaupun Ari masih belum bisa memaafkan Tomi dan masih membencinya.

Tak berselang lama, Nicholas kembali dari toilet. Namun ia tidak sendirian. Mas Agung juga masuk diikuti seorang pria tampan berusia sekitar empat puluhan, dengan setelan jas warna biru tua.

Wajahnya mirip dengan Mas Agung. Jadi beliau pasti papanya Mas Agung, batin Ari.


(Bersambung...)


Previous Chapter| Next Chapter



Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)