Generation (Chapter 08)



"Kamu yakin?" tanya Ari memandang Tomi dengan alis saling bertautan lalu kembali menatap tingginya pagar beton sekolah. Ari pikir Tomi hendak meminta ijin langsung pada satpam yang berjaga di gerbang sekolah. Namun nyatanya cowok itu lebih memilih cara yang cukup ekstrim untuk membolos.

"Nggak usah kebanyakan nanya. Sini naik ke pundakku," balas Tomi sambil berjongkok dan menepuk-nepuk pundaknya.

Ari masih tak bergeming. Sebetulnya dulu pas SMP, ia pernah satu kali melakukan hal seperti ini. Waktu itu ia terlambat masuk sekolah dan pak satpam tidak mengijinkannya masuk, jadi ia memutar otak dan masuk ke area sekolah dengan memanjat pagar beton dari sisi yang lain.

Ia masih tidak habis pikir, kenapa tadi ia menerima ajakan cowok itu. Kan seharusnya sekarang ia berada di kelasnya dan berkenalan dengan teman-teman barunya, bukannya berdiri di sini sama Tomi.

"Lewat gerbang aja deh."

"Cepet naik, ah! Nanti keburu ada yang mergokin!" omel Tomi tidak sabaran. Akhirnya Ari mengalah dan menurut.

Beberapa menit kemudian, mereka sukses keluar dari area sekolah. Di gang yang sempit dan sepi, Tomi menggandeng tangan Ari dan menariknya. "Kita cari taksi."

Ari mengangguk. Ia jadi ingat tujuannya membantu Tomi karena keinginan mulia tuh cowok yang ingin memberi kado ulang tahun sama ibunya. Tapi ini keterlaluan. Bukannya bisa nanti saja sepulang sekolah?

Sepulang sekolah....? Oh iya, Mas Agung kan meminta mereka untuk kumpul lagi nanti sepulang sekolah. Tapi.....

Ari menyentakkan tangan Tomi, membuat cowok itu berhenti dan berbalik.

"Kenapa lagi sih?!"

"Aku nggak bisa, Tom! Aku balik aja ke sekolahan. Nanti gimana kalo......," ucapan Ari terhenti begitu melihat sepasang tanduk hitam tumbuh dengan cepat di puncak kepala Tomi. Dan secara tiba-tiba kedua mata Tomi berubah menjadi merah menyala.

Ari tahu kalau Tomi mencoba menakut-nakuti dirinya dengan kemampuan transformasi yang ia miliki. Tapi tetap saja Ari merasa takut dengan perubahan cowok itu yang seperti iblis, karena sejujurnya ia takut dengan segala makhluk-makhluk mistis.

"Cukup! Hentikan, Tom!" seru Ari. Tomi masih diam, sedangkan tanduk di kepalanya tampak semakin panjang.

"Oke, oke! Aku turuti keinginanmu! Sekarang stop! Jangan nakut-nakutin ah!" omel Ari. Tomi tersenyum jahat penuh kemenangan.

Tunggu dulu! Apa Tomi barusan tersenyum padanya? Senyumnya, walaupun jahat, tapi terlihat manis.

Setelah tanduknya hilang dan warna matanya kembali seperti semula, Tomi kembali menggaet tangan kanan Ari dan menyeretnya seperti budak.

***

Di kelas, Nicholas merasa uring-uringan. Anak itu ijinnya ke toilet, tapi ini sudah lebih dari tiga puluh menit dan Ari belum juga kembali. Nicholas mengeluarkan ponselnya dan menelpon anak itu.

"Angkat.... Ayolah... Cepet ang- halo, Ri?"

"Halo, Nic? Ada apa?"

"Kamu dimana? Kok ke toilet lama banget?" tanya Nicholas dengan nada cemas.

"Sorry, Nic. Aku lagi nganterin temenku pulang bentar. Bukunya ada yang ketinggalan katanya."

Nicholas mendengus kesal. "Cewek atau cowok?"

"Cowok, Nic. Kamu kenapa sih kok kedengarannya bete gitu?"

Cowok? Ari sekarang bersama cowok? Apa dia tidak memikirkan perasaan Nicholas?

"Balik sekarang!" titahnya setengah membentak.

"Nggak bisa, Nic. Mungkin baliknya entar agak siang. Lagian juga hari ini kan nggak ada guru yang ngajar," balas Ari dengan santainya yang semakin membuat Nicholas geram.

Tut! Tut! Tut!

Amarah Nicholas kian menjadi setelah Ari memutuskan telponnya. Ketika Nicholas mencoba menelpon Ari lagi, nomer anak itu malah tidak aktif.

Mau tidak mau, ia harus menunggu sampai anak itu balik ke sekolah.

***

"Kamu apa-apaan sih, Tom?!" bentak Ari ketika tiba-tiba Tomi mengambil ponsel Ari dengan kasar dan mematikan sambungan telpon, lalu mematikan ponselnya.

"Aku nggak mau diganggu," balas Tomi dingin lalu memencet bel di samping pagar depan rumahnya setelah mengantongi ponsel Ari di saku celananya.

"Yang ngganggu tuh kamu! Kembaliin ponselku!" teriak Ari sambil merogoh-rogoh saku celana depan Tomi. Namun Tomi tidak bereaksi apa-apa dan membiarkan Ari mengubek-ubek saku celananya.

"YA AMPUN!!" teriak seorang cewek histeris dari dalam yang membuat Ari kaget dan langsung menarik tangannya dari saku celana Tomi sebelum sempat mengambil ponselnya. Pipi Ari memanas karena malu.

"Cepet bukain pagernya!" teriak Tomi. Cewek itu dengan semangat langsung membuka pagar lebar-lebar.

"Kamu jam segini kok udah pulang? Mana motormu? Kamu bolos ya?" omel cewek itu.

"Tch! Bukan urusanmu!" balas Tomi dingin sambil melengos melewati cewek itu, meninggalkan Ari yang masih di luar.

"Dasar cowok sarap!" gerutunya pelan lalu menoleh pada Ari. "Eh? Kamu temennya Tomi ya? Ayo, masuk! Nggak enak kalo diliat orang."

Ari tersenyum paksa sambil melangkah masuk. Rumah Tomi lumayan mewah, walaupun tidak terlalu besar. Dan tentu saja mewah, mengingat kalau ia sekarang berada di perumahan yang cukup elit di Kabupaten Tulungagung.

"Aku kakaknya Tomi. Hana Poernomo. Panggil Hana aja," cewek bernama Hana itu mengulurkan tangannya. Kalau diperhatikan baik-baik, Hana memiliki mata yang lebih sipit dari pada Tomi, juga kulit yang lebih cerah.

Ari menyambut tangan Hana. "Namaku Ari, Kak."

"Ari siapa? Nama panjang?"

"Arinanda Djapri."

Hana melepas salamannya sambil mengangguk lalu mengajak Ari masuk ke dalam ruang tamu dan dipersilahkan untuk duduk.

Ruang tamu dengan dekorasi interior minimalis, namun kelihatan lebih elegan dan terkesan mahal, membuat Ari betah berlama-lama disini.

"Ngomong-ngomong kamu tadi di depan ngapain rogoh-rogoh saku celana Tomi?" tanya Hana dengan antusias.

"Eh? E-enggak ada apa-apa kok, Kak. Cuma... To-maksudku Kak Tomi ngambil ponselku tadi."

"Alah, cowok rese kayak dia nggak usah diseganin. Pake manggil 'kak' segala. Panggil Tomi aja, kedengarannya lebih pantes," balas Hana yang sekarang sudah duduk di samping Ari, membuat perasaan Ari tidak enak. Feeling Ari, sepertinya Hana ini tipe cewek yang cerewet.

"Oh iya. Ngomong-ngomong baru kali ini loh Tomi ngajak temen kayak kamu ke rumah. Soalnya dia jarang banget bawa temen ke sini. Paling-paling yang dibawa ke sini cuman temen-temen geng motornya," Hana mengalihkan topik, berusaha membuat Ari nyaman. Tapi malah sebaliknya, Ari merasa tidak nyaman sama sekali.

"Emangnya dia nggak pernah ngajak ceweknya ke sini, Kak?" satu kalimat yang tak terduga meluncur mulus dari bibir Ari.

"Um.. terakhir dia bawa ceweknya tuh setahun yang lalu. Nggak tahu tuh sekarang. Mungkin dia udah nggak doyan cewek kali, doyannya malah sama kamu," jawaban Hana barusan sukses membuat Ari terbatuk-batuk karena tersedak air ludahnya sendiri.

"Maksud kakak apa ya?"

Ketika Hana hendak menjawab, Tomi turun dari tangga dengan pakaian kasual. Kaos oblong hitam yang sedikit kebesaran, serta celana jeans biru tua yang sedikit sobek-sobek di bagian lututnya.

"Nggak usah dengerin apa kata dia! Nanti kamu ketularan gila!" Tomi kini sudah berdiri di depan Ari. "Ayo ikut aku. Kamu juga musti ganti baju dulu. Kayaknya aku punya beberapa setel baju yang pas buat kamu."

"Ya ampuuun! Kalian berdua rela bolos sekolah cuma buat kencan ya? So sweet!" pekik Hana histeris.

"Ki-kita nggak kencan kok, Kak! Beneran!" Ari membela diri. Andai saja kalau Hana bukan kakaknya Tomi, pasti dia udah kena lemparan sepatu. Tapi Ari masih tahu adab, jadi ia memilih bertingkah seperti cowok agar-agar.

Tomi tidak menggubris, malah menarik Ari menuju kamarnya. Dengan cepat, ia memilihkan beberapa potong pakaian yang cocok untuk anak itu.

"Cepet ganti. Aku tunggu di bawah."

"Tapi kembaliin ponsel-..."

BLAM!

Tomi menutup pintu dari luar sebelum Ari sempat menuntaskan kalimatnya.

Sial!

Ari mencermati baju-baju yang baru dipilihkan oleh cowok itu. Dan semuanya satu tipe kayak pakaian yang tadi dipakai Tomi.

Sumpah! Ia tidak menyangka kalau acara bolos dan menemani Tomi hari ini malah jadi menyulitkannya.

Ia jadi ragu lagi dengan keputusannya untuk membantu cowok liar itu.

***

Tomi turun ke ruang tamu setelah menutup pintu kamarnya. Dan benar saja, kakaknya yang cerewet sudah menunggunya disana, sepertinya siap untuk membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan kakaknya.

"Cieeee.... Cieeee.... Yang mau kencan...," goda Hana begitu Tomi duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Nggak usah banyak bacot!" balas Tomi dingin.

Hana terbelalak. Untuk pertama kalinya, Tomi membalas ucapannya setelah berbulan-bulan lamanya mereka diam-diaman, atau lebih tepatnya Tomi mendiamkan Hana, karena suatu hal.

Tapi Hana masih tidak percaya. Ia menggoda Tomi lagi. "Jadi beneran kencan nih? Emangnya mau kemana sih?"

"Kakak nggak bawel bisa kan? Dia itu cuma temen, dan aku bukan cowok maho. Lagian apa untungnya kalo aku pacaran sama dia?"

Sedikit terenyuh melihat adiknya kini mau bicara lagi dengannya. Walaupun ucapannya agak kasar, tapi ini sedikit lebih baik karena adiknya itu sudah tidak mendiamkannya lagi. Hana yakin, pasti cowok manis tadi yang sudah membuat Tomi sudah sedikit berubah seperti ini.

"Aku tahu kok kamu bukan maho. Tapi aku lebih seneng liat kamu sama Ari daripada sama cewek cabe-cabean yang biasanya buat taruhan balapan motor."

Tomi mendengus. "Sejak kapan kakak perhatian kayak gini? Bikin jijik!"

"Eh! Kalo ngomong disaring dulu kek? Kamu tuh lagi ngomong sama kakakmu, bukan sama cabe-cabean!" omelnya.

"Emang ada bedanya? Enggak kan?"

Hidung Hana mengerut tampak agak marah. Ketika Hana hendak memukul Tomi dengan slipper, cowok itu secara tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang membuatnya terkejut.

"Rencananya aku mau ngajak Ari ke makam mama. Udah lama aku nggak ke sana. Dan kebetulan hari ini ulang tahunnya."

Hana menurunkan slipper-nya yang sudah terangkat tinggi-tinggi. Pada saat yang sama, Ari selesai ganti baju dan turun ke ruang tamu.

Tomi memandang Ari tanpa berkedip. Anak itu tampak berubah seratus delapan puluh derajat jika memakai bajunya.

"Kok kamu pakai baju yang itu sih? Nggak cocok, tahu?! Kaosnya kebesaran banget lagi! Kamu itu tipe-tipe goodboy, bukan badboy!" itu bukan omelan si Tomi, melainkan Hana.

Ari mengernyit sambil memandang pakaiannya. Menurutnya tidak ada yang salah.

"Tunggu sebentar!" ucap Tomi tiba-tiba langsung lari ke atas dengan cepat lalu kembali dengan membawa jaket kain warna hitam dan memberikannya pada Ari.

"Pakai itu, biar kaosmu nggak keliatan terlalu kebesaran."

Ari hanya patuh sambil memakai jaket itu dengan muka ditekuk.

"Kak, pinjem mobilmu!" teriak Tomi seakan berbicara pada jongosnya.

Hana mengeluarkan kunci mobil dari saku kemejanya dan melemparnya ke arah Tomi. Tomi langsung menangkapnya dan menggaet tangan kanan Ari keluar rumah.

"Jangan lama-lama, woy! Jaga pacarmu baik-baik! Itu anak orang!" goda Hana dengan suara lantang.

***

Wajah Ari masih terasa panas dengan perkataan Hana walaupun ia dan Tomi sekarang sudah melaju di jalan raya. Ia malu banget jika kakaknya Tomi mikir aneh-aneh tentang mereka berdua.

"Kamu kenapa sih? Gila?" tanya Tomi.

Ari segera menghilangkan pikirannya sambil menggeleng keras. "Enggak. Eh, mana ponselku? Kembaliin sekarang!"

"Oh. Ketinggalan di celana seragam sekolah. Nanti aja pas pulang," jawab Tomi santai.

"Kok gitu sih? Kita balik sekarang pokoknya. Aku butuh ponselku!"

"Bawel!" seru Tomi sambil merogoh saku celana jeans-nya dan mengeluarkan ponsel miliknya. "Nih, pake ponselku dulu aja. Nyusahin banget."

Ari menerimanya dengan perasaan bingung. Ponsel kan barang privasi, dan Tomi menyerahkan ponselnya pada Ari seakan-akan cowok itu tidak peduli jika privasinya dibongkar oleh Ari.

Cowok aneh!, batin Ari.

Akhirnya Ari cuma bisa diam, menggenggam ponsel cowok itu seperti barang berharga tanpa mengutak-atiknya.

Beberapa menit kemudian, sesuatu terlintas di benak Ari yang membuatnya gatal dan ingin bertanya pada cowok yang sedang menyetir di sebelahnya.

"Itu tadi kakak kandungmu?"

"Hm. Kenapa?"

"Dia cantik. Wajahnya oriental. Kalian berdua keturunan Jepang atau gimana sih?"

"Nenek dari pihak papa asli orang Jepang," jawab Tomi singkat.

"Pantesan nama kamu Tomisawa. Terus tadi aku lihat di rumah kok nggak ada siapa-siapa kecuali Kak Hana? Orangtuamu kerja semua ya?"

Tomi masih saja menyetir dengan mantap dan santai tanpa memandang lawan bicara. "Papa kerja di Jepang. Mama udah meninggal dua tahun yang lalu."

Napas Ari tercekik mendengarnya. "Loh? Bukannya kamu bilang mau ngasih kado sama mama kamu?"

Tomi tidak menjawab, membuat Ari menutup mulut.

Bodoh! Ari tidak peka.

Berarti sekarang Tomi ingin mengunjungi makam ibunya. Ari baru tahu kalau ibu Tomi sudah meninggal. "Maafin aku."

"Nggak perlu minta maaf. Itu salahku yang nggak ngasih tahu kamu sejak awal," balas Tomi santai. Cowok di sampingnya itu tidak menunjukkan ekspresi sedih sama sekali, membuat Ari bingung dengan pokerface-nya Tomi.

Mereka berdua kembali terdiam lama. Yang terdengar hanya suara deru mobil yang membuat Ari sedikit bosan dan mengantuk.

Ari menatap ponsel yang dipegangnya sekarang. Ia ingin membuka Facebook-nya saja daripada mati bosan di dalam mobil.

"Um.. dimana letak makam ibumu?" tanya Ari basa-basi sebelum meminta ijin Tomi untuk menggunakan ponselnya.

"Di Kota Blitar. Lumayan jauh."

"Bosen nih. Boleh pinjem ponselmu buat buka Facebook nggak?"

Tomi menghela napas. "Buat apa minta ijin segala? Orang ponselku udah di tangan kamu. Ya pake aja sesukamu. Anggap itu ponselmu sendiri."

Ari langsung berterimakasih dan membuka layar ponsel dengan wallpaper foto Tomi sendiri. Di foto itu Tomi tampak berbeda, dengan setelan jas hitam membuat cowok itu terlihat dua kali lipat lebih gagah dan menarik, dan sebatang rokok yang nangkring di bibirnya membuat foto itu terlihat seperti foto seorang model terkenal.

"Fotomu ganteng," ucap Ari lirih tanpa sadar. Dan Tomi yang masih bisa mendengar hal itu hanya tersenyum super duper tipis.

"Oh iya, Tom. Kan kata Mas Agung kemampuan kita itu karena keturunan yah? Kakak kamu tahu itu nggak? Atau jangan-jangan kakak kamu juga punya kemampuan?" tanya Ari tiba-tiba sambil memainkan ponsel Tomi.

"Kak Hana kayaknya nggak tahu. Mungkin dia punya kemampuan, tapi mungkin juga enggak. Aku nggak pernah cerita soal kemampuanku ini sama Kak Hana, bahkan sama papa sekali pun," jawab Tomi sekenanya.

Ari menaikkan alisnya. Ini pertama kalinya dalam sejarah, Tomi menjawab pertanyaan Ari dengan kalimat panjang tanpa nada tinggi yang menyebalkan.

"Kalo aku sih anak tunggal, jadi nggak punya sodara. Dan belum nanya mamaku. Setiap pengen nanya, mesti lupa terus," tukas Ari.

"Emang tadi aku nanya kamu ya? Enggak kan?" balas Tomi ketus.

Ari mencibir sambil menahan malu. Kali ini ia memilih diam sampai tujuan.


(Bersambung...)


Previous Chapter| Next Chapter 



Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)