Generation (Chapter 07)
"Aku...... aku juga seorang yang punya 'bakat' seperti kalian. Akan kutunjukkan," Nicholas membuang kertas tisu dari tangannya.
Ari mengernyit. Ia tidak pernah tahu kalau Nicholas ternyata menyempan 'bakat' juga. Ari menatap cowok itu tanpa berkedip seolah tidak ingin melewatkan hal sekecil apapun.
Dan sesaat kemudian, sesuatu yang tidak tak terduga pun terjadi. Nicholas membantingkan tubuhnya ke atas meja kaca, membuat Ari berteriak panik.
Bukannya ia meragukan perkataan Nicholas, tapi ia khawatir kalau cowok itu malah bertindak terlalu nekat dan sembrono.
Namun tubuh Nicholas hanya tergeletak di atas meja, dan mejanya tidak hancur sama sekali, seakan-akan Nicholas tidak memiliki berat badan.
"Astaga!" pekik Kak Geraldine.
Sedangkan Ari langsung mendekati Nicholas dan membantunya bangkit. "Kamu hampir bikin aku mati berdiri!"
Nicholas terkekeh. "Sekarang kita bisa impas. Kamu tadi malah bikin aku kayak kena serangan jantung."
Tomi membuang muka melihat keakraban dua cowok di depannya itu. "Gimana kamu bisa ngelakuin itu tadi?"
Nicholas mengerjapkan matanya erat sebentar. "Aku ngga tahu. Aku udah biasa melakukannya sejak aku kecil. Mungkin Mas Agung ngerti itu kemampuan jenis apa."
Mereka semua menoleh ke Mas Agung. Tapi Mas Agung terlihat ragu sambil mengusap dagu. "Itu kelihatan seperti levitasi tingkat 1, kurasa."
"Apa itu levitasi?" tanya Geraldine.
"Kemampuan meringankan tubuh. Untuk tingkat pemula, kamu baru bisa membuat tubuhmu seringan kapas."
Nicholas tersenyum senang. Setidaknya ia juga memiliki sesuatu yang juga dimiliki oleh orang-orang disitu.
Ari menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Ia merasa Mas Agung mengetahui banyak hal. "Kok Mas Agung bisa tahu nama-nama kemampuan dan tingkatan kami? Bahkan kami sendiri pun nggak tahu."
"Mudah. Ayahku yang memberi tahu semuanya. Kemampuan seperti ini disebabkan faktor keturunan. Tapi kemampuan yang diperoleh nggak selalu sama. Ayahku bisa melakukan teleportasi hingga jarak yang sangat jauh. Dan pasti orang tua kalian, entah itu ayah atau ibu, atau bahkan keduanya, memiliki kemampuan," jawabnya.
Keturunan? Ari tidak yakin. Ia tidak pernah memergoki ibunya melakukan hal-hal aneh di rumah. Atau mungkin mendiang ayahnya?
"Baiklah kalau gitu. Kalian bisa pergi sekarang. Ruangannya mau aku tutup. Oh ya. Aku ketua ekskul teater. Jadi jangan heran kenapa aku bisa keluar masuk markas teater kapanpun," ucap Kak Geraldine.
"Oh iya. Besok pas hari pertama masuk sekolah, pulangnya jangan lupa ya buat kumpul disini lagi. Nanti ku ajak papaku. Mungkin nanti dia bisa ngasih informasi lebih banyak ke kalian. Dan aku juga yakin, pasti Tuhan punya rencana kenapa kita diberi kemampuan seperti ini. Ya udah kalo gitu. Sampai ketemu lagi," kata Mas Agung sebelum bubar.
***
Gerimis rintik-rintik sudah turun sejak jam 6 sore, sekitar satu jam yang lalu.
Ari dan Nicholas sedang berada di dalam kamar, duduk di atas kasus dan bersandar di dinding sambil menonton televisi. Dan tentu saja mereka sudah menyiapkan persediaan camilan, karena Nicholas berencana untuk menginap lagi malam ini. Tapi bukannya fokus dengan televisi, pikiran Ari malah melayang jauh dengan kejadian tadi siang. Mengenai kemampuan Nicholas....
"Sejak kapan kamu bisa ngelakuin hal kayak tadi siang?" Ari langsung bertanya pada intinya tanpa berbasa-basi-busuk yang tidak penting.
Nicholas menoleh lalu seulas senyum tersungging di bibirnya. "Kenapa kamu tanya soal itu? Aha! Kamu pasti mulai tertarik padaku!"
Ari manyun. Bukannya menjawab, malah berkata sesuatu yang bukan-bukan. "Aku serius, bego."
Nicholas terkekeh sambail meletakkan bungkus snack-nya dan bertopang dagu di depan Ari. "Hm... aku udah lupa. Mungkin udah dari SD kali."
"Gimana bisa?"
"Waktu itu aku pernah jatuh dari lantai dua di sekolah. Tapi aku nggak apa-apa. Nggak sakit sama sekali dan nggak ada luka sedikit pun." Nicholas menatap Ari lekat-lekat. "Kalo kamu?"
Ari merasa tidak bersemangat kalau harus menceritakan soal dirinya sendiri. Tapi ia harus. "Kalau aku masih baru-baru ini. Tepatnya setelah lulus SMP. Waktu aku bantu mama di dapur. Tapi malah terluka kena pisau. Dan pas aku ngambil kotak obat, lukanya udah nutup sendiri."
Nicholas manggut-manggut. "Bakat kita hampir sama. Kita sama-sama sulit buat kena luka."
"Itu mah kamu, keles. Kamu nggak akan terluka walaupun jatuh dari ketinggian. Tapi kalau aku, pasti aku akan ngerasain sakit lebih dulu."
Nicholas terkekeh lagi, lalu keduanya kembali menonton televisi dengan damai.
"Ari?" panggil Nicholas.
"Hm?"
"Sampai kapan kamu terus nggantungin aku kayak gini?"
Tubuh Ari menegang seketika. Ia bingung harus menjawab apa. "Aku... a-aku....,"
Ia tidak mampu melanjutkan. Lidahnya terlalu kelu untuk berbicara. Sebenarnya ia masih belum memiliki perasaan apapun pada Nicholas. Tapi mau bagaimana lagi?
Namun sedetik kemudian, tawa Nicholas meledak memenuhi kamar. "Gahaha! Lihat mukamu! Lucu sekali! Hahahaha!"
"Kamu apaan sih? Nggak lucu! Kamu pikir masalah perasaan kayak gini tu lelucon?"
"Bukannya gi...,"
"Udahlah! Aku jadi nggak mood lagi!" Ari jengkel lalu berbaring dan menutupi kepalanya dengan bantal. Ia paling benci kalau masalah perasaan seperti ini menjadi bahan candaan.
Nicholas mendekat dan menindih tubuh Ari dengan perlahan. Ia menyingkirkan bantal yang menutup kepala Ari dengan cepat.
"Kamu lucu sekali kalau lagi ngambek kayak gini," bisik Nicholas tepat di telinga kanan Ari.
"Masa bodo!"
"Masak gitu aja marah sih?"
"Kamunya nyebelin. Aku mau tidur."
Nicholas menghela napas. "Kan aku udah bilang. Aku akan bikin kamu jatuh cinta padaku. Walaipun mungkin butuh waktu."
"Bodo amat!"
Nicholas tersenyum lalu mengecup kening Ari. "Ya sudah. Tidur aja. Aku masih mau nonton tivi."
***
Hari ini adalah hari pertama sekolah. Tapi biasanya di sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Tulungagung, masih belum ada kegiatan belajar-mengajar untuk tiga hari pertama. Dan itu salah satu alasan kenapa Ari sangat bersemangat pagi ini.
Mulai hari ini, secara resmi title-nya berubah dari anak SMP jadi SMA. Padahal rasanya seperti baru kemarin ia menerima rapor saat kelas satu SMP.
Ia langsung berjalan menuju kelasnya, X-A. Entah kenapa, sejak SMP, yang namanya kelas A atau kelas yang paling awal itu seakan-akan menjadi kelas paling favorit di kalangan siswa. Dan ia beruntung bisa masuk kelas A.
Sesampainya di kelas, ia melihat sebagian siswa yang sudah datang. Mereka semua masih terlihat asing. Ada yang masih duduk diam di bangkunya, ada pula yang sudah berbaur dan saling mengobrol dengan teman yang lain.
Pada saat yang sama, seseorang menepuk punggung Ari dari belakang.
"Selamat pagi! Kenapa nggak masuk?"
Ari menoleh dan menemukan sosok Nicholas yang juga baru datang. Ia tidak menjawab, malah terheran-heran saat mengetahui kalau hari ini Nicholas berpenampilan berbeda. Ia memakai kacamata. Ari paling suka melihat laki-laki berkacamata.
Cowok tampan seperti Nicholas memakai kacamata.... Terlihat empat kali lebih menarik di matanya.
Dan mengenai kejadian ngambek waktu itu, Ari sudah melupakannya. Anak itu bukan tipe orang yang suka memperpanjang masalah, apapun itu, jika sudah, ya sudah. Tidak perlu dipermasalahkan lagi.
"Kita cari tempat duduk yuk. Aku pengen duduk sebangku sama kamu," Nicholas menggandeng tangan Ari sambil memasuki ruang kelas. Mendadak, siswa-siswi yang ada di kelas terdiam. Beberapa siswi bahkan ada yang berbisik-bisik sambil melempar senyum pada Nicholas. Tapi Nicholas mengacuhkan mereka.
"Ari, Nicholas, sini!"
Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara dan menemukan sosok Titi yang duduk di pojokan, lurus dengan meja guru. Kali ini Ari gantian menyeret Nicholas menghampiri Titi dan duduk di bangku kosong yang letaknya di depan Titi.
"Akhirnya bangku kita bisa deketan lagi!" pekik Titi, lebih tertarik ngobrol dengan Ari daripada Nicholas.
"Aku juga seneng. Eh, kita ke kantin yuk. Aku laper, soalnya tadi buru-buru jadi nggak sempet sarapan."
Ketika Titi hendak membalas, tiba-tiba ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk.
"Bentar ya, Ti," ucapnya pada Titi lalu mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang menelponnya. "Halo?"
"Ari, temuin aku sekarang di depan ruang OSIS!" kata seseorang dari seberang lalu langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Dari nada suaranya, Ari yakin kalau orang yang barusan menelponnya itu Tomi.
Ini orang waras nggak sih? Seenaknya nyuruh-nyuruh! Dipikir aku jongosnya?, omel Ari dalam batin.
Tapi walaupun mau ngomel seperti apapun, akhirnya Ari juga nurut. Siapa tahu penting.
"Emm... aku ke belakang sebentar ya."
Nicholas langsung mencegahnya. "Mau ngapain?"
"Mau beol. Kamu mau ikut?"
Nicholas mengangguk antusias.
Ini lagi, nggak kalah gilanya dari Tomi!, batin Ari.
"Kamu apaan sih? Udah, nunggu di kelas aja. Lagian cuman bentar kok."
Titi memandang dua cowok di depannya secara bergantian dengan tatapan mendelik. "Ya elah, Nic. Kamu ngapain ikut? Mau bantuin Ari beol? Di sini aja. Nanti kalo kamu ikutan keluar, aku sendirian dong."
"Ya udah kalo gitu. Cepetan," titah Nicholas pada Ari yang membuat Titi semakin janggal.
***
Kelas Ari dengan ruang OSIS memang agak jauh. Ia sebetulnya malas kalau disuruh ke sana. Apalagi yang nyuruh si Tomi. Tapi ia memilih patuh saja, siapa tahu cowok itu mau ngobrolin hal yang penting.
Ketika hampir sampai, dari kejauhan ia bisa melihat sosok cowok tampan dengan muka preman yang duduk-duduk santai di teras OSIS. Siapa lagi kalau bukan si Tomi. Namun cowok itu tidak sendirian. Ada seorang cewek cantik berponi dengan rambut dikuncir kuda yang berdiri di depan cowok itu. Ari berhenti melangkah.
Tunggu dulu! Sepertinya Ari pernah melihat cewek itu. Bukankah dia satu kelompok sama Ari sewaktu MOS kemarin? Iya, Ari yakin sekali, walapun dia tidak tahu namanya.
Cewek itu tampak tersenyum malu-malu pada Tomi dan memberikan bungkusan warna merah hati pada cowok itu. Tomi menerimanya dengan wajah datar tanpa mengucapkan terimakasih. Lalu cewek itu pergi dengan girang bukan main.
Ari pikir Tomi itu gak terlalu populer seantero sekolah, tapi cukup dikagumi oleh cewek-cewek adik kelas.
Ari menghela napas lalu berlari kecil menghampiri Tomi.
"Ada apa, Kak?" sergah Ari tanpa basa-basi.
Tomi menoleh. "Temenin aku pulang sebentar," titah cowok itu.
"Nggak mau!"
"Jangan ngebantah!"
Ari memutar bola matanya. "Kak, MOS udah bubar, jangan ngira aku mau nurut terus sama omonganmu, Kak! Udahlah, aku mau balik. Mau nyari sarapan ke kantin."
Ketika Ari berbalik, Tomi langsung menahannya dengan sigap. Ia menyodorkan bungkusan merah yang dikasih sama cewek tadi. "Nih, makan!"
"I-ini... bukannya ini buat Kak Tomi? Kenapa dikasih ke aku?"
"Katanya kamu belum sarapan? Udah nggak usah bawel! Makan aja! Abis itu kita langsung ke rumahku, ngambil bukuku yang ketinggalan."
Ari menerimanya sambil naik pitam. "Itu kan deritamu, Kak. Kenapa ngajak-ngajak aku? Lagian buat apa ngajak aku? Nggak ada ya temen sekelas kakak buat diajak?"
Rahang Tomi tampak mengerah mendengar omelan Ari. Ia bergerak mendekati anak itu, Ari hendak mundur tapi ditahan oleh Tomi.
"Temenin aku bolos hari ini," bisiknya mulus di telinga kanan Ari lalu mundur selangkah.
"Kakak kalo emang nggak niat sekolah mending keluar aja, Kak! Janga-umph!" Tomi membekap mulut Ari sebelum anak itu menyelesaikan kalimatnya dan membuat keonaran.
"Danc*k! Jangan keras-keras, goblok!" umpat Tomi lirih pada Ari dengan tatapan tajam menusuk. Setelah Ari sedikit tenang, Tomi melepaskan bekapan tangannya.
"Ibuku ulang tahun hari ini. Aku cuma pengen ngasih kado sama dia."
Ari sepertinya mengerti. "Terus kamu malu? Takut kalo kamu ngajak salah satu temenmu terus nanti dibilang anak mami?"
Bukannya menjawab, Tomi malah mendecak kesal.
Ari memutar bola matanya lagi. Reaksi Tomi menandakan kalau ucapannya barusan benar. "Ngapain malu. Ingat, woy! Siapa yang udah ngelahirin kamu. Kalo kamu malu cuma gara-gara ngasih kado ke mamamu, maaf, kamu tolol!" jeda sejenak. "Terus kamu nggak malu gitu sama aku?"
"Buat apa malu? Lagian kamu bukan siapa-siapaku. Jadi nggak masalah kalo kamu tahu kelakuan aku busuknya kayak gimana."
Ari sedikit mencelos mendengarnya. Ia memang bukan siapa-siapa Tomi. Ia juga bukan teman dekat cowok itu. Sama sekali bukan orang spesial di mata Tomi.
Ari berkacak pinggang sambil menimbang-nimbang. Sebenarnya tujuan Tomi cukup mulia. Ia ingin membuat ibunya senang.
"Kamu nggak takut nanti mamamu marah-marah pas ngeliat kamu bolos?" tanya Ari tanpa menggunakan kata 'kakak' lagi.
"Kegiatan belajar-mengajar masih belum efektif, goblok! Dia pasti bisa ngerti."
"Eh, goblok-goblokin orang seenaknya. Mau aku temenin nggak nih?"
Mendengar hal itu membuat mata Tomi membulat seketika. "Kamu mau? Serius?"
Ari mengangguk lemah. "Kali ini aja kayaknya nggak apa-apa. Tapi ada syarat."
"Katakan!"
"Selama satu hari ini kamu nggak boleh ngerokok!"
Tomi mendecak lagi. "Eh, kamu siapa aku? Buat apa ngatur-ngatur hidupku? Ya terserah aku, mau ngerokok, mau mabuk-mabukan. Nggak usah sok perhatian!"
"Ya udah, coba tanya temen sekelasmu. Siapa tahu ada yang mau nemenin kamu. Aku mau balik ke kelas aja," ujar Ari sambil berbalik hendek kembali ke kelasnya.
Namun dengan cepat, Tomi menahan tangan kiri anak itu. "Eh, tunggu!"
Ari berbalik sambil memasang senyum menang dan ekspresi acuh. "Apa lagi sih?"
Tomi menghembuskan napas panjang. "Deal. Aku seharian ini nggak bakal ngerokok."
Ari masih berlagak tidak peduli. "Terus?"
"Mau aku tabok?!" bentak Tomi bersungut-sungut.
Ari tertawa lepas. "Iya.. iya.. tapi aku makan ini dulu ya. Laper, belum sarapan."
Tomi menggaet tangan kiri Ari dan menariknya. "Sarapan di rumahku aja."
(Bersambung...)
Previous Chapter| Next Chapter
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say