Generation (Chapter 06)



Tomi dalam kondisi mabuk.

"Ku mohon, jangan jauhi aku. Jangan bikin aku gila," ucapnya dengan suara serak, lalu jatuh terkulai di depan Ari.

Sontak, Ari berjongkok dan menggoyang-goyangkan tubuh Tomi. "Kak Tomi?! Bangun, Kak!"

Namun yang digugah tak kunjung bangun. Cowok itu pasti sudah terlalu mabuk. Akhirnya dengan terpaksa, Ari menggendong tubuh Tomi ke dalam kamarnya dengan agak kesulitan.

Direbahkannya tubuh Tomi yang bau alkohol di atas kasur. Cowok itu tampak mengenaskan sekali. Apalagi melihat kaosnya yang compang-camping, entah terkena apa. Ia jadi ragu sendiri apakah ia harus mengganti pakaian cowok itu atau tidak.

"Kak?! Bangun, Kak! Woy!" Ari mencoba membangunkannya lagi, namun sia-sia. Mana perutnya dari tadi keroncongan, membuatnya panik dan tidak bisa berpikir jernih. Ribuan pertanyaan langsung menyerang pikirannya.

Bagaimana cowok itu bisa kesini? Kenapa ia bisa mabuk-mabukan seperti ini? Apa yang terjadi padanya sampai kaosnya sobek dimana-mana? Apa mungkin ia baru kena rampok? Atau mungkin baru mengalami tabrak lari? Tapi tidak mungkin. Wajahnya masih normal tanpa ada luka. Badannya juga baik-baik saja.

Ari mendekat. Dipandangnya wajah Tomi dari dekat sambil menepuk-nepuk pipi cowok itu. "Kak Tomi?! Sadar, Kak! Kak Tomi?!"

Dengan cepat, ia meraba-raba kaos Tomi untuk mencari ponsel. Tapi tidak ada. Cowok itu tidak membawa ponsel. Yang ada malah sebungkus rokok dan korek.

Oke. Sudah cukup. Ia menyerah. Ari langsung melepas kaos Tomi dengan sabar dan langsung membuangnya ke tempat sampah, menyisakan Tomi yang shirtless di atas kasurnya.

Tapi ngomong-ngomong, Tomi terlihat sangat menawan jika sedang tidur seperti ini. Wajahnya masih terlihat jutek dan menyebalkan, tapi ada sedikit kepolosan di sana. Dan bentuk tubuh Tomi yang.... Ah sudahlah. Ari tidak ingin terus-menerus membayangkan hal yang tidak-tidak.

Ari kembali mendekat. Diperhatikannya wajah Tomi lekat-lekat. Ia baru sadar kalau cowok itu sekarang memakai anting hitam di telinga kirinya yang membuat Ari mengeryit dan tersenyum tipis.

"Dasar preman!"

***

Hari sudah hampir subuh ketika Tomi tersadar. Kepalanya masih terasa pusing dan menyakitkan.

"Kak Tomi udah bangun?!" tanya Ari senang sambil beranjak dari meja belajarnya dan duduk di pinggiran kasur.

"Ari? Argh! Aku.. ini dimana?"

"Di rumahku, Kak."

Tomi mengerutkan kening. "Di rumahku? Kenapa aku bisa sampek sini?" tanya Tomi lalu melirik ke badannya sendiri. "Dan dimana kaosku?"

"Seharusnya aku yang tanya, Kak! Kenapa Kak Tomi bisa tahu rumahku? Kemarin malem kakak tiba-tiba udah ada di depan rumahku dengan kaos compang-camping dan kondisi mabuk. Tuh, kaosnya aku buang ke tempat sampah," Ari menunjuk ke tempat sampah di samping meja belajar. "Kakak beneran nggak inget apapun?"

Tomi memegangi keningnya. "Aku cuma inget kemarin malem aku minum di rumah temenku buat ngilangin stres. Abis itu nggak inget lagi."

Ari tampak kecewa. Ia yakin kalau Tomi sudah mengerti alamat rumahnya Ia juga ingin sekali menanyakan kata-kata yang kemarin sempat diucapkan Tomi sebelum tak sadarkan diri. Tapi tak apalah, yang penting cowok itu sudah sadar sekarang.

"Kak, aku minta maaf."

"Minta maaf buat apa?"

Ari mendesah. Tomi mungkin pura-pura lupa. "Kemarin kan aku sempet ngomong kasar sama kakak. Sekarang aku minta maaf."

"Seharusnya aku yang mesti minta maaf karena nggoresin silet ke waj.....," ucapan Tomi terhenti begitu melihat pipi kiri Ari yang mulus tanpa luka. "Wajahmu...?"

Ari terkekeh pelan sambil mengusap pipinya. "Iya, Kak. Lukanya udah nutup sendiri. Bekasnya aja gak keliatan."

Tomi mengulurkan tangannya dan meraba pipi kiri. Ketika telapak tangan Tomi menyentuh pipinya, Ari merasa deg-degan.

Namun perasan itu hilang setelah cowok itu menarik kembali tangannya. "'Jadi...?"

Ari menaikkan alisnya. "Hm?"

"Kamu udah nggak marah lagi, kan?"

"Buat apa aku marah sama kakak? Kayak kurang kerjaan aja."

Tomi bersikap biasa saja ketika mendengarnya. Bahkan tersenyum pun tidak. Ari tahu kalau Tomi itu memang jarang tersenyum pada siapapun. Ari pun kembali ke meja belajarnya dan kembali sibuk dengan laptopnya.

Tak lama, terdengar suara bunyi perut yang asalnya dari Tomi. Cowok itu langsung memegangi perutnya.

Ari menoleh sambil menahan tawa. "Kakak lapar?"

Tomi mengangguk. "Dari kemarin siang belum makan."

"Tadi malem aku delivery-order nasi goreng jawa dua porsi, Kak. Yang satu ada di meja dekat kakak, tuh. Makan aja kalau emang laper."

Tomi menatap jam dinding. Jam setengah empat pagi. "Kamu jam segini udah bangun?"

"Aku emang sering kebangun jam segini, Kak. Kalau dipaksain buat tidur lagi malah pusing. Kalau udah gini biasanya aku iseng-iseng buka sosmed."

Tomi langsung bangkit dari kasur. "Kamu punya baju nggak? Aku pinjem, mau pulang sekarang."

"Sekarang? Nggak makan dulu aja? Diluar juga masih gelap, Kak."

"Nggak masalah. Aku makan dirumah aja."

Ari beranjak menuju lemari untuk mencari baju untuk Tomi.

"Besok sehabis MOS hari terakhir kamu jangan pulang dulu. Temui aku di ruang OSIS."

Ari melempar sebuah jaket kulit besar pada Tomi. Cowok itu langsung menangkapnya dengan sigap. "Emang kenapa, Kak?"

"Nggak usah banyak nanya! Turuti aja apa kataku!" Tomi kembali bersikap menyebalkan seperti biasa. Namun Ari masih penasaran bagaimana bisa Tomi berhasil menuju rumahnya dengan kondisi mabuk. Pasti cowok itu sudah tahu alamat rumahnya sejak awal. Dan mengenai kata-kata yang ia ucapkan, lebih baik ia menganggap hal itu tidak pernah terjadi.

***

Acara penutupan MOS pada hari ini ditutup dengan perayaan pentas seni, perwakilan dari setiap kelas.

Pentasnya diselenggarakan di aula. Dan kelas Ari menampilkan modern dance yang di wakili oleh beberapa cewek cantik bertubuh luwes yang meng-cover dance lagu dari girlband korea, entah lagu apa itu. Walaupun persiapannya baru kemarin, tapi mereka tampak sangat kompak dan hampir sempurna. Sepertinya Kak Geraldine memilih anak-anak pecinta K-Pop untuk berpartisipasi.

Ari hanya duduk di pojokan bersama Titi, Leo, dan Nicholas. Ia sudah memperkenalkan Nicholas pasa kedua temannya itu. Mata Titi berbinar-binar ketika bersalaman dengan Nicholas. Ari merasa itu hal wajar karena itulah sifat normal cewek. Sedangkan Leo bersikap seolah Nicholas itu orang yang tidak ingin dikenalnya.

Dan yah... walaupun Titi dan Leo masih belum begitu akur, tapi paling tidak mereka sudah bisa santai.

Jam dua lebih sedikit, acara MOS pun resmi ditutup, bersamaan dengan pengumuman pembagian kelas untuk siswa kelas sepuluh untuk tahun ajaran 2015/2016 di mading sekolah.

Ari kembali satu kelas bersama Titi di kelas X-A, dan diluar dugaan, mereka juga satu kelas dengan Nicholas. Sedangkan Leo berada di kelas X-E.

"Ari, abis ini aku main ke rumahmu lagi ya?" pinta Nicholas saat mereka berdua meninggalkan mading.

"Mau ngapain?"

"Ya main aja. Masak nggak boleh main ke rumah calon pacar?" usil Nicholas kepedean. Ari mencubit lengan kanan cowok itu keras-keras. Nicholas mengerang kesakitan.

"Jaga mulutmu. Disini ada banyak orang tauk," bisik Ari jengkel.

"Iya, iya. Sorry. Jadi gimana? Boleh nggak?"

"Boleh aja. Tapi abis ini aku masih ada perlu sama Kak Tomi."

Nicholas mengernyit. "Kak Tomi? Siapa dia?"

"Senior pendamping kelompokku."

"Emang ada urusan apa?"

"Nggak tau. Aku cuma disuruh nemuin di ruang OSIS."

Nicholas mengangguk. "Nggak apa-apa. Biar temenin kamu nemuin dia."

Setibanya di depan ruang OSIS, Tomi ternyata sudah menunggu sambil merokok di depan kelas yang letaknya di samping ruang OSIS.

"Kak Tomi!" panggil Ari dari kejauhan. Tomi menoleh dengan raut wajah yang langsung berubah begitu melihat Ari dan Nicholas. Ia dan Nicholas langsung menghampirinya.

"Ngapain sih kamu ngajakin temanmu segala? Kenapa kamu nggak sendirian aja?"

"Terserah aku dong, Kak. Lagian Kak Tomi nggak bilang sih kemaren," Ari berusaha membela diri. "By the way, kenalin ini Nicholas."

Nicholas tersenyum tak ikhlas sambil mengulurkan tangannya, tapi Tomi malah membuka muka, seakan kehilangan mood-nya. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam dan membuangnya, lalu menghembuskannya tepat di depan muka Ari. "Ayo ikut aku," ucapnya sambil berlalu meninggalkan Ari dan Nicholas.

"Tak usah diambil hati. Dia itu cowok labil," bisik Ari pada Nicholas lalu mengajaknya mengikuti Tomi. Nicholas jadi sebal ketika mengetahui kalau Ari mengerti betul cowok tadi.

Mereka pun tiba di sebuah markas ekskul teater sekolah. Namun di dalam ruangan itu cuma ada Mas Agung, si ketua OSIS, sama Kak Geraldine, senior pendamping Ari selama MOS.

Ari sempat ingin protes pada Tomi. Namun Tomi sudah menyapa Mas Agung dan Kak Geraldine duluan.

"Nih, kenalin, anggota baru kita," ucap Tomi sambil duduk di sebuah kursi dan memainkan ponsel.

Kak Geraldine melongo. "Ari?"

Ari tersenyum meringis sambil menoleh pada Nicholas. Ia tidak tahu kenapa Tomi membawanya kesini.

"Dan kamu Nicholas, kan?" tanya Mas Agung. "Aku nggak nyangka kalau ternyata kamu sama kayak kita."

Tomi mendecak kesal. "Bukan! Cuma si Ari doang yang sama!"

"Ha? Lalu kenapa kamu bawa Nicholas?!" raung Kak Geraldine.

"Tidak masalah, selama Nicholas bisa tutup mulut," ucap Mas Agung. "Ari, sekarang tunjukkin sama kita apa yang kamu punya."

Nicholas memandang Ari meminta penjelasan. Ari sendiri juga tidak paham.

"Umm.. maksudnya apa ya, Mas? Aku nggak ngerti, soalnya Kak Tomi cuma ngajakin aku kesini tanpa bilang apa-apa," Ari melirik Tomi sekilas.

"Tomiii!!" Kak Geraldine mendelik ke arah Tomi.

"Oh, sorry, aku lupa," balas Tomi tanpa memperhatikan mereka dan masih fokus dengan ponselnya.

"Baiklah. Aku nggak akan kasih sedikit penjelasan," Mas Agung menelan ludah. "Aku, Geraldine, dan Tomi... kami punya sesuatu yang nggak dimiliki sama orang-orang normal lainnya, jadi kami membuat kelompok rahasia kecil-kecilan."

Ari dan Nicholas jadi makin bingung. Namun Mas Agung kembali melanjutkan.

"Kami bisa melakukan sesuatu yang mungkin kelihatan aneh, karena menurut buku yang aku baca, hal itu disebabkan oleh peningkatan kinerja sel di bagian tertentu dalam otak. Tapi ada juga buku yang mengatakan kalau hal itu disebabkan oleh alam bawah sadar yang mengendalikan dan menggunakan kemampuan otak hingga lima belas persen atau lebih. Karena manusia norma cuma menggunakan kemampuan otak maksimal hinggal sepuluh persen."

Oh. Ari mengerti kemana arah pembicaraan mereka. Tapi ia membiarkan Mas Agung untuk kembali melanjutkan kalimatnya.

"Akan kami tunjukkan apa yang kami punya," kata Mas Agung. "Biar Geraldine duluan."

Kak Geraldine berdiri dari kursinya. "Oke." Cewek itu menatap sebuah botol air mineral di atas meja di depan Tomi lekat-lekat. Dan sedetik kemudian, botol itu tiba-tiba bergerak-gerak lalu jatuh menggelinding.

Ari dan Nicholas terbelalak. Bahkan Nicholas mengucek-ucek matanya.

"Ups! Sorry. Telekinesis tingkat 1. Aku masih belum bisa mengatur fokusku dengan baik."

"Itu udah cukup bagus kok," balas Tomi yang ikutan nimbrung, padahal ia sama sekali tidak memperhatikan aksi Kak Geraldine barusan.

"Ya, thanks!" tukas cewek itu kesal lalu kembali duduk di tempatnya tadi sambil melipat lengan. Mas Agung terkekeh sambil berbisik pada Geraldine. Cewek itu langsung sumringah dan mengangguk setuju. Ia beranjak dari kursinya dan mengambil botol air mineralnya tadi dan membukanya.

"Apa itu tadi sebuah trik?" tanya Nicholas.

"Itu bukan trik. Kalau masih ragu, sekarang giliranku, akan ku buktikan. Kalian pegang tanganku." Mas Agung mengulurkan kedua tangannya yang kokoh pada Ari dan Nicholas. Mereka berdua patuh dan melakukan apa yang diminta si ketua OSIS.

"Siap, Geraldine?" tanya Mas Agung.

"Siap!"

"Sekarang!" teriak Mas Agung sambil memejamkan mata. Kak Geraldine tiba-tiba hendak menyiramkan air mineral ke arah Tomi. Terlihat Tomi mengangkat kedua lengannya, namun sangat lambat.

Gerakan Kak Geraldine dan muncratan air pun semakin melambat dan semakin melambat, dan akhirnya terhenti. Semuanya berhenti. Bukan, lebih tepatnya waktu berhenti.

"WOW!" seru Ari dan Nicholas takjub.

"Chronokinesis tingkat 4. Aku bisa menghentikan waktu sesuka hatiku bersama orang yang ku pegang. Mungkin kalau aku berlatih lebih giat lagi, aku bisa melakukan hal yang lebih." ujar Mas Agung lalu melepaskan tangan mereka berdua.

Ari langsung berlari ke arah Tomi dan meraba-raba air yang hampir mengenai cowok itu. Ini nyata. Benar-benar nyata.

"Aku masih tidak percaya. Tolong tampar aku sekarang," ucap Nicholas di sampingnya. Dengan senang hati, Ari menampar pipi Nicholas.

"Auwh!! Sakit!! Kenapa kamu nampar aku?!" protes Nicholas.

"Kamu sendiri kan yang minta," jawab Ari sambil tertawa puas. Nicholas memasang raut masam sambil mengusap-usap pipinya yang kena tampar.

"Mas Agung hebat! Bisa melakukan hal semacam ini!" puji Ari.

"Ini masih tingkatan rendah kok," balas Mas Agung merendah.

Ari menatap wajah Tomi yang seperti manekin. Ia memejam erat, takut dengan air yang hendak mengenainya.

"Mas, bisa minta tolong geserin Kak Tomi nggak? Nanti dia bisa basah kuyup," pinta Ari.

"Nggak apa-apa kok. Biarin aja simpanse itu basah kuyup."

"Plis, Mas. Kasihan." Ari memohon. Mas Agung menghela napas panjang.

"Baiklah kalau itu maumu." Mas Agung bangkit menuju ke arah mereka dan memegang tangan Tomi erat-erat lalu melepasnya

"Woy! Sialan!" seru Tomi dengan tangan menutupi muka.

"Kak Tomi gak bakal basah kok!" kata Ari sambil menyingkirkan kedua lengan Tomi dari wajahnya. Cowok itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia sadar kalau Mas Agung menghentikan waktu saat ini.

"Geraldine sialan! Mau ngajak berantem kayaknya!" Tomi hendak berdiri dari kursinya, namun ditahan Mas Agung.

"Aku yang nyuruh dia," ucap Mas Agung yang langsung membuat Tomi mengurungkan niatnya. "Jangan anggap serius lah Tom!"

"Kita balik lagi aja lah!" teriak Tomi frustasi.

Mas Agung mengangguk dan mengulurkan kedua tangannya. Nicholas memegang tangan kiri, sedangkan tangan Ari dan Tomi tanpa sengaja saling bertemu di atas tangan kanan Mas Agung. Mereka berdua sempat bertatapan sekilas sebelum Ari membuang muka.

Mereka berempat pun bergeser dan mencari tempat aman supaya tidak terkena cipratan air.

Dan sedetik kemudian, kursi yang tadi diduduki Tomi basah kuyup. Waktu sudah berjalan seperti biasa.

"Ups! Mas Agung? Kenapa Tomi-nya dipindah? Ah!" protes Kak Geraldine.

"Gak usah banyak bacot!" balas Tomi sinis.

Mas Agung terkekeh pelan dan menoleh pada Ari. "Kalau Tomi, dia bisa melakukan transformasi tingkat 1. Kamu pasti udah tahu. Soalnya dia yang bawa kamu kesini."

"Udah, Mas. Dia udah nunjukkin ke duabelas jari tangannya padaku."

"Nah, sekarang giliran kamu."

Ari tak yakin untuk menunjukkan 'keanehan'nya pada Mas Agung dan Kak Geraldine. Tapi mengingat kalau kedua orang itu sudah menunjukkan keanehan mereka, rasanya tidak adil jika Ari menolak.

"Baiklah. Tapi tolong jangan kaget." Ari membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah silet kecil.

Ia menarik napas dalam-dalam dan berdoa dalam hati supaya rasa sakitnya cepat hilang. Dengan tangan gemetaran, Ari menggoreskan siletnya di atas telapak tangan kirinya. Darah segar keluar dengan lancar dari sana.

"Astaga, Ari! Kamu cari mati ya?!" Nicholas terlonjak dan mengambil beberapa lembar tisu dari atas meja. Namun Mas Agung langsung menahannya.

"Lihatlah!" kata Mas Agung pada Nicholas saat luka gores yang membuka langsung menutup dengan sendirinya.

"A-apa.. yang...," Nicholas tergagap tak mampu melanjutkan kalimatnya.

"Regenerasi tingkat 1? Keren sekali! Aku baru kali ini melihat regenerasi dengan mataku sendiri!" seru Kak Geraldine sambil mendekati Ari.

"Manusia seperti kamu ternyata benar-benar ada," timpal Mas Agung. Ari tersipu malu.

Mas Agung menepuk pundak Nicholas. "Mulai sekarang, bisa nggak kamu jaga rahasia kita berempat? Aku nggak pengen ada orang lain yang tahu."

"Mungkin maksudmu kita berlima, Mas," balas Nicholas.

"Hm? Maksudmu?"

"Aku...... aku juga seorang yang punya 'bakat' seperti kalian. Akan kutunjukkan," Nicholas membuang kertas tisu dari tangannya.

Ari mengernyit. Ia tidak pernah tahu kalau Nicholas ternyata menyempan 'bakat' juga. Ari menatap cowok itu tanpa berkedip seolah tidak ingin melewatkan hal sekecil apapun.

Dan sesaat kemudian, sesuatu yang tidak tak terduga pun terjadi. Nicholas membantingkan tubuhnya ke atas meja kaca, membuat Ari berteriak panik.


(Bersambung...)


Previous Chapter| Next Chapter



Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)