Generation (Chapter 05)



Pagi ini Ari dan Nicholas berangkat ke sekolah bersama, karena semalam Nicholas bermalam di rumah Ari. Tapi walaupun begitu mereka berdua tidak melakukan hal yang macam-macam selain tidur (readers, positive thinking ya). Dan seperti janjinya, Nicholas akan terus berusaha supaya Ari bisa jatuh cinta padanya.

Hari ini hari kedua MOS, bisa dipastikan yang namanya perpeloncoan secara halus masih akan terus berlanjut hingga besok. Di lapangan sekolah, sudah tampak sebagian besar junior yang berbaris seperti kemarin. Setelah memarkirkan motornya, Ari dan Nicholas langsung berlari ke dalam barisan mereka masing-masing sesuai kelompok yang kemarin. Ari berbaris di samping Leo -yang entah kesambet setan apa- menyapanya sambil tersenyum.

"Pagi, Ari!"

"Pagi juga," balas Ari singkat. Mungkin si Leo baru menang kuis acara televisi. Tapi ini hal yang bagus. Setidaknya, ia tidak perlu canggung lagi jika Leo bersikap friendly seperti sekarang.

Sekitar lima belas menit kemudian, para junior digiring ke kelas mereka seperti yang kemarin.

Ari mengambil tempat duduk yang kemarin, sedangkan Titi yang mengetahui tempat duduk di sebelah Ari kosong, langsung duduk di sana.

"Pagi!" sapa Titi.

"Pagi juga!"

Namun tak lama, Leo datang. "Ini tempat dudukku. Minggir!" usirnya.

"Yee, siapa cepat dia dapat! Kan di depan masih kosong, bro," balas Titi dengan santai.

"Tapi Ari udah janji sama aku buat duduk barengan terus! Jadi minggir sekarang!"

Ari mengernyit. Ia tidak ingat pernah mengatakan hal seperti itu pada Leo. Atau mungkin ia lupa pernah mengatakannya? Ari memang orang yang pelupa, tapi kali ini ia yakin seratus persen kalau ia tidak pernah berkata begitu.

Akhirnya Titi hanya bisa mengalah dengan wajah merengut lalu duduk di tempatnya semula. Sedangkan Leo langsung duduk dengan santai di samping Ari.

Ketika kelas akan dimulai dengan kedatangan Tomi dan Kak Geraldine (pendamping senior cewek di kelompoknya, Ari dikasih tahu oleh Titi), mendadak Tomi langsung memanggilnya.

"Ari, ikut aku ke ruang OSIS sekarang!" titahnya lalu langsung keluar ruangan. Ari hanya bisa melongo. Apa-apaan itu tadi? Ngomong seenak udelnya.

"Ari, mendingan kamu ikutin apa kata Mas Tomi," suruh Kak Geraldine

Ari pun cuma bisa menurut. Titi menatapnya dengan penasaran, dan Ari hanya bisa membalas tatapan Titi dengan menaikkan bahu. Semoga saja si Tomi tidak memarahinya lagi. Lagipula ini masih sangat pagi, dan ia tidak ingin mencari masalah sepagi ini.

Setibanya di ruang osis, suasananya masih seperti kemarin, membosankan, dengan Tomi yang sudah duduk di sofa panjang.

"Duduk."

Tanpa disuruh pun Ari juga akan duduk. Tapi Ari memilih duduk di sebuah kursi kecil yang agak jauh dari Tomi.

"Kenapa jauh-jauh? Duduk di sampingku sini!" perintahnya sambil menepuk-nepuk space kosong di sebelah kanannya.

Ari tidak bergeming sama sekali.

"Kau pikir aku akan memakanmu? Cepat kesini!" bentak Tomi sambil membuka jas OSIS-nya, meninggalkan kaos abu-abu tipis melekat di badannya. Ari pun kembali patuh. Ia beranjak dari kursinya dan duduk di samping Tomi.

Baru juga Ari mendaratkan pantatnya, mendadak Tomi memajukan kepalanya pada Ari, membuat anak itu memundurkan badannya, takut kalau Tomi akan melakukan sesuatu yang kelewat batas.

"Kamu mau ngapain, Kak?!"

"Aku penasaran sama yang terjadi padamu kemarin. Gimana bisa lukamu langsung sembuh dalam hitungan detik?" tanya Tomi dengan pandangan selidik. Saking dekatnya wajah mereka, Ari bisa merasakan hembusan napas Tomi yang beraroma rokok menerpa wajahnya.

"Mana aku tahu? Mungkin itu mukjizat kali, Kak!" balas Ari. "Ngomong-ngomong, tolong mundur dikit, Kak."

Tomi langsung memundurkan badannya. "Itu kekuatan."

"Maksudnya?"

"Kamu punya kekuatan."

"Maksudnya kekuatan seperti superhero yang ada di film-film gitu? Hahaha! Jangan ngaco deh, Kak! Yang kemarin itu pasti cuma kebetulan."

Tomi menghela napas panjang. Ia ingin meyakinkan Ari mengenai hal ini. Kemudian ia mendapat ide.

Ia membuka tangan kanannya di depan Ari. "Coba hitung berapa banyak jariku."

Ari menghitungnya dengan cepat. "Satu, dua, tiga, empat, lima," hitungnya seperti anak balita yang sedang belajar matematika.

Tomi mengepalkan tangannya dan membukanya lagi. "Sekarang coba hitung lagi."

Ari memutar bola matanya lalu menghitung dengan enggan. "Satu, dua, tiga, empat, lima, en... enam?" Ari mengernyit. Ia mencoba menghitungnya lagi dalam hati. Tapi tetap saja enam.

Ari meraih tangan kanan Tomi dan memeriksanya. Memang benar ada enam jari di tangan Tomi, dengan dua jari tengah.

"Kok bisa kayak gini, Kak?!" seru Ari takjub. Tomi tersenyum menang.

"Itu kekuatanku. Aku bisa men-transformasi anggota badanku. Dan aku juga yakin kalau kamu juga punya kekuatan," ucapanya sambil menyerahkan sebuah silet kecil pada Ari.

"Ini buat apa, Kak?"

"Coba bikin luka kecil di tanganmu," pinta Tomi.

"Kakak pengen aku bunuh diri?! Enggak mau, Kak! Jangan gila deh!"

"Mau kamu bikin luka sendiri atau aku yang bikin?!"

Ari langsung berdiri, hendak melarikan diri dari Tomi, tapi Tomi langsung menahannya sekuat tenaga.

"Lepasin, Tom! Kamu udah gila ya! Lepasin!" teriak Ari.

Tomi seperti orang kesetanan yang ingin membunuh Ari. Dengan terpaksa, Tomi menyilet sedikit pipi Ari.

"Auw! Sakit!" erang Ari. Tomi langsung melepaskannya begitu pipi kiri Ari bedarah karena luka menganga akibat goresan silet dari Tomi.

"Lihat! Pasti lukamu akan menutup sendiri! Pasti!"

Namun luka di pipi Ari tak kunjung menutup. Bahkan darah segar mulai mengalir di pipinya. Ari menangis sambil menahan perih. Ia merasa kecewa dengan Tomi.

Tomi mendadak kebingungan. Ia mengambil beberapa lembar tisu di atas meja. "Maaf, Ari. Aku nggak....."

Ari mengulurkan telapak tangannya, menahan supaya Tomi berhenti mendekat. "Cukup, Kak!"

"Ari, a-aku..."

"Jangan pernah dekati aku lagi!" ucap Ari dengan amarah menggebu-gebu dengan penekanan di setiap katanya.

"Ari, aku minta maaf," ucap Tomi. Namun terlambat, Ari sudah keluar duluan dari ruang OSIS, meninggalkan Tomi sendirian.

Ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa dengan frustasi sambil memegangi kepalanya. Ia sudah melakukan sesuatu yang salah dan sangat fatal.

***


Di UKS, luka Ari langsung di rawat oleh penjaga UKS. Seorang wanita muda cantik berjilbab hitam. Sikapnya kalem, namun cukup cekatan.


"Gimana bisa kamu sampek luka kayak gini?" tanyanya sambil memasang kapas.


Ari melirik bordiran nama di baju dinas wanita itu. Teresa.


"Anu, Bu. Tadi pas bolos di kantin, pipiku kena paku karena kurang hati-hati," jawab Ari berbohong. Ia tidak mungkin memberitahu kejadian yang sebenarnya karena ia tidak ingin masalah ini menyebar kemana-mana. Bisa panjang urusannya.


"Makanya kamu hati-hati lain kali. Sudah selesai. Mending sekarang kamu istirahat dulu sampai nanti istirahat. Biar nanti saya ijinkan ke pendamping senior kelasmu."


Ari tersenyum senang. Bu Teresa begitu perhatian. Tak salah jika ia menjadi penjaga UKS.


"Makasih, Bu," balas Ari menuju matras di salah satu bilik di sana.


Beberapa saat kemudian, Bu Teresa keluar. Suasana UKS jadi hening, karena hanya ada Ari sendirian di sana. Ia ingin menenangkan pikirannya sekarang.


Tak berselang lama, terdengar suara seaeorang memasuki UKS. Mungkin itu Bu Teresa yang sudah kembali dari kelas.


Namun seketika itu, tirai biliknya langsung terbuka, dan yang muncul bukan Bu Teresa, namun Tomi.


"Ari."


"Ngapain kamu kesini?! Pergi!!" bentak Ari sambil menegakkan punggungnya.


"Ari, aku minta maaf. Aku nggak ada maksud buat nyakitin kamu."


"Jangan mendekat! Sekali lagi kamu ngelangkah, aku laporin kelakuanmu pada kepala sekolah!"


Tomi terdiam. Ari masih merahasiakan masalah ini dari siapapun. "Maafkan aku."


"Udah aku maafin! Tapi tolong pergi sekarang, dan anggap kita nggak pernah saling kenal!"


Pandangan Tomi langsung kosong. Ia tidak menyangka kalau Ari akan berkata seperti ini.

"Kasih aku kesempatan se-.."

"Ku bilang pergi!" bentak Ari. Ia tidak peduli lagi dengan sopan santun pada seniornya yang satu ini.

Tomi membasahi bibirnya, tapi tidak berniat membujuk Ari lagi. "Lekas sembuh." Ia langsung keluar dari UKS.

Mata Ari nanar, ia hendak menangis lagi, tapi ditahannya. Ia tidak ingin membuang air matanya dengan sia-sia untuk cowok seperti itu.

***


Hari ini benar-benar salah satu hari terburuk dalam hidup Ari. Selain mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari Tomi di sekolah, Ari harus bermalam di rumah sendirian. Ibunya baru saja menelepon kalau kakek Ari baru saja masuk rumah sakit lagi karena asmanya kambuh. Jadi ibunya langsung ke rumah sakit selepas pulang kerja dan menyuruh Ari untuk jaga rumah. Mana dirumah tidak ada makanan dan hari sudah malam.


Ari beranjak ke dapur untuk memeriksa kulkas. Tapi yang ia temukan hanya camilan-camilan yang tidak bisa membuatnya kenyang. Mie juga sudah habis dan ia tidak bisa masak.


Sial!


Ari mengelus-elus kapas yang menutupi lukanya, membuatnya ingat kejadian tadi siang. Ia menekan-nekan lukanya yang sekarang sudah tidak sakit lagi. Apa mungkin lukanya bisa menutup sendiri ya? Ari jadi penasaran.


Segera ia menuju cermin yang ada di wastafel dan membuka kapasnya secara perlahan. Ari tersentak begitu melihat tidak ada bekas luka sama sekali di pipinya. Bahkan ia mencubit posisi pipinya yang tadi terluka. Astaga! Ini bukan mimpi!


Lukanya hilang tak berbekas. Membuatnya merasa bersalah pada Tomi. Cowok itu mungkin benar. Ia memiliki kekuatan.


Tapi apakah itu benar? Karena penasaran, Ari mengambil pisau dan menggoreskannya di jempol kiri. Darah segar langsung mengucur keluar. Rasanya perih untuk beberapa saat. Tapi lukanya mendadak menutup sendiri seperti sihir.


Mungkin besok ia harus bicara dengan Tomi. Untuk sekarang, ia harus mengesampingkan masalah ini dan mencari jalan keluar untuk mengatasi rasa laparnya.


Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya Ari memutuskan untuk membeli makanan di luar saja.


Ketika ia membuka pintu depan rumah, Ari terperanjat tatkala melihat sosok cowok yang paling ingin ia temui berada di depan rumahnya, menatapnya dengan senyum lemah dan wajah pucat.


Ia memakai kaos compang-camping seperti baru di keroyok segerombolan preman, tapi tidak ada memar-memar di wajahnya. Celana dan sepatunya juga masih bersih. Hanya saja tercium bau alkohol dari tubuhnya yang membuat Ari mundur selangkah. Tomi dalam kondisi mabuk.

"Ku mohon, jangan jauhi aku. Jangan bikin aku gila," ucapnya dengan suara serak, lalu jatuh terkulai di depan Ari.


(Bersambung...)


Previous Chapter| Next Chapter



Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)