Generation (Chapter 15)
Dengan cepat, Ari menggerakkan kakinya untuk melangkah menuju kamar, menemui Tomi yang sepertinya sedikit terbawa emosi karena obrolan kecil di meja makan tadi.
Dia sendiri sebenarnya juga tidak mengerti kenapa cowok itu bersikap demikian.
Di samping itu semua, reaksi mamanya mengenai ketertarikannya terhadap laki-laki juga tidak ia duga sama sekali. Ari merasa bersyukur jika ternyata mamanya tidak menghakiminya mengenai hal itu. Walaupun akhir-akhir ini masalah tentang LGBT mulai menjadi sorotan, tapi anak tetap saja anak, dan orang tua tetaplah orang tua.
Baiklah, untuk sementara Ari harus mengesampingkan hal ini dan fokus dengan Tomi yang secara tiba-tiba bertingkah aneh.
Sesampainya di lantai dua, pintu kamarnya tampak terbuka. Begitu ia melangkah masuk, ia dapat melihat Tomi yang tengah berdiri balkon kamar sambil menatap keluar kamar. Sekujur tubuh Ari bisa merasakan aura dingin yang mendadak menguasai seisi kamarnya. Tapi ia masih lanjut berjalan mendekati Tomi lalu berhenti tepat di sampingnya sambil memegang palang pembatas balkon.
"Pemandangannya bagus ya," ujar Ari basa-basi. Memulai obrolan yang baik itu perlu pendahuluan yang baik kan?
Tapi melihat Tomi yang masih diam tak membalas Ari membuatnya sadar kalau basa-basi pun percuma. Ari mendesah pelan tanda menyerah.
"Kamu kenapa tiba-tiba pergi dari meja makan?" Ari langsung bertanya ke inti tanpa berbasa-basi lagi.
Kening Tomi berkerut. Perlu beberapa puluh detik bagi Ari untuk mendengar Tomi menjawab, "Aku udah kenyang."
Bukan jawaban yang diharapkan, tapi kepala Ari mengangguk satu kali lalu ikut menikmati pemandangan malam Kabupaten Tulungagung. Walaupun udara dingin masih berhembus seperti malam-malam biasanya.
Ari menatap cowok itu dari arah samping, terlihat semakin tampan dan... entahlah, jantung Ari serasa berdetak tidak normal. Mungkin benar kata Kak Hana kalau ia menyimpan perasaan terpendam pada Tomi. Tapi bagaimana mungkin? Pertemuan awalnya dengan cowok itu saja sudah buruk. Apalagi Tomi sudah sering bertingkah menyebalkan dan sering membuatnya naik darah.
Ari menatap Tomi sekali lagi. Mungkin perasaannya itu hanya sekejap saja. Nanti juga hilang seiring berjalannya waktu.
Lagipula apa yang ia lihat dari cowok yang berdiri di sampingnya itu? Masih ada banyak cowok diluar sana kok yang (mungkin nanti) salah satu akan menjadi jodohnya.
Melihat Tomi yang seperti tidak mau diganggu, Ari memutar badannya hendak melangkah pergi sebelum Tomi secara tiba-tiba memanggilnya.
"Ri....,"
Ari memutar kepalanya memandang Tomi yang tampaknya masih enggan untuk melihat dirinya.
"Hm?" balas Ari sambil berjalan kembali ke samping Tomi.
"Aku bukan homo."
Perkataan Tomi barusan terasa mencekik leher Ari, membuatnya sulit untuk bernapas. Raut wajahnya berubah datar dan mulai sendu.
Ya. Ari tahu itu. Walaupun ia tidak tahu kenapa hatinya terasa sakit selama beberapa detik lamanya, tapi Ari berjuang sekuat tenaga untuk menyingkirkan kekecewaannya yang mendalam.
Ari menarik napas sedalam-dalamnya lalu menghembuskannya sambil memaksakan seulas senyum.
"Tentu aja kamu bukan homo. Kenapa sih tiba-tiba ngomong kayak gitu?" tanyanya dengan nada bercanda, walaupun kedengarannya agak kaku.
Tomi menoleh pada Ari dengan tatapan lembut. "Tapi aku nggak rela ngeliat ada orang lain yang perhatian sama kamu. Aku cuma pengen jadi satu-satu orang yang bisa jagain dan ngelindungin kamu."
Ari menggigit bibir bawahnya. Menunggu kalimat yang akan diucapkan cowok itu selanjutnya.
"Aku... aku awalnya nggak tahu kenapa sejak aku ketemu kamu tuh... rasanya aku udah kenal kamu, dan aku pengen lebih kenal kamu lagi. Dan sekarang aku tahu kalau aku itu 'Panda', boneka kamu."
Ari kini membuang muka dan memandang ke langit. "Aku juga nggak nyangka kalau kamu 'Panda'."
"Ya, mungkin itu yang bikin aku seakan ngerasa udah dekat banget sama kamu," Tomi mengambil langkah ke depan dan mendekatkan tubuhnya dengan Ari. Membuat Ari gugup dan bingung pada saat bersamaan.
"Tapi kayaknya aku salah. Aku pengen jadi satu-satunya orang yang kamu lihat seutuhnya."
Mendengar hal itu membuat Ari mendongak dan menyadari kalau jarak mereka sangat dekat. Bahkan wajah Tomi yang bersih dan tampan bisa ia nikmati dengan leluasa.
"Kamu tahu, aku masih belum bisa ingat betul gimana rasanya jadi boneka, tapi aku ingat banget hari dimana papa kamu ngasih aku ke kamu. Kamu saat itu seneng banget, dan kamu sayang banget sama aku, nganggap aku udah kayak adikmu sendiri," Tomi tersenyum kecil.
Ari menelan ludahnya saat melihat bibir Tomi bergerak dengan indahnya saat mengucapkan rentetan kata barusan.
"Aku masih sayang sama kamu kok," balas Ari tiba-tiba, membuatnya menggingit bibir bawahnya lagi sambil mengutuk diri dalam hati karena sudah mengucapkan hal bodoh.
"Sayang aku? Sebagai apa? Sebagai boneka?"
Sudah jelas sekali kalau Tomi pasti akan memberi respon seperti itu.
"Err.. um.. bukan apa-apa. Lupain aja lah. Aku--..."
"Aku mau kita pacaran, Ri."
Dan pada detik berikutnya, Tomi merangkul pinggang Ari dengan satu sentakan cepat dan Tomi mendarat bibir di atas bibir Ari.
Mata Ari membulat. Jantungnya berdenyut tak karuan saat bibir Tomi yang beraroma rokok terasa manis di mulutnya. Serasa ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya.
Lalu bibir Tomi mulai bergerak lembut dan mantap, mencumbu bibir Ari dengan intens.
Ari ragu apakah dia harus membalas bibir Tomi atau tidak.
"Tom... umh," Ari mendesah saat tangan kanan Tomi sudah berada di belakang leher Ari, menariknya dan memperdalam cumbuannya. Ari memejamkan matanya dan memilih untuk pasrah.
Ia berusaha untuk mengikuti irama bibir Tomi, walaupun ia sudah tahu kalau ia tidak bisa mengimbanginya. Tomi terlalu mendominasi dirinya sekarang.
Tiga menit kemudian, Ari mendorong dada Tomi yang bidang di balik kausnya dengan napas tersengal-sengal. Tapi Tomi masih belum mau melepaskan rangkulannya dari pinggang Ari.
"Aku nggak peduli jawabanmu apa. Pokoknya sekarang aku sama kamu udah pacaran. Jangan pernah dekat-dekat sama cewek atau cowok lain. Itu bikin aku sakit," tutur Tomi dengan tatapan posesif, terdengar seperti seorang suami yang baru saja menikahi istrinya.
Baiklah, mungkin agak berlebihan jika disamakan seperti itu, tapi memang kenyataannya demikian.
Ari tersenyum. Mungkin perasaan yang terpendam di hatinya selama ini adalah cinta.
"Kamu suka sama aku?" tanya Ari hati-hati.
"Bukan suka lagi. Tapi cinta setengah mati, Ri."
Ari tersenyum lagi. Rasanya lega sekali. Ribuan kupu-kupu menari di dalam perutnya dan membuatnya seakan ikut terbang.
"Kalo kamu udah nggak peduli sama jawabanku, aku musti jawab apalagi?"
Tomi tertawa renyah sambil mengecup kening Ari lama lalu mendekapnya, membiarkan kepala Ari bersadar di ceruk lehernya.
"Aku nggak bakal ngebiarin kamu disakitin sama orang-orang yang lagi ngejar kamu. Aku bakal ngelindungin kamu sampai mati."
Ari mengangguk sambil mengeratkan lengannya di punggung Tomi. Rasanya damai sekali di pelukan Tomi, seakan-akan ada Mas Agung yang lagi berada di situ dan menghentikan waktu selama beberapa saat.
Ini adalah awal baru untuk Ari, karena ini pertama kalinya ia membangun sebuah hubungan sama cowok. Apalagi cowok itu jelmaan dari bonekanya sendiri.
Tapi hati memang tidak bisa dibohongi. Love has won.
* * *
Jam menunjukkan pukul setengah 2 dini hari saat Ari terjaga dari tidurnya dengan posisi memeluk Tomi di samping kirinya.
Ia terbangun secara tidak sengaja karena Mas Agung bergerak-gerak terus seperti tidak bisa tidur.
Pas ia membuka sedikit kelopak matanya, cahaya remang-remang dari lampu tidur menerangi seisi kamar dengan intensitas rendah yang pas.
Oh iya, Mas Agung dan Ari senior malam ini tidur di kamar Ari, dengan urutan posisi Ari senior, Mas Agung, Ari junior, terus Tomi.
Beruntung sekali kasur Ari tidak terlalu sempit jadi masih muat untuk mereka berempat.
Ari mengeratkan pelukannya pada Tomi dan berusaha untuk terlelap hingga kemudian Mas Agung beranjak dari kasur dan berjalan menuju balkon.
Di sana ia menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dengan dalam dan menghembuskannya.
Ari yang sudah terlanjur melek pun akhirnya memilih untuk beranjak dari tidurnya untuk menghampiri Mas Agung. Walaupun awalnya Tomi mengigau dan tidak mau melepaskan Ari dari pelukannya.
"Mas Agung kok nggak tidur? Kasurnya sempit ya?" tanya Ari langsung dari belakang, membuat Mas Agung terkesiap.
"Oh, Ari junior. Aku pikir siapa. Bukan masalah kasurnya kok. Aku cuma nggak bisa tidur aja. Banyak banget masalah yang berkeliaran di pikiranku, Ri."
Ari mengambil posisi di samping kiri Mas Agung sambil mengangguk pelan. Bisa ia lihat kalau penampilan Mas Agung dari masa depan terlihat lebih berantakan dan terkesan urakan.
"Oh iya, Mas. Kenapa Mas Agung nggak balik ke masa depan?"
Mendengar hal itu membuat Mas Agung mendengus satu kali sambil tersenyum. "Jadi ceritanya kamu ngusir aku nih?"
"Eh? Bukan! Bukan! Aku cuma bingung aja. Beberapa waktu yang lalu kan Mas Agung pernah balik ke masa sekarang sama Tomi. Katanya di masa depan aku bakal... um.. mati. Tapi kok sekarang Mas Agung balik lagi sama diriku dari masa depan sih?"
Mas Agung mengatupkan bibirnya rapat-rapat sambil memandang Ari tanpa ekspresi yang berarti. Kemudian ia mematikan bara rokoknya dan membuangnya.
Terdengar suara napas berat yang khas sebelum Mas Agung membuka suara. "Aku pengen menuntaskan semuanya, Ri. Kalau aku datang dan pergi gitu aja tanpa ngerampungin masalah, di masa depan masih bakal terjadi banyak kejadian yang tak terduga."
Ari mengangguk paham. "Emang apa yang terjadi di masa depan pas Mas Agung sama Tomi balik setelah ngasih tahu aku kalau aku bakal mati di masa depan?"
Mas Agung menatap kosong ke langit yang gelap gulita tanpa bintang. "Kamu tidak jadi mati. Aku sama Tomi berhasil ngerubah masa depanmu."
Wajah Ari langsung cerah mendengarnya. Itu artinya di masa depan ia tidak akan mati konyol. "Beneran? Wah! Hebat!"
Namun Mas Agung tampaknya tidak ikut merasakan kesenangan yang dirasakan Ari karena raut wajahnya tak berubah sedikitpun. "Padahal aku cuma memperingatkanmu aja. Aku cuma ngerubah sedikit masa lalu, namun hasilnya di luar dugaan."
Ari menghentikan acara 'hore-hore dalam hati'-nya ketika melihat ekspresi Mas Agung yang kian tenggelam dalam kesedihan, membuat Ari yakin pasti ada yang tidak beres di masa depan.
"Memangnya kenapa, Mas? Apa yang terjadi di masa depan?" tanya Ari penasaran sambil menarik-narik lengan jaket Mas Agung.
Mas Agung menunduk sambil menggeleng. Ia tidak yakin apakah harus menceritakannya pada Ari dari masa sekarang. Tapi Ari berhak untuk tahu. Ia menatap Ari yang memandangnya balik dengan ekspresi memohon.
Baiklah. Sepertinya akan lebih baik jika Ari tahu. Mas Agung menarik napas panjang.
"Setelah aku sama Tomi balik ke masa kami, aku kaget pas sadar kalo Tomi nggak ikutan muncul sama aku waktu itu. Aku pikir pasti ada yang nggak beres. Mungkin Tomi ada di tempat lain. Aku berusaha cari dia kemana-mana dan hasilnya nihil. Sampai aku ke sini, ke rumahmu berniat menanyai mama kamu soal keberadaan Tomi."
Mas Agung mendecak pelan sambil meraupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya sendiri.
"Lalu?"
Mas Agung mendesah. "Yang ngebukain pintu bukannya mama kamu, tapi kamu. Aku seneng banget pas tahu kalau rencana aku sama Tomi berhasil buat ngubah masa depan dan bikin kamu tetap hidup. Tapi bukan hanya itu yang berubah. Banyak hal berubah karena rencana kecil yang aku buat sama Tomi."
"Apa? Apa yang terjadi, Mas?" Ari semakin mendesaknya tanpa menghiraukan Mas Agung yang tampaknya sudah tak sanggup melanjutkan.
"Pas aki tanya dimana mama kamu. Kamu malah bilang kalo aku amnesia atau apa. Aku bener-bener nggak ngerti apapun."
Ari terdiam, menunggu Mas Agung melanjutkan dengan jantung berdebar-debar.
Perasaannya tidak enak karena dari tadi nada ucapan Mas Agung terus menciut dan semakin membuatnya penasaran.
"Tomi dan mama kamu.... meninggal."
Seperti ada panah beracun yang menancap tepat di kepalanya ketika mendengar Mas Agung mengucapkan kalimat itu.
Serasa dunia runtuh saat itu juga dan tatas surya berubah menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak berarti.
Mamanya....
Dan... Tomi....
Dua orang yang paling ia sayangi...
Kenapa....
Airmata mengalir turun di pipi Ari begitu saja seakan mencerminkan keadaan perasaan Ari yang terasa sakit. Sakit sekali.
"Aku juga nggak nyangka kalau kejadiannya bakal sampai seperti itu."
Telinga Ari mendengung seakan ucapan Mas Agung barusan tidak terdengar olehnya. Tangan kanannya terangkat, menutupi mulutnya. Ia menangis dalam diam. Shock.
Mas Agung menarik napas dan menarik Ari ke dalam ke pelukannya, memberi kenyamanan pada Ari dan berusah menenangkannya.
"Kamu jangan khawatir, Ri. Aku sama Ari dari masa depan bakal berusaha untuk menyelesaikan semuanya," ucap Mas Agung setelah melepas tubuh Ari.
Ari yang sadar kalau ia sedang menangis langsung mengusap air matanya. Benar kata Mas Agung. Semuanya harus diselesaikan.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengangguk saja. Ia masih belum bisa mengucapkan apapun.
Mas Agung mengusap-usap rambutnya dengan manja sambil terkekeh. "Jangan nangis, Ri. Senyum dong. Segala kemungkinan masih bisa terjadi selama aku sama Ari dari masa depan masih ada disini.... um.. sekarang tidur yuk. Kamu kan besok masih sekolah."
Terpaksa Ari mengangguk lagi dan tersenyum kecut saat Mas Agung kembali ke dalam kamar dan berbaring di tempatnya.
Ari pun melangkah ke dalam setelah menutup jendela balkon. Suasana kembali sunyi.
Ia merangkak ke tempatnya semula dan memandang Tomi. Ia tidak ingin kehilangan dia lagi.
Walaupun Mas Agung sudah berusaha menenangkannya, tapi ia masih belum bisa tenang.
Sesaat, ia kembali teringat ucapan Mas Agung tadi.
'Segala kemungkinan masih bisa terjadi.'
Tak ayal, hal itu membuat Ari sedikit merasa lega. Yah, walaupun sedikit, tapi itu cukup untuknya. Cukup membuatnya sadar bahwa dia tidak sendirian berjuang melawan takdir.
"Tidur, Ri. Udah malem," ucap Mas Agung tiba-tiba yang berbaring di belakang punggungnya.
Ari tersenyum kecil.
"Hm'h," desahnya lalu merangkul Tomi dari samping dan merebahkan kepalanya di dada cowok itu. Seperti robot otomatis, tangan kiri Tomi melingkar di atas tubuh Ari, padahal Tomi sedang terlelap.
Mungkin ini yang dinamakan dengan ikatan batin. Ari bersyukur akan hal itu
.
.
.
(Bersambung...)
.
.
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say