Heartbeat (Chapter 01)



Hari sudah hampir menjelang tengah malam. Jam dinding ruang tamu di sebuah apartemen itu sudah menunjukkan pukul 11.45 malam waktu setempat. Namun seluruh lampu di apartemen tersebut belum padam. Satupun belum. Tampak si laki-laki penyewa apartemen baru saja keluar dari dapur sambil membawa secangkir kopi susu untuk ke sekian kalinya. Ia ingin tetap terjaga tanpa ada gangguan rasa kantuk sedikit pun.


Sambil berhati-hati, ia berjalan ke arah laptopnya yang berada di ruang tamu. Apartemen itu cukup luas. Ada dua buah kamar tidur, namun hanya satu kamar tidur yang ada kasurnya, yang satu lagi dijadikan gudang, satu dapur yang di lengkapi meja makan, dan sebuah ruang tamu kecil.


Laki-laki muda itu segera duduk di sofa sambil kembali berkutat pada laptopnya setelah ia menaruh cangkir kopi susunya di atas meja.


"Sial! Kenapa aku harus lupa kalau ada tugas ini sih? Jadi kelabakan begini kan jadinya?!" omelnya. Sambil mengetik dengan cukup cepat, ia terus saja mengerjakan tugas kuliahnya sambil sesekali meminum beberapa tegus kopi susunya.


Hingga akhirnya satu setengah jam setelahnya, ia mendesah dengan keras sambil menyadarkan punggungnya di sandaran sofa. Tugas kuliahnya sudah selesai. Tinggal di-print dan dijilid. Tapi itu besok saja, toh besok jadwal kuliahnya siang. Segera ia menyimpan datanya lalu men-shutdown laptopnya. Sebelum di shutdown, tampak tampilan wallpaper standby laptopnya yang hanya berisi tulisan dengan huruf besar-besar yang merupakan nama lengkap si pemilik laptop. Harvi Maharaja. Entah kenapa kedua orang tuanya memberi nama seperti itu. Tapi menurutnya itu tidak terlalu penting selama masih terdengar keren.


Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di samping cangkir kopi susunya berdering tanda panggilan masuk. Ia meraihnya dengan enggan lalu memandang rentetan nama di layar ponselnya. Marik Aldavi, teman kuliahnya yang satu jurusan dengannya.


"Halo, Marik. Ada apa?" sapanya langsung.


"Harvi! Kamu sudah memgerjakan tugas kuliah untuk besok belum?" tanya Marik. Sepertinya Harvi paham kemana arah pembicaraan ini.


"Sudah selesai. Memang kenapa?"


"Um.. Aku belum ngerjain sama sekali nih..," Marik terdengar agak malu-malu


Harvi tersenyum kecil.


"Iya... Iya... Aku tahu kok maksudmu. Kamu bisa pakai punyaku. Tapi inget, harus di edit sesempurna mungkin. Pokoknya jangan sampai sama semuanya," ujar Harvi. Bagaimana mungkin Harvi bisa menolak permintaan anak itu? Hampir setiap hari Marik selalu menjemput Harvi setiap berangkat ke kampus dan mengantarnya pulang. Padahal apartemen Harvi dengan Marik tidak satu arah, tapi Marik tetap bersikeras untuk mengantar-jemput Harvi.


Sejujurnya, dulu sekali ketika pertama kali mengenal Marik, Harvi sedikit tidak suka karena Marik selalu berpenampilan seperti preman. Dengan rambut pendek yang tidak pernah rapi dan pakaian awut-awutan yang entah bagaimana cara menjelaskannya. Tapi karena Marik memiliki tipikal wajah yang tampan, membuatnya seperti cocok memakai pakaian cowok apa saja.


Dan setelah cukup lama mengenal Marik, ternyata dia itu orangnya baik juga.


"Oke, Harvi! Sip! Makasih banyak ya! Besok aku traktir makan bakso deh sepulang dari kampus. Tapi satu mangkok buat berdua."


"Hahaha! Terserah kamu saja lah," balas Harvi.


"Baiklah kalau begitu. Aku mau tidur. Sampai jumpa!"


"Sampai jumpa."


Tut... Tut... Tut... Harvi menekan tombol merah ponselnya. Ia memandang layar ponselnya seraya menggeleng dengan senyum kecil.


Harvi masih belum merasa mengantuk. Kalau dipaksakan tidur, nanti malah membuatnya pusing. Jam dinding juga sudah menunjukkan hampir jam setengah dua pagi. Kalau dipikir-pikir, tidak ada salahnya untuk mencari udara segar di luar apartemen. Walaupun nanti yang ia dapatkan hanya udara malam yang dingin, paling tidak itu sudah cukup untuk melemaskan kembali otot-otot tubuh dan otaknya.


***


Kota ini sepertinya tidak pernah tidur. Walaupun sudah jam segini, nyatanya masih banyak para pedagang kaki lima yang masih berjualan, walaupun jalanannya tak seramai saat siang hari yang padat merayap.


Harvi sudah cukup merasa segar kembali. Dia berjalan menyusuri gang yang dipaving menuju ke apartemennya yang masih agak jauh. Kalau di sekitar sini, suasana kota bagai tidak tampak. Sunyi sekali. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik dan serangga malam lainnya. Para warga di sekitar daerah sini pasti masih tertidur lelap di atas ranjang mereka yang empuk dan hangat. Dan setelah ini, Harvi akan menyusul.


Membayangkan tidur yang nyenyak sambil memeluk guling, dengan memakai selimut tebal, terdengar lebih menarik daripada makan sop buntut satu ember sekalipun pada saat ini.


Harvi terus saja melangkahkan kakinya dengan agak cepat hingga ia sampai di pinggir jalan raya. Setelah menengok kanan kiri, Harvi menyeberang sambil berlari.


Namun setibanya di sisi jalan raya yang lain, ia melihat seorang laki-laki tengah duduk di tepi trotoar sambil menunduk. Dengan pakaian necis, potongan rambut rapi dan berkilau, sepatu pantovel hitam, serta jas hitam yang bertengger di pundak kanannya.


Sudah jam segini, kenapa laki-laki ini masih keluyuran? Harvi sebenarnya juga bisa dibilang keluyuran, tapi kan dia hanya untuk cari udara segar. Tapi laki-laki ini masih memakai pakaian kantornya.


Tanpa diduga, laki-laki itu tiba-tiba mendongak dan menoleh ke arah Harvi. Harvi pun segera memandang ke arah lain seolah-olah tidak pernah memandangnya. Ingin sekali ia segera angkat kaki dari tempat itu dan berusaha menghindar. Tapi entahlah, Harvi merasa agak kasihan.


Ketika laki-laki itu memandang ke arah lain, Harvi kembali memandang wajahnya. Laki-laki itu berwajah sangat tampan, dengan hidung mancung yang dan sorot mata yang sayu. Seperti bukan orang Indonesia. Tapi setelah diperhatikan lagi, kedua pipi laki-laki itu tampak memerah seperti kepiting rebus.


Ini bukan pertanda baik. Sepertinya laki-laki itu habis mabuk. Pada saat yang sama, laki-laki itu menoleh lagi ke arahnya.


Ketika ia membuang muka dan berniat untuk pergi dari tempat itu, mendadak laka-laki itu berdiri dengan agak kesulitan sambil menatap Harvi dengan tajam. Harvi yang merasa ketakutan langsung berjalan cepat menghindari laki-laki itu.


"Hei, tunggu!" teriak laki-laki itu dari belakang dengan suara berat yang khas. Namun Harvi tak berani untuk menoleh sedikit pun, sampai akhirnya ia mendengar suara benda terjatuh dengan keras dari belakangnya.


Saat menoleh ke belakang, ternyata laki-laki itu terjatuh dan tidak sadarkan diri dengan posisi tengkurap. Sontak, Harvi pun segera berlari menghampirinya. Awalnya ia merasa ragu, apakah laki-laki itu hanya pura-pura pingsan atau pingsan sungguhan. Harvi berjongkok sedikit sambil menggigit bibir bawahnya. Bau alkohol menyeruak dari tubuh orang itu.


"Hei!" seru Harvi sambil menggoyang-goyangkan pundak laki-laki itu. Namun tak ada jawaban. Sepertinya dia memang tidak sadarkan diri. Harvi jadi bingung sendiri. Apa yang harus dilakukannya?


Tidak mungkin kan dia meninggalkan orang ini tergeletak mengenaskan disini? Lalu harus bagaimana? Apakah ia harus membawa laki-laki itu ke apartemennya?


Karena ketakutan, Harvi pun langsung berdiri dan beranjak meninggalkan laki-laki itu. Belum beberapa meter, Harvi berhenti dan menoleh ke belakang. Rasanya ia tidak sanggup membiarkan laki-laki itu tetap terbaring disini. Ia membayangkan bagaimana jika ia berada di posisi laki-laki itu dan tak ada orang yang menolong.


Sambil menghembuskan napas berat sambil mengomel tak jelas, Harvi akhirnya menghampiri laki-laki itu lagi dan mengangkat tubuh laki-laki itu hingga setengah berdiri. Dengan agak kepayahan, akhirnya ia sukses menggendong tubuh laki-laki itu di punggungnya sedangkan jasnya ia ikatkan di pinggang laki-laki itu-


Kedua tangannya melingkar lemas di depan dada Harvi, sedangkan kepalanya tergolek di pundak kanan Harvi. Kali ini bau minuman keras benar-benar menyengat dan menusuk hidung. Harvi sedikit heran, siapa laki-laki ini? Kenapa ia tampak begitu frustasi dan putus asa?


***


Harvi membaringkan laki-laki itu di atas tempat tidurnya dengan hati-hati. Kemejanya basah oleh minuman keras. Haruskah Harvi melepas pakaian laki-laki itu?


Ah! Tak perlu lah. Akhirnya Harvi hanya melepaskan sepatu dan jas laki-laki itu yang ia ikatkan di pinggangnya. Ia lempar jas itu di atas kursi belajarnya. Sedetik kemudian, laki-laki itu tampak menggeliat sambil melepas ikatan dasinya sendiri dan membuka kancing kemeja lengan panjangnya tanpa melepasnya, lalu merenggangkan ikat pinggangnya sendiri. Laki-laki itu kembali tertidur.


Harvi berdiri di ambang pintu kamar sambil menatap laki-laki itu dengan iba. Namun entah kenapa, ia tidak pernah merasa bosan memandangi wajahnya yang tampan.


Tak lama, ia segera menggeleng keras untuk mengusir fantasi liar yang tiba-tiba menyerang pikirannya.


Dan sekarang, saatnya ia untuk tidur. Itu satu-satunya hal yang ia butuhkan sekarang. Ia berjalan ke ruang tamu dan membaringkan tubuhnya di atas sofa yang tadi ia gunakan untuk mengerjakan tugas kuliahnya.


Sebelum tidur, seperti biasa, ia selalu membuat harapan untuk hari esok dan masa depannya. Ia memejamkan mata sambil mengatupkan kedua tangannya.


"Semoga besok tugasku bisa dapat nilai yang bagus, tidak ada masalah apapun, selalu sehat dan bahagia. Amin!" ucapnya lalu segera tidur.


(Bersambung...)


Next Chapter


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)