Heartbeat (Chapter 02)
"Krrrriiiiiiiiiinnnnngggggg!!!!!"
Harvi terlonjak dari sofa ketika mendengar bunyi alarm pagi dari ponselnya yang berada di saku celana. Segera ia mematikan alarmnya sambil menatap jam digital ponselnya. Pukul 06.30 waktu setempat. Dia tidur masih kurang dari empat jam. Ia masih merasakan kantuk yang luar biasa. Dalam hati ia menyesal karena kemarin malam sudah minum kopi terlalu banyak.
Dengan sedikit mendesah, Harvi kembali memosisikan kepalanya di lengan sofa. Belum juga beberapa menit ia menutup mata, ia langsung terinhat kejadian kemarin malam. Laki-laki itu.... bagaimana keadaannya?
Karena sedikit khawatir, Harvi akhirnya memupus harapannya untuk tidur lebih lama lagi. Ia bangun dari sofa sambil merenggangkan seluruh otot tubuhnya lalu berjalan menuju kamar tidur setelah menguap lebar.
Setibanya disana, ia melihat laki-laki itu masih tertidur disana, masih dengan posisi yang sama ketika ia geletakkan kemarin malam. Harvi berjalan mendekat tanpa suara hingga ke tepi tempat tidur. Di perhatikannya wajah tampan laki-laki itu dengan penuh seksama. Ia agak terkejut begitu sadar kalau diwajahnya ada beberapa bekas luka yang tampak membiru. Sepertinya ia baru berkelahi kemarin malam.
Entah berapa lama ia memandang wajah laki-laki itu. Sepertinya lama sekali sampai tiba-tiba laki-laki itu bergerak menggeliatkan tubuhnya dan membuka matanya.
Harvi mundur selangkah. Laki-laki itu tampak kebingungan ketika melihat seisi ruangan itu sampai tatapan matanya terhenti pada Harvi. Ia bangun untuk berdiri dari tempat tidur dengan lemas sambil menguap.
"Aku ada dimana?" tanyanya sambil garuk-garuk kepala.
"Kamu ada di apartemenku sekarang. Kemarin malam aku menemukanmu tergeletak di tepi jalan. Karena tidak tega, aku membawamu kesini," jawab Harvi. Ia menatap wajah laki-laki itu lekat-lekat. Bola matanya berwarna cokelat muda. Sangat jarang sekali ada orang Indonesia yang memiliki bola mata selain warna hitam. Apalagi postur tubuhnya yang tinggi dan tegap. Selain itu, di dagu dan rahang bawahnya tampak tumbuh brewok tipis.
Mendadak, laki-laki itu mengambil dompetnya untuk memeriksa isinya. Harvi jadi sedikit tersinggung.
"Tenang lah. Aku bukan orang jahat yang akan mencuri uangmu," katanya dengan agak kesal.
"Hei! Aku hanya memeriksa dompetku saja. Apa salahnya?!" balas laki-laki itu tak mau kalah. Karena makin kesal, akhirnya Harvi meninggalkan kamarnya dengan langkah lebar. Tak ada gunanya berdebat.
Laki-laki itu segera berlari menyusul Harvi yang tengah menuju ke kamar mandi.
"Hei, tunggu!"
Dengan agak enggan, Harvi berbalik. "Ada apa lagi?"
"Um.. Maafkan aku. Tadi aku tidak bermaksud untuk membuatmu tersinggung," jawab laki-laki itu dengan sedikit salah tingkah.
"Tidak apa-apa. Lupakan saja soal itu."
"Ngomong-ngomong, siapa namamu?" tanyanya sambil menyunggingkan senyum tipis.
"Harvi Maharaja. Panggil Harvi saja."
"Harvi? Nama yang bagus. Namaku Alanda. Alanda Trihatmadja. Senang berkenalan denganmu." Mereka berjabat tangan sebentar.
"Aku harus berangkat ke kampus satu jam lagi. Kau bisa mandi disini. Lalu segeralah pulang. Pasti keluargamu sudah bingung mencari keberadaanmu."
Alanda tampak bimbang seperti tidak ingin buru-buru pulang. Tapi ketika ia ingin berbicara lagi, Harvi sudah masuk ke dalam kamar mandi.
***
Harvi sedang menyapu kamarnya ketika tiba-tiba Alanda masuk ke dalam dengan kondisi basah dan hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggang. Ia bersedekap dengan tubuh bergetar menggigil. Harvi segera mengeluarkan handuk lain dari dalam lemari dan memakaikannya pada badan Alanda.
"Maaf. Aku tidak biasa mandi pagi dengan air dingin," ucapnya.
"Segeralah berpakaian. Aku sudah menyiapkan satu setel pakaianku yang agak longgar, tapi mungkin pas untukmu," kata Harvi masih dengan nada ketus sambil menunjuk pakaian yang ada di atas tempat tidur.
Alanda memandang Harvi dalam diam ketika ia menjelaskan beberapa. Kenapa anak ini begitu perhatian padanya? Padahal kenal saja tidak. Saudara juga bukan. Tiba-tiba ia jadi teringat masalah kemarin malam, ketika ia bertengkar dengan calon tunangannya yang sudah ia pacari selama empat tahun. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat perempuan itu tengah bercumbu dengan laki-laki lain di tengah-tengah kegelapan di bioskop.
Awalnya ia sudah bisa mengenali dia ketika ia tidak sengaja melihatnya jalan di pusat perbelanjaan dengan laki-laki itu. Mungkin saja ia saudara jauh atau semacam itu. Tapi Alanda juga mulai sadar kalau akhir-akhir ini perempuan itu jarang menghubunginya.
Bahkan rasa nyeri karena perkelahian di gedung bioskop kemarin masih terasa di wajah dan beberapa anggota tubuhnya. Ah! Gara-gara laki-laki sialan itu!
"Ya sudah kalau begitu. Segera pakai bajunya sebelum kau mati kedinginan. Aku akan keluar sebentar untuk beli makanan."
Alanda hanya bisa tersenyum masam sambil memandang Harvi yang menghilang di balik pintu.
Alanda menghembuskan napas dengan berat sambil berjalan menghampiri tempat tidur. Ia segera memakai pakaian yang disiapkan Harvi. Kaos putih lengan panjang dan celana jeans warna cokelat gelap. Kaos itu pas di badannya. Bahkan sedikit sesak. Ia berbalik dan mematut diri di depan cermin lemari. Memang benar, kaosnya agak sedikit ketat, tapi setidaknya itu tidak kekecilan. Padahal tadi anak itu bilang kalau pakaian itu longgar.
Wajahnya yang penuh lebam sangat jelas terlihat. Apakah Harvi tadi juga melihat luka-luka ini? Tapi kenapa ia tidak bertanya apa-apa?
***
Harvi berjalan menuju apartemennya sambil menjinjing kantong plastik hitam yang berisi dua porsi nasi padang bungkus. Dalam diam ia memikirkan lebam di wajah Alanda. Pasti kemarin malam laki-laki itu berkelahi.
Tak lama, terdengar suara klason motor dari belakang yang membuat Harvi terlonjak.
"Marik! Astaga! Kau ini hampir membuat jantungku meledak!" omel Harvi begitu tahu kalau itu adalah Marik Aldavi. Dengan pakaian yang lebih simpel daripada biasanya. Kaos abu-abu berkerah dan celana jeans sepanjang betis yang tampak dipotong karena benang-benangnya yang saling berjuntai. Lengkap dengan tas punggung hitam kusam yang biasa ia bawa ke kampus serta motor ninja yang sudah modifikasi sana-sini.
"Hahahaha! Maaf! Maaf! Tapi sungguh, kau sangat lucu tadi ketika terkejut!" balasnya sambil melanjutkan tawa. Harvi melipat kedua tangan di depan dada sambil menatap anak itu dengan kesal, tapi juga ada sedikit rasa senang yang membuncah dari hatinya.
"Oke.. Oke.. Aku berhenti tertawa. Sekarang naiklah. Kita pulang ke apartemenmu sama-sama. Lagipula aku juga harus menyalin hasil tugasmu."
"Tidak! Aku lebih memilih jalan kaki saja daripada harus naik motor berdua dengan orang yang hampir membuatku mati berdiri. Dan siapa bilang kau boleh seenaknya menyalin tugas yang sudah ku buat? Lebih baik pulang sana, kerjakan sendiri tugasmu," Harvi pura-pura ngambek sambil berjalan pergi. Marik segera menyalakan motornya kembali sambil menjalankannya pelan-pelan menyejajari langkah Harvi.
"Ayolah, jangan marah begini dong. Aku tadi hanya bercanda," rajuknya. Tapi Harvi hanya mencibir dan tetap berjalan seolah tidak mendengar Marik yang terus memohon.
Karena tidak juga berhasil, Marik pun turun dari motor lalu berjalan menyejajari Harvi sambil mendorong motornya. Dan cara ini pun akhirnya sukses membuat Harvi menyerah.
"Oke, baiklah.. baiklah.. Sekarang cepat antar aku ke apartemen."
Marik tersenyum senang. "Baiklah, Tuan. Anda akan ku antar dengan selamat sampai tempat tujuan," ucapnya bak pengawal kerajaan yang membuat Harvi merasa geli.
(Bersambung...)
Previous Chapter | Next Chapter
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say