Heartbeat (Chapter 03)



Setelah membuat secangkir kopi, Alanda berjalan ke ruang tamu dan menyetel televisi. Selama beberapa menit lamanya, ia masih belum juga bisa berkonsentrasi acara yang ada di televisi. Ia masih memikirkan kejadian kemarin malam. Hatinya terasa sakit sekali melihat kekasihnya bersama laki-laki lain. Sepertinya tidak bijak jika ia tetap menyebutnya dengan kekasih. Mungkin mantan kekasih, itu lebih cocok.


Apa yang kurang darinya? Apakah ia kurang tampan? Apakah ia kurang kaya? Apakah ia kurang mapan? Mengingat kalau perempuan itu selalu bersamanya dan memberinya semangat sejak ia menjadi staf kantoran hingga sekarang menjadi kepala cabang perusahaan perbankan. Apakah semua itu masih kurang?


Menyesal. Ia merasa sangat menyesal. Seharusnya dulu ia tidak pernah menjalin hubungan apapun dengan perempuan itu.


Alanda mematikan televisi lalu menyandarkan punggungnya di sofa sambil mengusap wajah dengan kedua tangan. Perempuan itu pasti saat ini sedang mencari-cari keberadaannya.


Ponsel. Ia segera berlari ke dalam kamar dan mencari ponselnya di saku jas hitam miliknya. Ia masih ingat kalau ia menaruhnya disana ketika di club malam kemarin perempuan itu terus berusaha untuk menghubunginya, hingga ia terpaksa melepas baterai ponselnya.


Begitu ketemu dan ia nyalakan, ponselnya langsung diserbu puluhan pesan singkat. Tertera jelas sederet nama di layar. Dezia Pratami. Ia membuka beberapa pesan itu yang isinya hanya berupa permintaan maaf dan penyesalan Dezia. Sekarang bagi Alanda, perempuan itu tak lagi penting.


Ia melempar ponselnya ke atas tempat tidur lalu merebahkan tubuhnya di samping ponsel.


Sudah lama sekali, tapi Harvi belum juga kembali. Mengingat anak itu, ia merasa sakit hatinya sedikit terobati. Harvi sudah dengan tulus menolongnya. Mungkin jika ia tidak bertemu anak itu, bisa jadi ia akan berhadapan dengan beberapa perampok yang akan mengambil semua barang yang ia bawa. Bahkan mungkin ia akan pulang keesokan paginya hanya dengan menggunakan pakaian dalam.


Tapi bukankah Harvi terlalu tulus, bahkan cenderung terlalu polos dan sedikit ceroboh jika membiarkan orang yang belum ia kenal sendirian di apartemennya? Apakah Harvi mempercayai orang semudah itu?


Alanda jadi senyum-senyum sendiri. Harvi, laki-laki yang menarik.


"Dasar anak bodoh."


***


Harvi melangkah masuk ke dalam apartemen di ikuti Marik.


"Kamu sudah sarapan?" tanya Harvi sambil berjalan menuju dapur. Marik mengekor di belakangnya.


"Aku belum sempat sarapan. Tadi aku buru-buru ke sini untuk tugas itu." katanya sambil duduk di sebuah kursi meja makan. Meja makan di apartemen Harvi memang ada di dapur. Namun belum sempat Harvi menjawab, tiba-tiba terdengar suara Alanda.


"Harvi? Kaukah itu?" tanya Alanda bersamaan dengan kehadirannya di ambang pintu dapur. Ia dan Marik sama-sama terkejut melihat kehadiran satu sama lain. Mendadak, suasana jadi canggung.


"Oh, Alanda, perkenalkan, ini Marik, temanku. Dan Marik, ini Alanda. Dia adalah.....," kalimat Harvi terputus. Ia bingung harus menganggap Alanda sebagai apa.


"Aku Alanda, teman sekolah Harvi, kakak kelasnya waktu sekolah dasar," tukas Alanda berbohong. Harvi mengernyit pada Alanda, tapi Alanda malah tampak tersenyum tenang penuh kebohongan sambil berjabat tangan dengan Marik.


Harvi ingin mengelak dari omong kosong yang diucapkan Alanda. tapi ia mengurungkan niatnya. Kalau nanti ia bilang kalau Alanda bukan teman sekolahnya, bisa jadi Marik curiga kalau ada apa-apa di antara mereka berdua. Semua bisa jadi runyam. Biarkan sajalah.


"Sebaiknya kalian duduk, aku akan menyiapkan sarapan yang tadi ku beli." Mereka pun duduk dengan santai.


"Kau sekarang kuliah atau sudah bekerja?" tanya Marik.


"Aku sekarang bekerja, di salah satu cabang perusahaan perbankan di Kota Surabaya."


"Oh, begitu. Kalau aku masih kuliah. Satu fakultas bersama Harvi. Hampir setiap hari aku ke sini untuk mengantar-jemput Harvi ke kampus."


"Mengantar-jemput? Benarkah?" tanya Alanda heran.


"Sungguh. Kita sudah menganggap satu sama lain sebagai saudara. Bahkan aku menganggapnya lebih dari saudara," kata Marik yang sontak membuat Harvi memandang Marik dengan geram. Jantungnya berdetak cepat seakan mau melompat keluar. Tapi Marik hanya meringis pada Harvi seakan berkata 'hanya bercanda'. Ia harus turun tangan sebelum terjadi kesalahpahaman.


"Ini makanannya," kata Harvi sambil menenteng dua piring nasi padang. Tampak wajah Alanda yang dihiasi kebingungan. Sepertinya ia masih berusaha mencerna kalimat Marik yang terakhir tadi. Ah! Marik benar-benar sialan!


"Kenapa hanya beli dua porsi?" tanya Alanda begitu Harvi duduk di salah satu kursi di dekat Marik.


"Yang ini untukmu," Harvi meletakan piring yang ada di tangan kanannya di depan Alanda. "Dan yang ini untuk Marik."


Marik mengernyit. "Kamu sudah sarapan?"


Kedua laki-laki itu tampak memandang Harvi dengan penuh selidik.


"Sudah kok. Tenang saja. Aku sudah makan disana tadi," ujarnya berbohong sambil berdiri.


"Ah, jangan bohong!" seru Marik sambil menarik Harvi untuk duduk kembali. Ia menyendok sesuap nasi padang dan mengarahkannya pada Harvi. "Sekarang buka mulutmu. Kamu juga butuh makan."


Harvi menatap Marik dengan bingung. "Aku.. aku sudah makan, sungguh."


"Bilang sekali lagi 'aku sudah makan', akan ku cium kau," ancam Marik. Harvi kembali memerah. Ia menatap wajah Alanda yang diliputi kebingungan, lalu kembali memandang Marik.


"Satu..."


"Dua............"


Sebelum Marik sempat mengucapkan kata 'tiga', Harvi segera mendorong kepalanya untuk menyantap suapan dari Marik dengan setengah tidak ikhlas.


"Nah, begitu dong, sayang. Harus menurut sama kekasihmu sendiri," ujar Marik seakan-akan berkata kepada pacarnya sendiri. Harvi hanya bisa memukul pelan kepala Marik.


"Kekasih dari Hongkong?! oceh Harvi singkat. Ia tidak bisa mengomel dengan mulut penuh makanan. Tapi Harvi tahu kalau Marik itu tidak punya pacar saat ini. Mungkin nanti.


Sedangkan Alanda mulai menyantap makanannya dengan tersenyum sambil menggeleng pelan. Melihat Harvi dan Marik seperti kakak beradik yang sangat akur.


(Bersambung...)


Previous Chapter | Next Chapter


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)