Heartbeat (Chapter 04)



Hari sudah agak terik. Harvi tengah bersiap di kamarnya, menyiapkan segala peralatan yang ia butuhkan untuk kuliah. Sedangkan Alanda berbaring di atas kasur sambil menatap Harvi yang tampak begitu tenang tanpa takut ketinggalan sesuatu.


"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanya Alanda.


"Hm? Apa?" balas Harvi sembari memilih-milih buku yang akan ia bawa.


"Apa kau selalu mempercayai setiap orang semudah ini?"


Harvi menghentikan gerakan tubuhnya, mencoba mengerti kata-kata Alanda barusan. Ia membalikkan badan menghadap Alanda. "Maksudmu?"


Alanda menegakkan punggungnya dan duduk di tepian kasur. "Kau pasti sudah tahu maksudku. Tadi pagi kau meninggalkanku di apartemen sendirian, sedangkan kita tidak saling kenal sebelumnya. Apa kau tidak takut aku akan mencuri sesuatu di apartemenmu ini?"


Mendengar hal itu, Harvi tertawa hambar. "Tentu saja aku takut. Apa kau pikir aku sudah mempercayaimu? Kau salah besar. Kau pikir aku sebodoh itu?"


Sesaat kemudian, Harvi mengeluarkan sebuah dompet kulit warna cokelat polos dari saku celana bagian belakang. Alanda terbelalak. Itu dompetnya. Bagaimana bisa dompetnya ada pada Harvi? Oh, astaga. Ia sendiri kurang berhati-hati. Bahkan ia tidak tahu kalau dompetnya sejak tadi dibawa Harvi.


"Aku akan terus membawa ini selagi kau berada di rumahku. Tenang saja, aku tidak akan mengambil uangmu sepeser pun. Selama kau bersikap baik. Tapi sepertinya sudah cukup. Kau boleh pulang sekarang."


Ia melempar dompet itu dan Alanda menangkapnya dengan cepat. Harvi kembali pada aktivitasnya. Alanda memandangi dompetnya dan merenung. Sepertinya ia lupa kalau ia harus meninggalkan apartemen Harvi. Ia juga harus sadar kalau ia harus bekerja di kantor. Tapi toh jika ia tidak bekerja sehari pun tidak apa-apa. Menjadi kepala cabang perusahaan perbankan tidak perlu sering berada di kantor dan menjadi sosok yang suka mengatur bawahannya.


Kalau dia pulang ke rumah, sudah pasti ia akan bertemu dengan Dezia. Atau mungkin perempuan itu sudah tidak menginginkannya lagi dan memilih untuk bersama laki-laki itu tanpa memedulikannya. Lagi pula dia tinggal sendirian di sebuah rumah di kawasan perumahan elit. Mungkin ketika ia pulang, hanya pembantunyalah yang akan menyambutnya. Mobilnya juga ia tinggalkan di kantor. Kalau dia mau pulang, dia mungkin harus naik angkutan umum.


Tapi sepertinya ia harus pulang sekarang. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan di apartemen Harvi.


"Baiklah, aku.... aku pulang sekarang. Terimakasih atas pertolonganmu tadi malam."


Sepertinya Alanda tidak ingin meninggalkan apartemen Harvi. Tapi ia juga tidak punya alasan untuk tinggal lebih lama disini.


"Sama-sama. Keluarnya barengan saja sama aku dan Marik," kata Harvi. Alanda hanya tersenyum masam.


Beberapa menit kemudian mereka bertiga sudah berdiri di depan gedung apertemen Harvi. Marik dan Harvi sudah bertengger di atas motor, sedangkan Alanda hanya bisa menatap mereka.


"Baiklah kalau begitu. Aku berangkat sekarang."


Alanda mengangguk satu kali lalu tersenyum. "Hati-hati di jalan. Untuk kau Marik, jangan terlalu ngebut."


Marik mengangguk mantap, tapi Harvi merasa ada yang aneh dari kalimat Alanda barusan.


"Kau juga hati hati-hati. Jaga dirimu baik-baik," kata Harvi. Alanda mengangguk.


Harvi masih belum juga bisa mengalihkan pandangan dari Alanda. "Kau tahu? Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Dan aku sangat yakin kau pasti bisa menghadapinya."


Sejenak, seluruh tubuh Alanda seperti menghangat. Anak itu mencemaskannya. Kata-kata itu... pasti karena kejadian kemarin. Alanda tersenyum penuh semangat. Harvi kelihatannya saja polos, tapi ternyata dia bisa bersikap sedewasa itu.


Tiba-tiba saja, Alanda mendekat ka arah Harvi dan memeluknya erat. Harvi sempat membeku selama beberapa detik. Jantungnya berdenyut cepat.


"Sampai jumpa lagi lain waktu," kata Alanda.


Harvi mencoba menggerakan kedua tangannya dan membalas rangkulan Alanda. Dirasakannya punggung dan pundak Alanda yang keras dari balik kaos itu. Seperti tidak ada lemak sama sekali. Yang ada hanya otot.


Semakin lama, ia memeluk Alanda semakin erat. Mungkin ini terakhir kalinya mereka bertemu.


Setelah cukup lama, mereka melepas pelukan. Harvi jadi salah tingkah sendiri. Ia tersenyum meringis sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Sedangkan Alanda memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.


Marik mulai menyalakan motornya.


"Sampai jumpa lagi, Alanda," kata Marik sambil mulai melajukan motornya. Alanda hanya bisa mengangkat tangan kanannya sebatas kepala sambil memandang motor Marik yang semakin menjauh. Harvi tampak tidak menoleh sedikit pun. Padahal ia ingin sekali melihat Harvi menengok ke belakang. Sekali saja.


Tapi sepertinya itu mustahil karena motor Marik sudah tidak kelihatan lagi setelah berbelok di tikungan.


Alanda memutuskan untuk berjalan menyusuri trotoar di bawah sinar mentari pagi menuju halte terdekat dengan langkah lambat. Beberapa wanita yang berpapasan dengannya tampak tersenyum centil padanya, berusaha untuk menggoda dia. Tapi Alanda tidak memedulikan mereka. Membalas senyum pun tidak.


Kantornya berada tidak jauh dari sini. Tapi kalau di tempuh dengam jalan kaki, mungkin bisa memakan waktu yang cukup lama.


Ya, sepertinya ia harus ke kantornya dulu untuk mengambil mobil sebelum pulang ke rumah.


(Bersambung...)


Previous Chapter | Next Chapter


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)