Heartbeat (Chapter 08)



Alanda segera keluar dari mobilnya lalu menghampiri Harvi yang sudah turun duluan.


"Apakah benar makanan di tempat ini higienis?" tanya Alanda sambil memandang tempat makan yang ada di depannya sekarang, yang baginya tidak layak sama sekali di sebut tempat makan. 


Harvi mengangguk penuh semangat. Ia sudah mengira kalau reaksi Alanda pasti begini.


"Aku yakin seratus koma sembilan sembilan sembilan sembilan sembilan sembilan persen. Lagi pula aku yakin kau pasti belum pernah mencicipi wedang rondenya yang lezat."


Tempat itu ada di depan toko bahan bangunan yang sudah tutup, dengan dua buah gerobak yang saling bersandingan. Yang satu tulisannya Nasi-Mie-Goreng-Godog. Alanda jadi geli sendiri melihat kesalahan tulisan itu. Memangnya ada ya Nasi Godog? Sedangkan gerobak yang satunya lagi tulisannya Wedang Ronde Mbok Rondo. Nama yang cukup kontroversial bagi Alanda. Di belakang gerobak-gerobak itu sudah dialasi dengan karpet hijau lebar untuk lesehan dan beberapa meja panjang. Sepertinya pemilik gerobak-gerobak ini satu keluarga.


Tapi walaupun begitu, tempak itu sepertinya cukup populer. Buktinya semua tempat disini sudah hampir penuh. Sebagian besar yang kesini adalah remaja. Selain itu, ada juga seorang gadis berambut kepang yang bertugas sebagai pelayan. Dari perawakannya, pastilah anak itu masih sekolah. Mungkin masih SMA.


Alanda menggaruk-garuk tengkuknya. Ia masih belum yakin dengan argumen Harvi barusan. "Ta-tapi........"


"Ayolah! Kau tidak akan tahu sebelum mencobanya," Harvi menarik Alanda ke salah satu meja panjang yang kosong. Mereka berdua segera duduk bersila saling berhadapan.


"Mbak, pesan mie goreng satu, nasi gorengnya dua, pedas semua, sama wedang rondenya dua," ujar Harvi setelah memanggil gadis pelayan itu.


Alanda mengernyit. "Hei! Kenapa kau tidak tanya aku dulu aku mau makan apa?"


Harvi mencibir sedikit. "Iya... Iya... Kau makan apa?"


"Um... Mbak, aku pesan nasi goreng yang pedas, sama seperti temanku," ujar Alanda yang sontak membuat Harvi naik pitam sambil memandang Alanda dengan mata melotot.


Yang dipandang cuma nyengir sambil tertawa geli. Sungguh, baru kali ini Alanda memiliki selera humor seperti itu.


"Jadi pesanannya mie goreng satu, nasi goreng pedas dua, sama wedang rondenya dua. Baiklah. Tunggu sebentar ya," kata gadis pelayan itu sambil menyelonong pergi menuju meja lainnya.


Alanda melihat-lihat sekitar. Sepertinya semua yang datang kesini terlihat sangat menikmati waktu mereka. Sedangkan Alanda merasa paling tua sendiri di antara para pelanggan disini. Untunglah dia berpakaian santai. Jadi paling tidak, ia bisa membaur dengan yang lainnya. Ia memandang Harvi yang tampak lebih mementingkan ponsel. 


"Harvi, apakah penampilanku kelihatan tua?" tanya Alanda tiba-tiba yang membuat Harvi melempar pandangan aneh padanya.


Harvi memasukkan ponselnya ke saku kemeja sambil memerhatikan wajah Alanda dengan seksama. Ia pura-pura berpikir keras. Alanda tersenyum kecil. Ia berhasil mengalihkan perhatian Harvi padanya sekarang.


"Iya. Kau memang kelihatan tua. Apalagi brewok tipismu itu benar-benar membuatmu seperti pria berusia tiga puluh lima tahun. Memangnya kenapa? Kau baru sadar ya?"


Alanda menyengir sambil meraba brewok tipisnya dengan ujung jari tangan. "Apa benar ini membuatku tampak lebih tua dari usiaku? Sepertinya aku harus bercukur."


"Tidak usah bercukur. Aku lebih suka melihatmu apa adanya seperti ini. Kau terlihat lebih dewasa," cegah Harvi.


Alanda tersenyum lebar kali ini. "Benarkah? Apa kau sungguh berpikir kalau aku tampak lebih tampan dengan brewokku yang seksi ini?"


"Siapa yang bilang seperti itu? Aku hanya bilang kalau kau terlihat dewasa dengan penampilan seperti ini," elak Harvi.


"Tapi kau menyukainya kan?" goda Alanda sambil mencondongkan badannya ke depan hingga berada dekat dengan wajah Harvi.


"Yah, setidaknya wajahmu masih layak untuk dipandang," balas Harvi sambil menyentil hidung Alanda. Yang disentil hanya menyengir kuda sambil mengusap-usap ujung hidungnya. Walaupun begitu, entah kenapa Alanda merasa sangat senang sekali.


***


Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Harvi mematikan televisinya setelah ia merasa benar-benar mengantuk. Ia berjalan menuju kamarnya sambil sesekali mengucek-ngucek kelopak matanya yang sudah terasa sangat berat.


Setibanya di kamar, tampak Alanda tengah berbaring di atas kasur dengan punggung disandarkan sambil mengutak-atik laptop, di terangi dua lampu tidur di kiri kanan tempat tidur. Harvi menutup pintu kamar dan segera beranjak ke atas kasur, di samping kanan Alanda. Ia menata salah satu bantal yang tak terpakai dan guling untuk sebagai sekat, lalu berbaring sambil menarik selimut tebal hingga sebatas pinggang.


"Kau sudah mau tidur jam segini?" tanya Alanda sambil menutup laptopnya dan meletakkannya di atas meja dekat tempat tidur.


"Ini sudah jam setengah dua belas malam. Tentu saja aku mau tidur. Dan kenapa kau mengatakan "jam segini"? Kau sering tidur lebih larut dari jam setengah dua belas?"


Alanda menyengir. "Tidak juga. Hanya sesekali saja."


Tak lama, terdengar dering ponsel Harvi di celana. Ia lupa untuk menaruhnya di atas meja sebelum tidur. Segera ia keluarkan. Sederet nama yang familiar tertera di layar ponsel.


"Halo? Marik, ada apa?"


Alanda memandang Harvi sekilas sambil mengernyit. Temannya yang tadi pagi menelponnya malam-malam begini. Ia menghela napas panjang lalu turun dari kasur.


Dengan gerakan santai, ia melepas kaos dan celana panjangnya, hanya menyisakan celana boxer hitam. Ia kembali naik ke atas ranjang begitu Harvi menutup percakapannya dan menatap Alanda sambil melongo sedikit.


"Kenapa kamu bugil begitu?" protesnya sambil melotot.


"Aku tidak bugil. Aku masih pakai boxer. Lagipula aku sudah terbiasa tidur hanya dengan memakai boxer saja."


Harvi tidak menjawab apa-apa. Konsentrasinya pecah begitu melihat badan Alanda yang tampak begitu menawan.


"Ya sudah kalau begitu. Selamat tidur." ucap Harvi cepat begitu menemukan kesadarannya kembali lalu segera memejamkan mata.


Alanda membaringkan tubuhnya menyamping menghadap Harvi. Di tatapnya wajah laki-laki itu dari samping dengan seksama. Ia yakin kalau Harvi pasti belum terlelap. Tapi ia juga tidak ingin menggangunya.


"Harvi?"


"Hm."


"Tadi temanmu yang bernama Marik itu bicara soal apa di telpon?"


"Bukan urusanmu."


"Jangan ketus begitu dong. Memangnya aku salah apa?"


Sontak, Harvi langsung membuka matanya dan memiringkan posisi tidurnya. Kini mereka berdua saling berhadapan.


"Kesalahanmu banyaaak sekali. Mulai dari tidur di kamarku, mengganggu privasiku, pokoknya banyak!"


"Hei, tunggu dulu! Bukankah kamu sendiri yang mengijinkanku tidur satu ranjang denganmu?" tanya Alanda dengan konotasi kalimat aneh.


"Iya juga sih. Sudahlah, lupakan. Dan jangan tanya-tanya lagi."


"Tapi kau masih belum menjawab pertanyaanku!" sergah Alanda cepat-cepat.


"Pertanyaan yang mana?"


"Apa yang Marik bicarakan denganmu tadi?"


Harvi memejam beberapa detik sambil menghembuskan napas. "Besok Marik tidak bisa menjemputku untuk berangkat ke kampus. Katanya ia besok ijin tidak masuk karena tidak enak badan. Aku tidak tahu sejak kapan. Padahal tadi pulang dari kampus, dia masih sehat. Terpaksa besok aku berangkat naik angkutan umum."


Alanda menepuk kepala Harvi. "Hei, kau lupa kalau masih ada aku?"


Harvi mengusap usap kepalanya. "Memangnya kenapa kalau ada kamu?"


"Aku akan mengantarmu besok. Tidak ada kata "tidak", "tidak mau", atau "tidak usah". Lebih baik sekarang kamu tidur. Selamat tidur," cerocos Alanda lalu membalik tubuhnya membelakangi Harvi.


Harvi mengernyit sambil mengerutkan hidung. "Hei! Jangan seenaknya begitu!"


Alanda tidak merespon. Harvi mengguncang-guncang bahu Alanda. "Hei! Bangun! Jangan pura-pura tidur! Bangun!"


Tak berselang lama, tiba-tiba jantung Harvi berdetak kencang. Ia baru sadar kalau telapak tangannya menempel langsung pada kulit bahu Alanda yang hangat dan lembab.


Segera, ia menarik tangannya dan lamgsung membalik tubuhnya membelakangi Alanda. Ia berusaha untuk mengatur denyut jantungnya yang tak karuan. Astaga!


(Bersambung...)


Previous Chapter | Next Chapter


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)