Heartbeat (Chapter 09)
Terik mentari siang ini sungguh di luar dugaan. Panas sekali. Harvi menunggu di depan gerbang kampus sambil sambil sesekali melirik ponsel di genggamannya.
"Kenapa dia belum datang juga sih?" gerutunya pelan.
Tak berselang lama, tiba-tiba ada sepasang tangan yang meremas pundak Harvi dari belakang.
"Anjirrr!" seru Harvi melonjak kaget sambil berbalik badan dengan cepat. Ia baru merasa lega setelah melihat seorang gadis bertubuh langsing yang memiliki tinggi sama dengannya. Gadis itu berambut panjang yang di kucir agak miring ke kanan.
"Astaga! Kak Angelinn! Kau hampir membuatku mati berdiri!" seru Harvi mencak-mencak sambil mengelus-elus dadanya yang berdegup cepat.
Gadis yang bernama Angelinn itu malah tertawa keras. Terlalu keras hingga ia sulit sekali menghentikan tawanya.
Angelinn Ratuputri adalah kakak kandung Harvi, dua tahun lebih tua. Mereka selalu berada di sekolah yang sama waktu kecil. Kuliah pun mereka juga bersama, tapi ketika Harvi baru masuk kuliah, ia memutuskan untuk mengambil jurusan yang berbeda dari kakaknya, jadi mereka jarang bertemu satu sama lain. Dia juga menyewa sebuah apartemen di kota Surabaya.
Sebenarnya orang tua Harvi asli orang Indonesia, tapi sekarang mereka sedang mengurus bisnis hotel di Bangkok yang dikelola ayah Harvi dan Angelinn.
Biasanya kalau sedang liburan, mereka berdua memilih untuk menghabiskannya di Bangkok sekaligus temu kangen dengan orangtua,
"Sudahlah, Kak! Hentikan! Itu sama sekali tidak lucu!"
Angelinn berusaha menahan tawa sekuat tenaga. "Lagian, kau kenapa sendirian disini? Biasanya kau selalu pulang bareng pacarmu itu," sentil Angelinn.
"Pacar? Pacar yang mana, Kak?"
Angelinn mengibaskan tangan. "Jangan pura-pura bodoh. Itu, laki-laki yang selalu mengantar dan menjemputmu ke kampus naik motor."
"Maksudmu Marik? Itu bukan pacarku, Kak! Hanya teman dekat."
"Tapi kau menyukainya, kan?" godanya lagi.
"Sudahlah, Kak. Kau benar-benar mengganggu. Nanti aku bilangin Kak Leandro, lho!" ancam Harvi. Leandro adalah pacar Angelinn. Mereka sudah berpacaran sejak SMA. Dan sudah bertunangan selama setahun. Leandro sendiri adalah teman Marik waktu SMA. Berkat Leandro, Harvi dan Marik bisa saling kenal satu sama lain.
"Baiklah. Baiklah. Ngomong-ngomong kenapa hari ini kau tidak pulang dengan Marik?" tanya Angelinn sekali lagi.
"Dia hari ini tidak masuk. Katanya sakit. Aku mau menjenguknya sama temanku."
Ketika Angelinn membuka mulut ingin bertanya lagi, tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna merah marun berhenti tepat di depan mereka. Alanda yang bersetelan formal tampak keluar dari mobil dan berjalan menghampiri Harvi, membuat Harvi terdiam.
"Halo, Harvi. Sudah lama menunggu?" tanya Alanda, dengan rambut rapi, memakai jas dan celana abu-abu cerah, tampak baru pulang dari kantor.
Namun Harvi langsung melotot padanya. "Bukankah sudah ku bilang, jangan pernah turun dari mobil!" gerutunya lirih, berusaha supaya Angelinn tidak mendengarnya.
"Harvi, ini siapa?" tanya Angelinn langsung.
"Eh.. Um.. Anu...," Harvi bingung bagaimana cara memperkenalkan mereka.
"Perkenalakan, Alanda Trihatmadja, teman Harvi," ucap Alanda mendahului.
"Ah, namaku Angelinn Ratuputri. Kakak kandung Harvi. Senang berkenalan denganmu. Kenapa Harvi tidak pernah cerita ya kalau dia punya teman yang setampan dirimu?" pujinya sambil berjabat tangan selama beberapa saat. Alanda hanya tersenyum manis tanpa membalas perkataan Angelinn. Tapi gadis itu malah tampak melirik Harvi sambil menyipit, membuat Harvi tersenyum cengengesan.
"Oh, um.. Maaf, Kak. Aku harus pergi sekarang. Soalnya nanti sore aku harus kerja kelompok. Takutnya kalau tidak buru-buru, nanti terlambat!" Harvi melongos duluan menuju mobil, melupakan Alanda yang masih berdiri di sana.
"Tolong, jaga adikku. Dia butuh lebih dari sekedar perhatian darimu," ucap Angelinn pada Alanda.
"Aku akan menjaganya semampuku. Jangan khawatir," balas Alanda, yang sebenarnya tidak mengerti apa maksud dari kalimat Angelinn barusan.
Sadar kalau Alanda masih berdiri dan bercakap-cakap dengan Angelinn di depan gerbang, Harvi turun dari mobil dan menarik Alanda cepat-cepat.
"Hati-hati, Harvi. Jaga kesehatanmu!" teriak Angelinn sambil menahan senyum begitu Alanda menyalakan mobil.
"Tadi apa yang kau bicarakan dengan kakakku?" tanya Harvi cepat-cepat setelah mobil sedan itu meluncur.
"Bukan hal yang penting. Dia hanya bilang supaya aku menjagamu," jawab Alanda sambil menyetir dengan mantap.
Harvi mengerutkan hidung. "Menjagaku? Memangnya aku anak balita yang harus dijaga?"
Alanda terkekeh. "Kau baru sadar kalau tingkahmu itu seperti balita?"
"Maksudmu tingkahku imut dan menggemaskan, begitu?"
"Tidak. Tapi menjengkelkan dan menyebalkan," goda Alanda.
Harvi mencibir. "Oh iya, apakah setelah ini kau sibuk?"
"Iya. Aku sibuk sekali. Setelah ini aku harus menjaga balita tua di apartemennya," goda Alanda lagi, membuat Harvi menonjok lengan Alanda yang keras.
"Aku serius!"
"Aku juga serius. Aku harus menjalankan amanat dari kakakmu."
"Itu artinya setelah ini kau tidak punya kesibukan, kan? Aku mau memintamu untuk mengantarku menjenguk Marik di rumahnya."
Alanda menoleh cepat memandang Harvi. "Kenapa kau harus menjenguknya?"
"Karena dia temanku dan dia sedang sakit."
Mendadak, Alanda menjadi sedikit malas. "Aku tidak bisa. Aku sedikit tidak enak badan. Kita langsung pulang saja ya?"
Harvi menyipit. "Ya sudah. Turunkan aku disini saja. Aku akan ke rumah Marik naik angkutan umum saja."
"Jangan! Jangan turun!" cegah Alanda.
"Kenapa?"
Alanda mendengus kesal. "Iya! Iya! Aku antar kau ke rumah temanmu!"
"Kau kelihatan tidak ikhlas!" gerutu Harvi.
"Iya, Harvi ganteng.. Babumu ini akan mengantarmu langsung ke rumah Marik, oke?" balasnya sambil menyunggingkan senyum yang dipaksakan.
Harvi tertawa kecil. "Oke, Om Alanda! Baru tahu ya kalau aku ganteng?"
"Siapa yang kau panggil dengan sebutan 'om'? Memangnya aku kelihatan seperti pria berumur lima puluh tahun? Ganteng-ganteng begini dibilang panggil 'om'," omel Alanda.
Harvi mencibir. "Kau pasti selalu memakai cermin yang retak waktu berkaca. Eh, ngomong-ngomong, kau tidak perlu menemaniku. Cukup mengantarku saja, setelah itu kau boleh pulang duluan."
"Jangan membantahku. Kalau aku bilang menemanimu, ya menemanimu sampai kau pulang."
"Tidak usah! Mungkin aku akan sedikit lama," cegah Harvi.
"Kata-kataku tidak bisa diganggu gugat!"
Harvi memberengut. "Iya! Iya! Terserah kau saja!"
Tak berselang lama, tiba-tiba Alanda menepikan mobilnya. Harvi agak bingung ketika Alanda mendadak melepas jas dan dasinya.
"Mau apa kau?!" teriak Harvi takut sekaligus gugup. Takut kalau tiba-tiba bertindak macam-macam padanya. Alanda langsung menoleh.
"Kau ini kenapa? Jangan bodoh! Kau pikir aku akan memperkosamu?" goda Alanda sambil tertawa kecil dan menggeleng, membuat Harvi memukul lengan Alanda sekali lagi dengan agak kencang. Alanda terkekeh sambil memohon ampun.
"Ngomong-ngomong, luka lebam di wajahmu sudah terlihat samar. Apakah masih terasa nyeri?"
Alanda meraba-raba wajahnya. Benar juga, ia baru sadar masih punya wajah lebam di wajahnya karena perkelahiannya waktu itu. Pantas saja orang-orang di kantor menatapnya dengan aneh sejak pagi. Kalau tidak diingatkan Harvi, pasti ia sudah lupa. Ia tidak tahu kenapa ia bisa lupa. Sejak tinggal di apartemen Harvi, ia merasa kalau ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia perhatikan daripada bekas biru-biru di wajahnya.
"Oh, tidak, sudah tidak sakit lagi."
"Bagus lah kalau begitu." Harvi tersenyum. Alanda membalasnya dengan senyum yang lebih teduh.
(Bersambung...)
Previous Chapter | Next Chapter
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say