Heartbeat (Chapter 11)



Ting! Tong!


Harvi menekan bel pintu rumah Marik setelah turun dari angkutan umum beberapa saat yang lalu.


Ting! Tong! Tong! Ting! Tong! Ting! Tong!


Kali ini Harvi menekan bel beberapa kali. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka.


"Oh, Harvi! Kau datang? Sendirian?" tanya Marik langsung sambil melirik-lirik ke belakang punggung Harvi.


"Aku sendiri, tadi naik angkot."


"Tidak dengan temanmu?" tanya Marik dengan nada sedikit sinis.


Harvi mengernyit. "Maksudmu Alanda? Tidak, dia sedang bekerja sekarang."


Marik tersenyum senang. "Oh, begitu. Masuklah dulu." Marik menyingkir sedikit supaya Harvi bisa masuk ke dalam.


"Ngomong-ngomong bagaimana keadaanmu?" tanya Harvi setelah mereka berdua duduk di sofa depan televisi. Tampaknya Marik baru saja main video game. Televisi dan playstation-nya masih menyala, dengan tulisan "pause" di layar televisi.


"Aku jauh lebih baik setelah kau merawatku kemarin. Kalau kau tidak datang, tamat sudah riwayatku."


Harvi menjitak kepala Marik. "Jangan bicara macam-macam."


"Aduh! Kenapa kau memukulku?!" teriak Marik sambil mengelus-elus ubun-ubunnya.


"Kau tahu, aku kemarin malam hampir tidak bisa tidur karena memikirkan keadaanmu! Kau malah berpikir seperti itu!" gerutu Harvi sambil memukul-mukul lengan kiri Marik. Yang dipukul malah tertawa cekikikan sambil berusaha menghindar.


"Maaf! Maafkan aku, Harvi! Aku tidak tahu kau akan secemas itu!" seru Marik. Harvi langsung membuang muka ke arah lain sambil bersedekap dengan wajah cemberut. Marik berusaha menahan tawa.


"Harvi, ayolah, jangan bersikap seperti anak kecil begitu. Maafkan aku. Aku hanya bercanda saja. Jangan terlalu diambil hati! Aku tidak tahu kalau kau secemas itu hanya karena aku kena demam ringan," rajuk Marik.


Namun kemudian Harvi malah tertawa kecil. "Aku tidak benar-benar marah padamu. Hanya akting saja, kok!"


Marik menyengir kuda lalu segera merangkul leher Harvi dengan cepat sambil mengosok-gosok kepala Harvi dengan buku-buku jarinya. Harvi tertawa terpingkal-pingkal sambil memohon ampun, tanpa ia sadari kalau Marik menciumi kepala Harvi beberapa kali pada saat itu.


***


"Iya, iya, nanti aku kirim datanya lewat e-mail saja. Maaf hari ini aku pulang sedikit lebih awal, soalnya aku ada acara penting yang agak medadak... Apa....? Oh, tidak kok, semuanya yang ada di kantor sudah beres. Tinggal kamu urus sisanya seperti biasa." ujar Alanda pada asisten kantornya sambil berjalan masuk menuju gedung apartemen Harvi. Ia baru saja tiba beberapa menit yang lalu, tepat pukul 12.17 waktu setempat.


"Oke... Oke, kalau begitu. Terimakasih," Alanda mengakhiri percakapan dan memasukkan ponselnya ke saku celana. 


Wajahnya sumringah karena ada 'acara penting yang agak mendadak', seperti yang ia katakan tadi. Mungkin berlebihan jika ia menyebutnya seperti itu, karena sebenarnya 'acara' yang ia maksud hanyalah mengajak Harvi berbelanja di sebuah department store. Sudah lama sekali ia tidak pergi untuk berbelanja. Lagipula hari ini ia gajian. Mungkin ia akan membeli beberapa setel pakaian kerja, juga pakaian yang lainnya. Mengingat kalau dia hanya membawa sedikit pakaian ke apartemen Harvi.


Ia segera mempercepat langkahnya hingga tiba di depan apartemen Harvi. Ketika ia mencoba membuka pintu, ternyata tidak bisa. Pintunya terkunci. Alanda sebenarnya memegang kunci cadangan, tapi percuma saja kalau ia masuk ke dalam. Harvi tidak ada.


Kemana perginya anak itu? Bukankah tadi pagi ia bilang kalau hari ini tidak pergi ke kampus? Alanda mengeluarkan ponselnya, menekan angka lima beberapa detik lalu menempelkannya di telinga.


Bukannya suara nada sambung yang ia dengar, malah suara operator yang mengatakan kalau nomer yang hubungi sedang tidak aktif.


"Kamu ngelayap kemana sih?" gerutu Alanda sambil mencoba menghubungi nomor Harvi sekali lagi. Tetap saja yang ia dengar suara seorang wanita yang mengatakan hal yang sama seperti tadi.


Tiba-tiba pikirannya melayang pada rumah teman Harvi yang bernama Marik yang kemarin ia datangi bersama Harvi. Bukankah ia kemarin sakit? Apakah Harvi ke sana lagi?


Tanpa banyak berpikir lama lagi, Alanda langsung berjalan keluar gedung apartemen menuju mobilnya.


***


"Kamu curaaaangg!!" teriak Harvi sambil memukul-mukul Marik.


"Siapa yang curang? Kamu sendiri yang kurang gesit! Kurang hati-hati!" balas Marik sambil menghindari serangan Harvi hingga mereda.


Mereka sedang bermain salah satu game playstation pertarungan favorit Harvi. Biasanya ia sering menang, tapi entah kenapa hari ini sepertinya ia kurang begitu beruntung.


"Kita main yang lain sajalah!" ujar Harvi.


"Eits! Tidak bisa! Kau tidak boleh melupakan perjanjian kita tadi sebelum bermain game ini. Kau sendiri yang menantangku, siapa yang lebih dulu bisa menang sebanyak sepuluh kali, maka yang menang bisa minta satu permintaan apa saja dari yang kalah, dan yang kalah harus menuruti satu permintaan dari yang menang! Kau tidak lupa kan?" tukas Marik.


Harvi mengerutkan hidung. "Baiklah! Baik! Sekarang kau mau minta apa dariku?"


Marik tersenyum kecil sambil pura-pura merenung. Tapi belum sempat ia mengatakan apa yang ia inginkan, terdengar suara bel pintu.


"Tunggu disini sebentar,'" ucap Marik lalu beranjak menuju pintu depan.


Setelah dibuka, Marik sedikit terkejut dengan kehadiran pria bersetelan jas lengkap tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Bukankah ini teman Harvi yang bernama Alanda itu?


"Maaf mengganggu. Apakah Harvi ada disini?" tanya Alanda. Marik mengernyit memandang Alanda dengan ekspresi tidak suka. Ketika Marik hendak menjawab, terdengar suara Harvi dari belakang punggung Marik.


"Alanda?! Kenapa kamu kesini?!"


(Bersambung...)


Previous Chapter | Next Chapter


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)