Heartbeat (Chapter 14)
Harvi berlari menyusuri trotoar sambil sesekali menghapus air matanya yang menetes. Sikap Marik sudah sangat keterlaluan sekali. Baru kali ini ia merasakan kekecewaan yang amat sangat parah.
Terus saja Harvi berlari tanpa menghiraukan arah. Sepertinya ia sudah pergi lumayan jauh.
Ia tidak ingin pulang sekarang. Ia berhenti berlari dan menghentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas. Dengan cepat, Harvi segera memberi tahu jalan ke apartemen Angelinn. Hanya disanalah Harvi bisa berlindung untuk sementara waktu.
Disandarkan kepalanya ke kaca jendela, memandang ke luar taksi. Melihat gedung-gedung tinggi yang kini saling berkejaran, berlomba-lomba menutupi mentari sore di tepi barat dari pandangan Harvi. Tapi kedua matanya tampak menerawang jauh entah kemana.
Yang jelas, sekarang ia sangat membutuhkan ketenangan. Harvi memejamkan mata rapat-rapat, berusaha mengusir kekecewaan yang terasa ingin menyerangnya lagi.
***
Marik menyetir motornya secepat ia bisa. Bahkan ia belum memasang helmnya dengan benar dan sempat menerobos lampu lalu lintas yang sedang berwarna merah pada beberapa persimpangan.
Ia sudah tidak perduli lagi dengan segala yang ada di sekitarnya. Yang ia pentingkan sekarang adalah bertemu dengan Harvi dan menjelaskan semuanya. Bahkan kalau perlu ia akan mengutarakan perasaannya pada anak itu.
Namun karena kurang fokus, mendadak motornya oleng ke kiri hingga ia terjatuh. Tubuh Marik terlempar ke sisi trotoar dan helmnya terlepas. Wajahnya membentur permukaan trotoar hingga tulang hidungnya patah. Tampak beberapa pejalan kaki yang sedang lewat menatapnya dengan kasihan. Ketika beberapa orang mulai menghampirinya, ia segera bangun dan mengambil helmnya. Ia mendirikan motornya dan langsung memacu motornya kembali tanpa memedulikan darah segar yang mengalir dari hidungnya. Walaupun rasanya sangat perih, tapi ia tahan. Rasa perih di hidungnya pasti tak sebanding dengan rasa sakit hati yang dirasakan Harvi.
Marik terus melaju hingga kecepatan maksimum yang ia bisa. Sampai beberapa menit kemudian, ia tiba di depan gedung apartemen Harvi. Begitu ia turun dari motor, ia langsung berlari masuk dan bergegas menuju kamar apartemen Harvi.
Pertama-tama, ia menghapus jejak darah yang mengalir dari hidungnya hingga tidak kelihatan lalu menekan tombol bel. Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka. Muncullah sosok Alanda dari balik pintu.
"Dimana Harvi?!" tanya Marik tanpa basa-basi.
"Loh? Bukannya Harvi ke rumahmu? Tadi aku menurunkan anak itu di depan rumahmu karena ia merengek-rengek minta diturunkan," jawab Alanda dengan sedikit melebih-lebihkan. Harvi tidak mungkin merengek seperti yang dikatakan Alanda barusan.
Marik semakin merasa kesal dengan dirinya sendiri. Ia menendang-nendang angin di sekitar kakinya dengan geram. Ditatapnya Alanda yang tampak sedikit bingung.
"Kau...... sebenarnya apa hubunganmu dengan Harvi?!" seru Marik berusaha menumpahkan seluruh pertanyaannya yang belum terjawab.
Alanda tampak semakin bingung. "A-apa maksudmu? Aku dan Harvi hanya teman biasa."
"Jangan pura-pura bertingkah bodoh di depanku!! Tidak mungkin kalian hanya teman biasa kalau tinggal bersama di satu apartemen!! Lebih baik katakan sekarang, apa hubunganmu dengan Harvi!"
Alanda memandang beberapa penghuni apartemen lainnya yang tampak menatap mereka berdua dengan pandangan ingin tahu.
"Ehm.. Lebih baik kamu masuk dulu. Tidak enak dilihat para tetangga. Masuklah," pinta Alanda. Tapi ia langsung terbelalak begitu hidung Marik kembali mengucurkan darah. Hidungnya juga agak sedikit bengkak.
"Oh! Astaga! Hidungmu! Cepatlah masuk ke dalam!" seru Alanda sambil menggeret tangan Marik ke dalam apartemen lalu menutup pintu dengan keras. Alanda semakin panasaran. Apa sebenarnya yang terjadi? Bukankah tadi ia sudah menurunkan Harvi di depan rumah Marik? Kenapa sekaramg Marik malah mencari Harvi ke sini dengam keadaan seperti ini? Dan kemana perginya Harvi?
Begitu ia berniat ingin mengambil kotak obat, Marik segera bersuara. "Aku tidak ingin lama-lama disini. Aku harus segera mencari Harvi. Sekarang yang ku perlukan hanyalah mengetahui apa sebenarnya hubungan kalian berdua!"
Alanda mengernyit sambil membalik badan dengan tenang. "Aku dan Harvi tidak ada apa-apa. Sungguh! Kita hanya teman saja. Lagipula, untuk apa kau menanyakan hal aneh seperti itu?"
Kali ini Marik terdiam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Alanda. Marik malah membuka pintu dan keluar dari apartemen Harvi. Membuat Alanda langsung terkulai seketika di atas sofa. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan Harvi dan Marik?
Mereka berdua tampak seperti sepasang kekasih yang tengah bertengkar. Atau jangan-jangan mereka berdua memang sudah pacaran? Alanda tidak suka berspekulasi. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan menelpon Harvi.
Benar dugaannya. Nomor ponsel Harvi tidak aktif. Dimana anak itu sekarang? Sepertinya ia harus mencarinya sekarang sebelum Marik menemukan anak itu lebih dulu.
***
Jam sudah menunjukan pukul setengah lima. Baru lima menit yang lalu Harvi tiba di apartemen milik Angelinn. Kini ia sedang duduk di kursi panjang yang berada di dekat jendela. Beruntung apartemen kakaknya itu ada di lantai tiga, jadi jendela itu langsung mengarah pada pemandangan kota.
Harvi menaruh lengannya di jendela dan menaruh dagu di atasnya sambil memandang ke luar jendela. Melihat betapa indahnya langit senja yang berwarna jingga sendu. Walaupun matahari tampak tertutup oleh gumpalan awan kecil.
"Tumben sekali kamu ke sini," ujar Angelinn yang datang tiba-tiba sambil menaruh dua gelas es sirup di atas meja. Ia ikut duduk di samping Harvi.
"Aku sedang ingin menjernihkan pikiranku, Kak. Dan aku selalu merasa sangat iri kau mendapatkan kamar apartemen dengan pemandangan luar yang seindah ini."
"Kau selalu saja berkata begitu kalau sedang ada masalah. Sekarang....," Angelinn tampak sedikit merubah posisi duduknya, "...kau bisa ceritakan padaku mengenai masalahmu itu."
Dipandangnya wajah Angelinn yang tampak cantik itu. Kakaknya memang benar-benar selalu mempesona bahkan dengan dandan yang sederhana seperti ini.
Harvi menarik napas sebanyak-banyaknya. "Marik membohongiku."
"Membohongimu? Membohongimu soal apa?"
"Dulu, ia pernah berkata padaku, kalau dia akan berhenti minum-minum dan berhenti melakukan kebiasaan buruknya," jawab Harvi singkat tanpa memandang lawan bicaranya.
Angelinn menaikkan sebelas alisnya. "Aku tidak mengerti maksudmu. Bukankah sekarang Marik memang sudah berhenti dari itu semua?"
"Tidak, Kak," sergah Harvi cepat sambil menoleh memandang kakaknya, "Aku baru saja memergoki Marik sedang berpesta minuman keras dirumahnya tadi. Bukan hanya itu saja. Aku melihat dia merokok, tapi sepertinya bukan rokok biasa. Baunya tercium seperti daun mariyuana."
Mendengar hal itu membuat Angelinn terbelalak. "Benarkah! Tidak mungkin. Kakak sendiri tidak percaya. Marik adalah teman Leandro. Leandro bilang dia itu laki-laki yang selalu dapat diandalkan. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Marik."
"Terserah jika Kak Angelinn tidak percaya. Aku sudah melihatnya. Dia sendiri yang mengatakan kalau dia membohongiku selama ini."
"Kenapa dia bisa begitu? Kau pernah lihat dia bertingkah aneh?"
Harvi melirik ke puncak hidungnya lalu memandang Angelinn lagi. "Sepertinya hari ini ia mulai bertingkah sangat aneh. Kau tahu temanku yang bernama Alanda itu kan, Kak? Marik tampaknya tidak suka dengan Alanda."
"Tidak suka? Maksudnya?"
"Aku sendiri juga tidak tahu. Tapi memang dari perkiraanku, Marik tidak menyukai Alanda. Paling kelihatan ya hari ini. Pas aku ada di rumah Marik, tiba-tiba Alanda datang dan mengajakku ke mall."
Angelinn berpikir sejenak. Sepertinya semua yang dikatakan Harvi tampak saling berkesinambungan.
"Aku tidak tahu pasti... Tapi menurutku, sepertinya Marik.... menyukaimu."
"Menyukaiku?!" seru Harvi sambil mengacungkan jari telunjuk ke wajahnya sendiri.
(Bersambung...)
Previous Chapter | Next Chapter
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say