Heartbeat (Chapter 19)
Sudah seminggu sejak Alanda pergi, juga seminggu sejak Harvi menjalin hubungan dengan Marik. Alanda tidak pernah menghubungi Harvi lagi. Harvi pun juga tak berani menghubungi Alanda.
Harvi menonton televisi sore seperti biasa. Film India kesukaannya. Namun entah kenapa ia malah tidak konsen dengan televisi.Ia menoleh ke arah sofa yang ada di samping kirinya. Di situlah Alanda merebahkan tubuhnya waktu ia datang bersama kopernya hari itu. Harvi menggeleng-geleng berusaha melupakan ingatan Alanda dari pikirannya.
Tak lama, ia mendengar dering ponselnya di atas meja.
"Halo?" sapa Harvi setelah menekan tombol hijau.
"Halo, Harvi? Ini kakak. Papa tadi menelpon kalau dia kemarin sudah mentransfer uang jatahmu untuk bulan ini. Coba nanti kamu cek rekening tabunganmu ya."
Harvi manyun. "Kenapa Papa tidak menelpon aku langsung saja? Ah! Pilih kasih!"
"Jangan begitu dong. Papa sedang sibuk sekarang. Jadi dia cuma sempat menelpon kakak saja. Tapi katanya nanti dia janji bakal menelponmu nanti malam. Sekarang lebih baik kamu periksa dulu rekening tabunganmu."
"Iya, Kak. Setelah ini akan aku cek."
"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa. Oh iya, titip salam untuk Alanda," ujar Angelinn lalu segera menutup percakapan.
Harvi menatap ponselnya. Kakaknya menitip salam untuk orang yang sudah tidak tinggal di apartemennya lagi. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Alanda sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Semenjak Harvi mengetahui perasaan Alanda padanya, hidupnya tidak lagi tenang. Apalagi setelah laki-laki itu pergi. Seperti ada yang hilang dari hari-harinya. Walaupun Marik kini sudah masuk ke dalam hidupnya, tapi tetap saja ada sesuatu yang kurang.
Tak lama, pintu apartemennya terbuka secara tiba-tiba. Marik muncul dari balik pintu dengan membawa sebuah kantong belanja berwarna cokelat.
"Harvi, aku bawa sesuatu untukmu!" seru Marik langsung berlari dan duduk di sebelah kiri Harvi.
"Apa itu?"
Marik menaikkan alisnya beberapa kali. "Coba tebak," lanjut Marik sambil merogoh kantong belanjanya,"..eng-ing-eng!!!!"
Di tangan Marik kini ada dua buah kaos lukis. Dengan corak dan desain yang sama seperti yang ia beli waktu itu bersama Alanda.
"Ini kaos lukismu yang waktu itu, cuman tulisan namanya aku tambahi sedikit," ujar Marik sambil memberikan kedua kaos itu pada Harvi. Tulisannya memang ditambahi sedikit. Masing-masing ditambah tanda apostrof dan hurus 'S'. Jadi HARVI'S dan yang satu lagi jadi MARIK'S.
"Kamu pakai yang MARIK'S, aku pakai yang HARVI'S," kata Marik lagi sambil mengambil kaos yang bertuliskan HARVI'S.
Tapi bukannya senang, hal ini malah membuat Harvi merasa sedih. Kaos ini adalah kaos yang dulu dibeli dengan uang Alanda. Sebenarnya aoa yang terjadi dengannya? Kenapa ia terus-terusan memikirkan Alanda disaat ia bersama Marik? Ah! Masa bodoh! Sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal seperti itu.
"Ehm.. Terimakasih. Nanti sore akan ku pakai. Ngomong-ngomong, aku sekarang mau ke bank sebentar. Mengecek kiriman dari papa," ucap Harvi dengan tersenyum tipis. Bahkan mungkin itu bukan terlihat seperti senyuman sama sekali.
"Biar aku antar."
***
Jam di dalam kantor sudah menunjukan pukul dua belas kurang lima menit. Setelah ini Alanda ingin keluar untuk makan siang, lalu kembali kerja satu jam lagi. Wajahnya kini tampak berbeda. Tampak lebih bersih tanpa ada lagi bulu brewok tipis seperti dulu.
Ia segera membereskan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya. Begitu ia keluar dari ruang kantor, terlihat banyak sekali orang yang duduk di ruang tunggu dibagian pelayanan nasabah. Ia baru ingat kalau sistem mesin ATM di kota sedang bermasalah sejak tiga jam yang lalu.
Mungkin sekitar satu jam lagi, mesin ATM bisa digunakan kembali. Ia berjalan menuju pintu keluar dengan langkah biasa, dengan beberapa pegawai yang menyapanya dengan hangat seperti biasa, dengan tatapan seperti biasa. Semuanya tampak berjalan seperti biasa.
Sedikit demi sedikit, ia mulai bisa melupakan hari-hari di apartemen Harvi dulu. Hari-hari yang sangat menyenangkan. Namun sangat menyakitkan di hari terakhir. Alanda menghembuskan napas dengan berat. Ia tidak seharusnya mengingat-ingat hal itu.
Segera ia masuk ke dalam mobilnya yang berada di tempat parkir, menyalakannya dan mulai menjalankan mobilnya keluar area bank, menuju restoran terdekat dimana ia biasa menikmati makan siang. Sendirian. Alanda lebih sering menyendiri sekarang. Hidupnya juga lebih tenang tanpa Dezia.
Jalanan tampak seperti biasa. Keramaian yang biasa. Sama seperti sebelum ia mengenal Harvi. Harvi lagi. Kenapa ia mengingat anak itu lagi? Alanda menggeleng keras berusaha menyingkirkan pikirannya itu.
Ketika ia melewati belokan, mendadak sebuah motor yang dinaiki dua orang, menyeberang dan memotong jalannya, namun tampaknya tidak cukup cepat, karena mobil Alanda sudah lebih dulu menabrak bagian belakang motor dengan cukup kuat hingga motor itu terpelanting ke trotoar hingga helm mereka berdua terlepas. Sedangkan Alanda segera mengerem mobilnya dan turun dari mobil untuk melihat kondisi dua pengendara motor itu. Dadanya bergetar penuh kekhawatiran.
Namun ia terperanjat ketika melihat kalau yang menyetir motor itu memiliki tipe wajah yang cukup ia kenal, dengan perban di hidung yang masih belum dibuka, ditambah luka gores baru yang ada di pelipis kanannya. Bukankah itu Marik? Ia mendekati tubuh orang yang diboncengnya tadi yang tampak terkulai tak berdaya dan memangku kepalanya.
Kalau itu Marik, berarti yang diboncengnya adalah...
Orang-orang mulai mengelilingi mereka. Alanda segera mendekat dari sisi yang lain, dan hatinya langsung mencelos penuh penyesalan ketika mengetahui kalau itu adalah Harvi. Tegolek tak sadarkan diri, dengan darah yang mengucur dari belakang kepalanya.
"Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang!" seru Alanda.
(Bersambung...)
Previous Chapter | Next Chapter
Aaahhh Kakak~... Kenapa di taroh di blog. Jadinya aku gak bisa vote karya Kakak secara keseluruhan sampe end. Huhuu~ sedih...
ReplyDelete