Heartbeat (Chapter 20)



Kepalanya sangat sakit dan tubuhnya terasa remuk. Itulah hal pertama yang dirasakan Harvi begitu ia tersadar.


Yang ia lihat pertama kali begitu ia membuka mata, adalah cahaya lampu yang sangat menyilaukan matanya. Ia berkedip beberapa kali supaya bisa menyesuaikan matanya dengan cahaya di dalam ruangan ini. Matanya menjelajah ke seluruh ruangan. Itu kamar opname rumah sakit.


"Harvi? Kau sudah sadar! Syukurlah!" teriak Marik berdiri di sisi kanannya, yang beberapa bagian tubuhnya di lapisi perban tambahan, selain hidungnya tentu saja.


"Aku akan panggil dokter supaya bisa diperiksa dulu," ujar Alanda. Harvi baru tahu kalo ternyata Alanda juga ada disitu. Ia berdiri di sisi kiri Harvi.


"Biar aku saja yang panggil," kata Marik langsung berlari keluar, meninggalkan Harvi dan Alanda berdua saja di ruangan itu.


Alanda menunduk dan menatap Harvi yang sekarang juga menatapnya.


"Ehm.. Hai," sapa Alanda gugup.


"Sudah berapa lama aku disini?" tanya Harvi dengan suara serak seperti sedang sakit tenggorokan.


"Entahlah. Mungkin sudah empat jam. Aku bahkan baru pulang dari kantor polisi bersama Marik beberapa saat yang lalu. Untung saja bisa aku tangani dengan baik. Maafkan aku, sudah membuatmu jadi seperti ini," jawab Alanda. Harvi tersenyum sambil mengangguk lemas.


Harvi terdiam. Ia juga merasa kalau keadaan mulai berubah menjadi canggung. Hingga tiba-tiba seuntai kalimat meluncur tanpa kendali dari mulut Harvi. "Aku rindu padamu."


Alanda menaikkan kedua alisnya. Namun pada saat yang sama, Marik datang, bersama dengan seorang dokter wanita yang memakai kerudung.


Alanda dan Marik sedikit menjauh, memberikan ruang pada dokter itu untuk memeriksa keadaan Harvi.


Beberapa saat kemudian, dokter itu selesai lalu menghampiri Alanda dan Marik. Membicarakan soal keadaan Harvi. Walaupun Harvi bisa mendengar apa yang dikatakan dokter itu, tapi otaknya tidak bisa menangkap semuanya. Ia terlalu fokus memandang wajah Alanda. Entah kenapa ia sangat rindu dengan laki-laki itu. Seperti ada luka yang sedikit terobati dari hatinya,


Sekilas, Alanda dan Marik menatap Harvi lalu kembali memandang dokter dan berterimakasih. Dokter itu berjalan pergi bersama Alanda keluar, sedangkan Marik berjalan medekatinya. Ia membelai kepala Harvi dengan lembut.


"Maafkan aku, sudah membuatmu jadi seperti ini," kata Marik, yang kalimatnya sangat persis dengan apa yang diucapkan Alanda tadi. 


"Dia kemana?" tanya Harvi tanpa menggubris permintaam Marik barusan.


"Makasudmu Alanda? Dia sedang mengurus administrasi sekarang."


Harvi memejamkan mata erat. Kenapa di pikirannya selalu ada Alanda? Padahal Marik sudah menjadi pacarnya. Apakah ia mencintai Marik? Ataukah Harvi hanya merasa kasihan pada Marik?


***


Lima menit lagi. Hanya perlu menunggu lima menit lagi baru Alanda akan segera pulang kantor. Tapi kenapa rasanya sangat lama sekali. Ia meraupkan tangannya ke wajah. Memikirkan Harvi seharian membuat kepalanya pusing dan tidak bisa fokus bekerja dengan baik. Apalagi dengan pernyataannya kemarin. Aku rindu padamu. Aku rindu padamu. Aku rindu padamu. Kata-kata itu terus saja berkeliling di kepalanya seperti lebah yang siap menyengatnya setiap saat.


Kenapa perasaan itu muncul lagi? Padahal dalam seminggu ia hampir bisa melupakan Harvi. Hampir, tapi ternyata melupakan Harvi tak semudah yang ia kira. Apakah ia benar-benar menyukai Harvi? Sepertinya memang begitu adanya.


Tepat saat jam menunjuk ke arah jam tiga tepat, Alanda langsung membereskan kantornya dan keluar menuju ke parkiran dengan langkah lebar.


Langsung saja ia masuk ke dalam mobil dan memacunya menuju rumah sakit dimana Harvi dirawat. Biarlah jika nanti di sana ada Marik. Ia tidak peduli. Yang penting baginya sekarang adalah melihat Harvi.


Sekitar dua puluh menit kemudian ia tiba di rumah sakit tersebut. Setelah ia memarkir mobilnya, ia berjalan cepat menuju kamar Harvi yang ada di lantai tiga.


Padahal baru kemarin ia bertatap muka, tapi entahlah, rasanya seperti sudah berbulan-bulan lamanya.


Alanda menghentikan langkah di depan kamar inap Harvi. Dadanya berdesir cepat. Tangannya mencengkeram gagang pintu. Ia mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya, kemudian membuka pintu. Tampak Harvi sedang berbaring di matrasnya sembari terlelap. Untunglah, Marik sepertinya sedang tidak disini.


Dengan perlahan, Alanda menutup pintu dan berjalan ke sisi kiri Harvi. Ditatapnya wajah yang tertidur itu tanpa merasa puas sedikit pun. Ia membelai rambut Harvi dengan lembut. Menatap wajah itu saja bisa membuatnya bahagia. Apalagi jika ia bisa memiliki Harvi. Mungkin ia bisa merasakan bagaimana rasanya hidup sebagai manusia paling bahagia di dunia.


"Kau tahu, Harvi? Setelah mengenalmu, aku merasa seperti orang bodoh. Semua perhatian yang aku miliki selalu terarah padamu," katanya walaupun ia tahu kalau Harvi mungkin tidak akan mendengarnya.


"Aku jadi rindu suasana apartemenmu. Aku selalu rindu tidur seranjang denganmu. Tahukah kau kalau setiap malam setelah kau terlelap, aku selalu bangun secara diam-diam di malam hari dan memandangi wajahmu yang tengah tertidur selama satu jam penuh tanpa merasa bosan sama sekali? Mungkin bukan hanya bodoh. Sepertinya aku sudah gila. Dan itu semua karena kamu," ucapnya lagi.


"Sungguh?" tanya Harvi tiba-tiba. Ia membuka mata dengan mata yang basah penuh air mata. Alanda terkesiap dan menarik tangannya dari kepala Harvi.


"Oh, kau belum tidur rupanya," kata Alanda yang jadi gugup dan sedikit salah tingkah. Sepertinya anak itu sudah mendengar perkataannya.


"Kau juga harus tahu kalau aku tidak pernah bisa tidur nyenyak setelah malam itu," Harvi berusaha untuk meluapkan perasaanya. 


Alanda menaikkan kedua alisnya. "Kenapa kau bisa sulit tidur?"


"Entahlah. Pikiranku dipenuhi oleh wajahmu. Sepertinya ada sesuatu dari dalam diriku yang hilang ketika kau pergi. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku sebenarnya padamu dan pada Marik. Aku selalu nyaman bersama Marik. Tapi aku juga merasa myaman bersamamu, tapi rasanya berbeda. Seperti.... seperti....," Harvi bingung bagaimana menlanjutkan kalimatnya. Alanda termangu. Ia berharap Harvi mengatakan kalau ia juga mencintainya. Tapi mendengar hal itu saja baginya sudah cukup membuatnya yakin kalau Harvi juga memiliki perasaan yang sama.


"Aku..... sepertinya aku mencintaimu," ucap Harvi, keluar begitu saja dari mulutnya. Dan kalimat tersebut benar-benar membuat Alanda terbang tinggi.


Tapi ia segera turun dari angan-angannya. "Tapi kau sudah menjadi milik Marik."


Harvi memejamkan mata sejenak. "Entahlah. Aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku pada Marik. Sepertinya aku hanya tidak ingin membuatnya kecewa. Dan aku minta maaf karena menamparmu waktu itu. Itu hanya refleks saja."


"Kau benar-benar membuatku gila, karena sikapmu yang sulit ditebak. Andai aku bisa selangkah lebih cepat daripada Marik," sesal Alanda.


"Aku tidak menyalahkanmu. Waktulah yang nanti akan menentukan jodoh kita masing-masing," balas Harvi. Keduanya kemudian saling berpandangan sambil melempar senyum. Senyum Harvi tampak begitu indah di mata Alanda.


Tiba-tiba ada sesuatu yang mendorong dirinya untuk mencium Harvi. Ia berusaha menahannya. Ia tidak ingin dianggap sebagai perebut kekasih orang lain.


Hanya saja sepertinya dorongan itu lebih kuat daripada yang ia kira. Alanda tidak mampu menahannya lebih lama lagi. Ia merundukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke kepala Harvi dan mengecup bibir Harvi. Harvi melingkarkan kedua lengannya di leher Alanda.


Namun pada saat yang sama, pintu kamar itu terbuka. Alanda segera melepas bibir Harvi dan menegakkan tubuhnya. Marik berdiri membeku di ambang pintu sambil menatap mereka berdua dengan kedua tangan mengepal.


(Bersambung...)


Previous Chapter | Next Chapter


Comments

  1. AAAAAAAAAA....
    FINALLY... AlandaHarvi shipper... berbahagialah kalian yuhuuu...
    T-tapiii... Kasihan juga Marik. Huweeee... Sabar yaa Marik.. *hiks

    ReplyDelete

Post a Comment

Komen yuk, say

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)