Secondary (Chapter 01)
Bus sekolah itu melaju dengan kecepatan sedang, melintasi jalan-jalan di kota metropolis ini. Tampak gedung-gedung pencakar langit berlari dan saling berkerjaran satu sama lain.
Tenggara Suwandra, remaja laki-laki kelas dua SMA yang sedang duduk tepat di belakang kursi supir bus itu memejamkan mata dengan tangan kanan yang menyangga dagunya. Ia tertidur pulas, tanpa mempedulikan anak-anak sekolah lainnya yang tampak sangat bersemangat sekali pagi ini. Bahkan pak supir pun juga tampak senang. Dan tumben sekali laki-laki paruh baya berkumis lebat itu menyetrika seragam supir busnya hari ini.
"Pegangan anak-anak!" teriak pak supir tiba-tiba, namun dengan tenang. Begitupun anak-anak yang lain juga berpegangan dengan tenang dan masih berbincang-bincang. Hingga tiba-tiba bus itu menghentikan lajunya secara mendadak, membuat tubuh Tenggara terdorong ke depan dengan cepat. Keningnya terbentur jok supir dengan keras.
"Aw!" teriaknya.
"Nak Tenggara tidur lagi? Ya ampun," tukas pas supir.
"Maaf, Pak. Maaf!" seru Tenggara lalu kembali duduk pada kursi joknya.
"Nak Tenggara selalu saja tidur kalau berangkat sekolah. Memangnya setiap malam Nak Tenggara selalu begadang?"
"Hehehe, tidak, Pak. Mungkin cuma kelelahan setelah mengerjakan tugas rumah."
Pak supir itu hanya menggeleng.
Sekarang kepala Tenggara rasanya nyut-nyutan. Ia menggosok-gosok keningnya, hingga ia merasa mendingan. Mereka belum tiba disekolah, melainkan berhenti di sebuah halte bus. Dan beberapa siswa sekolah masuk ke dalam. Bus ini tidak hanya untuk siswa SMA saja, namun juga SD dan SMP.
"Boleh aku duduk disini?" tanya seseorang. Tenggara menoleh cepat dan menemukan sesosok remaja laki-laki jangkung yang memakai seragam SMA, bermata sendu tajam menatap tajam ke arahnya. Laki-laki itu berwajah sangat tampan. Rambut pendek cokelat cenderung hitam, serta mata cokelat terang yang tampaknya bisa menghipnotis siapa saja yang menatapnya.
"Hm.. Duduk saja," balas Tenggara dengan senyum biasa seperlunya. Ia berusaha bersikap biasa. Namun jantungnya berdegup dua kali lebih cepat saat pundak mereka saling bersenggolan.
"Eh, maaf!"
"Tak apa. Santai saja," balas laki-laki itu dengan tenang. Tenggara melirik ke arah seragamnya. Polos. Sama sekali tidak ada tanda nama atau almamater. Tidak seperti seragam Tenggara yang ada tag nama lengkap dan almamater sekolahnya, SMA Tunas Emas. Bisa saja ia tidak satu sekolah dengan Tenggara. Atau dia bukan anak sekolah? Tapi ia memakai seragam dan tas. Ah sudahlah! Tenggara tidak mau ambil pusing.
Oh, di samping itu semua, sekolah Tenggara berbaur menjadi satu dengan SMP Nusa Karya . Daerah kedua sekolah tersebut jadi satu, tapi bangunannya sendiri-sendiri. Jadi kebanyakan murid yang lulus dari SMP Nusa Karya biasanya melanjutkan ke SMA Tunas Emas. Dan Tenggara adalah salah satunya.
Beberapa saat kemudian, bus itu kembali berjalan setelah seorang penumpang terakhir naik. Seorang gadis kecil berambut kepang. Sepertinya baru kelas dua atau tiga SD. Ia berjalan ke belakang dengan gugup. Namun tidak menemukan kursi kosong. Anak itu kembali berjalan kedepan dan akhirnya berdiri di samping belakang supir sambil mengatupkan kedua tangannya di depan badan.
Tenggara sedari tadi memperhatikan gadis kecil itu, merasa kasihan. Ia berdiri dan memperhatikan seluruh kursi dalam bus yang tampaknya memang sudah penuh.
"Dek, adek cantik!" panggil Tenggara. Gadis kecil itu menoleh. Tenggara menepuk-nepuk tempat duduknya. Wajah anak itu langsung sumringah. Ia berjalan cepat ke arah Tenggara dan segera duduk di tempat Tenggara.
"Terimakasih, Kak!" serunya senang.
"Sama-sama," balas Tenggara lalu berdiri di samping laki-laki tampan tadi dengan satu tangan yang bergelantungan. Laki-laki itu tampak mendongak memandang Tenggara dengan tajam, namun Tenggara tidak memperhatikan hal itu.
"Kakak baik, namanya siapa?" tanyanya.
"Nama kakak Tenggara. Kalau nama adek?"
"Namaku Fevia, Kak. Sekali lagi, makasih ya, Kak."
"Iya, sama-sama, Fevia," balas Tenggara lalu tidak sengaja memandang laki-laki tadi yang ternyata juga memandang ke arahnya dengan senyum. Dadanya kembali berdebar. Senyumnya sangat memikat. Aneh sekali, Tenggara merasa tidak pernah mengenal laki-laki itu, tapi kenapa wajahnya sangat familiar?
***
Jam pelajaran pertama dan kedua di kelas Tenggara diisi oleh Pak Usman, yang mengajar pelajaran Sejarah, pelajaran paling membosankan yang pernah ia pelajari semasa hidupnya.
Mungkin cara pengajaran Pak Usman yang tidak tepat atau mungkin karena faktor lain.
Di SMA Tunas Emas, sistem pembelajaran dibuat secara berkelompok. Satu kelas dibagi menjadi enam kelompok belajar, setiap kelompok ada rata-rata lima anak, dan di kelasnya, kelompok Tenggara satu-satunya yang memilki anggota empat orang, dua laki-laki dan dua perempuan.
Yaitu Tenggara sendiri, lalu ada Jenna Rosmiaz, gadis berkaca mata, berambut panjang dikuncir kuda, yang setiap harinya selalu menyibukkan diri dengan tumpukan buku. Kemudian ada Reyori Olimpia, gadis cantik periang bermata sipit dengan gaya rambut yang unik. Sisi kanannya dipangkas habis, menyisakan rambut bagian atas, belakang, dan bagian kiri yang dibiarkan panjang terurai. Dan yang terakhir adalah Top. Nama aslinya Geovanix Mustofa, tapi dia lebih suka dipanggil Top, laki-laki bertubuh tinggi, berwajah manis dan menyenangkan dengan selera humor yang lumayan.
Dulu waktu SMP, Tenggara pernah sempat marah pada Top dan puasa bicara dengan anak itu selama beberapa hari karena hal sepele. Top sempat melempar lelucon yang sama sekali tidak lucu padanya.
Waktu itu ia taruhan dengan Debo Dimistra, salah seorang siswa yang satu kelas dengan mereka bertubuh agak gendut dengan kancing kerah seragam yang selalu dipasang, mengenai salah satu pertandingan gulat di televisi. Mereka berdua masing-masing memegang jagoannya. Hingga Debo menantang Top untuk taruhan. Debo berkata kalau dia akan menraktir Top di kantin selama seminggu penuh jika jagoan Top menang.
Entah apa yang ada di pikiran Top waktu itu. Ia mungkin berpikir kalau taruhan ini pasti hanya main-main dan bukan hal yang serius. Tanpa berpikir panjang, Top berkata kalau ia berani mencium Tenggara di depan semua siswa satu kelas. Saat itu Tenggara sedang tidak berada di kelas.
Namun ternyata ia salah. Ketika jagoannya kalah dalam pertandingan gulat tersebut, besoknya Debo menagih janjinya. Top berusaha untuk menolak. Ia tidak bisa melakukan hal seperti itu pada Tenggara. Terlebih ia dan Tenggara tidak terlalu kenal dekat satu sama lain pada saat itu.
Debo tidak tinggal diam. Ia berteriak kepada seisi kelas kalau Top adalah pengecut. Ia melontarkan kata-kata yang memancing emosi Top.
Hingga pada puncaknya, Top menghampiri Tenggara yang pada saat itu tengah memainkan ponsel. Dan dengan cepat, ia meraih leher Tenggara, mencium bibirnya lalu pergi keluar kelas meninggalkan Tenggara yang tengah tersulut emosinya karena di tertawakan oleh Debo dan seisi kelas. Bahkan setelah itu mereka berdua tidak pernah bicara karena seisi kelas mengatai Top dan Tenggara sebagai pasangan serasi.
Tapi singkat cerita, akhirnya Top tidak tahan dengan sikap Tenggara dan teman-teman seisi kelas. Ia meminta maaf pada anak itu dan menceritakan hal yang sebenarnya. Dan esoknya, Tenggara pun dengan lantang memberitahu seisi kelas mengenai hal yang sebenarnya terjadi. Debo pun langsung dimusuhi oleh seisi kelas. Syukurlah Debo melanjutkan sekolah di luar kota.
Permintaan maaf Top mengubah dan memperbaiki hubungan mereka berdua. Namun hanya satu hal yang Tenggara bingungkan. Kenapa Top memilih bertaruh untuk menciumnya? Padahal waktu itu mereka berdua masih belum dekat.
Tapi sekarang Tenggara tidak mempermasalahkan soal itu semua. Hatinya kali ini sangat senang. Ia mendengar kabar burung kalau hari ini para siswa bisa pulang pagi karena akan ada rapat dewan guru. Tapi entahlah, Tenggara juga tidak terlalu yakin.
Kalau memang pulang pagi, ia sudah berencana pergi bersama Top ke sebuah pusat perbelanjaan game untuk membeli sebuah perangkat game terbaru. Alat ini dibuat dari Jepang dan hari ini launching perdana di seluruh kota besar di Indonesia. Dan yang menarik adalah hanya pada hari ini saja ada diskon 40%.
Memang dalam satu dekade ini, dunia teknologi mengalami perkembangan pesat, terlebih di negara Jepang. Di antara semua aspek dunia teknologi, game dan alat komunikasi mengalami perkembangan yang paling signifikan.
Sebenarnya Tenggara hanya menemani Top saja ke sana. Temannya itu yang seorang maniak game. Tapi Tenggara sepertinya juga tertarik dengan alat itu setelah mendengar beberapa hal dari Top. Nama alat itu Game Starter atau GS. Ia tidak tahu seperti apa game itu, karena Top tidak mau menjelaskan padanya untuk membuat Tenggara penasaran. Ia hanya menceritakan sekilas kalau kita bisa bermain game 'Secondary' dengan menggunakan GS. Apa itu 'Secondary? Tenggara juga tidak paham. Tapi mayoritas siswa sekelas juga sepertinya sudah mengincar peluncuran alat tersebut di Indonesia. Mungkin Tenggara sendiri kurang up-to-date dengan perkembangan teknologi game. Dan hal ini membuatnya semakin penasaran serta ingin melihat secara langsung.
Yang jelas pokoknya kita bisa main game. Harganya tidak terlalu mahal, seharga ponsel canggih saat ini, apalagi ditambah diskon 40%. Untungnya lagi, jatah uang bulanan Tenggara dari orang tua baru saja cair ke akun rekeningnya kemarin lusa, mungkin kalau memang benar-benar menarik, ia akan ikut membelinya.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita gemuk berkacamata dengan rambut digulung masuk ke dalam kelas, menghentikan proses mengajar Pak Usman. Itu adalah wali kelas Tenggara, Bu Yutari. Tenggara merasa riang. Biasanya kalau Bu Yutari datang, selalu membawa informasi yang menyenangkan. Mungkin saja beliau hendak memberitahu tentang 'rapat'.
"Maaf, Pak, boleh saya minta waktunya sebentar?" ucapnya dengan lembut.
"Oh, silahkan, Bu Yutari."
Bu Yutari berjalan menuju tengah-tengah di samping meja guru.
"Anak-anak, Ibu kesini ingin memberitahu kalau kalian akan mendapatkan kawan baru," kata Bu Yutari sambil berjalan keluar sebentar lalu kembali masuk ke dalam lagi sambil menggandeng tangan seorang remaja laki-laki berwajah tampan nan tegas.
Tenggara sepertinya pernah bertemu dengannya. Ia merenung dan berusaha mengingatnya.
Aha! Bukankah dia itu laki-laki di bus sekolah tadi? Ia masih ingat dengan pakaian seragamnya yang polos tanpa tanda pengenal apapun.
"Ayo, Nak, perkenalkan namamu," suruh Bu Yutari.
"Selamat pagi. Nama saya Eleazar Hiroma, pindahan dari SMAN 44."
Tenggara terkesiap. Eleazar Hiroma? Secuil ingatan masa lalu seperti muncul tiba-tiba dalam pikirannya. Ia ingat nama itu. Dan wajah laki-laki itu, sayu matanya, lekuk rahang dan hidungnya. Sama persis. Tidak salah lagi.
Beberapa saat Tenggara termangu dalam ingatan masa lalunya, ia segera tersadar begitu Eleazar selesai memperkenalkan diri dan Bu Yutari memintanya untuk duduk di meja kelompok Tenggara yang memiliki jumlah anggota paling sedikit.
Tapi Tenggara malah terdiam kaku di tempatnya sambil menunduk ketika Eleazar berjalan ke arah meja mereka. Langsung saja Eleazar duduk di antara kursi Top dan Reyori. Ketiga temannya tampak saling berkenalan dengan Eleazar. Tenggara menggaruk-garuk tengkuknya. Benar-benar merasa canggung.
Hingga tiba-tiba Eleazar mengulurkan tangan pada Tenggara. "Namaku Eleazar."
"Eh, uhm.. Iya. Anu... Namaku Tenggara. Tenggara Suwandra," balasnya sambil menjabat tangan Eleazar sebentar.
"Apakah kau ingat padaku?" tanya Eleazar. Pertanyaan ambigu bagi Tenggara.
"Ehm.. Iya, aku ingat. Tadi kita bertemu waktu di bus sekolah."
Eleazar tampak mengangguk pelan. Tampaknya ia tidak puas dengan jawaban Tenggara, seperti menginginkan jawaban lebih. Tenggara pun juga terlihat tidak nyaman ketika Eleazar memandangnya.
"Anak-anak, nanti setelah jam pelajaran kedua selesai, kalian bisa langsung pulang ke rumah masing-masing. Karena nanti akan ada rapat untuk seluruh dewan guru," kata Bu Yutari sebelum keluar kelas yang langsung membuat seisi kelas berceloteh riang. Termasuk Tenggara. Dan ajaibnya, hal ini membuatnya bersemangat di menit-menit terakhir mengikuti pelajaran Pak Usman sebelum bel pulang berbunyi.
(Bersambung...)
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say