Secondary (Chapter 14)
Badan Tenggara panas dingin, sementara Top terus saja mendesaknya untuk memberitahu karakternya di dalam game.
"Em.. Anu.. Aku.... um...," Tenggara bingung harus bagaimana cara memberitahu Top. Kalau ia menceritakannya sekarang, nanti Eleazar pasti langsung mengenalinya. Sekarang Tenggara seperti sedang berhadapan dengan dua singa lapar yang siap menerkamnya. Kalau salah bergerak sedikit saja, bisa fatal akibatnya.
Pada saat yang sama, seseorang memanggil nama Top dari kejauhan. Tampak seorang laki-laki berseragam basket mengangkat kedua tangannya ke arah Top di gerbang masuk gedung basket.
"Ah! Kamu kelamaan. Ya sudah, aku pergi dulu. Selamat menikmati pertandingan," ujar Top lalu beranjak pergi meninggalkan tribun.
Tenggara bernapas lega, dalam hati ia berterimakasih kepada teman Top tadi. Kalau sampai ia kasihtahu sekarang, bisa rumit jadinya.
Kini tinggal Tenggara dan Eleazar di tribun paling atas sendiri, berduaan saja, membuat Tenggara bingung dan gugup lagi. Hanya hening yang ada di antara mereka berdua, membuat suasana semakin canggung.
"Ngomong-ngomong, apa malam ini kau sibuk?" tanya Eleazar langsung.
"Sepertinya tidak. Memangnya kenapa?"
"Kebetulan aku juga sedang tidak sibuk. Aku ingin mengajakmu pergi keluar. Kita jalan-jalan. Sudah lama aku tidak berkeliling kota ini. Apa kau mau?" ajak Eleazar. Tenggara merenung mempertimbangkan ajakan Eleazar. Entah kenapa rasa cemasnya jadi sedikit memudar setelah tadi Eleazar mengatakan kalau ia tidak punya pacar. Tapi ia juga tidak tahu apakah laki-laki itu jujur atau tidak.
"Baiklah. Sepertinya aku bisa," jawab Tenggara yang langsung dibalas senyum cerah oleh Eleazar. Ia tidak tahu apakah keputusannya menerima ajakan Eleazar itu tepat. Tenggara hanya tidak ingin melulu merasa canggung ketika berdekatan dengan Eleazar. Apalagi kalau sampai ada orang lain yang menyadari perubahan sikapnya ketika bertemu dengan Eleazar.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan menjemputmu jam tujuh malam. Ngomong-ngomong letak rumahmu masih sama dengan yang dulu kan?"
Tenggara hanya menjawabnya dengan anggukan.
Tak lama, tiba-tiba ia merasakan tangan kanan Eleazar mulai meraba tangan kirinya dan menggenggamnya. Dengan sigap, Tenggara menarik tangan kirinya dari jangkauan Eleazar.
Ia menatap Eleazar sejenak lalu mengalihkan pandangan. Eleazar terlihat agak kecewa dengan sikap Tenggara yang terkesan membangun sebuah dinding tebal di antara mereka berdua.
Bukannya ia tidak menyukai Eleazar lagi. Ia hanya tidak ingin hatinya sakit lagi. Ia khawatir jika Eleazar hanya berpura-pura masih belum punya pacar di depan orang-orang.
"Maaf," ujar Eleazar tiba-tiba yang membuat hati Tenggara mencelos. Ia ingin Eleazar tahu bahwa ia masih menyukainya. Tapi karena kejadian di pasar kuliner itu, membuat Tenggara menahan hatinya sendiri untuk terus bersembunyi dibalik sikapnya yang acuh kepada Eleazar.
Ia ingin Eleazar tahu hal itu. Ia ingin laki-laki itu tahu bahwa hatinya sekarang sedang menangis.
***
Pertandingan basket berakhir jam sebelas lebih seperempat dengan hasil yang cukup memuaskan. Tim basket putra dan putri SMA Tunas Emas menang, walaupun tadi sempat ada insiden cedera dari salah satu pemain putri dari tim lawan.
Tenggara menunggu Top di gerbang sekolah. Ia harus cepat-cepat pulang ke rumah. Takut nanti kakaknya marah-marah karena terlambat berkumpul di dunia Secondary.
Dari jauh, terlihat sosok Top yang berlari menghampirinya.
"Tenggara, maaf sekali. Aku masih harus ikut rapat evaluasi dengan teman-teman. Apa kau mau menungguku?" tanya Top.
"Apakah rapatnya lama?"
"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya hanya setengah jam."
"Ya sudah, tidak apa-apa, kalau begitu. Aku pulang naik angkutan umum saja. Lagipula nanti jam dua belas aku harus berkumpul di game bersama teman-teman satu timku. Kalau aku menunggu sampai kau pulang, aku mungkin bisa terlambat," kata Tenggara.
"Iya. Maaf banget aku tidak bisa mengantarmu pulang. Tapi mgomong-ngomong kau belum memberitahu karaktermu di Secondary. Apa namamu, rasmu dan juga job-mu?" tanya Top.
Tenggara melihat sekeliling dengan waspada. "Aku kasih tahu kamu, tapi kamu jangan kasih tahu orang lain ya. Karakterku di Secondary masih lemah."
"Iya. Iya. Aku janji tidak akan memberitahu siapa pun," kata Top yang sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya.
Tenggara mencondongkan kepalanya mendekati telinga kiri Top dan berbisik. "White, elf, magician."
Namun pada saat yang sama, Top sengaja mendorong pipinya ke wajah Tenggara, membuatnya terlihat seakan-akan ia mencium Top. Tenggara langsung mendorong kepala Top dengan keras sambil mengomel.
"Kamu menyebalkan! Sudahlah! Lebih baik aku pulang saja!" teriak Tenggara sambil berjalan meninggalkan gerbang sekolah.
"Ya sudah. Hati-hati di jalan ya, sayang!" seru Top sambil tertawa yang langsung membuat telinga Tenggara panas. Walaupun sudah dibilang berkali-kali, tapi tetap saja Top terus menggodanya dengan panggilan memuakkan seperti itu. Apalagi harus pulang sendirian.
Tenggara berjalan terus hingga sampai di halte dekat sekolah. Di sana hanya ada dirinya dan seorang ibu-ibu berkerudung dengan dandanan sederhana.
Ketika ia baru duduk, mendadak, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depannya. Kaca mobil itu langsung terbuka dan terlihat sosok Eleazar yang tengah duduk di belakang kemudi mobil itu.
"Masuklah. Biar ku antar kau sampai ke rumah!" serunya dari dalam mobil. Tenggara bukan orang yang suka menolak kebaikan orang lain. Tapi.....
"Cepatlah, Tenggara. Setelah ini aku masih harus ada urusan," kata Eleazar. Tenggara sudah tahu, mengingat mereka berdua ada di tim yang sama di dalam game.
Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Tenggara beranjak menuju mobil Eleazar dan hendak masuk di jok kursi bagian belakang.
"Eh-eh! Kamu mau duduk dimana? Di depan sini dong," oceh Eleazar. Tanpa banyak protes, Tenggara menurut dan masuk ke jok depan. Setelah ia duduk dan memasang sabuk pengaman, Eleazar melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tak biasanya Eleazar mengendarai mobil. Biasanya kalau sekolah ia selalu naik motor.
"Kau sudah makan siang?" tanya Eleazar.
"Belum."
"Bagaimana kalau kita mampir sebentar ke warung makan?" ajaknya.
"Bukankah tadi kau bilang ada urusan?" protes Tenggara.
"Masih lama kok, nanti jam dua belas. Ini juga masih jam sebelas seperempat."
"Tidak usah. Aku bisa makan dirumah saja," tolak Tenggara yang membuat suasana hening seketika.
"Aku melihat kamu mencium pipi Top di gerbang sekolah tadi," kata Eleazar tiba-tiba.
"Aku tidak menciumnya! Sungguh, dia sendiri yang memajukan pipinya ke wajahku saat aku berbisik kepadanya!" elak Tenggara.
"Aku tahu itu. Aku selalu percaya dengan semua yang kau katakan," ujar Eleazar.
Mendengarnya membuat Tenggara merasa sangat bersalah. Benarkah Eleazar mempercayainya hingga seperti itu? Bahkan tanpa Tenggara menjelaskan apapun padanya.
Tapi mendadak, Eleazar meminggirkan mobilnya ke pinggir jalan dan berhenti.
"Aku ingin bertanya sesuatu padamu," ucap Eleazar yang tampak ingin memulai pembicaraan serius.
"Apa?" tanya Tenggara dengan jantung berdegup-degup.
Eleazar menatap mata Tenggara dalam-dalam. "Apa kau masih Tenggara yang dulu ku kenal?"
"Tentu saja," jawab Tenggara tampak santai, padahal jantungnya terasa ingin melompat keluar.
"Tapi kenapa sikapmu berubah? Apakah kau sudah tidak lagi menyukaiku?" tanya Eleazar.
Tenggara menunduk. "Kau tidak perlu mengantarku sampai rumah. Aku akan turun disini," kata Tenggara hendak membuka pintu mobil. Tapi Eleazar mencegahnya dengan gerakan cepat.
Ia menangkap kepala Tenggara dan mendekatkan wajahnya ke wajah Tenggara, membuat anak itu memejamkan matanya erat-erat.
(Bersambung...)
Previous Chapter| Next Chapter
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say