Generation (Epilog 03)
Penerangan lampu jalan yang maksimal memudahkan Tomi untuk melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ke arah Golden Theatre, bioskop yang letaknya berada di pusat kota, dekat dengan stasiun kereta. Di samping kirinya, Ari duduk dengan nyaman sambil senyum-senyum sendiri membayangkan rencana-rencana yang bakal ia lakukan pada Tomi sesampainya di tempat tujuan mereka berdua. Dan rencana itu akan menjadi kejutan jahil Ari untuk Tomi.
Memperhatikan ekspresi Ari yang aneh, membuat Tomi berpikir bahwa cowoknya itu pasti sedang merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan dirinya. Ini tidak bisa di biarkan. Cowok ahli transformasi itu sesungguhnya juga sudah merangkai siasat yang akan ia gunakan untuk menggagalkan hal-hal tak terduga yang mungkin telah direncanakan kekasihnya itu. Jadi Tomi sekarang bisa memasang raut wajah setenang ngarai air.
Beberapa puluh menit tak terasa telah berlalu begitu Tomi mendadak menepikan mobilnya dan berhenti tepat di depan sebuah rumah.
Tunggu dulu! Kenapa malah kesini? Ini kan rumah Kak Geraldine?
"Kok malah berhenti dirumah Kak Geraldine?" tanya Ari bingung. Jelas sekali Tomi menyeringai pada Ari saat tiba-tiba Kak Geraldine sudah masuk ke jok belakang mobil Tomi. Ari menoleh ke belakang dan melihat Kak Geraldine yang tumben-tumbenan berpenampilan cantik.
Maksud Ari bukan ia menilai Kak Geraldine itu nggak cantik. Tapi Kak Geraldine memang jarang berdandan seperti sekarang. Jadi begitu melihat Kak Geraldine berdandan, Ari jadi pangling sendiri. Dengan gaun hitam selutut berlengan pendek, dipadukan jaket kulit putih, dan tas selempang kecil motif bunga. Dan itu sungguh sangat serasi dengan pakaian Tomi.
"Hari Ari, hai Tomi," sapa Kak Geraldine yang sudah bisa menebak bahwa yang menyetir itu adalah Tomi dengan muka Rizki Nazar.
Cowok kecil yang daritadi kebingungan itu menatap Tomi dan Kak Geraldine bergantian. "Kenapa Mas Tomi ngajak Kak Geraldine?"
"Loh? Aku nggak tau. Tomi kok yang ngajak aku," balas Kak Geraldine yang membuat alis Ari bertautan.
"Kan kamu nggak ngomong kalo kita ke bioskopnya mesti berduaan kan?" Tomi menimpali sambil mengedikkan kedua bahunya.
"Ta-tapi... tapi kan....."
"Ya udah kita jalan aja langsung. Nanti filmnya keburu mulai. Ini udah jam berapa sekarang," potong Kak Geraldine sambil menaikkan salah satu alisnya pada Tomi.
Tanpa menunggu, Tomi kembali menjalankan mobilnya menuju bioskop dengan penuh kemenangan. Jika ia bisa, ia mungkin sudah terpingkal hebat sekarang melirik Ari yang bersedekap dengan mulut manyun menggemaskan.
Ari sebal sesebal-sebalnya. Kencan mereka berdua terganggu karena Tomi malah mengajak Kak Geraldine, membuat rencana yang telah ia susun sedemikian rupa menjadi kacau.
Padahal jika saja Tomi tahu, rencana Ari di bioskop sebenarnya tidak terlalu jahil. Dia hanya ingin Tomi memesankan tiket nonton dan membayangkan mereka berdua dikerubuti cewek-cewek yang ingin berfoto bersama mereka berdua.
Eum.. Ralat dikit!
Berfoto bersama Tomi saja, mengingat hanya Tomi yang berpenampilan layaknya artis terkenal.
Karena Ari tahu kalau pacarnya itu tidak suka menjadi pusat perhatian orang banyak dan berdesak-desakan di tengah keramaian. Tomi bukan fobia keramaian, ia hanya tidak suka, dan itu salah satu hal yang di sekian banyak hal yang tak disukai oleh Tomi.
Hanya itu saja kok rencana Ari. Sisanya ia ingin bermesra-mesraan dengan Tomi di dalam gedung bioskop sambil menikmati film yang akan mereka tonton nanti. Sambil suap-suapan popcorn, pegangan tangan, curi-curian cium pipi.
Argh! Sial! Ari jadi badmood banget sekarang. Rasanya ingin pulang saja lalu tidur. Pasti nanti di sana ia hanya akan menjadi pajangan, karena orang-orang tentu bakal melihat bahwa Tomi dan Kak Geraldine adalah pasangan serasi.
.
***
.
Ari dan Tomi kini di jalan pulang setelah mengantar Kak Geraldine pulang ke rumahnya. Dan khayalan Ari terbukti valid. Ia hanya menjadi pajangan, bahkan saat mereka bertiga tadi berjalan beriringan. Para pengunjung bioskop malah memperhatian keserasian Tomi dan Kak Geraldine. Parahnya, orang-orang tidak menyadari wajah Tomi yang bermuka Rizki Nazar karena ia memakai kacamata gelap.
Gatot alias gagal total semua yang di rencanakan Ari. Bermesraan sambil menonton film pun bahkan tak kesampaian, karena dirinya sendiri sudah jengah. Walaupun tadi Tomi sempat memberi perhatian padanya, cowok mungil itu cuma membalas ala kadarnya karena terlanjut badmood.
Dan badmood itu masih ia rasakan hingga sekarang di dalam mobil saat ia dan Tomi menuju rumah mereka.
Tomi yang kini telah kembali ke wajahnya yang semula sesekali melirik Ari yang tampak kesal padanya, dengan riak muka tak dapat ditebak dan bibir mengerucut. Ari yang sedang ngambek benar-benar membuat Tomi senang dan tidak tahan untuk mrnciumnya. Namun jika dibiarkan begini terus, Ari bisa berhenti ngomong padanya dan ia tak tahan jika cowoknya itu membisu dan mengubah atmosfir dalam mobil jadi tidak nyaman.
Setelah memikirkan sebuah inisiatif, Tomi lagi-lagi menempikan mobilnya di samping tanah lapang.
"Kenapa malah berhenti disini?" tanya Ari dingin begitu menyadari kalau mobil itu berhenti.
Bukannya menjawab, Tomi malah melepas sabuk pengaman miliknya dan milik cowoknya itu, lalu merangkul Ari erat.
"Aku minta maaf," bisiknya lembut sambil mengecup pelan puncak kepala cowok yang telah merebut hatinya itu.
Ari bergeming dalam pelukan Tomi. Awalnya ia kesal. Namun saat diperlakukan seperti ini oleh Tomi, membuat tingkat kekesalannya sedikit menurun. Pelukan Tomi memang paling bisa membuat pertahanan Ari runtuh dan lenyap begitu saja saat wajahnya merasakan dada bidang Tomi, juga mencium aroma tubuh Tomi yang menenangkan baginya.
Sial! Mungkin Ari sudah terlalu sayang sama cowok yang kini menyadang status sebagai kekasihnya itu.
"Aku nggak suka kamu pergi dariku. Aku juga gak suka saat kamu deket-deket sama temennya Titi waktu itu."
Ucapan Tomi yang sedemikian membuat Ari merasa dibutuhkan. Rasa aman dan nyaman menyelimuti hatinya saat tangan Tomi mengelus-elus rambutnya. Namun tubuhnya masih mematung.
"Aku kesal, aku marah, aku... cemburu saat kamu ngasih perhatian sama temennya Titi. Walaupun aku tahu kalau perilakumu itu cuma kamu buat-buat. Tapi tetep aja. Sakit rasanya pas kamu nyuekin aku."
Sungguh, Ari merasa bersalah sekarang mendengar suara Tomi yang agak serak dan berat, namun begitu tulus di telinganya. Dan kini, ia mulai memberanikan dirinya untuk balas memeluk cowok yang mendekapnya lebih dulu itu. Ia menarik napasnya dalam-dalam, menikmati setiap udara yang beraroma tubuh Tomi melewati hidungnya.
"Aku nggak punya maksud apa-apa saat ngajak Geraldine tadi. Dan aku juga gak punya maksud buat bikin kamu cemburu atau badmood. Bahkan tadi aku juga masih ngasih perhatian sama kamu.
Cuma..... sedikit aja, aku pengen ngerasain apa yang aku rasain saat aku cemburu. Mungkin kamu biasa aja ngerasain cemburu, soalnya aku masih tetep ngasih perhatianku ke kamu tadi di sana.
Tapi beda rasanya waktu kamu bikin aku cemburu kemarin rasanya kayak aku gak guna lagi buat kamu. Udah cukup kamu bikin aku begini. Jangan bikin aku cemburu lagi. Aku mohon."
Kalimat terakhir dari Tomi sungguh menusuk dan membuat Ari juga merasakan sakit yang Tomi rasakan. Ari mengeratkan lengannya yang melingkar di pinggang Tomi dengan mata berkaca-kaca.
Ia sangat bersyukur memiliki kekasih yang mencintainya setengah mati. Walaupun ia laki-laki. Ia tidak peduli dengan pendapat orang lain. Kalau menerima ya terimakasih, kalau tidak terima sama hubungan mereka ya silahkan menyingkir dan menjauh. Toh yang menjalani kisah cinta mereka ya Ari sama Tomi, bukan orang-orang itu.
"Aku juga minta maaf udah bikin kamu cemburu. Kamu sih yang mulai duluan. Makanya jangan nyebut-nyubut aku 'istri'. Aku kan cowok juga, sama kayak kamu," balas Ari di dalam pelukan Tomi.
Tomi terkekeh lalu melepas pelukannya, menatap dalam-dalam kedua pupil Ari. Wajah imut itu membuat tubuh Tomi sedikit bergetar menahan hawa nafsunya. Karena rasa cinta yang ia miliki jauh lebih besar dari pada nafsunya sendiri.
"Terus kalo kita nikah nanti, siapa yang jadi istrinya? Kan kamu yang cocok jadi istri. Kamu kan pinter masak, ngurusin rumah, ngurusin anak-anak kita nanti, dan aku yang kerja buat nyariin nafkah buat kamu dan anak kita kelak, sayang."
Well, perkataan Tomi terdengar begitu manis di telinganya, tapi..... sungguh. Ari masih belum memikirkan sejauh itu. Membina rumah tangga? Mengurus keperluan rumah tangga? Mengurus anak? Kuliah saja masih belum.
"Pokoknya aku gak mau disebut istri. Itu terlalu ke-cewek-an. Dan soal nikah, itu masih jauh, kali. Kita kuliah aja belum. Dan lagi, gimana cara kita bisa punya anak? Aku nggak bisa hamil. Catet itu!"
Bales Ari. Walaupun sebenarnya dalam hubungan mereka, Tomi memang jauh lebih layak disebut sebagai suami.
Tomi kembali terkekeh dengan jawaban kekasihnya sambil mengelus lembut pipi Ari lalu membingkai wajahnya dengan dua tangan. Ia mengecup singkat bibir Ari yang mungil.
"Kan kita bisa adopsi. Aku yakin kita bakal bahagia sampai mati. Juga soal kata 'istri', aku nurut sama kamu aja deh mau disebut apa. Yang penting kamu tetep disampingku. Jadi pendampingku kelak. Kalau kamu mau, kita bisa nikah di luar negeri sambil ngelanjutin kuliah disana. Aku udah nggak sabar pengen ngiket kamu pake janji nikah, supaya nggak ada lagi yang berani deketin kamu."
Balas Tomi sambil mencubit manja kedua pipi Ari.
Ari berdecak kesal saat Tomi memperlakukannya layaknya perempuan. Tapi tak ayal, hal-hal seperti ini membuat Ari bahagia.
Menikah di luar negeri sambil kuliah? Itu kedengarannya tidak terlalu buruk. Ari juga ingin mengikat Tomi dengan janji nikah, dan meresmikan hubungan mereka, memberitahu kepada dunia bahwa Tomi adalah suaminya yang sangat ia cintai. Dan......
"Ngomong-ngomong, aku lagi horny nih. Perasaan sejak kita pacaran, kita belum pernah 'gituan'," ucapan Tomi menyadarkan lamunan Ari mengenai masa depannya.
Itu salah satu topik yang bakal membuat Ari bingung untuk menanggapi.
"Ki-kita kan belum nikah. Jadi belum boleh," jawabnya polos sambil membuang muka, menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena malu.
Ari belum siap untuk melakukan kegiatan seksual di atas ranjang. Karena sepengetahuannya, bercinta sesama lelaki itu akan merelakan salah satu menjalani peran cewek yang artinya ditusuk. Dan mengingat dalam hubungan mereka Tomi begitu dominan, Ari yakin pasti Tomi lah yang berperan sebagai penusuk. Dan ditusuk alat kelamin di bagian anal pasti sakit rasanya.
Bahkan beberapa kali, Ari tidak sengaja melihat penis Tomi saat kekasihnya itu sedang berganti pakaian. Dan itu benar-benar sangat besar dan menggantung. Membayangkan ditusuk dengan senjata Tomi saja membuatnya ngeri, apalagi merasakan yang aslinya.
"Kelamaan, sayang. Abis sampek di rumah, nanti kita ngeseks ya!"
TERLALU FRONTAL!
Ajakan Tomi membuat Ari malu bukan main. Juga kesal karena Tomi benar-benar mesum.
"Sakit tau. Kamu pikir anus ditusuk pake itu tuh nggak sakit apa?! Kalo robek gimana? Kalo berdarah gimana?!" Ari mencak-mencak di tempat duduknya.
"Kan kamu bisa nyembuhin diri sendiri."
Ha?
Eh?!
Kok Ari bisa lupa ya kalau dia bisa menyembuhkan dirinya sendiri?
Sial! Dia hanya ingin menjaga harga dirinya di depan Tomi karena ia ingin melakukan kegiatan intim begitu mereka berdua membubuhkan tanda tangan di atas surat nikah.
Dan Ari sekarang tidak bisa berkutik.
"Aku anggep diem kamu itu sebagai jawaban 'ya'."
MAMPUS!
Ari bakalan kena hajar sama Tomi ma
lam ini!
.
E.N.D.
Hm...
Rasain tuh! Tomi itu nggak bisa kamu lawan, Ri 😏
Vote & Comment, please! 😘
SAMPAI JUMPA DI CERITA YANG LAIN
Previous Epilogue | Baca Cerita Lainnya
TIDAKKKKKK 😭😭 udh end sedih banget 😫
ReplyDelete