Never Let You Go (Bab 06)
Bab 06
Adi dan Sifat Buruk Setengah Gilanya
Setelah membeli beberapa bahan makanan dari minimarket dekat rumahnya untuk memasak, Nano berjalan santai menuju rumah melewati trotoar sambil menenteng kantong belanjanya di tangan kiri yang tak terlalu banyak. Hari ini ia ingin memasakkan sesuatu untuk adiknya yang kemarin mengeluh dengan makanan dari rumah sakit yang menurut Mira tidak enak. Setelah mengantongi ijin dari dr. Jaka, akhirnya Nano memutuskan untuk membuat makanan sendiri daripada beli jadi di luar.
Hari masih pagi, masih pukul sembilan lebih beberapa menit, namun matahari sudah begitu terik dan menyengat, hingga memaksa Nano untuk mulai mempercepat langkahnya agar lekas sampai di rumah.
Begitu Nano menginjakkan kaki di depan pintu rumah, mendadak ponsel di saku celananya berbunyi. Cepat-cepat ia keluarkan benda yang makin berisik itu setelah memasuki ruang tamu rumahnya.
+62856××××6969 memanggil....
Hm?
Nomor siapa ini?
Seingatnya, kembaran Mira itu sudah menyimpan seluruh nomor kenalan-kenalan yang ia anggap penting. Baik itu nomor dosen, nomor rekan-rekan kerja, nomor ketua kelas, serta beberapa teman SMA-nya dulu.
Tapi kok ini.... nomor asing ini tiba-tiba menelpon? Apa mungkin ini nomor salah satu teman kuliahnya ya? Soalnya Nano tidak menyimpan semua nomor teman-teman kuliahnya, kecuali si ketua kelas.
"Iya, Halo?" sapa Nano pada akhirnya setelah menyerah pada perdebatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
"Lagi apa?"
Sesaat, Nano menjauhkan ponsel untuk memastikan kembali kalau ia benar-benar tidak kenal nomor itu. Apalagi suara cowok dari seberang yang tampaknya belum pernah dia dengar sama sekali lewat panggilan telpon, membuat Nano mengernyit makin bingung.
"Maaf, ini siapa ya?"
Tut... Tut... Tut...
Sambungan terputus.
Nano menautkan kedua alisnya sambil menatap layar ponsel. Mungkin itu cuma nomor yang salah sambung.
Tapi hari gini masih jaman ya salah sambung? Aneh.
Tak mau repot-repot memikirkan hal itu lagi, Nano beranjak ke dapur, meletakkan ponsel dan kantong belanjanya di atas meja untuk siap-siap memasak menu yang telah ia pikirkan sebelum ke minimarket tadi.
Belum juga Nano selesai mengecek bahan masakan yang sudah dibeli, ponselnya kembali berdering nyaring, meneriakkan lirik lagu 'I've been here all night... I've been here all day...' itu.
Nomor berakhiran 6969 itu kembali menelpon.
"Halo?" sapa Nano lagi.
"Kamu dimana? Lagi ngapain?" balas suara cowok itu lagi.
Sumpah! Ingatan Nano buruk jika disuruh mengingat suara orang lewat telpon. Tapi ia yakin seyakin-yakinnya kalau suara cowok itu belum bernah ia dengar lewat panggilan telpon.
"Ini siapa ya?"
Tut... Tut... Tut...
Sambungan kembali terputus.
Oke, ini mulai tidak lucu. Bahkan kembaran Mira itu sekarang jadi sedikit merinding membayangkan kalau suara cowok di seberang telpon tadi kemungkinan bisa penculik, pembunuh, penguntit, perampok, atau hal semacamnya yang berhubungan dengan kriminal.
"Hiii.... Mungkin cuma orang gila yang baru nyolong hape seseorang," elak Nano pada akhirnya yang tak mau ambil pusing.
.
* * *
.
"Kamu siapa sih? Ngaku aja deh! Ini nggak lucu, cok!" kesal Nano begitu ia memasuki gerbang rumah sakit sambil menjinjing makanan untuk Mira.
Ini sudah bukan hal yang menyebalkan lagi, tapi kelewat mengganggu dan meresahkan. Bagaimana tidak? Nomor 6969 itu sudah menelpon Nano belasan kali, dan cowok di seberang telpon cuma bertanya...
'Lagi dimana?'
'Lagi ngapain?'
'Lagi masak? Kok suaranya kayak lagi nggoreng sesuatu?'
'Masak apa? Pake banyak micin nggak?'
'Mau nyicipin dong...'
'Boleh nyicipin kamu nggak?'
Gila kan?! Bahkan cowok itu tidak mau mengakui dirinya siapa, bikin Nano berang sampai dirinya sendiri tidak sadar bahwa ia tengah diperhatikan orang-orang yang melintas di sepanjang koridor rumah sakit karena omelannya yang cukup berisik.
"Hahaha! Katanya kamu tadi masak ya? Minta dikit boleh nggak?" cowok di seberang telpon kembali bertanya konyol.
Karena terlampau kesal, Nano memutuskan panggilan secara sepihak dan mengubah smartphone-nya jadi mode pesawat, lalu disimpannya di saku celana sambil menarik napas panjang.
Setelah sukses mengembalikan emosinya yang sempat kacau, Nano masuk ke dalam kamar Mira.
Di sana, sudah ada Guntur yang menemani Mira sejak pagi tadi saat Nano pulang dengan alasan ingin mandi dan membelikan Mira makanan, padahal aslinya Nano memasak makanan itu dengan kedua tangannya sendiri. Hari ini Mira tampak sangat mendingan daripada kemarin. Wajahnya juga lebih segar, walaupun kata dokter tubuhnya masih belum boleh banyak gerak. Tapi Nano tetap bersyukur dan berharap Mira dapat sembuh lebih cepat.
Di sudut lain, kembaran Mira itu bisa melihat jelas wajah kusut pasien lainnya yang tengah sibuk memperhatikan ponsel sambil sesekali menatap ke arah Nano.
Well, itu urusan Adi dan ponselnya, bukan urusan Nano.
"Udah selesai, No?" tanya Guntur saat Nano meletakan kantong plastik besar yang berisi rantang beberapa piring dan sendok plastik, air mineral, serta minuman ringan.
"Udah, Mas. Ini aku bawain makanan. Mas juga makan ya, soalnya aku bikinnya banyak," balas Nano.
Alir Guntur terangkat. "Kamu bikin sendiri? Katanya tadi pagi kamu mau beli diluar aja?"
"Hehe. Nggak jadi mas. Mending bikin sendiri aja, biar bisa bawain makanan banyak buat rame-rame. Sekalian mau ngirit dompet," Nano terkekeh.
"Emangnya kamu bisa masak, No?" tanya Guntur.
"Mas Guntur terlalu ngeremehin Mas Nano sih. Gini-gini walaupun Mas Nano cowok, tapi jangan ditanya lagi kalo soal masak-memasak. Dapur bisa hangus kebakar dalam semenit," balas Mira terkekeh pelan, cewek iti mulai bisa berceloteh kembali.
"Jangan mulai deh, Mir. Nanti aku kasih banyak sambel ke makanan kamu baru tahu rasa."
"Ampun, Mas. Ampuuun!"
Nano tersenyum kecil dan lebih memilih untuk menulikan telinganya, menyibukkan diri untuk menyiapkan makanan di atas piring plastik sambil sesekali mendengar Mira yang bercerita pada Guntur bahwa dia dan kembarannya sudah cukup terlatih secara alami untuk masak sendiri. Kadang Nano yang masak untuk sarapan dan makan malam, namun jika Nano tidak sempat, Mira yang memasak.
Walau begitu, kakak-adik itu sesungguhnya tidak bisa disebut kompak dalam segala hal. Ribut-ribut kecil diantara Nano dan Mira sudah menjadi hal lumrah yang sehari-hari biasa terjadi.
Namun jika dalam hal menjaga satu sama lain, jangan tanyakan lagi. Mereka rela mati demi menjaga kembaran mereka.
Bahkan pernah suatu hari, Nano hampir dihajar oleh seorang cowok yang berniat memalaknya saat hendak menjemput Mira di restoran tempat cewek itu bekerja karena motor Mira mogok. Mira yang notabene cukup bisa diandalkan dalam hal beladiri itu menggila dan memukul mundur cowok itu hingga lari terbirit-birit dengan luka memar hampir di seluruh wajah.
Kedengarannya Nano seperti seorang cowok lemah yang tidak bisa apa-apa dan bergantung pada kembarannya itu. Yah, tidak sepenuhnya benar. Nano juga bisa kok sedikit-sedikit ilmu beladiri pencak silat yang pernah diajarkan oleh mendiang ayahnya sewaktu masih muda dulu. Mira juga diajarkan sih, namun Nano yang kurang tertarik akhirnya tak begitu menguasai tehnik-tehnik yang diturunkan mendiang ayahnya yang pernah menjadi juara pencak silat tingkat kota itu, dan sebaliknya, Mira mampu menguasai hampir semuanya walau tak memiliki minat untuk ikut kompetisi-kompetisi beladiri seperti mendiang ayahnya.
Ah! Memikirkan masa lalu membuat Nano jadi ingat mendiang orang tuanya. Mereka sudah tenang di surga sekarang, jadi tak ada gunanya membuat ketenangan orang tuanya di surga terusik.
Nano pun selesai menyiapkan nasi putih, tumis kangkung, lele goreng, tempe goreng, pokoknya masakan-masakan simpel tanpa sensasi pedas yang diijinkan oleh dr. Jaka untuk dinikmati Mira.
"Mari makan!" seru Nano sambil memberikan sepiring untuk Guntur, dan sepiring lagi di tangan Nano untuk disuapkan pada Mira. Guntur menerimanya dengan senang hati lalu mulai melahap makanan yang telah masak sendiri oleh kembaran Mira. Sedangkan Nano menyuapi adiknya sedikit demi sedikit.
"Enak juga. Kamu ternyata lumayan pinter masak ya, No," puji Guntur sambil menikmati sendokan kedua. Nano cuma membalas dengan senyum melengkung.
"Aku juga bisa masak kok. Mas Guntur belum ngerasain aja gimana hasil karya masakanku," tambah Mira setelah menelan habis suapan ketiga dari Nano.
"Beneran? Kalo gitu aku minta kamu masakkin sesuatu buat aku kalo udah sembuh entar."
"Gampang itu mah. Mas Guntur pasti ketagihan. Masakan Mas Nano mah nggak ada apa-apanya," jawab Mira sekenanya. Sepertinya kondisinya memang sudah lebih baik. Terbukti dengan sikap cerewetnya yang kini kembali.
"Bawel, ah! Udah susah-susah disuapin malah ngebacot mulu. Aku suruh makan sendiri loh!" ancam Nano.
"Eh? Ampun, Mas! Ampun! Iya deh iya!"
Guntur terkekeh melihat pancaran kedekatan pasangan saudara kembar di depannya. Saat Nano hendak menyuapi Mira lagi, ia ingat seseorang di sudut lain ruangan.
Cowok SMP yang ternyata juga memandanginya itu mungkin belum makan.
Tapi kok.....
Kenapa Adi menatapnya dengan tatapan yang kembali dingin seperti saat mereka belum saling mengenal?
.
* * *
.
"Udah makan belum?" tanya Nano membawa piring plastik berisi makanan setelah Guntur pergi dan Mira kembali tertidur satu jam kemudian.
"Nggak usah sok peduli!" ketus Adi tanpa memandang Nano sedikit pun, lebih fokus pada ponsel yang dipegangnya. Nano tertegun melihat perubahan sikap Adi yang tiba-tiba itu.
Ini cowok kenapa sih? Kesambet setan rumah sakit kali ya?
"Um... Ini makanan buat kamu. Aku bikin sendiri. Dimakan ya," ujar Nano mencoba menahan emosi.
"Suapin!"
"Ha?"
"Suapin lah!" titah Adi. Nano memalingkan mukanya memandang Mira, takut kalau dia terbangun akibat suara cowok itu.
"Makan sendiri bisa kan? Tuh tangan kanan kamu masih baik-baik aja. Kenapa musti aku suapin?"
"Kamu kemana aja pagi ini?" tanya Adi balik dengan suara serak rendah tanpa menggubris pertanyaan Nano sebelumnya.
Sesungguhnya Nano mulai jengkel sekarang menghadapi tingkah Adi yang membingungkan. Tapi begitu sadar kalau cowok itu memang masih ABG yang penuh dengan kelabilan, Nano memutuskan untuk mengalah. Karena cowok semacam ini tak perlu dibalas dengan kata-kata pedas karena itu tak akan mempan. Cukup pengertian saja.
Nano menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.
"Aku tadi pulang bentar buat mandi sama bikin makanan buat Mira. Kamu kenapa sih kok jadi aneh kayak gini?" tanya Nano sambil menaruh piringnya di atas meja karena ia pikir mungkin obrolan kali ini akan menjadi obrolan yang cukup panjang.
Adi sesekali memandang Nano dengan dingin lalu kembali menatap ponselnya. Nano sama sekali tidak paham dengan maksud sikap cowok itu yang masih terdiam tak mau membalas.
"Ya udah kalo nggak mau njawab. Makanannya aku taruh di situ kalo kamu laper." Nano menghela napas panjang, hendak meninggalkan Adi sebelum akhirnya cowok itu membuka mulut lagi.
"Aku nggak mau makan kalo nggak kamu suapin."
"Aku panggilin suster aja ya buat nyuapin kamu kalo gitu."
"Enggak! Kamu aja yang nyuapin!"
Suara Adi yang terdengar berat dan tegas itu membuat kembaran Mira itu minder untuk ke sekian kalinya.
Tapi Nano mulai tidak tahan. "Manja banget jadi orang! Kalo nggak mau makan ya udah, silahkan kelaparan sampek mampus!"
Saat berbalik, sebuah tangan menahan Nano untuk pergi. "Waktu itu kamu bilang kamu peduli sama aku. Sekarang mana buktinya?! Hah?!"
Nano mengernyit. Ia masih ingat hal itu. Ia mengatakannya saat menyelamatkan Adi karena terpaksa. Mungkin cowok ini merasa tidak ada yang peduli dengan dirinya selain Nano.
"Bersikap peduli bukan berarti harus nyuapin kamu saat makan 'kan?! Jangan berlagak jadi bayi tua deh!"
Kepala Adi kian bersungut mendengarnya. Amarahnya yang tak masuk akal, yang entah ia dapatkan darimana itu, membuatnya murka.
Sungguh, cowok SMP itu tak tahu kenapa ia bisa begini saat melihat orang lain dengan mudahnya mendapatkan perhatian yang menyenangkan dari Nano, sedangkan dia harus berusaha menyulut kemarahan cowok itu untuk menarik perhatiannya. Dan dia merasa iri. Sangat iri, sampai-sampai ia ingin seluruh perhatian dari Nano untuk dirinya seorang.
"Sayang, gimana keada- eh?!" seseorang tiba-tiba masuk dan menyapa. Membuat Nano dan Adi serentak menoleh bebarengan.
Di ambang pintu, sudah ada cewek yang memakai pakaian kasual, dengan rambut digerai dan make-up tipis yang memunculkan wajah cantik natural.
Dialah yang dulu pernah mengisi hati Nano, dan sekarang berstatus sebagai pacar Adi. Sophie.
Dan cewek itu tak kalah terkejut melihat Nano, yang tak lain ialah mantan pacarnya, berada di situ.
"Sophie?" Adi memasang tampang kebingungan melihat kedatangan pacarnya. Sedangkan Nano....
Nano tidak cemburu kok sama kedua orang itu. Sumpah deh!
Cuma jengkel plus sebal saja menghadapi emosi Adi yang aneh dan tak bisa dinalar olehnya. Dan ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu mantan pacar.
Namun melihat Sophie, memaksa Nano untuk menahan rasa kesalnya kuat-kuat. Seulas senyum ia paksakan di kedua ujung bibirnya pada mantan pacarnya yang kini berjalan mendekati pacar barunya sekarang.
"Soph, bisa minta tolong suapin pacarmu yang satu ini, nggak? Dia belum makan dari pagi nih. Tolong ya."
Mata cewek itu melebar saat Nano ternyata sudah mengetahui status hubungannya dengan Adi. Dan cowok SMP yang masih berada diatas tempat istirahatnya itu tampak tak terpengaruh sama sekali. Masih melirik tajam kedua iris Nano seolah tak peduli dengan kehadiran Sophie.
Well, ini mulai terlihat kurang bagus. Adi tampak begitu menyeramkan sekarang, seperti sudah siap untuk membunuh siapapun hanya dengan tatapan matanya saja, membuat Nano merinding.
Tak ayal, Sophie pun juga ikut mengerut ketakutan, karena baru kali ini dirinya menyaksikan pacarnya itu marah dengan sikap seperti ini, berbeda dari biasanya. Namun karena Sophie sadar dirinya berstatus sebagai pacar Adi, cewek itu mulai memberanikan diri.
Di ambilnya piring plastik penuh makanan dari atas meja.
"Sayang," Sophie duduk di tepian ranjang sambil mengelus pundak Adi. "Kamu makan dulu, ya. Biar kamu cepet sembuh dan--".
"AKU NGGAK BUTUH KAMU! KAMU CUMA DATENG PAS LAGI BUTUH DOANG, LALU PERGI PAS UDAH GAK BUTUH AKU LAGI! KAMU PIKIR AKU APA?! HAH?!" teriak Adi lagi yang membuat Sophie bungkam ketakutan sekaligus tersindir sambil menaruh lagi piring yang di tangannya ke atas meja.
Nano tak kalah kaget dengan bentakan Adi yang demikian menakutkan. Sesekali ia melirik ke arah Mira sambil berdoa supaya adiknya itu tak terganggu dari tidurnya untuk melihat kondisi Adi yang labil seperti saat ini.
"Bukan gitu, sayang. Aku baru tahu dari Om Jaka kamu abis kecelakaan kemarin. Dan aku baru bisa njengukin kamu hari ini. Kamu janga—."
"Setelah tahu dari Om Jaka? Bukannya Om Jaka udah hubungin kamu saat aku tiba di rumah sakit ya? Kamu itu pacar macam apa sih, nggak pernah mikirin pacarnya sendiri, nggak pernah merhatiin keadaan pacarnya sendiri? Udahlah, kita mendingan putus aja," sahut Adi tajam dan lagi-lagi tidak membiarkan Sophie mengakhiri kalimatnya.
Cewek itu terlihat begitu syok mendengar keputusan sepihak dari Adi.
"A-apa kamu bilang? Kamu lagi be-becanda kan?" Sophie tak percaya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"AKU BILANG KITA PUTUS! KAMU TULI?! SEKARANG KELUAR SANA!" bentak Adi lagi, yang kali ini sukses membuat Sophie berlinangan air mata.
"FINE! TAPI JANGAN PERNAH BERHARAP AKU BAKAL NGELEPASIN KAMU SEMUDAH ITU!" balas Sophie kemudian pergi meninggalkan ruangan itu dengan langkah lebar.
Nano yang tadi sempat mundur beberapa langkah secara diam-diam jadi makin takut begitu Adi kembali mendelik ke arahnya. Jujur, ia ingin sekali berlari menyusul Sophie dan menenangkan cewek itu yang mendapatkan amarah hebat dari Adi.
Tapi kakinya terlalu berat untuk digerakan. Tatapan Adi yang demikian membuat tubuh Adi kaku seperti terkunci. Emosi cowok itu terasa begitu mendominasi atmosfer ruangan itu.
"Eum.... Hai."
Nano meringis kemudian merutuki kebodohannya yang malah memberi cowok itu sebuah sapaan 'hai' yang tidak jelas.
Beberapa detik berselang, emosi Adi berangsur luntur, hingga tiba-tiba berubah menjadi sebuah isakan dalam diam.
Adi menunduk tanpa memperlihatkan raut mukanya yang kini menangis.
Tuh kan? Cowok ini labilnya norak!
Batin Nano yang sekarang jadi bingung sendiri.
Melihat Adi yang sepertinya sedang kalut membuat Nano mau tak mau mendekat perlahan lalu duduk di tepian ranjang Adi.
Cowok itu menangis, tapi tidak mewek sama sekali. Cuma airmata yang turun membasahi kedua pipinya dengan wajah yang datar-datar saja. Aneh.
Cukup lama mereka berdua membeku di posisi masing-masing, hingga Nano memutuskan untuk mengusap pundak cowok labil itu untuk sekedar menenangkannya.
Kasihan juga sih sebenarnya, walaupun Nano masih jengkel. Tapi ia tetap manusia biasa yang punya rasa iba. Meskipun dirinya tak bisa memahami alasan dibalik amarah Adi.
"Udah-udah. Jangan nangis lagi," sekilas, Nano sempat ragu apakah ucapannya yang demikian patut diberikan pada cowok yang sedang menangis dalam diam itu, yang tadi marah-marah padanya lalu tiba-tiba berubah pilu seperti seorang bipolar.
Dalam sekejap, Nano terbelalak saat Adi malah melingkarkan lengan kanannya di tubuh Nano begitu erat dan membuatnya agak kesulitan bernapas.
"Aku... maafin aku...," lirihnya di telinga Nano disela-sela isakan. Nano tak menjawab, pun balas memeluk.
Karena kebingungan yang ia rasakan sekarang sudah tak bisa dimasukkan ke akal sehatnya.
Ia berpendapat bahwa Adi itu cuma cowok labil yang kurang mendapatkan perhatian serta kasih sayang, dan bisa melakukan hal-hal yang tak terduga saat emosinya tidak dalam kondisi stabil. Tapi bukan berarti harus Nano yang memberi kasih sayang pada cowok itu kan?
Bukan! Bukan kasih sayang! Maksudnya perhatian.
Karena takut akan kemungkinan Adi kembali memiliki niatan untuk loncat dari balkon lagi, kali ini Nano memutuskan untuk menuruti saja ucapan cowok yang kini mendekap tubuhnya itu.
Sepertinya mulai sekarang, Nano harus menyiapkan mental sedini mungkin guna menghadapi cowok yang labilnya level sembilan itu.
.
.
.
.
[Bersambung....]
.
.
.
.
.
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say