Never Let You Go (Bab 07)

Bab 07
San







Kabur!




Setidaknya, itu jalan satu-satunya yang Nano pikirkan untuk menghindari gangguan cowok labil itu yang membuatnya kebingungan sendiri.


Selesai menenangkan Adi serta menyuapinya juga dengan begitu terpaksa, kembaran Mira itu langsung pergi meninggalkan rumah sakit secepat mungkin. Baginya, tidak gampang menghadapi perangai aneh cowok SMP itu.

Emosinya yang tak pernah bisa ditebak membuat siapapun pasti enggan berurusan dengan cowok itu, tak terkecuali Nano sendiri. Atau jangan-jangan Nano yang menjadi penyebab si Adi berkelakuan seperti itu?

Sampai-sampai bocah itu memutuskan Sophie dengan begitu marahnya?

'Waktu itu kamu bilang kamu peduli sama aku. Sekarang mana buktinya?! Hah?!'

Rentetan kalimat dari Adi terus terngiang di kepalanya sejak tadi. Ucapan cowok itu yang demikian membuat Nano tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.

Rasa peduli yang dulu pernah secara spontan dikatakan oleh Nano itu maksudnya dalam hal yang wajar. Bukannya kegiatan 'menyuapi' itu masuk dalam hal kepedulian yang ia maksud.

Eh? Sebenarnya masuk juga sih. Argh! Pusing!

Dia tidak habis pikir untuk apa bocah itu menyuruh untuk menyuapinya.

Ogah pusing ah! Males mikirin ini mulu! Nggak bakalan ada ujungnya!
Putusnya dalam hati.

Untuk saat ini, Nano ingin melupakan masalah tadi siang untuk sejenak. Ia barusan turun dari angkutan umum dan kini berdiri tepat di depan bangunan kafe.

Well, selain berniat untuk kabur dari Adi, kembaran Mira itu juga sudah memiliki janji untuk menemui ketua kelas guna meminjam rangkuman perkuliahan selama dirinya ijin untuk tidak masuk.

Si ketua kelas sempat ingin menjumpai Nano di rumah sakit sekalian menengok keadaan Mira, namun langsung Nano cegah lewat Whatsapp kemarin malam dengan alasan nunggu Mira sedikit pulih.

Jujur, cowok itu agak khawatir juga sih meninggalkan adik kembarnya bersama si Adi. Tapi entahlah, ia cukup yakin kalau bocah itu tidak akan berani bertindak macam-macam pada Mira. Jadi supaya kecemasannya cepat hilang, Nano cuma harus meminjam buku rangkuman, habis itu langsung pergi. Tak perlu lah makan-makan walaupun ditraktir.

Eum....

Ngomong-ngomong, ia sudah berdiri di trotoar depan kafe sejak lima menit yang lalu.

Terik matahari yang bersinar kekuningan telah merangkak perlahan ke arah barat horizon. Angin sore berhembus pelas menyapu pelan tubuhnya ketika beberapa kendaraan besar lewat di jalan raya itu

Kini jam di smartphone-nya sudah menunjukkan pukul 15:28 waktu setempat. Nano mengedarkan pandangannya ke dalam kafe lewat kaca dari arah luar. Kafe yang tampak sepi itu memudahkannya mencari sosok teman kampusnya.

Nihil. Si ketua kelas tidak ada wujudnya di dalam kafe. Sial! Biasanya si ketua kelas jarang sekali terlambat dalam melakukan apapun. Dimana anak itu sekarang? Apa jangan-jangan dia malah langsung mampir ke rumah sakit?

Tapi Nano juga salah sih, karena ia telat memberi konfirmasi kesanggupannya untuk datang, karena sejak tadi ponselnya dalam mode pesawat, dan baru diaktifkan kembali sekitar tiga puluh menit yang lalu.

Tak lama, lagu milik Ariana Grande berdering dari ponselnya.

Ketua San memanggil....

Itu panggilan dari ketua kelasnya.

"Halo, San?" sapa Nano segera.

"No? Kamu dimana? Aku udah di depan rumah sakit nih," balas suara cowok bernama panggilan 'San' dari seberang telpon.

Sama seperti dugaannya, cowok yang berposisi sebagai ketua kelasnya itu telah berada di rumah sakit tanpa sepengetahuannya.

"Kok kamu nggak bilang-bilang sih, San? Aku udah jauh-jauh buat ke kafe, kamu malah udah di rumah sakit aja," kesal Nano.

"Loh, kan tadi siang udah aku sms kalo aku dateng ke rumah sakit, tapi malah gak kamu bales. Emang smsnya belum masuk ya?"

"Belum masuk sih. Soalnya tadi hapeku sempet aku matiin sebentar. Ya udah kalo gitu tunggu di depan kamar Mira aja, San, kamar Melati nomor empat. Jangan masuk dulu tapi. Ini aku otewe ke sana," balas Nano sambil berjalan ke tepian jalan raya untuk mencegat angkutan umum.

"Oke kalo gitu. Hati-hati di jalan, No."

Tanpa salam, Nano memutus panggilan lalu menyimpan ponselnya ke saku celana.

Tau gini, mustinya tadi aku pake motor aja. Ah! Kenapa kuncinya pake ketinggalan di ruang opname sih?! Sialan!

Sesudah mendapatkan angkutan umum dan menaikinya, lagi-lagi lagu 'Side to Side' terdengar dari smartphone-nya yang bergetar-getar.

Setelah dikeluarkan dan dicek, bola matanya berputar.

+62856××××6969 memanggil....

Ini lagi!

Nano buru-buru menggeser ikon 'reject'. Dia sedang tak bernafsu meladeni manusia usil yang dengan berusaha menjahilinya, entah itu siapa.

Belum juga dimasukkan kembali ke kantong ponselnya kembali berdering.

+62856××××6969 memanggil....

Reject!


+62856××××6969 memanggil....

Reject!!!


+62856××××6969 memanggil....

REJECT!!!


Dan terus berulang-ulang hingga belasan kali, membuat beberapa penumpang lain menatapnya.

Oke! Nano menyerah!

"Halo, sayang," sapa Nano jengkel dengan nada manis yang dibuat-buat. Penelpon itu bisa jahil, kenapa Nano tidak?

Jadi intinya sekarang, dia harus bisa membuat pemilik nomor asing itu ill-feel balik padanya. Mungkin cara itu bisa menghentikan aksi si pemilik nomor.

"Halo juga, sayang. Kok kamu bisa berubah jadi manis gini pas aku telpon? Nggak kayak biasanya," balas cowok si pemilik nomor.

Lubang hidung Nano bergerak-gerak mendengarnya, kesal sendiri.

"Masak sih, sayang? Perasaan aku emang udah manis dari dulu deh! Kalo aku nggak manis kan nggak mungkin kamu bisa sayang sama aku sampek-sampek gangguin aku terus nggak ada abisnya."

Fix! Nano mual sekarang mendengar kalimatnya sendiri. Ia jadi terdengar seperti bocah yang sedang bicara sama om-om gadun.

Beberapa pasang mata di dalam angkutan itu juga menatap jijik, dan dia tidak peduli. Masalah ini bukan urusan mereka.

"Kamu jangan bikin aku ngaceng dong, sayang. Jadi pengen makan kamu nih!"

Nano menyesal meladeni orang gila ini.

"Brengsek!" umpatnya keras-keras lalu memutus sambungan sekalian menonaktifkan simcard yang biasa digunakannya untuk sms dan telpon, menyisakan kartu gsm paketan internet. Raut wajahnya yang sedang marah malah terlihat lucu.

"Apa liat-liat?!" tantangnya pada dua gadis sekolah di depannya yang sempat terkikik melihat ekspresi marah darinya.

Hm....

Nano, kamu jangan ikutan jadi cowok labil.

.
* * *
.


"San!" panggil Nano dari kejauhan begitu melihat cowok yang sedang duduk santai memainkan ponsel di bangku depan kamar Mira.

Cowok yang mengenakan pakaian kasual dibalut jaket putih dan tas ransel itu menoleh lalu tersenyum memamerkan wajah tampannya. Dia berdiri begitu Nano tiba dihadaapannya.

"Udah lama, San?" tanya Nano sambil menaikkan alis.

"Ya itung aja berapa menit perjalanan kamu ke sini. Waktunya sama dengan waktuku nungguin kamu di sini," balas San datar yang direspon Nano dengan senyum paksa.

San itu ketua kelasnya Nano di kampus. Nama panjangnya bukan Dewi Sansan atau Desi Sansan, bukan juga Sandra Dewi atau Sandi Sandoro. Tapi Ikhsanul Habibie.

Teman-teman di kampus biasanya memanggilnya Ikhsan. Lain lagi dengan Nano yang memanggilnya dengan sebutan San.

Bagaimana ceritanya nama panggilan yang udah singkat begitu disingkat-singkatin lagi sama kembaran Mira itu?

Tidak sengaja sih sebetulnya. Nano yang belum punya teman di kelas dan belum kenal si ketua kelas cuma bisa mendengar dan mengamati beberapa penghuni kelasnya yang terlihat akrab. Tentu mereka bisa begitu karena berasal dari sekolah menengah yang sama. Sedangkan Nano? Dia kan kuliahnya harus menunda dua tahun, jadi tak bisa langsung akrab walaupun ada beberapa yang berasal dari sekolah yang sama dengan Nano, tapi kan tahun angkatannya berbeda.

Berawal dari teman-teman sekelas yang memanggil atau membicarakan San seperti:

'Dipanggil dosen tuh, San.'

'San, ke kantin yuk!'

'Eh, si Ikhsan belum dateng?'

'San, pinjem tugas kamu dong!'

Hingga yang lebih melekat di otak Nano itu nama 'San', bukan 'Ikhsan'. Karena sudah terlanjur jadi kebiasaan buat manggil dia dengan nama tersebut dan si pemilik nama tampaknya tak keberatan, alhasil, Nano memanggilnya San sampai detik ini.

San itu orangnya pintar, tinggi, lebih tingi daripada Nano, jago debat. Alisnya tebal, bola matanya jernih, rambutnya ikal. Bagi Nano, cowok gagah semacam itu sudah bisa dibilang ganteng dan cocok untuk dijadikan idola, walaupun sudah pasti San bakalan ogah dijadiin idola karena ia selalu merasa dirinya masih belum pantas.

Ngomong-ngomong, itu menurut pendapat Nano saja loh, tidak tahu dengan pendapat orang lain. Kan yang namanya ganteng itu relatif.

Selain itu, San cowok yang supel. Kadang bisa kocak, kadang bisa serius. Dia pandai menilai situasi sebelum melakukan tindakan. Beda seratus delapan puluh derajat dengan Adi yang masih SMP dan belum cukup bisa mengontrol emosi.

Sekali lagi, itu cuma pendapat Nano. Penilaian pribadi yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri.

"Mana bukunya?" pinta Nano dengan tangan kanan menengadah ke depan.

"Buku apaan?" San berniat menggoda.

"Bawel, ah! Cepetan kasih! Besok kan aku udah masuk kuliah sama kerja lagi, San," gerutunya.

San yang menjadi satu-satunya orang terdekat Nano di kampus tentu sudah paham hal itu. San teman terdekat Nano, tapi belum bisa dibilang sangat akrab. Nano bersikap tertutup pada teman-teman sekelasnya, kecuali San. Sebab ia tahu kalau satu-satunya orang yang bakal ia perlukan di kelas adalah si ketua kelas.

Jadi ya gitu. Cuma sebatas ketua kelas dan mahasiswa biasa, bukan sahabat. Sesungguhnya San sudah cukup baik dalam melakukan pendekatan padanya, walaupun pada akhirnya Nano sudah bisa berbicara santai pada San, namun masih sedikit tertutup pada si ketua kelas akan masalah pribadinya.

"Jangan buru-buru gitu lah, No. Nanti pasti aku kasih deh. Aku juga mau nengokin adik kamu. Gimana sekarang keadaanya?" tanya San.

"Syukurlah dia udah siuman, udah mendingan sekarang. Ya udah kalo gitu, masuk yuk!" ajak Nano.

Mereka pun masuk dan langsung menghampiri Mira yang barusan terjaga dari lelapnya.

Jantung Nano berdetak cepat saat otaknya mulai mengingat Adi. Ia menoleh dan jantungnya kembali normal begitu melihat cowok itu tampak tertidur.

"Udah bangun, Mir?" tanya Nano basa-basi pada adik kembarnya sendiri.

"Belum, Mas. Ini masih ngorok sambil mimpi naik burung elang. Ya jelas udah lah, orang aku udah melek sempurna gini."

Mira kurang ajar, berani bersikap begitu di depan teman Nano.

"Em... Sorry, San. Tolong maklumin adikku yang emang agak sinting ini," ucapnya pada San sambil menahan malu.

Si ketua kelas terkekeh pelan. "Wajah kalian mirip ya. Kalian juga sama-sama lucu."

Nano menyebikkan bibirnya. "Oh iya, San. Kenalin, ini adik kembarku, Mira. Mir, ini ketua kelasku, namanya Ikhsan."

Mira menjabat tangan San dengan hati-hati. Kalau tangan kanan Mira digerakkan sih tidak masalah, asal bukan tangan kirinya. Meski rasanya juga agak nyeri di bahu kirinya saat menggerakan tangan kanan.

"Oh iya, ini...," sesaat, San melepas tas punggungnya sambil mengeluarkan kantung plastik putih tak transparan. "Aku cuma bisa bawain ini nih."

Nano menerimanya dengan sungkan. "Ah, makasih ya, San. Sampek repot bawa sesajen segala buat Mira."

"Mas pikir aku setan, apa?" protes Mira.

"Em... Sebelas-dua belas sih. Lebih cocok kalo kamu itu sundel bolong yang ngejelma jadi manusia," pancing Nano.

"Kok Mas gitu sih? Aku kan sodaranya Mas, jadi mas juga sundel bolong dong?"

"Ha? Mana ada sundel bolong gender-nya cowok?"

"Ada kok. Mas buktinya," timpal Mira tak mau kalah. San sudah terpingkal dalam diam sekarang.

Nano menyipitkan kelopak matanya. "Kayaknya kamu deh, Mir, yang kelihatan lebih real. Kan bahu kamu baru dijahit. Jangan-jangan kamu sundel bolong yang ngebet banget jadi manusia?"

Balasan Nano barusan garing sih, tidak lucu, tapi tetap saja Mira menahan malu sambil melotot kesal pada kakak kembarnya. Yang dipelototi cuma bisa menjulurkan lidah dengan cepat lalu menaruh pemberian dari ketua kelasnya ke atas meja.

Melihat sikap Nano yang demikian membuat San terhenyak di sela-sela tawanya. Di hadapan kembarannya, Nano bisa berekspresi lepas dan banyak bicara tak seperti saat berada di kampus. Padahal ini yang diharapkan San sejak dulu, dimana Nano bisa bersikap terbuka apa adanya.

Hal ini membuka mata cowok itu bahwa Nano bukan sepenuhnya orang yang tertutup. Ia hanya mau membuka diri pada orang-orang tertetu yang membuatnya nyaman.

"San, ngomong-ngomong, mana buku rangkumannya?" todong Nano lagi. Kali ini San tak bisa mengelak.

Seusai menghentikan tawanya, ia mengeluarkan buku rangkumannya lalu diberikan pada kakak kembarnya Mira.

"Jangan sampe sobek loh, No. Soalnya ada anak dari kelas lain yang mau minjem juga tuh buku," jelas San.

"Siapa? Pacarmu?" pancing Nano sambil menaikkan sebelah alis.

"Pacar yang mana? Cowo kek aku mana ada yang mau, No?"

Kedua bola mata Nano berputar seratus delapan puluh derajat mendegarnya. "Mau sampe kapan kamu terus-terusan merendah untuk meroket kek gini? Kamu itu ganteng, pinter, ketua kelas pula. Coba aja kalo aku cewek, pasti udah naksir kamu," timpal Nano.

"Kalopun kamu cowok juga gapapa kok naksir aku." San terkekeh.

"Halah omong kosong!"

Nano cuma memukul pelan dada kanan San lalu langsung membuka buku catatan milik ketua kelasnya itu, memperhatikan sekilas tulisan rapi milik San yang tertuang di setiap halaman.

Menurut Nano, jarang-jarang ada cowok yang memiliki tulisan bagus seperti ini. Kebanyakan tulisan cowok itu begitu artistik dan kadang perlu usaha tersendiri untuk bisa memahami tulisan cowok.

Ia merasa beruntung dengan keramahan dan kebaikan San yang selalu bisa diandalkan.

"Makasih ya, San. Kamu udah kayak mimi peri dari kahyangan yang selalu bantuin orang yang lagi membutuhkan," ceplos Nano.

San mulai suka dengan sikap Nano yang konyol seperti ini. Sengaja, ia menepuk-nepuk puncak kepala Nano beberapa kali.

"Kebanyakan stalking Instagram-nya miper nih. Kamu jadi kayak orang yang jarang dicocol," balas San yang sukses mendapatkan tinjuan dari Nano di lengan kanannya yang keras.

Sesaat kemudian mereka bertiga terpingkal bersama menyadari betapa konyol percakapan yang mereka buat sejak tadi.

Lagi-lagi, Nano melupakan bocah itu. Adinata Andreas.

Bocah yang membuat keributan tadi siang dan sekarang sudah terbangun dari tidurnya, sedang melirik tajam ke arahnya dengan tatapan iri dan tidak suka. Apalagi saat melihat cowok yang tak dikenalnya itu berani menyentuh kepala Nano. Canda tawa di ruangan itu seolah membuat Adi merasa Nano melupakan dirinya.

Adi sudah tak mau ambil pusing memikirkan jenis perasaan yang ia rasakan pada Nano.

Sekarang yang ia ikuti hanya kata hatinya saja.

Mau dibilang gay kek, homo kek, aku nggak peduli! Aku cuma mau dia!
Batin Adi sambil melirik Nano yang sedang tertawa bahagia.

.
.
.
[Bersambung....]


Previous Chapter | Next Chapter


.


.


.


.



Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)