Never Let You Go (Bab 08)
Pulpen Nano bergoyang-goyang cepat, membubuhkan tulisan-tulisannya yang saling bergandengan satu sama lain. Kebiasaan menulis dengan gaya tegak bersambung semenjak kelas satu SMP itu terbawa hingga sekarang. Begitu rapi dan terlihat artistik baginya.
Belajar menulis tegak bersambung itu bukan hal yang mudah, perlu perjuangan. Tapi hasilnya bakal memuaskan kalau sudah mahir dan terbiasa. Meski teman-temannya SMP dan SMA waktu itu sering mengeluh saat meminjam catatan miliknya, kembaran Mira itu tidak peduli. Yang penting dirinya dan bapak ibu guru pengajar bisa membacanya dengan baik.
Kini Nano tengah menyalin catatan milik San yang ia pinjam tadi siang, mengerjakannya di sofa. Bukan di atas sofa, tapi ia menjadikan dudukan sofa sebagai alas menulis, sedangkan Nano sendiri duduk bersimpuh di atas lantai kamar rumah sakit yang dingin.
Oh iya, mengenai San, siapa sangka kalau cowok itu juga bekerja seperti dirinya. Namun hanya perkerjaan part-time di toko buku, bukan full-time seperti Nano. San sendiri yang bilang begitu tadi sore.
Lagian kan kelas perkuliahan yang mereka berdua ambil sama-sama kelas keryawan, jadi tentu para mahasiswanya juga bekerja, baik itu part-time atau full-time. Tapi dari kabar yang ia dapatkan dari San, sebagian besar mahasiswa di kelasnya tidak bekerja karena berasal dari kalangan berada. Padahal kan bisa mengambil kelas reguler yang biasa.
Alasannya? Mereka tidak suka masuk kuliah hampir setiap hari di kelas reguler, lebih suka kelas karyawan yang cuma masuk di hari Senin, Selasa, dan Rabu, padat dari siang sampai jam 10 malam, habis itu libur.
Namun kepadatan jadwal kuliah di semester ini cukup memberatkan mahasiswa di kelasnya itu. Alhasil memaksa San, selaku ketua kelas, melakukan lobby dosen. Jadi ada dua mata kuliah Selasa dan Rabu yang dipindah ke hari Kamis. Untuk hari Senin, terpaksa harus tetap full.
Dan besok hari Kamis, jadi ada dua mata kuliah di sore hari yang akan Nano masuki seusai menuntaskan pekerjaannya di minimarket.
Jarum panjang dan pendek dari jam dinding kamar itu sudah menunjukkan pukul 11:42, hampir lewat tengah malam. Nano baru selesai menyalin seperempatnya hingga sekarang. Masih banyak lagi yang musti dicatat.
Ngomong-ngomong, Nano tak melihat cowok labil itu di kamar sejak satu jam yang lalu. Tidak biasanya bocah itu keluar kamar dalam waktu selama ini. Paling kalau keluar cuma 10-15 menitan habis itu balik lagi ke kamar. Itu pun hanya menemui dr. Jaka yang sekaligus pamannya.
Kalau jam segini, biasanya Adi bakalan main game di ponselnya. Game apa itu namanya? Nano lupa, itu game android yang sedang digandrungi anak-anak jaman sekarang.
San juga memainkan game itu di kampus saat senggang. Dia pernah menjelaskan pada Nano kalau game berbasis online itu membutuhkan kerja sama tim. Ketua kelasnya itu pernah menyebutkan nama game itu, sambil menyuruh Nano untuk meng-instal-nya.
Jelas-jelas Nano kurang tertarik dengan game android, apapun itu jenisnya, jadi ia tak mengunduh game yang di sarankan oleh San tersebut.
Bahkan kemarin sore, Nano menahan tawa sekuat tenaga waktu melihat Adi yang meneriakkan sumpah serapah saat kalah di game itu.
'Enemy Godlike!'
'Enemy Maniac!'
'Enemy Legendary!'
Cuma itu suara dari ponsel Adi yang diingat Nano saat bocah itu bermain game sambil misuh-misuh. Dan pemandangan kekesalan bocah itu sukses membuat Nano hampir mati kehabisan napas karena mati-matian menahan gelak tawanya dengan cara menutup wajah.
Mungkin sekarang bocah itu masih berbicara dengan dr. Jaka yang hari ini mendapatkan jadwal jaga malam.
Eh? Eum.........
....
....
Mungkin juga Nano lagi kurang minum air mineral karena mendadak dirinya mencemaskan cowok itu.
Ah! Bodo amat sama si Adi.
Pikirnya kemudian lanjut menyalin.
Namun satu jam berikutnya setelah Nano menyelesaikan hampir tiga perempat catatan milik San, Adi belum juga kembali. Padahal ini sudah pukul satu lebih beberapa menit.
Kemana sih bocah itu? Nggak ngantuk apa?
Batin Nano yang mulai kembali cemas sambil melepas kacamata yang biasa digunakannya untuk membaca dan menulis, mengingat cowok itu bisa saja melakukan percobaan bunuh diri lagi, karena emosinya yang belum bisa diatur.
Apakah Nano musti mencarinya?
Jujur saja, dia sangat malas untuk bertatap muka dengan cowok itu karena kejadian tadi siang.
Tapi kalau tidak dicari...........
Setelah berpikir agak lama sambil memain-mainkan pulpennya, Nano memutuskan untuk menunda dulu acara menyalinnya. Lagian ia masih ada waktu sampai Senin depan untuk menyelesaikannya, walaupun sebetulnya Nano bukan tipe orang yang suka menunda pekerjaan.
Dengan cepat, Nano menaruh buku dan alat tulisnya di atas meja nakas kemudian pergi keluar mencari keberadaan Adi setelah menyambar dan mengenakan jaket kulitnya untuk mengindari angin malam.
Tempat pertama yang dia tuju ialah ruangan dr Jaka. Dalam hati, Nano merasa bersalah dengan pria paruh baya itu.
Bagaimana tidak? Nano belum memberitahu pamannya Adi tersebut bahwa keponakannya pernah mencoba bunuh diri dengan loncat dari lantai tiga gedung rumah sakit.
Kalau Adi tidak melarangnya untuk memberitahu siapapun mengenai percobaan bunuh dirinya pada orang lain setelah Nano menolongnya waktu itu, mungkin dr. Jaka sudah mengirim keponakannya itu pulang ke rumah.
Dan bodohnya, Nano sudah berjanji pada bocah nakal itu.
Sudahlah. Intinya sekarang Nano harus memastikan keadaan Adi saat ini. Ia berjalan cepat melewati beberapa lorong rumah sakit sambil menahan udara malam yang dingin.
Begitu tiba di depan ruangan dr. Jaka, cowok itu mengetuk pintu.
"Masuk," balasan dr. Jaka dari dalam memberanikan Nano untuk membuka pintu. Tapi begitu dilihat, di dalam ruangan itu hanya ada pamannya Adi seorang, tak terlihat tanda-tanda keberadaan bocah itu.
Pria itu tidak tampak lelah sedikitpun meski harus terjaga hingga pagi nanti. Nano jadi makin merasa tidak enak.
"Permisi, Dok, anu, maksud saya 'Om'. Maaf ganggu malem-malem gini. Om liat Adi nggak?" tanya Nano.
"Adi? Dua jam yang lalu sih dia sempet ke sini. Emang dia sekarang nggak ada di kamar?"
"Belum, Om," Nano berpikir sejenak. Ia tak ingin mengganggu dr. Jaka lebih lama, dan cepat-cepat menemukan Adi. Jadi kalau tidak ada di sini, tujuan Nano berikutnya adalah tempat dimana bocah itu hampir meregang nyawanya sendiri.
"Mungkin dia sedang di balkon lantai ini. Saya permisi dulu Om kalau gitu."
Kembaran Mira itu sempat melihat raut wajah dr. Jaka yang keheranan sebelum Nano dengan gesit beranjak pergi dari sana. Cowok itu kembali dihantui bersalah. Harusnya pamannya Adi itu berhak tahu tentang masalah keponakannya sendiri.
Tapi sekarang ia tak boleh memikirkan itu terus. Nano harus memastikan bahwa bocah itu tidak melakukan tindakan bodoh untuk kedua kalinya. Karena jika hal itu sampai terjadi, maka Nano akan menganggap dirinya orang paling berdosa di dunia.
Setibanya di balkon yang dulu itu, Nano tetap tak menemukan bocah itu, bahkan setelah ia melihat ke bawah, siapa tahu Adi sudah lebih dulu meloncat.
Dia belum menyerah. Kedua kakinya berlari melangkah ke balkon-balkon yang ada di setiap lantai rumah sakit. Dinginnya angin malam yang kini terasa menembus jaketnya tak lagi ia hiraukan.
Saat ini, menemukan Adi jauh lebih penting daripada memikirkan dirinya sendiri.
"Kemana sih tu bocah?!" kesalnya begitu tiba di balkon terakhir lantai 6, lantai paling atas di rumah sakit ini dan tak menemukan tanda-tanda keberadaan cowok itu. Napasnya tersengal-sengal karena harus berlarian di setiap lantai. Tengah malam pula. Dan jam tangannya sudah menunjukkan hampir pukul dua dini hari.
Pikiran-pikiran negatif langsung menyerang kepalanya tentang kemungkinan Adi melakukan percobaan bunuh diri secara diam-diam.
Sudah hampir semua tempat di rumah sakit ini ia kunjungi tanpa hasil yang berarti.
Saat Nano sudah hampir berada di ujung keputus-asaan, tiba-tiba sebuah ide melintas.
Benar juga! Atap gedung!
Batinnya sambil kembali mengumpulkan tenaga. Adi itu cowok yang susah ditebak, jadi siapa tahu cowok itu ada di sana.
Nano tahu persis kemana jalan yang harus ia lewati untuk sampai di atap gedung rumah sakit karena dirinya sudah pernah ke tempat itu sebelumnya.
Setibanya di sana, angin malam yang berkali-kali lipat lebih dingin menerpa wajahnya yang meneteskan keringat. Ia bisa melihat kelap-kelip indah dari lampu jalanan dan bangunan yang terhampar di bawah sana.
Dugaannya kali ini tepat. Cowok yang membuatnya kelimpungan dari tadi itu tengah duduk di batas pinggiran atap gedung dengan posisi membelakanginya.
Sambil menahan rasa kesal, Nano mendekati Adi. Agak terkejut sih saat melihat cowok itu ternyata lagi menghisap rokok dengan raut wajah datar menatap pemandangan di depannya sambil menekuk kaki kanannya.
"Kamu ngapain disini? Aku cariin dari lantai bawah sampek atas, kamu malah enak-enakan ngerokok di sini!" omel Nano berusaha bersabar sambil memeluk tubuhnya sendiri karena udara yang begitu dingin.
Mendengar hal itu membuat Adi menoleh sekilas tanpa ekspresi berarti kemudian kembali menatap ke arah semula.
Apa-apaan itu tadi? Nggak tau apa kalo aku udah keringetan gini cuma buat nyariin kamu?!
Protes Nano dibenaknya.
Ngomong-ngomong, kembaran Mira itu baru sadar kalau udara sedingin ini sama sekali tak mengganggu Adi yang cuma memakai baju tipis rumah sakit. Tampak jelas dari mukanya yang terlihat biasa-biasa saja saat angin malam kembali berhembus pelan. Nano saja sampai menggigil beberapa kali.
"Duduk aja."
'Nggak mau! Di sini dingin! Kita balik ke kamar aja!'
Sebenarnya itu yang ingin diucapkan Nano di depan muka bocah itu.
Tapi begitu melihat sikap Adi yang tidak terlihat baik-baik saja, Nano langsung mengurungkan niatnya dan memilih untuk duduk memeluk lutut di samping kanan cowok itu. Mungkin kali ini cowok itu ingin berbicara banyak.
Awalnya tidak ada percakapan di antara keduanya selama beberapa menit berjalan. Hanya terdengar sayup-sayup suara jalanan yang sudah agak sepi, juga hembusan angin malam yang begitu menenangkan di indera pendengaran, tapi tidak untuk indera perasa seperti kulitnya.
Hingga Adi mematikan bara rokoknya, membuat Nano tercekat begitu mengetahui ada banyak putung rokok di sekitar Adi.
Dari info yang Nano tahu, orang yang merokok itu bisa karena stres atau kecanduan. Adi sepertinya mengalami yang pertama karena bibir bocah itu tak terlihat gelap seperti bibir pecandu rokok pada umumnya.
Baiklah. Nano harus mempersiapkan mentalnya demi menghadapi cowok yang sedang stres ini.
Tak lama, akhirnya cowok itu mulai bersuara.
"Marcelino Akshara," ucap Adi mengeja nama lengkap Nano, membuat yang si pemilik nama menoleh memperhatikan wajah Adi yang tetap tampan jika dipandang dari arah samping.
Nano diam, menunggu Adi melanjutkan.
"Padahal sebutan Marcel itu lebih cocok buat kamu daripada Nano," Adi menunduk sambil tersenyum tenang memperlihatkan lesung pipitnya. "Mulai sekarang aku pengen manggil kamu pake nama Marcel aja."
Nano menaikkan alis sambil manggut-manggut. "Oke, terserah. Senyamannya kamu aja."
Baiklah, Nano berbohong. Ia tak begitu suka jika ada orang memanggilnya 'Marcel'. Lebih suka dipanggil 'Nano'. Tapi kali ini, biarlah. Satu pengecualian untuk menenangkan emosi Adi bukan masalah besar. Apalagi cuma soal nama panggilan.
"Pemandangan dari atas sini bagus ya?" tukas Adi.
Nano paham betul jika sekarang cowok itu mencoba berbasa-basi dahulu. Tapi karena Nano ingin langsung masuk ke inti pembicaraan, ia memilih bungkam untuk menunggu Adi membuka suara kembali.
Setelah kesunyian membelenggu mereka berdua selama beberapa saat, Adi menghela napas panjang.
"Aku.... mau minta maaf," lanjut Adi masih dengan wajah yang cukup tenang.
Dari tadi jantung Nano berdetak tak karuan mengantisipasi barangkali ada ledakan emosi dari bocah itu yang bisa saja terjadi secara tak terduga. Yang penting sekarang dirinya tak boleh melakukan sesuatu yang dapat memancing amarah bocah nakal satu ini.
"Minta maaf buat apa?" tanya Nano dengan memasang wajah tenang senatural mungkin, padahal aslinya tidak.
Adi kembali menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan, kemudian menoleh ke arah Nano yang saat itu juga menatap dirinya.
"Maaf soal kejadian tadi siang. Aku hilang kontrol."
"Emang kenapa kamu bisa marah-marah nggak jelas tadi siang?" Nano berhati-hati dalam merangkai kata yang ia ucapkan.
"Kayaknya aku iri sama orang-orang yang ada di deket kamu, yang udah lama kamu kenal."
Nano menaik-turunkan kepalanya sambil menunggu gerakan bibir Adi untuk kembali menjelaskan.
"Aku cuma berharap bisa dapet perhatian kamu, kayak yang dirasain sama orang-orang yang deket sama kamu," Adi membuang muka sesaat lalu kembali menatap Nano. Sedangkan yang ditatap masih memasang telinganya baik-baik.
Dalam hatinya, Nano menduga pasti ini yang menjadi alasan dari sikap Adi yang emosional. Bayi tua itu cuma pengen Nano memperhatikannya, layaknya ia memberi perhatian pada orang-orang terdekatnya. Mungkin itu hal yang wajar, mengingat Adi sepertinya kurang memperoleh perhatian dari orang tuanya sendiri.
Sedikit demi sedikit, dari sini Adi mulai membuka isi pikirannya selama ini secara jujur pada kembaran Mira.
"Tapi kayaknya bakalan susah deh. Mungkin kamu udah ill-feel sama sikap aku sejak kita pertama ketemu. Jadi aku nggak mau banyak berharap kamu bakal ngelakuin hal yang sama ke aku. Soalnya aku ngerti gimana posisiku di mata kamu. Kayaknya rendah banget."
Well, Adi yang biasanya emosional mendadak berubah menjadi melankolis sekarang. Nano mulai mengerti apa yang tengah dirasakan cowok itu.
Jadi pokok permasalahannya cuma itu? Adi pengen Nano menganggapnya bukan sebagai orang asing lagi? Tapi tentu saja aslinya Nano menolak. Orang-orang yang kini berada di dekatnya adalah mereka yang bisa membuat Nano nyaman, jadi Nano akan memberi feedback yang sama positif. Kalau Adi kan dari awal sudah susah begitu.
Nano tersenyum paham. "Jadi cuma itu? Gampang! Intinya kamu bikin aku nyaman di dekat kamu aja. Jangan selalu bikin aku kesel. Prinsipku ya sama kayak prinsip orang di dunia ini. Hargailah orang lain, maka orang lain akan menghargaimu. Simpel kan?"
Adi terhenyak mendengar jawaban Nano yang padat dan lugas itu. Ia pikir kali ini dirinya bakalan gagal ketika ia berusaha jujur tentang dirinya pada Nano, tapi ternyata harapan itu masih ada.
Tampak sekali wajah Adi yang sekarang berubah cerah, tersenyum lebar memperlihatkan kembali lesung pipitnya.
"Yah kalau kamu bisa bikin aku nyaman, siapa tahu kita bisa jadi temen baik," tambah Nano sambil mengedikkan kedua bahunya.
Namun cowok yang bernama lengkap Adinata Andreas itu malah tersenyum miring mencurigakan seolah-olah ada maksud lain di balik ini semua.
Tapi alih-alih mengucapkan isi hatinya tersebut, Adi hanya lanjut mengangguk. "Makasih ya. Aku bakal usahain itu. Ajarin aku biar bisa bikin kamu terus ngerasa nyaman deket aku."
"Hehehe....," Nano tertawa paksa untuk menutupi raut wajahnya yang mungkin bakal terlihat canggung dan bingung dengan ucapan Adi barusan.
Itu tadi terlalu intim dan ambigu di telinganya. Maksud Nano, kalimat barusan bukan terdengar seperti seseorang yang ingin menjadi sahabat, melainkan sesuatu seperti hubungan yang lebih serius daripada sahabat.
Bahkan Nano sempat merasakan bulu kuduknya yang meremang karena walau bagaimanapun, Nano masih merasa dirinya laki-laki normal.
Sedangkan Adi itu cowok yang masih ABG, anak baru gede yang mungkin belum paham betul mengenai dunia pertemanan dan percintaan. Jadi mau tak mau Nano terpaksa memakluminya.
"Oh iya, Cel. Sebagai permulaan, aku mau jujur sama kamu," tukas Adi tiba-tiba dengan suara beratnya yang khas.
Panggilan 'Cel' dari kata Marcel begitu aneh didengar, membuat telinga Nano berdenging selama beberapa sepersekian detik.
"Emang masih ada hal lain yang kamu sembunyiin?"
Cowok berlesung pipit itu tampak ragu sambil mengusap pelipisnya sendiri.
"Aku.... cuman mau minta maaf.... udah.... eng.... gangguin kamu lewat telpon sejak pagi tadi. Jadi yang telpon kamu, yang nomer akhirannya 6969 itu nomorku. Kamu simpen ya, Cel."
Oke, fix!
Ucapan Adi yang demikian membuat Nano gagal menahan kesabarannya.
"Sialan!! Ternyata kamu ya biang keroknya? Hah?! Bener-bener nih bocah!!" umpat Nano sambil mengulurkan kedua tangannya untuk mencekik Adi dan menggoyangkan tubuh cowok itu ke depan belakang.
Cekikan itu tak terlalu kuat, malahan Adi terpingkal-pingkal begitu melihat ekspresi Nano yang kesal karena ulahnya.
"Sorry, Cel. Sorry... Uhuk! Uhuk!" Adi pura-pura terbatuk. Padahal dalam hatinya ia merasa bahagia saat dirinya bisa bercanda seperti ini dengan Nano.
Bagi Adi, ini sebuah permulaan yang bagus untuk mendapatkan calon permaisuri hatinya yang kini merajuk dan mencekik dirinya karena kesal.
.
.
.
.
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say