Never Let You Go (Bab 09)
Jam perkuliahan Nano yang terakhir untuk hari Kamis ini usai pukul enam sore. Setelah merapikan seluruh peralatan tulisnya ke dalam tas, ia melangkah keluar dari kelas.
Mendung melandai-landai di langit kota yang mulai gelap membuatnya ingin cepat-cepat menuju rumah sakit sebelum turun hujan secara tiba-tiba.
Ngomong-ngomong, hari ini kembaran Mira itu sudah mulai bekerja dan kuliah kembali seperti biasanya. Tadi pagi dia bekerja mulai pukul 6, siangnya pukul 2 ia masuk kuliah sampai sekarang jam 6 sore.
Angin yang mulai bertiup kencang membuatnya ingin segera meninggalkan kampus sebelum hujan mengganggu perjalanannya nanti.
Tapi sebelum itu, Nano memeriksa sebentar notifikasi di ponselnya. Ada beberapa pesan dari kontak bernama Bayi Tua yang dikirim melalui Whatsapp.
Well, itu nama yang dipakai Nano untuk menyimpan nomor Adi di ponselnya. Awalnya ia ingin menamakan Adi saja, namun mengingat beberapa hari ke belakang dimana cowok itu selalu mengganggunya, maka ia berpikir ulang untuk mencari nama konyol yang cocok untuk Adi.
Intinya, cowok itu mempunyai fisik yang tinggi dan gagah walaupun masih duduk di bangku SMP namun berperilaku menyebalkan layaknya anak balita yang berusaha mendapatkan perhatian darinya meski harus bersikap jahil atau sekadar marah-marah tidak jelas.
Jadi nama Bayi Tua yang sempat ia cetuskan ternyata cocok juga, dan Nano memilih nama itu sebagai nama kontak si Adi.
Oh ya, sebagai informasi saja, hari ini Adi bersikap baik sekali padanya. Pagi tadi sebelum Nano berangkat memulai aktivitas kerjanya, mereka berdua ngobrol sebentar di balkon rumah sakit, dan bocah itu mendadak menawarkan diri untuk menjaga Mira selama Nano tidak di sana. Entah si Adi memang sedang baik atau berpura-pura baik.
Awalnya kembaran Mira itu sempat menolak karena ragu dan sedikit takut juga sih melihat perubahan sikap bocah itu yang mendadak berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi sosok yang tampak sedikit lebih manusiawi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Bayi tua itu? Menjaga adik kembarnya? Nano jadi curiga dibuatnya. Alih-alih menjaga adiknya, bocah itu pasti diam-diam menyusun suatu rencana jahat seperti yang ada di sinetron layar kaca.
Bagi Nano, Adi itu belum bisa ia percaya seratus persen. Padahal kan ia bisa menitipkan adik kembarnya pada dr. Jaka selama ia kerja dan menyelesaikan jadwal kuliahnya. Bukan ke bocah labil, yang siapa tahu mungkin sekarang sedang merencanakan hal - hal lain dalam rangka mengganggunya.
Mereka berdua sempat berdebat panjang hingga Nano memutuskan untuk menemui dr. Jaka yang beberapa menit yang lalu sempat memeriksa adiknya sebentar. Tentu saja Adi ikut. Bocah itu suka sekali mengekori dirinya, macam bodyguard saja.
Setelah Nano menjelaskan situasinya sedetail mungkin di dalam ruangan dr. Jaka, paman dari Adi itu dengan tenang meyakinkan Nano, bahwa bocah itu bisa mengawasi adiknya dengan bantuan perawat.
Pada akhirnya, Nano pasrah menerimanya. Ia pun melesat pergi ke tempat kerjanya setelah memperkenalkan Adi pada Mira dan menjelaskan semuanya pada adik kembarnya.
Balik lagi ke pesan Whatsapp dari Adi di ponsel Nano.
HAH? PINGSAN?!
Kelopak mata Nano membulat. Apa yang terjadi pada adiknya? Padahal ia sudah mempercayakan adiknya pada bocah itu. Kalau sampai adiknya kenapa-kenapa.....
Eh, tunggu sebentar!
Masih ada pesan-pesan lain dibawahnya.
Kacau banget sih Adi! Ternyata itu cuma bohongan. Sontak, dada Nano lega, membuatnya bisa bernapas kembali.
Eum.... Nano tak tahu-menahu soal itu. Guntur tak pernah bilang kalau bosnya itu suka dengan adiknya. Tapi bisa juga sih. Lagian bosnya masih lajang kan? Siapa tahu mereka berdua cocok. Kembaran Mira itu kembali membuat gerakan scroll-down di atas ponsel layar sentuhnya.
Pesan terakhir dari bocah itu membuat Adi menyebikkan bibir.
Tuh, kan? Kumat lagi tuh anak!
Batin Nano, berpikir cepat lalu mengetik pesan balasan.
Parah tuh bocah!!!
Sungguh kesal Nano sekarang, ia enggan menanggapi pesan Adi yang terakhir. Langsung ia simpan kembali ponselnya dalam saku jaket bagian dalam.
Otak bayi tua itu sebenarnya waras atau tidak sih? Emang apa hubungannya dia ngaceng sama aku coba? Aku udah jelas-jelas cowok, dia juga cowok.
Protes Nano di benaknya, yang sepertinya sulit peka dalam hal semacam ini.
Terus maksud Adi apaan? Dia maho gitu? Tapi mana mungkin, secara Adi orangnya gagah, manly gitu. Trus juga pacarannya sama cewek. Ah, pusing lah!
Pikir Nano sambil mengurut keningnya sambil berjalan ke arah parkiran motor.
"Nano! Tungguin, No!" teriak seseorang dari arah kantin fakultas yang letaknya dekat dengan parkiran.
Begitu menoleh, Nano mendapati seorang cowok yang mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke arah Nano, kemudian berlari kecil menghampirinya sambil tersenyum. Mungkin kalau Nano cewek, dia sudah meleleh sekarang karena saking tampannya cowok yang kini tersenyum padanya.
Nano balas melambaikan tangan. "Oy, San!"
.
* * *
.
Tetesan hujan dari langit yang begitu lebat membuat jendela kamar opname itu tertutup oleh titik-titik air yang tampak mengembun di sana, membuat suasana kamar jadi lebih tenang dan damai saat jarum jam dinding menunjukkan pukul 06:30 sore tepat.
Di dalam kamar itu, sudah ada Mira duduk di ranjangnya, bercakap santai dengan Guntur. Ada pula Adi yang memainkan ponselnya di tangannya yang kini dalam posisi berotasi landscape. Cowok itu tengah memainkan game kesukaannya.
Well, alat penyangga lengan kirinya kini sudah lepas, jadi cowok itu bisa bermain dengan kedua tangannya, meski diperban dan masih nyeri rasanya kalau digerakkan secara berlebihan. Untuk bermain game, sepertinya bukan masalah.
Namun ia tak bisa mempertahankan fokusnya pada game itu. Pikirannya ada di tempat lain yang berada tak jauh dari ranjangnya sendiri.
Ya, pikirannya sekarang terpaku pada sosok Nano dan San yang kini berada di sofa sudut ruangan, sedang mendiskusikan sesuatu sambil memperhatikan layar laptop milik temannya Nano itu. Katanya sih tadi mereka mau mencari referensi makalah dari internet guna mempersiapkan presentasi yang diadakan minggu depan.
Sejak Nano datang bersama cowok itu beberapa saat yang lalu, hati Adi terbakar saat melihat orang yang disukainya tiba-tiba masuk dengan rambut yang sama-sama terlihat sedikit lepek karena kehujanan. Apalagi saat Nano memperkenalkan San pada dirinya dan Guntur. Adi ingin sekali meremukkan tangan cowok itu saat berjabatan tangan tadi, menghancurkannya hingga tulang dan ototnya hancur tercerai-berai.
Lihatlah mata Adi yang berapi-api saat diam-diam melirik Nano dan San yang berada di sofa, dengan sebuah selimut yang sama-sama membungkus keduanya. Sesekali kedua orang itu terkekeh, membuat Adi semakin hangus dibakar kecemburuannya.
Bisa saja cowok SMP itu meluapkan amarahnya saat ini juga. Tapi....
Lagi-lagi dia ingat perkataan Nano. Untuk mendapatkan perhatian kembaran Mira itu, Adi harus bisa membuatnya nyaman dan berhenti membuatnya kesal. Jadi kalau anak itu marah-marah dan membuat keributan, bisa dipastikan Nano bakalan menjauhinya. Sedangkan Adi sendiri jelas tidak sanggup saat melihat cowok itu menjauh.
Bahkan kalau boleh, Adi ingin mengurung Nano di sebuah tempat tersembunyi di hutan pedalaman bersamanya. Hanya berdua saja tanpa ada gangguan dari siapapun. Dan khayalannya itu tentu saja tak mungkin terwujud. Bisa-bisa Nano membencinya seumur hidup, atau bahkan menghajarnya hingga mati.
Terpaksa, cowok yang gemar bermain game itu memilih menahan emosinya sambil memikirkan sesuatu untuk mengganggu acara diskusi Nano dan San yang kini melupakan kondisi sekelilingnya seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua
Di sisi lain, San tampak nyaman-nyaman saja. Nano tak tahu kalau dirinya kini tengah melakukan pendekatan pada kembaran Mira itu. Bukan dalam hal yang aneh-aneh, melainkan pendekatan untuk mengenal Nano lebih baik lagi.
Sebab di mata San, Nano itu memiliki banyak sekali sifat baik yang jarang ia jumpai pada teman-temannya yang lain. Mencari kawan baik yang berharga, yang saling mendukung itu tak semudah mencari teman biasa. Karena yang berharga itu wajib diperjuangkan. Itu salah satu motto hidup San.
Ia sesekali mendekatkan tubuhnya pada Nano, mencari kehangatan di bawah selimut yang membalut mereka menjadi satu. San berani melakukannya karena kembaran Mira itu tampaknya tak terlihat risih sama sekali. Mungkin ia terlalu fokus dengan layar laptop di atas kedua kaki San yang kini bersila di atas sofa.
Hujan-hujan begini, udara yang dingin, terus selimutan berdua di sofa, sukses membuat San tampak terbawa suasana yang nyaman.
"Yang ini gimana, San? Kayaknya bagian latar belakang sama rumusan masalahnya bagus. Ada footnote-nya juga nih, jadi kita bisa nyari bukunya buat dipelajari lebih jauh," ucap Nano sambil menunjuk-nunjuk layar laptop.
San yang tanpa sadar memperhatikan muka Nano selama beberapa detik langsung tersadar. Ia tak paham kenapa ia bisa melakukannya, seakan-akan ia barusan tersihir.
Hanya saja kalau diperhatikan baik-baik, Nano itu punya kulit wajah yang mulus, juga kadang kala pas lagi senang atau sebal, cowok itu memasang ekspresi yang benar-benar lucu.
"Hm? Yang ini ya? Eng..... Pembahasan inti makalahnya sih menurutku kurang detail. Tapi emang bagus bagian latar belakang sama rumusan masalahnya. Bisa dijadiin referensi. Footnote-nya juga bisa ngemudahin kita buat nyari buku rujukan," balas San cepat.
Pada saat yang sama, Nano tiba-tiba merasa pundak kanannya berat. Begitu ia melirik, sebuah punggung bersandar di sisi kanan tubuhnya dengan kepala yang bersantai di pundak kanan Nano.
Bukan San yang melakukannya, karena si ketua kelas duduk di sebelah kirinya.
Itu ulah si Adi.
Cowok itu dengan santai menyandarkan punggungnya pada Nano sambil tetap bermain game.
"Adi, ngapain sih? Ah!" omel Nano yang tak bisa menatap wajah cowok SMP itu sebab dalam posisi membelakangi dirinya.
"Jangan gerak-gerak, Cel. Lagi pewe nih," protes Adi.
"Cel? Maksudnya Marcel?" tanya San penasaran.
"Iya. Si Adi sukanya manggil aku gitu. Biarin aja dia."
San manggut-manggut setengah bingung. Seingatnya, Nano tidak suka dipanggil dengan nama Marcel. Namun karena Nano memintanya untuk mengabaikan Adi, San cuma bisa menurut.
San dan Nano melirik ke layar ponsel Adi, memperlihatkan game android yang hanya dipahami oleh San dan Adi saja.
"Kamu main Mobile Legends juga, Di? Aku juga main lho," San mencoba akrab. Tapi yang diakrabi hanya diam saja sambil mengubah posisinya, menghadap ke arah yang seharusnya dengan kepala yang mendusel-dusel ke leher Nano dengan tenangnya.
Awalnya Nano terlihat risih, tapi kemuadian ia tampak tak peduli selama sekali dengan tingkah Adi, sebab tangannya sibuk men-copy paste bahan referensi tadi ke Microsoft Word. Ia tadi menunggu San untuk melakukannya, tapi tak segera dikerjakan. Jadi Nano langsung berinisiatif.
Jika diperhatikan seksama, Adi tampak tak menyukai San, jadi apa boleh buat? Lagian Adi masih seorang remaja yang sepertinya butuh waktu untuk belajar sosialisasi. San tidak masalah. Tapi cowok SMP itu mengganggu kebersamaannya dengan Nano.
"No, kamu laper nggak? Aku dari siang belum makan," San memasang wajah memelas sambil menutup laptop tanpa men-shutdown-nya.
"Kamu laper? Aku juga agak laper. Di depan rumah sakit ada warung nasi. Belum pernah ke sana sih, tapi denger-denger harganya murah, katanya rasanya juga enak," balas Nano.
Adi yang sejak tadi memasang telinganya untuk menguping obrolan kedua orang itu pun terhenyak hingga konsentrasinya pada game buyar begitu saja seketika.
Wah, Setan! Nggak boleh dibiarin nih!
Batin Adib kepanasan sambil melanjutkan game-nya dengan gerakan kasar.
"Yok kesana, aku traktir!" ajak San sambil memasukkan laptopnya kembali ke dalam tas.
"Eh? Beneran nih aku ditraktir?"
San tersenyum sambil mengerutkan hidungnya. "Apa sih yang enggak buat kamu, No?"
"Jijik! Sumpah! Ganteng-ganteng maho," protes Nano sambil bergidik. Si ketua kelas cuma bisa terbahak. Menggoda Nano ternyata kegiatan yang cukup menyenangkan. Sedangkan Adi.....
Oke, si Bayi Tua itu tampak cukup muak sekarang!
"NGGAK! NGGAK BISA!" seru cowok SMP itu tiba-tiba sambil berdiri.
Sontak, seluruh penghuni kamar itu menoleh kaget ke arah Adi suaranya yang menggelegar. Termasuk Guntur dan Mira yang dari tadi ngobrol dengan tenang.
San mengerutkan alis karena bingung melihat cowok SMP itu tiba-tiba meluapkan emosi dengan alasan yang tak diketahui. Sedangkan Nano menegang di tempatnya. Bulu kuduknya meremang merasakan aura negatif yang dingin menyelimuti sosok Adi, yang kini kembali ke mode originalnya.
"Nggak usah keluar, Cel! Lagi ujan, GoFood aja! Aku pesenin makanannya, aku juga yang bayarin!" lanjut Adi.
"Ada apaan sih?" tanya Guntur dari tempatnya yang merasa terganggu. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Nano akhirnya menengahi dan berusaha menenangkan Adi.
"Nggak ada apa-apa kok, Mas. Adi lagi laper jadi bikin rusuh. Makanya dia mau nge-GoFood katanya."
Guntur cuma mengangguk lalu membalikkan tubuhnya untuk kembali berbincang dengan Mira. Nano menghela napas panjang, lalu menatap Adi tajam.
"Kamu duduk!" titah Nano pada Adi.
Saat anak itu kembali menjatuhkan tubuhnya di sampingnya, Nano memarahinya.
"Kamu itu kenapa sih, Di? Aneh banget! Jangan bikin ribut deh! Lagian warung di depan juga nggak jauh kok, cuma tinggal nyebrang aja!"
"Tapi di luar lagi ujan, Cel. Kalo kamu sakit karena keujanan gimana? Nggak, nggak! Aku nggak mau kamu malah sakit! Pokoknya makannya di sini aja! Titik! Biar aku yang pesenin! Nggak ada bantahan!" vonis Adi.
Nano memutar bola matanya lalu melirik San yang mengedikkan kedua bahu sebagai tanda untuk ikut saja. Si kembaran Mira cuma bisa mengucapkan kata maaf sambil tersenyum sedih.
"Ya udah, deh! Tapi nggak usah nyolot gitu! Nggak aku rawat lagi baru tau rasa! Mau aku panggilin si Sophie lagi buat ngerawat kamu?" ancam Nano yang membuat Adi bungkam.
Aku nggak butuh cewek itu! Aku cuma butuh kamu, Marcel!
Batin Adi yang tak berani ia ungkapkan.
Untuk sekarang Adi harus bisa menahan emosinya. Menjadikan Nano sebagai miliknya bukan hal yang mudah. Karena ia tahu Nano itu bukan homo. Maka dari itu, ia akan berjuang dan menunggu.
Well, Adi juga bukan homo. Dia masih suka dada perempuan. Tapi begitu mengenal Nano, libidonya terhadap keseksian perempuan seolah terkikis begitu saja, menyisakan rasa ketertarikan yang sangat tinggi akan pesona Nano.
Cowok itu membutakan hatinya saat mereka pertama bertemu balkon rumah sakit saat ia hendak melompat dari sana waktu itu.
Apakah ia harus kembali melakukan percobaan bunuh diri supaya Nano tahu kalau cowok itu sudah berhasil mengalihkan dunianya?
Tapi untuk apa dia mati kalau merasakan kehadiran dan perhatian Nano saja membuatnya terasa lebih hidup? Ia harus tetap hidup untuk menjaga Nano. Ia bahkan rela menyakiti dirinya sendiri jika itu bisa membuat Nano jatuh ke pelukannya.
Adi egois memang. Tapi ia tak peduli. Siapapun tak boleh memiliki Nano kecuali dirinya.
Di pihak lain, saat melihat kejadian barusan, San cuma bisa diam, memperhatikan sikap dan gerak-gerik Adi yang mengekspresikan kecemburuan yang sangat kental.
Mungkin Nano bukan tipe orang yang gampang peka dengan hal semacam itu, tapi San tidak buta.
Cowok SMP itu.... apakah ia menyukai Nano? Berarti dia.... homo?
Pikir San bergidik. Baginya homo itu merupakan sesuatu yang harus ia hindari. Mungkin Nano juga juga memiliki pemikiran yang sama.
Saat cowok itu marah-marah tidak jelas tadi, San ingin sekali melempar tinjuan ke wajahnya, namun dia sekuat tenaga menahan emosinya. San masih paham dengan tata krama. Jadi daripada kata-kata kasar keluar dari bibirnya, ia memilih diam.
Anyway, tampaknya usahanya mendekati Nano untuk mengenalnya lebih jauh tak semulus yang San bayangkan sebelumnya.
Tapi kalau menyerah sebelum berjuang, bukan Ikhsanul Habibie namanya. Sesuatu yang bagus tak bisa diraih dalam sekejam mata.
.
.
.
.
.
.
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say