Never Let You Go (Bab 11)

Bab 11
Tawaran yang (Tak) Menyenangkan






Dengan langkah santai, Nano —yang sudah berpenampilan rapi dengan seragam kerja yang dibalut oleh jaket kulit cokelat— berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tak lupa ia menenteng plastik berisi makanan untuk Mira yang ia beli dari luar karena hari ini ia malas untuk memasak. Kali ini, Nano tidak sendiri karena ada San bersamanya, walaupun tadi Nano bawa motor sendiri karena ia tidak mau San mengantarnya bekerja.

Beberapa petugas dan penghuni rumah sakit tampak berlalu lalang di sepanjang koridor rumah sakit yang memiliki aroma obat-obatan itu. Mungkin karena hujan sudah reda, mulai banyak pengunjung yang datang untuk menemui sanak saudaranya di sini atau sekedar menjenguk.

Setelah melewati beberapa belokan, mereka berdua pun sampai di kamar rawat inap. Langsung saja kembaran Mira itu meraih gagang pintu dan membukanya dengan lebar.

Belum sempat Nano mengucapkan salam untuk Mira, kedua matanya langsung tertumbuk pada tempat tidur Adi. Di sana ada seorang pria dan wanita berusia baya yang keduanya memiliki penampilan layaknya pebisnis ulung. Sepertinya beliau berdua merupakan orang tua bocah SMP itu.

Cowok yang bernama lengkap Marcelino Akshara itu bisa menduganya dari kemiripan wajah si Adi dengan wajah ayah dan ibunya yang sama-sama memiliki wajah rupawan walaupun mulai tertutupi oleh sedikit kulit keriput.

Pada saat itu, kembaran Mira itu baru sadar bahwa seluruh mata yang ada di dalam kamar itu langsung tertumbuk pada dirinya dan San yang barusan datang, termasuk Adi yang seketika menatap Nano tanpa ekspresi berarti membuat atmosfer canggung di dalam ruangan itu terasa kental dan seolah memojokkan dirinya.

Dengan gugup sekaligus sungkan, Nano cuma bisa tersenyum cepat sambil mengangguk sopan pada orang tua Adi kemudian beranjak ke tempat tidur Mira setelah San menutup pintunya.

"Sorry ya, Mir. Tadi aku lagi males masak jadi aku beliin makanan dari luar," ujarnya sambil meletakkan plastik makanan ke atas meja nakas.

"Nggak apa-apa kok, Mas. Aku udah sarapan kok, masih kenyang juga. Tadi pagi Mas Guntur ke sini nganterin makanan buat aku," balas Mira.

"Hm? Mas Guntur ke sini?" Nano penasaran dengan kening berkerut. Semakin hari, atasannya itu tampak makin perhatian saja sama adik kembarnya.

"Iya, tadi sekitar jam sembilan. Padahal tadi ujan deres banget loh. Mas Guntur orangnya baik ya, Mas?" tambah Mira.

Kepala Nano manggut-manggut pelan, kelopak matanya menyipit sambil mengusap dagunya sendiri. Kalau diperhatikan dari tingkahnya sejauh ini, sepertinya Guntur menyimpan rasa pada adik semata wayangnya. Apalagi semenjak Mira mengalami kecelakaan. Atasannya di minimarket tempatnya bekerja bernama lengkap Guntur Aligraha itu semakin hari semakin dekat saja dengan gadis yang lahir beberapa saat setelah Nano.

Ia harus berbicara dengan Guntur untuk meluruskan masalah ini. Ia tak mau Mira terlalu berharap dulu, takutnya Guntur memberi harapan semu pada Mira. Kalau Guntur memang suka dengan adiknya sih tak masalah. Nano malah senang jika adiknya memiliki kekasih yang baik macam atasannya itu.

"Gimana kabar kamu, Mir? Udah baikan?" tanya San basa-basi.

Setelah itu mereka bertiga mengobrol ringan, membicarakan mengenai bermacam-macam topik. Selain ganteng, Nano akui kalau San juga tipe cowok yang pandai berlisan. Terbukti dengan begitu cepatnya ia bisa melakukan komunikasi yang menyenangkan bersama Mira.

Tapi kenapa San tidak punya pacar? Padahal dia sudah ganteng, baik, pintar, kaya lagi. Cowok seperti San di dunia ini jarang sekali bisa ditemui. Pasti beruntung sekali jika ada gadis yang bisa menyangkut di hati cowok itu. Beruntungnya Nano bisa memiliki San sebagai teman yang hampir selalu bisa diandalkan.

Ngomong-ngomong, saat ini Nano tidak sengaja memandang ke ranjang sebelah, dan pada saat yang sama si Adi juga memandangnya. Refleks, Nano membuang muka ke lain arah dengan menunjukkan raut tak peduli. Tapi setelah itu ia balik lagi memandang ke tempat Adi.

Cowok itu terlihat menundukkan kepala dengan muka masam. Kedua orang tuanya seperti tengah membicarakan hal serius yang tak bisa ditangkap oleh telinga Nano.

Apa si Bayi Tua itu kena marah?

Sepertinya tidak, wajah ayah dan ibu Adi tidak memperlihatkan kemarahan. Justru sebaliknya, beliau berdua tampak begitu khawatir saat berbicara, walaupun Adi hanya menjawab dengan satu dua patah kata saja jika diperhatikan dari gerak bibirnya.

Dengan mata terpejam sekejap, Nano menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan lambat. Sepertinya acara minta maaf pada Adi ia lakukan nanti malam saja seusai bekerja.

Oh ya. Kemarin Adi mengirimkan pesan padanya melalui WhatsApp. Bocah itu meminta maaf padanya dan bilang kalau dia menyesali perbuatannya. Menurut kembaran Mira, itu hal yang baik. Keduanya sama-sama merasa bersalah, jadi nanti pas Nano dan Adi sama-sama mengutarakan maaf, masalahnya bisa cepat selesai dan mereka berdua bisa berdamai kembali seperti sebelumnya.

Tak hanya sekali atau dua kali saja Adi mengirimkan pesan, namun belasan kali. Tapi cuma Nano balas dengan singkat.

'Pria sejati nggak akan pernah minta maaf lewat WhatsApp.'

Tapi entah Nano yang salah karena ketikan pesannya yang mungkin bersifat multi-tafsir atau si Adi yang kelewat dungu, si Bayi Tua itu malah mengirim pesan permintaan maaf lewat Line, BBM, dan Facebook.

"Nak Marcel?"

Lagi-lagi Nano melamun di saat yang tidak tepat. Ia langsung tersadar begitu mendengar sebuah pita suara tak dikenal yang memanggil namanya. Bukan nama panggilan, melainkan nama depannya. Pada saat yang sama, kamar itu mendadak sunyi karena sekali lagi, seluruh pasang mata di sana tertumbuk pada Nano.

"Nak Marcel, bisa ke sini sebentar?"

Yang memanggil dirinya dengan nama 'Marcel' tadi ternyata wanita di samping ranjang Adi yang ia yakini sebagai ibu dari bocah itu.

Tapi kenapa ibu Adi memanggilnya? Nano mengerjap beberapa kali, memandang Mira dan San secara bergantian. Yang dipandang cuma bisa mengangkat bahu dengan kompak.

"Tante manggil saya?" tanya Nano memastikan sambil mengarahkan jari telunjuk ke dadanya sendiri.

"Iya. Kamu yang namanya Marcel kan, Nak? Kami mau bicara sebentar boleh?" tambah ayah Adi.

Kali ini Nano tak bisa menolak. Ia tersenyum kaku sambil menggosok-gosok tengkuknya sendiri, lalu berjalan gugup menghampiri tempat tidur Adi.

'Kenapa ayah dan ibu Adi tiba-tiba pengen ngobrol sama aku ya?' batin Nano gusar.

Setelah langkahnya berhenti tepat di samping ibu Adi, kembaran Mira itu berusaha untuk tersenyum lagi sambil berdoa supaya dirinya bisa menjaga sikap jika nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya. Ia sempat menatap tajam ke arah Adi selama beberapa detik tadi, sedangkan Adi malah tersenyum licik padanya.

"Nak Marcel," tanpa menunggu, ibu Adi langsung menyahut duluan, "Saya Yeni, dan ini suami saya, Romo. Kami orang tuanya Adi."

Dengan cepat, Nano bersalaman sambil mencium tangan beliau berdua. Tampaknya kedua orang tua Adi adalah tipe orang tua yang baik. Tampak sekali dari wajah Tante Yeni, ibunya Adi yang daritadi tersenyum cerah pada Nano. Hanya saja mungkin karena kendala pekerjaan saja yang membuat mereka jarang memiliki waktu untuk Adi.

"Ada apa ya, Om sama Tante manggil saya?"

"Om dan Tante... mau ngucapin banyak-banyak terimakasih sama Nak Marcel, karena selama ini udah mau ngejagain anak semata wayang kami saat kami nggak ada," jawab Om Romo.

"Sama-sama, Om. Sama sekali nggak masalah." Nano benar-benar menjadi canggung diginiin sama orang yang baru saja ia kenal. Karena pada kenyataannya menjaga Adi itu sungguh menyulitkan. Namun tidak mungkin ia berkata jujur di depan kedua orang tua Adi.

"Nak Marcel, Tante mau minta maaf sebelumnya. Tapi Tante punya satu lagi permintaan buat kamu."

Alis Nano terangkat. "Hm? Permintaan apa, Tante?"

Sekilas, Tante Yeni mengadu tatap dengan Om Romo, lalu kembali pada Nano. "Kata Adi, kamu satu-satunya temen deket yang Adi punya."

Perasaan Nano mendadak tidak enak saat Tante Yeni mengeluarkan kalimat barusan. Adi ternyata pembohong besar! Sialan! Memang sejak kapan mereka berdua menjadi teman dekat? Akrab saja tidak!

Secepat kilat, Nano memberi tatapan mematikan pada si Bayi Tua yang tampaknya bakal mempersulit hidupnya lebih parah dari sebelumnya.

Namun Nano tidak bisa berkelit. Ia cuma menelan ludah sambil membasahi kedua bibirnya, menunggu ibunya Adi melanjutkan.

"Besok lusa, Adi udah dibolehin pulang sama dokter. Tapi Om sama Tante sore ini udah harus berangkat ke Tokyo untuk menyelesaikan pekerjaan di sana. Jadi.... Tante mau minta tolooong banget sama kamu, Tante pengen kamu tinggal di rumah Tante buat ngerawat anak Tante selama dua minggu aja sampai Om sama Tante pulang. Nak Marcel mau kan?"

Sontak, mulut Nano menganga.

Tinggal di rumah Adi?

Merawat Adi?

SELAMA DUA MINGGU?!

FUCK!

Permainan macam apa lagi yang direncanakan Adi kali ini? Padahal ia baru saja berniat untuk meminta maaf pada bocah tersebut, dan niatnya langsung hilang begitu saja sekarang, berubah jadi kekesalan yang mulai menyeruak.

Gemas sekali rasanya, ia ingin mencakar-cakar wajah Adi sekarang juga.

Kenapa harus Nano? Memangnya di rumah bocah itu tidak ada pembantu?!

Tidak! Ini tidak boleh dibiarkan! Nano menghela napas panjang lalu tersenyum lebar supaya tak terlihat dibuat-buat.

"Um... gini Om, Tante, sebelumnya saya mau minta maaf. Dengan sangat terpaksa saya harus menolak pemintaan dari Om sama Tante. Soalnya saya harus menjaga adik saya yang juga masih sakit. Selain itu saya juga ada jadwal kuliah dan kerja yang tidak bisa saya tinggalkan," Nano berhasil bertutur dengan cukup tenang dan meyakinkan.

"Oh, Nak Marcel kerja? Kerja dimana kalau boleh Tante tahu?"

"Di minimarket Jalan Pangeran Diponegoro, Tante. Yang letaknya tepat di sebelah timurnya distro."

"Ha? Kamu beneran kerja di sana? Kebetulan sekali kalo gitu! Itu cabang minimarket di bawah manajemen perusahaan milik Melisa."

'Hold on! Kok Tante Yeni bisa tahu nama pemilik minimarket tempatnya bekerja?' Nano curiga dalam hatinya.

"Loh, kok Tante tahu Ibu Melisa?"

Ibu Adi terlihat makin ceria. "Tentu saja tante tahu, Melisa itu adik bungsu tante. Ya udah, biar gampang entar tante bilang ke Melisa kalau kamu mengambil cuti selama kamu merawat Adi. Tapi kamu tetap mendapat gaji penuh, sebagai ganti gaji kamu merawat anak tante. Gimana?"

Tuh kan! Yang namanya 'kebetulan' itu tidak pernah memandang tempat dan waktu! Kini kesempatan Nano untuk mengatakan 'tidak' terhadap permintaan orang tua Adi makin mengerucut.

Pandangan Nano beralih ke sisi lain ruang itu, dimana Mira dan San dari tadi menyimak pembicaraannya dengan seksama.

"Tante minta tolong banget, Nak. Soalnya selama ini Adi nggak punya temen yang bener-bener baik dan deket sama dia. Nanti kalau di rumah sendiri, dia bakal kabur lagi dan nggak mau pulang," pinta Tante Yeni memohon.

Kabur? Kenapa Adi kabur? Jadi selama ini Adi kabur dan ia mengalami kecelakaan semacam ini setelah kabur? Kok bisa?

Berbagai macam pertanyaan mulai hinggap di benak kakak kembar Mira. Sepertinya Adi punya masalah dengan orang tuanya.

Jujur, Nano tidak tega melihat ada orang tua yang memohon kepadanya seperti ini. Tapi di sisi lain, dirinya juga harus merawat adiknya sendiri yang beberapa hari lagi juga diperbolehkan untuk pulang.

"Maaf, tante. Tapi adik saya, Mira, juga butuh saya untuk menjaganya."

"Gini saja kalau begitu. Karena rumah tante hampir setiap hari kosong, cuma dihuni beberapa pembantu, kamu boleh membawa pulang Nak Mira ke rumah saya. Biar nanti kamu nggak terlalu kerepotan karena disana bakalan ada pembantu yang bisa bantuin buat ngerawat Adi dan adik kamu. Jadi kamu nggak perlu buang-buang uang dan tenaga untuk keperluan sehari-hari, biar Om sama Tante yang mengaturnya. Kamu juga bisa tetep kuliah kayak biasanya." tawar Tante Yeni.

Oke, pendirian Nano mulai goyah sekarang. Tawaran seperti itu memang cukup menyenangkan. Tidak perlu bekerja, cuma berada di rumah Adi dan merawat dia, kebutuhan makan dan sehari-hari terjamin, dapat gaji penuh lagi.

"Oh iya. Kalau emang agak susah, nanti biar jadwal pulangnya Adi disamain aja sama jadwal pulangnya adik kamu. Gimana, Nak? Tante mohoooon banget. Tante khawatir kalau Adi kabur lagi dari rumah."

"Ta-tapi.... memangnya tante nggak takut kalau diam-diam saya bawa teman saya ke rumah tante, lalu ada barang tante di rumah yang hilang? Mmm, kenapa tante bisa percaya banget pada saya?" Nano mengutarakan keraguannya secara langsung. Ia takut kalau nanti selama berada di rumah Adi, ada barang hilang. Takut kalau dirinya dituduh yang tidak-tidak. Dan identitas Nano pasti bakal mudah dicari karena ia bekerja di tempat yang dikelola oleh adik dari Tante Yeni sendiri.

"Tante percaya kok sama kamu. Lagian kalau ada barang yang hilang juga nggak masalah. Tante yakin kamu anak yang baik. Toh barang juga masih bisa dibeli lagi. Tapi anak tante cuma satu dan nggak bisa digantiin dengan apapun. Sekali lagi, tante mohooon banget sama kamu."

Tante Yeni meraih kedua tangan Nano lalu meremasnya dengan lembut. Wanita itu tampak sangat tulus.

Seorang ibu jika memang sayang dengan anaknya, ia pasti akan merelakan pekerjaannya demi menjaga buah hati. Tapi di sisi lain, Tante Yeni bekerja dan mencari uang juga untuk Adi, untuk masa depan Adi.

Nano merasakan hal itu. Orang tua Adi rela bersusah payah bekerja dan berpindah tempat ke sana-sini, asal anaknya nanti dapat hidup dengan tenang di masa depan. Walaupun tampaknya hal ini membuat Adi kekurangan kasih sayang dari orang tua, dan kesannya terlalu dimanjakan dengan uang.

Ia ingin mengutarakan pemikiran itu kepada beliau berdua, bahwa uang tidak bisa menjamin kebahagian hidup seseorang. Tapi kalau Nano memberitahu beliau berdua tentang hal ini, ia pastinya akan dianggap lancang.

Baiklah, setelah ditimbang-timbang, tawaran dari Tante Yeni cukup menguntungkan dirinya. Ia bisa lebih fokus lagi dengan kuliahnya.

Setelah lama bergulat dengan pikirannya sendiri dan menimbang-nimbang antara resiko dan keuntungan yang akan dia dapatkan, Nano akhirnya membuat keputusan yang mungkin akan merubah jalur hidupnya nanti.

"Baiklah kalau begitu. Saya bisa menyanggupi permintaan tante."

Langsung saja ibunya Adi itu menghambur memeluk Nano sambil mengucapkan terimakasih beberapa kali. Om Romo juga mengucapkan hal yang sama.

Dari atas ranjang, Adi terlihat begitu senang dengan raut kemenangan yang terpahat jelas di muka tampannya. Dan Nano benci itu. Karena bisa dipastikan kalau Adi sekarang sedang merencanakan sesuatu untuknya, entah apa dan untuk apa. Ia hanya berharap semoga keputusannya kali ini tepat.

Mira dan San menyaksikan semuanya. Adik kembar Nano tampak bingung dengan apa yang barusan ia dengarkan. Ia tak keberatan sama sekali akan keputusan Nano. Karena Mira selalu yakin kalau apa yang baik untuk kakaknya, pasti juga baik untuk dirinya. Tapi ini agak mencurigakan.

Sedangkan San....

Entahlah... Ekspresi cowok itu sulit ditebak sekarang. Tapi rahangnya jelas sekali nampak tegang, tanda kalau San sedang menahan emosi seperti mau marah. Bahkan kedua tangannya mengepal erat. Kedua matanya tampak menatap tajam dengan wajah tak berekspresi. Tapi bukan Nano yang mendapatkan tatapan dari San, melainkan Adi. Karena San tahu kalau Adi memang menyukai Nano.

Tidak, San yakin kalau dirinya tidak cemburu. Mungkin lebih tepatnya San meyakinkan diri sendiri kalau apa yang dirasakannya bukanlah rasa cemburu. Dan ia tidak akan membiarkan Nano jatuh ke dalam perangkap Adi begitu saja. Ia ingin melindungi Nano dari hal apapun yang mengancam temannya itu.

.
.
.


(Bersambung....)


Previous Chapter | Next Chapter


.


.


.


.


.



Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)