Never Let You Go (Bab 12)
Melihat Mira yang sudah terpejam di atas tempat tidur dengan hembusan napas yang teratur, Nano merapikan kembali selimut yang membungkus tubuh adiknya itu hingga ke leher supaya Mira tidak merasa kedinginan. Ia begitu menyayangi adik semata wayangnya yang memiliki rupa hampir mirip dengannya. Mungkin kalau Nano memiliki rambut panjang, pasti orang-orang bakalan agak sulit untuk membedakan saudara kembar itu.
Pada saat yang sama, mulut kakak dari Mira itu terbuka lebar, menguap dan menghirup udara di sekitarnya, lalu mengucek matanya sendiri. Jarum pendek jam dinding ruangan itu sudah mengarah ke angka dua belas, dan jarum panjangnya berada di antara angka dua dan tiga. Sudah pasti ia mengantuk, apalagi dirinya juga baru pulang dari kerjanya sekitar dua jam yang lalu. Ingin rasanya ia membaringkan tubuh letihnya ke atas sofa kecil di pojokan dan terlelap di sana seperti malam-malam sebelumnya.
Tapi ia tidak bisa. Lebih tepatnya, Nano belum boleh tidur, karena ia ada janji untuk ngobrol dengan si Bayi Tua di atap gedung rumah sakit jam 12. Nano sendiri yang memintanya lewat pesan singkat, karena setelah kejadian tadi siang, ada banyak hal yang harus dibicarakan dan diluruskan.
Ngomong-ngomong, ini sudah lewat dari waktu yang mereka sepakati sih, tapi Nano tidak peduli jika dirinya terlambat. Toh bocah itu juga tidak ada di kamar ini sejak dirinya tiba di sini sepulang kerja. Bocah nakal itu pasti sedang menikmati beberapa batang rokok di atap gedung ini, seperti beberapa waktu yang lalu.
Karena tubuhnya merasa tidak nyaman, sebelum naik ke atap Nano memutuskan untuk melepas seragam kerjanya yang sudah terasa agak lengket karena keringat. Tadi sore ada pengiriman barang dari gudang utama perusahaan, dan Nano yang bertugas untuk mengangkutinya ke dalam gudang minimarket. Walaupun ia dibantu oleh rekan-rekan kerjanya, tapi tetap saja melelahkan, karena kali ini barang yang datang jumlahnya cukup banyak. Dan Nano tetap merasa bersyukur karena ia masih dapat merasakan letih hari ini, yang tandanya kalau ia benar-benar bekerja keras.
Setelah menggantung seragamnya pada gantungan di dekat pintu kamar mandi, Nano kembali tanpa memakai atasan. Kulitnya tampak putih dan mulus walaupun tak begitu berotot seperti badan Adi.
Kembaran Mira itu menghampiri lemari kecil di bawah meja. Sambil berjongkok, Nano mengambil satu potong kaos berwarna kuning dari beberapa pakaian yang sudah lama ia siapkan di sana.
"Marcel...," panggil seseorang dari arah pintu. Dari suaranya terdengar berat dan familiar di telinga, dan cuma satu orang yang memanggilnya dengan nama 'Marcel'. Pasti itu Adi.
Nano memutuskan untuk pura-pua tuli. Dia tak menggubris panggilan Adi dan memilih untuk membentangkan kaos yang akan ia kenakan. Ia tahu kok dirinya terlambat menemui Adi di atap gedung sampai-sampai cowok itu turun lagi ke kamar. Tapi tetap saja, kekesalannya terhadap Adi mengenai kejadian tadi siang masih mengganjal di pikirannya.
Dari sudut pelupuk matanya, Nano diam-diam memerhatikan sosok bocah itu yang kini mulai melangkah perlahan mendekati tempat dimana dirinya berdiri. Hingga bocah SMP itu berhenti tepat di samping kanannya.
Belum sempat memasangkan kaos di badannya, kakak kembar Mira itu terkejut saat tangan dingin Adi menyentuh pundak kanannya, lalu membalikkan tubuh Nano hanya dengan satu gerakan lembut.
Sekarang mereka berdua berhadapan, saling mengadu pandang walaupun Nano harus sedikit mendongakkan kepala untuk dapat melihat wajah rupawan yang dimiliki bocah itu. Sorot mata Adi yang sayu, entah kenapa membuat mulut Nano yang hendak mengomel jadi mengurungkan niatnya. Bibirnya terbuka sedikit, tapi tak mampu berbicara. Padahal semua omelan yang ada di dalam benaknya sudah berada di ujung bibir dan siap untuk ia lontarkan.
Namun ada sesuatu di mata cokelat bocah SMP bertubuh jangkung itu yang tak bisa diartikan olehnya. Sesuatu yang sepertinya berkaitan dengan dirinya, tapi tak bisa ia tebak sama sekali.
Seolah memberikan efek hipnotis, pandangan Adi menatap lurus kedua bola matanya dalam waktu yang cukup lama. Bahkan dirinya masih belum sadar jika tangan kiri Adi masih berdiam di pundak kanannya dengan ibu jari yang sedikit bergerak-gerak di sana.
"Pake dulu baju kamu, Cel. Nanti dingin," tutur Adi lembut sambil tersenyum teduh, membuat Nano langsung mengerjap beberapa kali lalu menepis tangan cowok itu dari pundaknya sambil buang muka.
Nada bicara Adi yang berubah jadi perhatian seperti itu membuat Nano risih setengah mati. Ia buru-buru mengenakan kaos setelah berbalik badan untuk menyembunyikan wajahnya yang mendadak bersemu tanpa alasan.
Mungkin karena Adi jarang bertingkah lembut di depannya, jadi dirinya secara tidak sadar bereaksi seperti tadi. Dan sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal yang tidak penting seperti ini karena ia harus mempersiapkan diri untuk ngobrol dengan Adi.
Begitu selesai merapikan kaos yang melekat di badannya, ia berbalik dan sedikit terheran melihat senyum teduh di wajah Adi masih belum pudar juga, membuat Nano bingung. Bahkan ia sempat mengira kalau cowok SMP itu mungkin baru saja kesurupan setan rumah sakit.
"Kamu nggak pake jaket? Di atap sana dingin loh."
"Nggak usah. Aku lagi gerah sekarang," tukas Nano dengan singkat dan ketus.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, kembaran Mira itu berjalan duluan keluar kamar dengan langkah lebar, diikuti Adi yang mengekor di belakangnya. Dirinya cukup lelah dan mengantuk saat ini, jadi sebisa mungkin Nano akan membuat obrolannya dengan Adi berlangsung cepat supaya ia bisa mengistirahatkan tubuhnya.
Setibanya di atap, Nano menghentikan langkahnya di tempat yang dulu ia gunakan untuk ngobrol dengan Adi. Sedangkan si Bayi Tua kini berdiri di sisi kirinya sambil menunduk menatap lantai atap gedung.
Udara di atas sini memang dingin. Tapi karena Nano yang dari tadi gerah hanya merasakan angin malam yang berhembus tak lebih dari angin sore yang bertiup sepoi-sepoi.
"Cel," panggil Adi.
"Hm?"
"Kalo dipanggil, noleh kek."
Tuh kan? Adi itu masih bocah. Tadi sikapnya baik dan sok perhatian, sekarang kembali lagi ke mode 'rese'.
Nano menghela napas berat, lalu menoleh sambil melipat kedua lengannya tanpa memberi balasan secara lisan.
Ia bisa melihat wajah seriusnya Adi yang juga menoleh padanya. Tampak hanya sisi kiri wajahnya yang mendapatkan cahaya dari lampu-lampu dari bawah gedung, menegaskan fakta bahwa wajah Adi memang ganteng tapi tidak pasaran.
"Aku punya banyak salah sama kamu. Aku mohon, kamu mau maafin aku, Cel," Adi melangkah mendekati Nano, menyisakan jarak sekitar setengah meter saja di antara mereka berdua.
"Kamu mau minta maaf soal yang mana? Ngomong satu-satu," ketus Nano lagi.
"Oke! Aku salah! Aku minta maaf udah buat keributan kemarin sore. Aku juga minta maaf soal tadi siang. Aku harap kamu bisa maafin aku."
Dengan raut wajah menyebalkan, Nano mengangguk. "Kalo soal kemarin sore, aku bisa maklumin. Tapi....."
"Tapi apa?"
Lagi-lagi, cowok bernama lengkap Marcelino Akshara itu menghela napas untuk ke sekian kalinya.
"Kamu ini kenapa sih pake nyuruh mama kamu minta tolong ke aku buat ngerawat kamu?! Hah?!" Nano mulai meledakkan emosinya.
"Kan cuma ngerawat aku doang. Apa susahnya sih, Cel?!" balas Adi tak kalah nyolotnya.
Sialan!
Kenapa Adi ikutan ngomong pakai urat? Yang seharusnya marah itu kan Nano, bukan dia.
"Nggak usah nyolot gitu dong! Yang berhak marah sekarang itu aku! Bukannya kamu, Di! Keluarga kamu kan kaya, banyak duit, bisa nyewa puluhan pembantu sekaligus buat ngerawat kamu! Terus, kenapa kamu bo'ong sama mereka dan bilang kalo kita temen deket?! Emang sejak kapan kita deket?! Jangan tolol deh! Kamu nggak bisa ya, sekali aja, nggak ngelibatin aku sama masalahmu?!"
"AKU EMANG CUMA COWOK TOLOL DI MATA KAMU! DI MATA SEMUA ORANG!"
Sontak, Nano kicep. Respon Adi yang demikian tak pernah ia perkirakan sebelumnya. Bahkan ia bisa mendengar nada suara cowok itu sedikit bergetar, membuat kakak kembar Mira itu bingung.
Perlahan, Adi jatuh terduduk dengan kedua lengannya yang bertumpu pada lututnya sendiri.
"Aku emang nggak pernah bisa bener milih temen dari dulu, sampe orang-orang brengsek pun aku jadiin temen," lirih Adi.
Kening Nano berkerut karena ucapan Adi yang tiba-tiba membahas masalah pertemanannya sendiri. Mungkin Adi sedang ingin menceritakan sesuatu padanya. Tapi kan ia masih marah sama cowok itu. Masak dia musti ikutan duduk sih?
Tidak! Itu tidak perlu. Kalau cowok itu ingin bercerita, silahkan saja. Nano bakal mendengarkan, tapi ia tetap berdiri di tempatnya.
"Kamu nggak akan ngira kehidupanku selama ini kayak gimana, Cel."
"Ngomong sesuatu jangan dipotong-potong kek," gerutu Nano. Dalam hati, ia geregetan, ingin segera mengetahui hal apa yang hendak dicurahkan oleh Adi.
"Aku kecelakaan gini karena temen-temen aku, Cel. Mereka anak-anak dari klub balapan motor liar. Aku udah lama temenan sama mereka sehabis aku gabung disana. Tapi aku malah ngebiarin orang-orang biadab itu ngerusak kepercayaan aku ke mereka. Aku emang tolol banget kan?" ucap cowok itu tersenyum pahit lalu menunduk lagi.
Nano kembali kicep mendengar pengakuan Adi barusan. Ternyata ada banyak hal yang disembunyikan oleh bocah itu dari dirinya.
Melihat Adi yang terpuruk begitu langsung membuat pendirian Nano goyah.
Payah!
Pada dasarnya, Nano memang punya satu hal yang menjadi titik kelemahannya selama ini, yaitu mudah iba. Karena setiap melihat orang lain bersedih, pada saat itu juga, Nano merasa seolah-olah dirinya juga mengalami sendiri musibah yang menimpa orang tersebut.
Setelah merenung beberapa saat, akhirnya Nano menyerah. Ia pun ikut duduk di samping Adi, menunggu cowok itu melanjutkan kembali.
"Aku satu-satunya cowok di sana yang usianya masih SMP, Cel. Tapi aku nggak peduli. Aku nggak betah di rumah. Aku cuma mau senang-senang sambil buang-buang uang buat balapan liar. Lalu kecelakaan waktu itu terjadi."
'Salah sendiri, ngapain pake ikut-ikutan balapan liar segala?' batin kembaran Mira memprotes, karena baginya, orang-orang yang ikut-ikutan hal semacam itu tak sayang dengan nyawa dan uang mereka sendiri. Tapi makin ke sini, Nano makin ingin tahu kehidupan cowok SMP itu selama ini seperti apa.
"Awalnya mereka udah tau kalo keluargaku kaya. Karena mereka bilang lagi butuh duit banyak buat bangun gedung markas baru yang lebih besar, mereka nyuruh aku buat minta uang sama bokap nyokap. Dapet sih uangnya, tapi nggak sebanyak yang mereka pengen. Mereka terus ngedesak aku, maksa aku, tapi aku udah nggak bisa minta uang lagi," Adi menunda ceritanya sambil mendesah.
Raut mukanya tampak begitu menyesal.
"Abis itu mereka gebukin aku. Aku dikeroyok rame-rame sampek babak belur lalu aku dikunci dalam gudang markas. Aku udah nggak bisa ngapa-ngapain. Kayak udah hampir mati, Cel. Dompet sama kunci motorku diambil, aku juga pas nggak bawa hape, aku nggak bisa kemana-mana lagi. Bahkan aku denger dari mereka kalo aku mau dijadiin umpan buat nguras harta bokap sama nyokap. Waktu itu aku udah buntu banget, nggak berdaya."
Hati Nano mencelos. Ia tak menyangka kalau cowok itu mengalami masalah sepelik ini. Maksudnya ini benar-benar tindakan kriminal.
"Untungnya pas malemnya, kayaknya pas dini hari sih, tuh markas ditinggal soalnya ada jadwal balapan liar. Aku hafal jadwalnya. Bodohnya, nggak ada seorang pun yang jagain markas. Jadi mumpung nggak ada yang jaga, aku nyoba kabur. Aku nyari apa aja di dalem gudang itu yang bisa aku gunain, lalu aku nemu kapak yang kayaknya biasa dipake buat tawuran."
"Terus?" timpal Nano yang sungguh penasaran.
Adi menatap Nano sekilas lalu kembali menunduk.
"Karena tenaga aku sedikit pulih meski tubuh masih ngerasa nyeri di sana-sini, aku nyoba ngerusakin pintunya. Setelah berhasil keluar, aku lari ke depan. Motorku masih berada di sana. Lalu aku langsung kabur dari tempat itu naik motorku sendiri pake kunci cadangan yang kebetulan aku bawa. Aku nggak bisa nyetir jauh-jauh, soalnya udah mau pingsan rasanya. Akhirnya aku putusin buat nyetir motor ke rumah Om Jaka yang jaraknya lumayan deket. Pas aku nyampek di persimpangan depan rumahnya Om Jaka, aku udah oleng duluan."
"Kok kamu bisa kebetulan bawa kunci cadangan?" celetuk Nano tanpa sadar. Ia menyesal sambil menepuk-nepuk bibirnya.
Adi kembali menoleh padanya sambil tersenyum kecil. Ia menahan tangan Nano supaya berhenti menepuki bibir.
"Udah, nggak apa-apa. Beruntung banget hari itu pas sebelum berangkat ke markas, pembantu aku nemu kunci cadangan yang katanya ada di bawah kulkas, dan pas hari itu juga ada orang yang rencananya mau beli motor aku. Jadi ya aku bawa aja."
Nano cuma manggut-manggut. Sulit sekali berada di posisi Adi. Ingin rasanya ia mengusap punggung cowok itu sebagai wujud simpati. Tapi rasa gengsinya masih besar.
"Kamu juga sih yang salah. Ngapain pula pake ikutan geng balapan apalah itu."
"Kan aku udah bilang, aku nggak betah ada di rumah."
"Kenapa nggak betah? Bukannya keluarga kamu kaya? Pasti rumah kamu besar dan mewah. Kalo aku jadi kamu, mending aku diem di rumah aja sambil main PS."
"Gimana bisa betah kalo rumah sendiri berasa kayak kuburan? Hampir setiap hari sendiri mulu. Apalagi bokap sama nyokapku mau cerai. Aku kayak anak yang nggak diinginkan. Untung aja di geng motor aku nggak sampek nyobain kek narkoba atau semacamnya," balas Adi tenang sambil tersenyum pilu pada garis hidupnya sendiri. "Aku jadi keliatan menyedihkan banget ya, Cel."
Tentu saja Nano terkejut. Ia tak menyangka kalau akar utamanya adalah orang tua Adi yang akan bercerai. Mungkin hal ini juga lah yang membuat cowok SMP itu sempat melakukan percobaan bunuh diri.
Tapi tadi siang beliau berdua terlihat akrab-akrab saja. Tidak terlihat ada permusuhan satu sama lain.
Memang sih, dalam beberapa kasus perceraian, ada yang di sepakati oleh kedua belah pihak, jadi mereka berpisah secara baik-baik.
Kembaran Mira itu mendesah pelan. Sebuah bukti nyata di depan mata mengenai uang yang ternyata tidak bisa menjamin kebahagiaan hidup seseorang.
Adi memang berasal dari keluarga yang hidupnya lebih dari berkecukupan. Dari luar ia akan terlihat seperti seorang pangeran yang diidam-idamkan oleh para gadis. Namun jika di telusuri hingga ke dalam, mereka tidak tahu kalau cowok itu hampir koyak. Beruntung cowok itu tidak sampai menyetuh obat-obatan terlarang.
Karena Nano berpikir bukan saatnya untuk gengsi, dia mendekatkan dirinya pada Adi lalu mengulurkan tangan kirinya untuk mengusap punggung cowok itu. Memberinya ketenangan walaupun sedikit.
"Maaf ya, Di. Aku baru tahu soal ini. Aku yakin kamu bisa kok ngatasin ini semua. Mereka udah ditangkep polisi kan?"
"Udah kok. Kata Om Jaka semua udah diurusin. Makasih ya, Cel. Sebelumnya aku ngerasa kalo aku udah nggak ada gunanya hidup. Denger bokap nyokap mau cerai bikin aku malu sama diriku sendiri. Rasanya kayak aku itu jadi anak yang gak diinginkan dalam pernikahan mereka. Sampe-sampe aku mikir, mungkin mati aja biar semua kelar. Lalu kamu muncul dan ngasih aku semangat hidup lagi, Cel."
Nano membalasnya dengan seulas senyum. Ia tak menyangka kalau pertolongannya untuk Adi waktu itu bakal berdampak besar hingga berhasil mengubah cara pandang cowok SMP itu hingga seperti ini.
"Aku cuma pengen kamu selalu di samping aku Cel. Jadiin aku jongos lah, budak lah, terserah kamu. Aku mau. Yang penting aku bisa ketemu dan ngobrol sama kamu tiap hari, itu udah cukup kok buat ngebangkitin semangat hidup aku."
Wajah Nano mendadak diliputi keharuan mendengar ucapan cowok itu yang terdengar begitu sekarat.
Adi cuma bocah yang membutuhkan kasih sayang sungguhan. Membutuhkan orang-orang yang menghargai dirinya dan membangkitkan gairah hidupnya.
Naluri keibuan dari Nano, yang biasa muncul saat merawat Mira, kini terbangun kembali begitu melihat Adi yang sedang terpuruk karena masalah hidup yang pelik. Tanpa sadar, dia melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Adi dari samping lalu mengelus tulang rusuknya.
"Nggak perlu jadi jongos, nggak perlu jadi budak. Kamu tetep bisa ketemu dan ngobrol sama aku tiap hari. Selama kamu punya kemauan untuk hidup, Di. Selama kamu mau berubah jadi lebih baik."
Adi yang masih membeku di pelukan Nano akhirnya balas merangkul cowok yang telah menundukkan hatinya itu sambil menyembunyikan tangisan bisunya di ceruk leher Nano.
.
.
.
.
.
.
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say