Never Let You Go (Bab 13)

Bab 13
What is Love?






Hari ini Nano tidak ada jadwal kuliah. Kerja juga kebetulan dapet jatah libur. Jadi yang bisa dilakukan Nano cuma duduk santai di sofa kecil dalam kamar rawat inap Mira dan Adi sambil main ponsel. Cuma buka YouTube, menonton beberapa video secara acak untuk menghabiskan kuota internetnya yang masih banyak.

Ini masih terlalu pagi untuk pulang dan mandi, matahari pun masih belum terlalu tinggi, jadi tak masalah jika ia sedikit bermalas-malasan sebentar saja.

Di samping kanannya ada Adi yang sudah sejak tadi merebahkan tubuhnya sambil bermain game dengan paha Nano sebagai bantalnya. Cowok itu sudah hampir sembuh, sudah mengenakan pakaian kasual ala anak rumahan, dan bahkan sudah bisa berjalan sendiri walaupun masih agak tertatih dan beberapa bagian wajahnya juga masih terdapat beberapa lebam yang sudah tampak samar. Tapi si Adi sudah tak lagi mendapatkan perawatan khusus dari Om Jaka.

Sedangkan Mira masih perlu dirawat disini. Adik Nano itu sekarang masih bobo cantik di tempatnya.

"Cel," panggil Adi tiba-tiba setelah cowok itu menyelesaikan game-nya. Ia memandangi wajah Nano dari bawah dengan seksama. Cowok SMP itu tersenyum sesekali sambil menikmati waktu yang ia miliki bersama Nano. Kalau bisa, ia ingin menghentikan waktu saat ini juga, menahan momen seperti ini lebih lama.

"Hm? Apaan?"

"Sophie itu mantan kamu?" tanya Adi terus terang tanpa berpikir panjang.

Sekilas, Adi menghentikan aktivitasnya lalu menoleh pada Adi dengan raut bingung. "Maksudmu?"

"Ya aku cuma nanya doang. Beneran dulu kamu pernah pacaran sama Sophie?"

"Kok kamu bisa tau?"

Si Adi meringis. "Kan kita udah temenan di Facebook? Aku udah ngecek timeline-mu dan nemuin status berpacaran & status lajangmu disana."

Alis kembaran Mira itu mengernyit. "Loh? Emang sejak kapan kita temenan di Facebook? Perasaan temen-temen Facebook-ku cuma orang yang aku kenal doang..."

Tak disangka Nano bakal berpikir sejauh itu, membuat Adi memutar otak untuk mencari alasan supaya cowok itu tidak curiga kalau dirinya dulu pernah satu kali melanggar privasi Nano dengan menjelajahi isi ponselnya.

"Y-ya mana aku tau? Mungkin udah lama kali kita temenan di Facebook."

Nano mendesah panjang lalu menaruh ponselnya di atas meja. "Iya, emang bener sih. Tapi itu dulu. Kan sekarang dia udah sama kamu."

"Itu dulu. Kan aku udah mutusin dia," balas Adi dengan kalimat hampir mirip sama yang diucapkan Nano barusan, membuat si kembaran Mira jengkel lalu menoyor kepala Adi.

"Ya udah. Bagus deh kalo kamu udah tau," tukas Nano sekenanya.

"Kamu masih suka sama dia?" cowok SMP itu kembali bertanya.

"Dikit."

"Mending kamu jangan deket-deket sama cewek kayak dia, Cel."

"Kok kamu jadi ngatur-ngatur gitu? Terserah aku dong mau suka sama siapa," balas Nano kesal.

Adi mendengus sambil memasukkan ponselnya sendiri ke dalam saku celana pendeknya.

"Ini cuma saran doang, Cel. Nggak perlu judes gitu juga kali. Lagian kamu kan sekarang udah tau sifat aslinya dia abis kalian putus. Aku cuma ga mau kamu jatuh lagi ke lubang yang sama."

Betul juga sih apa kata si Bayi Tua. Nano jadi tau kalau ternyata dulu Sophie diam-diam sudah menjalin hubungan dengan Adi ketika mereka berdua masih pacaran. Cewek itu bukan tipe cewek setia.

"Iya... Iyaaaa... Bawel!"

Mendengar hal itu, Adi terkekeh senang. Ia melingkarkan kedua lengannya di pinggang Nano, sambil menyembunyikan wajahnya di depan perut kembaran Mira itu, membaui tubuh cowok yang disukainya. Walaupun Nano belum mandi, tapi baunya masih harum, dan Adi suka.

Di mata Nano, tingkah Adi mulai berubah akhir-akhir ini. Perilaku menyebalkannya sudah mulai berkurang, berubah menjadi cowok manja, walaupun masih sulit diatur. Ia paham kalau segala tindakan cowok SMP itu semata-mata hanya untuk membuatnya nyaman dan mendapatkan perhatian darinya.

Itu bagus. Yang penting tingkah gila Adi sudah mulai berkurang.

Melihat Adi yang begini membuat Nano geli, rasanya seperti memiliki adik cowok.

"Cel, thanks ya," celetuk Adi yang masih menduselkan kepalanya di perut Nano.

"Thanks buat apa?" tanya Nano sambil memegangi kepala Adi yang deru napasnya sesekali membuat perutnya terasa geli.

"Buat semuanya. Kamu udah aku anggep kayak adik aku sendiri." balas Adi jujur sambil menunjukkan wajahnya kembali dengan senyum yang mengembang.

Semena-mena, Nano segera menghujani cowok SMP itu dengan pukulan.

"Yang harusnya bilang gitu tuh aku! Blo'on! Yang lebih tua tu aku!" seru Nano.

Yang dipukul malah tertawa girang sambil balas menggelitiki perut Nano, kemudian melompat dari sofa dengan cepat, menghindari pukulan Nano berikutnya. Mereka berdua berdiri dengan napas terengah-engah.

"Loh? Emang aku salah? Kan diliat dari fisik aja udah keliatan, Cel, mana yang gede, mana yang kecil," goda Adi lagi sambil memainkan kedua alisnya.

"Sialan! Bocah lancang! Awas kamu!" ancam Nano lalu mereka berdua kembali bergumul seru dia atas sofa yang kecil itu.

Sebenarnya cowok SMP itu memang berniat menggoda Nano. Tapi ucapannya kali ini jujur ia katakan dari hati. Ia bahkan sudah menganggap Nano lebih dari sekedar sorang adik.

Adi? Jadi adik Nano?

Hal semacam itu takkan pernah ada di dalam kamus hidupnya.

-
* * *
-


Sambil sesekali menyesap kopi susu hangatnya, Nano melempar pandangan ke seluruh sudut kafe itu. Desain interior yang di dominasi oleh perabotan berbahan kayu mahoni dan jati, suasananya terasa begitu nyaman dan menenangkan. Ditambah hiasan dinding berupa pot-pot kecil yang di tata secara simetris di setiap pojok ruangan menambah kesen asri dan bikin adem, walaupun ukuran tempatnya tak seluas kafe-kafe biasanya.

Terletak di salah satu sudut perempatan di pusat kota, dekat sama lokasi rumah sakit dan pasar swalayan, juga halaman parkir yang cukup luas dan koneksi wi-fi yang lancar, membuat kafe ini cukup strategis untuk sekedar jadi tempat ngumpul sama taman atau menghabiskan waktu sendirian.

Akan tetapi siang hari ini Nano tidak sendirian. Dia sudah berada disana bersama Adi.

Yup! Si Bayi Tua itu. Dia bersikeras untuk ikut walaupun Nano sudah menolaknya dengan cara halus sampai cara kasar. Tapi cowok itu tetap ikut dengan alasan ingin menjaganya. Ia bahkan sudah berpakaian sesantai mungkin namun masih terlihat stylish. Well, mau pakai baju apapun Adi emang tetap terlihat rupawan. Dan tetap saja menyebalkan. Padahal Nano kesini cuma mau ngobrol sebentar dengan Mas Guntur.

Tapi... Adi yang ingin menjaga Nano?

Alasan konyol macam apa itu? Tubuhnya saja masih belum sepenuhnya sembuh. Tangan kanan dan kaki kanannya saja masih di balut perban. Dan pada akhirnya Nano mengalah dengan sangat amat terpaksa. Lebih tepatnya dipaksa.

Lihat saja sekarang! Cowok itu dengan santainya menyandarkan kepalanya di pundak kiri Nano sambil bermain game tanpa mempedulikan beberapa pasang mata pengunjung kafe yang menatap mereka dengan penasaran.

"Kayak anak kecil aja! Tiap menit kerjaanya cuma main game mulu!" dengus Nano.

"Kamu belum tau aja gimana asyiknya main game. Hape kamu kan kagak ada game sama sekali," balas Adi tanpa melepaskan fokus dari layar ponselnya.

Nano terusik. Kok Adi tau?

"Darimana kamu tau kalo hapeku ga ada aplikasi game—"

"Sorry, No. Baru dateng," Mas Guntur tiba-tiba sudah datang dan mengambil tempat duduk di samping Nano, membuat cowok itu mengalihkan perhatiannya dari Adi.

"Oh, Mas Guntur. Gak apa-apa kok. Santai aja. Lagian juga pasti Mas lagi repot sama kerjaan," balas Nano.

Mas Guntur tersenyum kecil. "Aku bakal ngeluangin waktu buat kamu, No, selama itu memungkinkan. Kamu udah aku anggep adik aku sendiri. Jadi jangan sungkan."

Mendengar hal itu, kembaran Mira cuma bisa meringis kecil karena teringat perkataan Adi yang juga sama menganggapnya adik.

Sekarang siapa lagi yang juga berpikir untuk menjadikan Nano sebagai adik? Masih adakah orang di luar sana yang diam-diam memiliki pikiran yang sama seperti dua cowok yang sekarang lagi duduk satu meja bersama Nano?

Bodo amat lah! pikir Nano tak mau ambil pusing.

Setelahnya, Mas Guntur memesan sesuatu pada salah satu gadis muda yang menjadi waitress disini. Saat menulis pesanan dari Mas Guntur, cewek itu tanpa sadar mesam-mesem memperhatikan gerak-gerik Adi terhadap Nano yang tampak begitu akrab dan cenderung mesra.

Karena risih diperhatikan seperti itu, Nano buru-buru menjauhkan kepala cowok SMP itu dari pundaknya. Ia cemas. Jangan-jangan bukan cuma si waitress itu yang memperhatikan dia dan Adi.

"Gak usah nempel-nempel gitu, ah! Malu diliatin orang!" gerutu Nano sambil celingak-celinguk meliat suasana sekitar setelah si waitress pergi.

"Kenapa? Nggak usah peduli sama orang lain. Toh kita juga kagak ganggu mereka, kenal juga enggak," balas cowok SMP itu lalu kembali nyender.

"Sekali enggak, tetep enggak!" Nano bersikeras menjauhkan kepala Adi darinya.

Tiba-tiba, cowok itu malah mengumpat. "Ah! Sialan! Gara-gara kamu nih, Cel! Aku jadi kalah kan!"

"Wkwk! Rasain!" Nano terbahak puas. Kelucuan tingkah mereka berdua tak ayal membuat Mas Guntur ikutan terkekeh pelan.

Adi menautkan alis dengan sebal lalu menutup aplikasi game-nya dan menyimpannya dalam kantong celana. Sesaat, ia baru menyadari kehadiran Mas Guntur di meja itu.

"Loh? Baru dateng, Mas?" tanya Adi

"Iya, Di. Baru aja sampek. Oh iya, No. Kamu mau ngomongin apa?" tanya Mas Guntur.

"Itu... Anu... Mm....," Nano bingung mau memulai darimana. Pasalnya, kembaran Mira itu mau bertanya apakah Mas Guntur sudah mendapatkan info dari Bu Melisa selaku pemilik minimarket tempatnya bekerja, perihal dirinya yang tidak akan masuk kerja selama dua minggu untuk merawat Adi yang tak lain merupakan keponakan Bu Melisa.

Hingga akhirnya, Mas Guntur kembali menyeletuk. "Oh iya, No. Kemarin aku dapet kabar dari Bu Melisa."

Nah! Itu dia!

"Kabar apa, Mas?" tanya Nano dengan berpura-pura menampakkan ekspresi aku-nggak-tahu.

"Katanya mau ada karyawan yang bakal dipindahin ke minimarket kita. Dan katanya lagi....," Mas Guntur menjeda ucapannya sesaat dengan ragu-ragu.

"Lalu apa lagi, Mas?"

Bosnya itu cuma menghela napas dengan mimik muka yang sendu. "Katanya.... kamu.... harus diliburkan selama dua minggu, No."

Oh, syukurlah. Nano bernapas lega. Jadi ternyata semua tawaran Bu Yeni dan Pak Romo, orangtua Adi, itu sungguhan dan bukan mengada-ngada.

"Iya, Mas. Jadi gini ceritanya....,"

Nano mulai menceritakan secara detail tentang informasi dari Bu Melisa, mengenai dirinya yang secara langsung dimintai tolong oleh kakak perempuan Bu Melisa, yang tak lain merupakan Ibunya Adi, untuk merawat cowok SMP itu. Kembaran Mira itu menjelaskan sejelas-jelasnya.

Adi yang dari tadi menyilangkan lengan di dada cuma bisa mendengarkan saja sambil sesekali meneguk susu soda di depannya.

Pada akhirnya, Mas Guntur pun mendesah, wajahnya kembali cerah. "Oh, gitu! Pantesan kamu biasa aja pas aku bilang kalo kamu diliburin selama dua minggu. Hahhh.... Jadi lega rasanya. Aku pikir kamu mau di PHK atau gimana. Kamu bikin aku resah aja, No."

"Hehe. Sorry, Mas. Aku mau ngomong sama Mas Guntur juga gak enak, gak tau mau mulai darimana."

Pada saat yang sama, waitress yang tadi pun datang sambil membawa pesanan Mas Guntur dan meletakkannya di atas meja.

"Silahkan dinikmati," ucapnya tanpa lupa tersenyum pada ketiga cowok yang duduk di meja itu, terutama pada Nano dan Adi, lalu kembali pergi.

"Lalu kuliahmu gimana, No?" tanya Mas Guntur sembari mencicipi kopi hitam yang tadi ia pesan.

"Gak masalah kok, Mas. Aku masih bisa kuliah kayak biasanya. Dan Mira nanti juga bisa tinggal di rumah Adi untuk sementara waktu. Kan itu bagus. Ada beberapa pembantu juga yang nanti bisa bantu aku ngerawat mereka berdua."

Walaupun itu semua hal yang sangat menguntungkan bagi Nano, tapi kembaran Mira itu tahu kalau sesungguhnya alasan dibalik tawaran orang tua Nano itu adalah mencegah Adi merasa kesepian dan berbuat sesuatu di luar batas.

Adi masih muda, masih panjang perjalanan hidup yang harus ia tempuh. Sayang sekali kalau dia menyia-nyiakan hidupnya untuk hal-hal yang bisa menjerumuskannya. Padahal dia anak orang kaya, tampan, gagah pula. Pasti di masa depan bakal ada orang yang beruntung yang bisa mendapatkan hatinya tanpa memandang kekayaan yang Adi miliki, walaupun menemukan orang semacam itu cukup sulit di masa sekarang.

"Syukur deh kalo gitu, No. Aku jadi seneng dengernya," ucap Mas Guntur sambil mencolek hidung Nano. Yang dicolek pun langsung cemberut, tapi yang tidak dicolek, tak lain dan tak bukan ialah Adi, malah bersungut-sungut menahan cemburu melihatnya.

Bagaimana tidak? Sekarang mereka berdua tengah asyik mengobrol dengan leluasa, seolah-olah Adi tidak berada di sana. Tapi cowok SMP itu harus bisa menahan emosinya. Akan ada saat dimana ia bisa berduaan saja dengan Nano.

Tanpa ia sadari, semakin dia dekat dengan kembaran Mira, cowok itu mulai bisa mengendalikan emosi dengan baik. Entah apa penyebabnya ia sendiri tidak tahu.

"Makasih ya, Mas. Selama ini udah baik banget sama aku dan Mira. Rasanya Mas Guntur udah kayak abangku sendiri," tutur Nano.

Mas Guntur menatap kedua bola mata Nano selama beberapa detik tanpa ekspresi berarti lalu menunduk. "Kamu tau nggak, No? Ngeliat kamu sama Mira bikin aku keinget sama mendiang adik kembarku dulu?"

Alis Nano terangkat.

"Mas Guntur punya adik kembar?!" tanyanya sedikit terkejut. Ia memang belum tau banyak mengenai silsilah keluarga managernya itu. Yang ia tahu cuma sedikit, Mas Guntur cuma tinggal satu rumah bersama ibunya saja. Ia tahu karena dirinya pernah berkunjung ke rumah atasannya sekali untuk mengambil beberapa file invoice untuk minimarket, dan itu sudah lama sekali. Ibunya Mas Guntur adalah seorang pemilik butik yang berparas cantik dan ramah. Sudah, hanya itu yang Nano tahu.

"Itu udah dulu banget, mereka udah gak ada sekarang. Ceritanya panjang, No." wajah Mas Guntur kembali terangkat. Raut wajahnya susah ditebak.

Nano jadi tahu kenapa selama ini atasannya itu begitu baik sama dia dan Mira. Karena dia teringat adik kembarnya.

Meski sebenarnya ia ingin tahu lebih jauh, tapi ia tak ingin memaksakan kehendaknya. Lagian disini ada si Adi. Tidak baik menceritakan hal-hal berbau pribadi jika tuh anak ada disini.

"Enggak apa-apa, Mas. Mas bisa cerita nanti aja kalo mas udah bersedia, nggak perlu sekarang," Nano berusaha memberi pengertian sambil menoleh cepat pada Adi, lalu kembali pada Mas Guntur.

"Thanks, ya, No. Lain kali pasti aku ceritain semuanya."

-
* * *
-


"Anjing! Aku mati lagi!" umpat Adi.

Nano cuma terkekeh. "Dasar Noob!"

'Legendary!'

Bunyi suara game kembali terdengar dari kedua ponsel cowok itu. Mereka berdua tengah bermain game di sofa dengan posisi seperti biasa, Adi berbaring santai dengan paha Nano sebagai bantal kepala.

Tunggu dulu! Nano? Main game?

Becanda ya?

Enggak becanda kok! Seriusan! Emang sekarang mereka tengah bermain game moba. Adi, yang notabene emang tukang paksa, memaksa Nano untuk men-download salah satu game moba android di PlayStore.

Tentu saja Nano menolak mentah-mentah. Namun bukan Adi namanya kalau dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Beberapa waktu lalu, diam-diam Adi menginstal satu game di ponsel cowok yang disukainya itu.

Awalnya Nano sempet bingung gimana cara mainnya, tapi Adi berusaha mengajarinya. Dan dalam waktu singkat, Nano sudah cukup ahli memainkan game tersebut. Bahkan mereka berdua sudah memainkannya beberapa kali sejak Nano selesai membantu Om Jaka mengganti perban Mira.

Tadi sempat beberapa kali Nano menolak untuk bermain karena ia harus menyuapi Mira makan siang, serta membantu suster untuk mengelap tubuh adik kembarnya itu.

Namun karena Adi yang ngotot dan berpikir bahwa apapun yang ia lakukan tanpa Nano itu tidak menarik sama sekali, akhirnya Nano mau juga.

'Double Kill'

'Triple Kill!'

'Maniac!'

'Wiped Out!'

"Eh, anjir! Aku dapet maniac pertama, nih!" seru Nano kegirangan, tanpa peduli bahwa di ruangan itu selain ada dirinya, Adi, dan Mira, juga ada teman-teman Mira dari restoran tempat cewek kembaran Nano itu bekerja yang datang untuk menjenguk. Mereka kadang melirik pada dua cowok di sofa itu yang beberapa kali berseru gemas karena keasyikan main game. Hingga akhirnya mereka menang lagi.
Winstreak 8 kali.

"Alah! Hoki doang, Cel!" gerutu Adi.

"Wkwk! Seru juga ya game-nya! Kamu sih, makanya jangan pake hero Tank, kan serangannya gak sakit. Ga bisa bunuh musuh. Pake hero Marksman aja kayak aku."

"Kalo ga ada Tank, ga bisa menang lah, Cel. Gak ada yang bisa ngelindungin timnya. Gak ada yang bisa ngelindungin kamu dari musuh," tukas Adi tak terima.

Lalu ia menunjuk layar Nano begitu hasil akhir dari permainan. "Liat aja, aku selalu jadi MVP walaupun jarang dapet kill. Tapi aku selalu bantu kamu pas kamu hampir mati, dan bantu kamu buat ngejar musuh."

Nano ber-oh panjang. Ia baru tahu kalau ternyata agak rumit juga main game seperti ini. Harus punya tim yang ideal supaya bisa menang.

"Tapi kayaknya kamu emang punya bakat jadi gamer deh. Aku cocok banget main sama kamu. Kita kayak udah ditakdirkan saling ngelengkapi," usil Adi sambil mencubit pipi kanan Nano.

Nano menepisnya segera sambil mendengus. "Singkirin tanganmu, bocah! Nggak sopan banget sama orang yang lebih tua! Mau aku tabok?"

Tanpa ia ketahui, tingkahnya itu diperhatikan oleh Mira. Cewek itu jadi heran, kenapa akhir-akhir ini mereka berdua sedikit lebih akur dari biasanya. Ia butuh penjelasan dari kembarannya itu, tapi lebih baik ia menanyai Nano nanti.

"Sorry, deh, sorry. Gitu aja ngambek kayak cewek."

"Apa kamu bilang?! Coba ngomong lagi?!" Nano naik pitam dibuatnya.

"Wkwk! Enggak, deh. Becanda kok. Mau main lagi nggak nih?" ajak Adi.

"Skuy!" balas Nano yang dalam sekejap langsung lupa dengan perkataan Adi tadi.

Di sisi lain, Adi luar biasa bahagia. Ia berpikir mungkin kalau nanti ia bisa mendapatkan hati Nano dan menjatuhkan kepemilikan atas cowok itu sepenuhnya, hari-harinya akan berubah menyenangkan seperti ini.

Nano benar-benar sudah mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat menjadi lebih baik, menguatkan kembali semangat hidupnya.

Sehebat inikah pengaruh rasa cinta pada kehidupan manusia?

.

.

.

[Bersambung....]


Previous Chapter | Next Chapter


.

.

.

.


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)