Never Let You Go (Bab 14)

Bab 14
Kuat Namun Rapuh






Akhirnya hari ini datang juga...

Hari dimana Nano dan Mira akan tinggal di rumah Adi selama dua minggu ke depan. Dua minggu penuh cobaan yang akan dilewati oleh Nano.

Setelah turun dari mobil, Adi berjalan duluan diikuti Nano yang mendorong Mira yang duduk di atas kursi roda karena masih belum mampu berjalan sendiri. Barang-barang milik Nano dan Mira yang sudah dikemas rapi dalam dua buah koper sudah dikeluarkan dan dibawa duluan oleh sopir keluarga Adi.

Mereka melangkah di bawah langit siang yang cerah, melewati halaman rumah keluarga Adi yang luas dan hijau itu, menuju mansion indah yang dilihat dari tampilan luar saja tak henti-hentinya membuat Nano dan Mira takjub.

"I-ini rumah kamu keluarga kamu, Di?" tanya Nano setengah terbata karena terkesan dengan mansion milik keluarga Adi yang memiliki dua lantai. Karena jujur saja, Nano belum pernah sekali pun melihat tempat tinggal bak istana dengan mata kepalanya sendiri. Ia hanya pernah lihat yang seperti itu beberapa kali di sinetron-sinetron sore yang sering nongol di layar kaca.

"Yep," jawab Adi sekenanya. Ia tak ingin banyak omong tentang tempat tinggalnya, karena baginya tak ada yang perlu ia sombongkan.

Setelah berjalan memutari kolam air mancur, mereka bertiga tiba di depan pintu utama. Di sana sudah berdiri seorang pria tua berkacamata yang memakai setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu.

"Pagi, Den Adi, Den Marcel, Non Mira," sapanya sopan sedikit membungkuk. Nano dan Mira cuma cengar-cengir karena sungkan. Lalu pria tua itu membukakan pintu utama.

"Pak Tris, kamar buat Mira udah disiapin kan?" tanya Adi sambil berjalan masuk, diikuti Nano dan Mira yang berjalan lambat di belakang. Mereka berdua terpukau melihat isi mansion Adi yang amazing. Benar-benar indah, banyak sekali perabotan interior yang dipajang pada setiap dinding dan sudut-sudut ruangan.

"Sudah, Den. Mari, saya antar ke sana," balas pria tua yang dipanggil 'Pak Tris' itu. Nano tak paham apa jabatan Pak Tris di rumah ini. Tapi dengan pakaiannya yang bagus dan ucapaannya yang sopan, mungkin bisa jadi dia adalah kepala asisten rumah tangga.

"Mas, kita beneran mau tinggal disini?" celetuk Mira pada kakak kembarnya pelan setengah berbisik.

"Iya, Mir. Aku tau kok isi pikiranmu. Aku aja juga masih kerasa kayak lagi mimpi. Tapi selama dua minggu ke depan kita emang bener-bener bakal tinggal disini."

"Kok cuma dua minggu sih? Kenapa ga dua tahun sekalian?"

Nano berdecak gemas sambil menoyor kepala adik kembarnya itu dari belakang. Mira cuma nyengir sambil mengelus kepalanya.

"Itu sih mau kamu aja. Dasar!" desis Nano.

Setelah berjalan melewati beberapa lorong dan ruangan yang mirip dengan ruangan lainnya, akhirnya mereka tiba di sebuah kamar yang luas. Dindingnya dicat warna krem polos, dengan jam dinding besar yang letaknya berlawanan dengan letak jendela kamar. Ranjangnya lebar, dengan sprei warna merah muda yang bercorak polkadot putih. di bahkan sisi kiri dan kanannya masih ada space alias tak langsung bertemu dengan dinding atau jendela. Di sudut ruangan sudah ada meja rias kecil lengkap dengam cermin yang berbentuk segi enam. Lihatlah! Bahkan sudah ada televisi LCD! Sepertinya kamar ini memang sudah disiapkan betul-betul.

"Gila! Luas banget!" gumam Mira tanpa sadar, membuat Pak Tris terkekeh geli.

Sekali lagi, kepala gadis itu mendapat pukulan pelan dari kakak kembarnya. "Jangan kayak gitu, ah! Kamu ini!"

"Udah, Cel, ga apa-apa. Sekarang biarin adek kamu istirahat dulu. Biar nanti barang-barangnya Mira biar Pak Tris yang urus," sela Adi menengahi, sedangkan Pak Tris tiba-tiba menyelonong pergi dari ruangan itu.

Mendengarnya, Mira tak tinggal diam. "Eh? K-kok Pak Tris sih yang ngeberesin baju-bajuku? Kan ada... Mm... anu...."

Adi terkekeh. "Maksudku biar nanti Pak Tris nyuruh pembantu wanita yang beresin baju-baju kamu, Mir."

"Ooh... Hehe. Oke, deh kalo gitu."

Tak lama, dua pembantu wanita yang disebutkan tadi muncul bersama Pak Tris. Setelah pria itu membantu Nano memindahkan tubuh Mira ke atas ranjang yang lebar dan empuk.

Ketika tubuh Mira sudah tertata nyaman di atas ranjangnya, mendadak Adi mengaet lengan Nano.

"Ikut aku," titah Adi sambil menarik Nano.

"Aku tinggal bentar, ya, Mir."

"Lama juga ga apa-apa, Mas."

Mira kampret!

-
* * *
-


Adi membimbing Nano ke kamar sebelah. Setibanya disana, kamar itu memiliki atmosfer yang berbeda dengan kamar yang dihuni Mira.

Kamar ini terasa begitu, entahlah... Sporty?

Ranjangnya diselimuti sprai cokelat gelap tanpa corak. Bahkan gorden jendelanya saja berwarna abu-abu. Di salah satu sudut kamar terletak puluhan koleksi piala dan beberapa bola basket bertanda tangan yang ditata rapi di sebuah lemari etalase. Berbagai miniatur pemain basket dan tumpukan majalah olahraga di atas meja kecil. Sepertinya cowok itu penggemar basket. Pantesan posturnya tinggi walau masih SMP.

"Ini kamar siapa, Di?" tanya Nano.

"Kamar kita."

Wh-what?!

Alis Nano saling bertautan. "Maksudmu?"

"Sebenernya ini kamarku. Kamu ga keberatan kan kalo sekamar sama aku?" tanya Adi menyeringai sekilas.

Bukannya Nano tidak mau, atau iri dengan Mira yang punya kamar sendiri. Tapi kan yang namanya kamar itu ruangan pribadi yang isinya penuh dengan privasi si pemilik kamar.

"Aku ga masalah berbagi kamar sama kamu. Kamu bebas mau ngapain aja di kamarku. Lagian kan deket sama kamar Mira, jadi kalo dia butuh sesuatu yang ga bisa dikabulin sama pembantu dirumahku, kamu ga perlu jalan jauh-jauh," usul Adi.

Kelopak mata Nano menyipit. Sepertinya cowok SMP itu sudah merencanakan sesuatu jauh-jauh hari sebelum kedatangannya kemari.

"Ogah, ah! Aku sekamar sama Mira aja ga masalah!"

"Nggak boleh!" seru Adi mantap.

"Loh? Emang kenapa? Kan dia adik aku. Tidur seranjang sama dia aja juga udah biasa."

Adi mendengus kesal. "Kalo aku bilang nggak boleh ya nggak boleh!"

Melihat cowok itu yang jadi emosian lagi bikin Nano bingung. Perubahan suasana hatinya cepat sekali. Tadi mesam-mesem, sekarang marah-marah. Cowok kok aneh banget.

Akhirnya dengan berat hati, Nano mengalah lagi untuk kesekian kalinya. Toh ini bukan rumahnya, tapi rumah Adi.

"Ya udah, iya! Kamu tuan rumah disini. Sesukamu aja, yang penting jangan macem-macem pas aku lagi tidur."

Dan cuma karena kalimat semacam itu, emosi Bayi Tua itu langsung mereda, tergantikan dengan senyum tipis yang mengembang.

"Macem-macem gimana maksudmu Cel?" tanggap Adi.

"Y-ya.. macem-macem. Tau, ah!"

Adi tekekeh. Ia paling suka menggoda Nano. "Aku nggak bakal macem-macem kok, kecuali kalo kamu yang pengen."

"Aku bukan maho, njing!" semprot Nano sambil melayangkan pukulan ke dada Adi yang keras. Yang dipukul cuma pura-pura kesakitan sambil memegangi dadanya.

"Aku juga bukan maho, kali, Cel," balas Adi.

"Terus kalo entar aku mau ganti baju pas kamu lagi disini gimana?"

Pikiran cowok SMP itu jadi berkhayal kotor akibat pertanyaan Nano. "Ya tinggal ganti aja, Cel."

"Ha?! Malu kali, Di!"

"Ngapain malu? Orang kita sama-sama cowok," tukas Adi sambil melepas kaos seenaknya di depan mata Nano, memperlihatkan badan cowok SMP itu yang otot-ototnya sudah terbentuk cukup bagus, bikin Nano iri.

Dengan santainya, Adi berjalan ke arah pintu, menutupnya lalu menguncinya dari dalam. Tak lupa ia mengantongi kunci kamarnya di dalam saku celana.

"Kok pintunya kamu kunci?" tanya Nano dengan suara bergetar tanpa alasan. Perasaanya mendadak tidak enak, apalagi saat melihat cowok SMP itu berjalan perlahan mendekatinya dengan menyeringai. Membuat Nano berjalan mundur secara otomatis, hingga punggungnya mentok di dinding.

Adi menggapai permukaan dinding di samping kepala Nano dengan tangan kirinya. Tak seperti biasanya, sorot mata cowok SMP itu iki tampak sangat berbeda. Sedikut seram dan tak bisa di jelaskan oleh akal sehat, membuat bulu kuduk Nano berdiri. Bahkan hanya karena ditatap cowok itu saja, kembaran Mira itu merasa tubuhnya terkunci.

"Ma-mau apa kamu, Di?!"

Bukannya menjawab, cowok yang tubuhnya lebih jangkung itu malah mendekatkan wajahnya. Deru napas Adi yang berhembus lembut di wajahnya itu sontak membuat Nano terpejam. Hingga...

"Aku mandi dulu ya," bisik Adi di telinga kiri Nano lalu cepat-capat kabur ke kamar mandi yang letaknya di dalam.

"BOCAH ANJENK!!"

-
* * *
-


Tak seperti biasanya saat bangun tidur, Nano merasa kasurnya begitu nyaman dan empuk. Begitu ia membuka mata, sinar matahari sore menerobos di celah-celah jendela kamar.

Kembaran Nano itu langsung tersadar dangan ingat bahwa ia sekarang memang sedang berbaring menikmati kasur empuk dengan posisi menyamping ke kiri. Bukan di rumahnya sendiri sih, melainkan di rumah Adinata Andreas. Sungguh! Kasur senyaman ini bikin orang mager total. Bahkan Nano masih ingin tidur lagi.

Namun begitu ia menggeliatkan tubuhnya, pinggang dan kaki kirinya terasa berat, seperti ada yang sesuatu yang menimpa bagian tubuhnya itu. Begitu ia menunduk, kembaran Mira sedikit tercekat menemukan Adi yang tengah terlelap dengan posisi yang ganjil, hanya memakai celana jeans dan tidak mengenakan atasan, membuat Nano bisa melihat punggung kokoh Adi yang lebar, dan rambutnya yang hitam dan lebat.

Tubuhnya terbujur miring, berlawanan dengan posisi tidur Nano, namun agak kebawah. Kepala cowok SMP itu berada tepat di depan perutnya dengan kedua tangan yang setia melingkar di pinggangnya, serta kaki mereka berdua saling bersilangan.

Awalnya cowok bernama lengkap Marcelino Akshara itu hendak membangunkan Adi. Akan tetapi mendengar dengkuran stabil cowok itu membuat Nano mengurungkan niatnya. Tidak biasanya cowok itu tidur sambil mendengkur. Memang kalau dilihat dari aktivitasnya di rumah sakit, cowok itu kurang tidur cukup.

Dan tahu-tahu, Nano tersenyum lemah. Ia merasa kasihan. Cowok itu masih SMP, tapi sudah mendapatkan masalah semacam ini, membuat kondisi mentalnya sempat terganggu hingga hampir bunuh diri. Dirinya saja tidak bisa membayangkan bagaimana nelangsanya berada di posisi cowok itu. Padahal aslinya Adi itu baik, sikap aslinya juga tidak dingin seperti saat mereka pertama kali bertemu, walaupun dia masih belum cukup pandai mengontrol emosi.

Andai Adi itu adik kandungnya sendiri, sudah pasti kelakuannya bakal berbanding terbalik. Karena sudah pasti bakal dididik dengan baik, disayangi dan dilindungi Nano.

Selama beberapa saat Nano merenung hingga tanpa sadar, tangannya terulur membelai puncak kepala Adi dengan perhatian. Yang dibelai cuma menggeliat sambil menghembuskan napas panjang lalu menyembunyikan kepalanya di perut Nano.

Lihat betapa lugunya cowok SMP itu waktu terlelap seperti ini. Beda sekali dengan tingkah menyebalkannya saat sudah bangun, yang selalu membuat Nano menahan dongkol.

'Kamu yang kuat ya, Di. Ada aku kok yang selalu bantu kamu.'
Batinnya yang tanpa sadar sudah memunculkan sedikit rasa sayang pada cowok yang sedang terlelap sambil memeluk pinggangnya itu. Hanya rasa sayang seperti saudara, tidak lebih.

.

.

.

[Bersambung...]


Previous Chapter | Next Chapter


.


.

.

.

.


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)