Never Let You Go (Bab 15)

Bab 15
Bukan Homo






"ANJING!" umpat Nano.

Melihat cowok itu mengumpat bisa dibilang cukup langka. Cowok bernama lengkap Marcelino Akshara itu sudah jelas-jelas bukan termasuk jenis orang yang suka berkata kasar pada orang lain, karena menurutnya itu perbuatan yang tidak baik. Mengumpat, menghina, mengolok, mencibir, nyinyir, semua itu sangat jarang sekali ia lakukan dulu.

Namun semenjak dirinya bertemu dengan cowok jangkung yang belum lulus SMP beinisial AA alias Adinata Andreas itu sedikit demi sedikit mengoyak batas kesabaran yang telah lama ia pupuk hingga sekarang.

Bagaimana tidak?

Memang Adi masih SMP dan usianya jauh berada dibawah Nano, tapi tingkahnya itu lo... Subhanallah! Hampir tiap waktu yang ia jalani bersama cowok itu tak pernah ia lewati dengan tenang. Hidupnya tak bisa kembali normal seperti dulu.

Coba tengok apa yang diperbuatnya di kamar kali ini. Bahkan hari masih pagi, belum lewat jam enam, tapi sudah bikin rusuh.

"Kamu semalam ngapain, Di?! Hah?!" omel saudara kembar Mira itu setelah melompat dari ranjang dan berdiri tegak sambil mengacungkan jari telunjuknya yang sedikit bergetar pada wajah bangun tidur Adi tetap terlihat tampan.

Yang diomeli mengerjap. Cowok itu belum sepenuhnya sadar, cuma menggeliat sebentar lalu kembali tidur, mengabaikan Nano.

"Woy, Bayi! Gak denger ya?! Aku tanya, kamu semalem ngapain?!" tanya Nano lagi dengan nada yang lebih tinggi. Ia tak suka diabaikan jika sedang naik pitam seperti ini.

Akhirnya Adi kembali membuka matanya dan menoleh malas. "Emang aku ngapain, Cel? Aku kan cuman tidur disamping kamu."

Nano mendengus makin kesal. Emang sih, si Adi tidur seranjang sama Nano. Tapi yang ditemukan kembaran Mira saat bangun tidur tadi lebih dari itu.

Karena begitu ia membuka mata, yang ia temukan di depan mata Nano adalah...

Bulu ketiak!

Itu bulu ketiak Adi!

Si Adi tidur shirtless, cuma pake celana jeans panjang!

Dammit!

Ketiaknya emang tidak bau keringat, bau maskulinnya masih wajar di indera penciuman Nano. Tapi...

Tetep aja itu tidak normal!

Bukan hanya itu, posisi mereka pas bangun tidur juga mencurigakan, dengan lengan kanan Adi yang mengapit leher Nano, dan Nano sendiri juga posisinya tidak bagus. Tangan kanannya melingkar di atas perut cowok SMP itu, dan anehnya, ia merasa panjang lengannya begitu pas dengan lingkar perut Adi. Bahkan ia tadi juga sempat meraba-raba otot perut Adi untuk meyakinkan dirinya sendiri apakah itu guling atau bukan.

"Ta-tapi kenapa kamu pake acara peluk-peluk segala, Kampret?!" omelnya lagi.

"Siapa yang peluk-peluk? Orang semalem kamu yg ndusel-ndusel gitu kayak kedingingan. Ya aku terpaksa meluk. Ga tega liat kamu semalem," balas Adi sambil terpejam sesekali dengan senyum aneh.

Tubuh Nano membeku. Bola matanya menatap nyalang.

"Nggak mungkin!" bentaknya gemas. Dengan geram, ia melangkah lebar menghampiri Adi, lalu menghujaninya dengan tinjuan di sekujur badan.

"Kan udah aku bilang kalo aku lagi tidur tuh jangan ngelakuin yang macem-maceeeem!!!"

-
* * *
-


Karena hari ini masih belum ada kesibukan yang berarti, Nano memutuskan untuk menemani Mira di kamarnya sambil menyaksikan acara pagi yang biasanya membosankan di televisi seusai mandi.

Ia juga ingin kabur dari kamar Adi. Jadi begitu ia mandi sekaligus berganti pakaian di kamar mandi, Nano langsung tancap gas ke kamar Mira, meninggalkan Adi yang mungkin sekarang masih mendengkur di kamarnya.

Pagi ini kedua kakak beradik itu cukup beruntung karena ada salah satu channel tv yang menyiarkan acara kartun, bukan acara gosip melulu. Atau sinetron pagi yang isinya tentang kisah nyata yang alurnya bikin jengkel. Meski sudah dewasa, kartun pagi yang ditayangkan berulang kali itu tak pernah membuat mereka bosan.

Oh iya, tadi Nano juga sudah membantu adik kembarnya berjalan setelah sarapan. Meski agak tertatih, tapi Mira sudah bisa berdiri sendiri, dan ia bilang kalau luka dari bekas operasinya tak terlalu sakit untuk sekedar berdiri. Tapi kalau untuk berjalan, rasanya masih cukup nyeri. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya Nano memutuskan untuk menyudahinya, memaksa adiknya itu untuk kembali istirahat.

Sekarang, mereka berdua berbaring bersebelahan sambil ngemil snack kentang yang Nano beli kemarin. Kegiatan seperti ini jarang sekali ia miliki. Maksudnya bermalas-malasan di pagi hari di ranjang, menghabiskan waktu dengan menonton tv di dampingi camilan kecil. Mungkin seperti inilah rasanya hidup sebagai anak orang kaya.

Saat kartunnya berganti iklan, mendadak salah satu pembantu Adi muncul dari arah pintu kamar Mira yang kebetulan terbuka.

"Permisi, Den. Ada tamu yang katanya nyari Den Marcel."

"Iya, Mbak. Aku kesana," balas Nano. Dia memberi embel-embel 'Mbak' karena usianya belum terlalu tua. Mungkin beberapa tahun lebih tua dari pada dirinya.

Ngomong-ngomong, siapa tamu itu? Mengingat belum ada orang yang ia beritahu dimana ia tinggal sekarang.

Kecuali Mas Guntur tentu saja. Bisa jadi itu memang atasannya di tempat kerja.

"Bentar ya Mir. Aku ke ruang tamu dulu."

"Hm'h, Mas."

Segera, Nano beranjak dari pewe-nya, berjalan cepat menuju ruang tamu.

"Loh, San?!" Nano tersentak begitu mengetahui orang yang sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Adi. Apalagi ketua kelasnya itu pagi ini sudah berpakaian rapi dan santai, seperti mau keluar jalan-jalan. Nano berjalan mendekat.

"Hai, No," sapa San yang langsung berdiri. Tubuhnya yang jangkung membuat kepala Nano terpaksa mendongak.

"Duduk, San," Nano mempersilahkan. Ia juga tak mau membuat lehernya pegal karena terlalu lama mendongak. Setelah mereka berdua duduk santai berdampingan, si mbak pembantu yang belum Nano ketahui namanya itu datang lagi sambil membawa minuman. Astaga! Nano tidak terbiasa dengan hal seperti ini.

"Silahkan diminum, Den."

"Makasih ya, Mbak," balas Nano santun, dibalas anggukan kecil dari si mbak, lalu dia kembali ke belakang. Lebih baik Nano menanyai nama-nama pembantu di sini pada Pak Tris nanti, supaya ia bisa mengingat-ingat nama mereka.

"Gimana kabarnya Mira, No?" tanya San.

"Mira baik. Dia sudah mulai latihan jalan sebentar tadi. Agak kesusahan sih. Namanya juga baru sembuh. Oh iya, kok kamu tau aku tinggal di sini, San?" tanya Nano langsung.

"Aku kemarin malem nanya Mas Guntur alamat rumah Adi. Aku mau WhatsApp kamu, tapi hape kamu malah nggak aktif."

"Oh... Hehehe, kemarin pas aku tiba disini aku lupa ngecas hape. Jadi tadi pagi baru aku cas."

"Dasar kamu ini, No," tukas San sambil mendorong pelan kepala Nano ke belakang. Kembaran Mira itu mendengus.

"Oh iya, San. Kok kamu udah keren pagi-pagi gini? Mau kencan sama siapa sih? Hm?" goda Nano dengan alis yang naik turun.

"Ke-keren apanya? Orang aku tiap hari kayak gini. Kamu aja kali yang baru sadar kalo aku keren," balas San sedikit terbata. Padahal aslinya ia berbohong. San memang berencana keluar. Tapi bukan kencan.

"Hm... Bener juga. Aku belum terlalu sering liat kamu di luar kampus. Dan tiap liat kamu pake pakaian biasa, kamu tetep keliatan keren sih," timpal Nano. Diam-diam, dia sadar kalau yang membuat penampilan San selalu keren adalah wajah tampan cowok itu.

Orang bilang kalo cowok cakep mau pakai baju apapun bakal keliatan cakep. Ternyata itu memang benar adanya. Buktinya ada pada San. Dan satu cowok lagi yang kini masih molor di kamar.

"Ini, No. Buat Mira," ujar San sambil menyerahkan kantong kresek yang dari tadi ditaruh di samping cowok itu. Isinya beberapa jenis buah, roti, susu karton, dan beberapa snack.

"Kamu kok repot-repot segala bawain ini buat Mira. Ah, makasih ya, San. Nanti aku kasihin ke Mira," balas Nano lalu meletakkannya di atas meja.

"Alah, No. Nggak repot kok. Ngomong-ngomong, No...," San menggantungkan ucapannya dengan ragu.

"Hm? Apa, San?"

"Anu... Kamu hari ini ada acara nggak?" tanya San hati-hati.

"Nggak ada. Cuma dirumah aja. Emang kenapa?"

"Jalan, yuk."

Mata Nano berbinar mendengarnya. Itu ide bagus! Ia bisa menjauh sebentar dari Si Adi.

"Kuy! Tapi aku pamit sama Mira dulu ya San. Sama mau ganti baju."

"Oke. Aku tunggu disini," balas San. Begitu kembaran Mira pergi, San segera menarik napas sebanyak mungkin lalu menghembuskannya.

Jujur, ia tadi takut ketahuan. Ia memang sudah memakai pakaian kasual terbaik yang ia miliki karena berniat untuk mengajak Nano keluar. Dan bodohnya, ia malah sempat gugup tadi karena Nano menggodanya dan menebak kalau ia punya kencan hari ini.

Padahal emang iya sih. Ia mau kencan sama Nano. Bukan yang macam-macam kok. San kan cuma pengen kenal Nano lebih jauh sebagai teman, tidak lebih.

Memang kalau sudah kenal Nano lebih jauh, apa yang akan ia lakukan coba?

Tanpa sadar, San mengacak rambutnya sendiri. Ia jadi bingung dengan isi pikirannya akhir-akhir ini. Rasanya ada yang salah jika ia tak bertemu Nano satu hari saja. Bahkan ia juga was-was sejak Nano tinggal di sini. Cemas jika si cowok SMP itu melakukan hal yang macam-macam pada teman sekampus dan sekelasnya itu. Ia mulai khawatir sejak menyaksikan aura cemburu cowok itu di rumah sakit beberapa hari sebelumnya.

Tapi kan mereka berdua sama-sama cowok. Emang si Adi itu mau ngapain Nano?

Tuh kan? Pikiran San sering berkelana terlalu jauh cuma gara-gara memikirkan Nano yang tinggal di rumah Adi. Perasaannya juga mulai aneh pada Nano.

Enggak!

Dia straight!

Titik!

San menutup pemikiran-pemikiran anehnya, memaksa otaknya untuk kembali ke dunia nyata.

By the way, ini sudah hampir dua puluh menit dan Nano masih belum muncul. Cukup lama San menunggu Nano berganti pakaian.

Apa cowok itu sengaja menata penampilannya seganteng mungkin untuk San? Memikirkan hal sekecil itu saja bikin si ketua kelas itu menyengir.

Tuh kan! Memang ada yang salah dengan otaknya!

Lupakan!

San memutuskan untuk mencari kamar Nano. Ia tak mau menit-menit yang harusnya bisa ia habiskan bersama kembaran Mira itu jadi sia-sia.

Di kamar pertama yang ia datang, San ketemu Mira.

"Halo, Mir."

"Mas San? Kok ada disini?" balas Mira dari atas ranjang.

"Iya, Mir. Mau ngajak Nano keluar. Katanya dia lagi ganti baju, tapi kok lama banget. Udah hampir dua puluh menit gak balik-balik."

"Kamarnya Mas Nano di sebelah Mas. Coba aja kesana."

"Oke, Mir. Thanks."

"Eh, Tapi Mas...," ucapan Mira tak digubris lagi oleh San. Karena yang ia perlukan hanya letak kamar Nano.

Begitu ia menemukan pintu kamar yang dimaksud Mira, San berdiri kaku di tempatnya. Pintu kamar itu kebetulan terbuka dan kedua mata San menemukan sesuatu yang membuatnya bungkam.

Disana ada Nano yang masih separuh mengenakan kaos tengah di peluk Adi yang sedang shirtless dari arah belakang. Tak tanggung-tanggung, cowok SMP yang postur tubuhnya lebih tinggi dari Nano itu dengan bahagianya mengendus-enduskan hidungnya di ceruk leher Nano, sedangkan Nano disana berusaha melepaskan diri sambil terkekeh geli akibat hidung Adi yang menggesek-gesek lehernya.

"Nano...,"

Panggilan dari San itu bisa dibilang pelan. Tapi Nano bisa mendengarnya. Ia menoleh dan menemukan San yang mematung di ambang pintu. Ekspresinya horor. Adi pun ikut menoleh ke arah yang sama.

"So-sorry. Aku.... a-aku tunggu kamu di ruang tamu aja," ucap San cepat lalu meninggalkan tempatnya.

Nano terbelalak. Ia dengan cepat melepas pelukan si Bayi Tua itu lalu mendorongnya keras hingga jatuh terlentang di atas ranjang.

"Kurang ajar! Gara-gara kamu, San jadi salah paham gini!" bentak Nano sambil merapikan kaosnya.

"Salah paham gimana?"

"Pasti dia mikirnya tuh aku homoan sama kamu!"

"Emang kenapa kalo kita homoan?" goda Adi.

"Aku bukan maho, Njing!" umpat Nano.

"Aku juga bukan maho. Udah lah, nggak usah peduli sama dia. Terserah dia mau mikir gimana. Kan kita yang ngejalanin, kita yang tahu. Dia nggak tau apa-apa."

Nano mencak-mencak dibuatnya. Si Adi emang bukan cowok yang bisa diajak untuk berpikir normal. Bilangnya bukan maho. Tapi kenapa ngelakuin hal kayak tadi?

"Tai babik!" umpat Nano kembali sambil mengambil ponsel dan dompetnya di laci.

"Mau kemana pagi-pagi gini?!" tanya Adi yang tampaknya mulai bersungut sambil bangkit dari ranjang.

"Mau kencan! Bye!" balas Nano emosi.

"Apa?!"

BLAM!!!

Nano sudah menutup pintu dari luar lebih dulu. Membuat Adi makin kesal.

Ia tak ingin Nano meninggalkan dirinya. Sampai kapanpun, ia akan memaksa cowok itu untuk berada disisinya. Bahkan kalau perlu, akan ia ikat dengan borgol supaya cowok itu tak bisa pergi kemana pun.

Tapi....

Di sisi lain, Adi juga tak ingin Nano membencinya. Kalau hal itu sampai terjadi, borgol pun tak akan mampu mengikat Nano.

"Aaargh!" Cowok SMP itu menggeram kesal sambil menendang angin, lalu duduk di pinggiran ranjang.

Bagaimana cara untuk membuat Nano terus berada di sampingnya? Sementara kalau dia terus melakukan sesuatu yang bersifat memaksa pada Nano, pasti si Nano bakal membencinya.

Di saat yang sama, ia juga menimbang keputusan untuk menyusul Nano atau membiarkan Nano pergi keluar dengan San.

Tentu saja Adi akan menyusul Nano. Untuk urusan mencari cara untuk mengikat Nano supaya terus bersamanya, itu urusan belakangan, akan ia pikirkan nanti.

Yang terpenting sekarang adalah ia tak mau Nano berduaan dengan San. Karena ini lebih urgent daripada apapun!

.

.

.


.

.

.

.

.


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)