Never Let You Go (Bab 16)
Semilir angin perkotaan menyapu lembut rambut cepak Nano begitu dia melepaskan helm bogo warna cokelat bercorak kuning garis-garis miliknya. Setelah mereka berdua sampai di parkiran basement sebuah mall, cowok yang lahir beberapa saat sebelum Mira itu turun dari boncengan motor vespa keluaran terbaru dengan model warna biru laut milik San. Dilihatnya sekeliling tempat itu secara seksama sambil merapikan kemeja salur garis hitam putih sekarang sedang dikenakannya yang agak kacau karena tertiup angin saat perjalanan tadi.
Sudah hampir separuh tempat parkir disini terisi oleh kendaraan pribadi yang menandakan kalau hari ini pasti cukup banyak orang yang mengunjungi mall itu. Maksudnya sudah pasti mall itu hampir selalu ramai setiap hari, karena menjadi satu-satunya pusat perbelanjaan di kota itu.
Begitu memasuki kawasan gedung, San melingkarkan lengannya ke pundak Nano. "Nah, kita kemana sekarang?"
Cowok bernama lengkap Marcelino Akshara itu menoleh mendapati wajah San yang berada begitu dekat. Terlalu dekat hingga hidungnya dapat mencium aroma mint dari hembusan napas ketua kelasnya itu.
"Mau ke TimeZone nggak?" usul San kemudian setelah menunggu Nano yang tak kunjung memberikan jawaban.
"Mm, daripada ke TimeZone, mending ke taman hiburan yang outdoor aja sih lebih seru."
San mendecakkan lidah. "Kenapa nggak bilang daritadi sih, No. Tau gini kan aku langsung bawa kamu ke taman hiburan."
"Kita masuk dulu deh, kita liat-liat dulu mumpung baru sampek sini. Abis itu kita ke taman hiburan, gimana?" tanya Nano setengah merasa bersalah. San cuma bisa mengangguk satu kali lalu mereka berdua berjalan beriringan.
"Oh ya, aku pengen beli kaos, San. Sama celana pendek," tukas Nano tiba-tiba saat kedua matanya tertumbuk pada display kaos-kaos yang memiliki desain kontemporer.
"Hah? Buat apaan?'
"Buat aku pake sendiri. Yuk, kamu juga liat-liat dulu, siapa tau nemu baju bagus," ujarnya lalu menarik lengan San mendekati barisan baju-baju yang terpajang di dekat mereka.
Mata Nano berkilat-kilat melihat banyak kaos-kaos bagus yang berwarna cerah. Dengan telaten, ia membalik satu persatu barisan baju untuk menemukan baju yang dia inginkan. Sedangkan San hanya bisa tersenyum di sisinya. Satu lagi hal yang ia ketahui dari Nano adalah anak itu suka berbelanja. Jemarinya yang kecil bergerak-gerak untuk mencari kaos dengan kualitas dan harga yang cocok.
Tak berselang lama, Nano mengangkat sebuah kaos, lalu meletakkannya di depan dadanya sendiri.
"Ini cocok nggak?" tanyanya pada San untuk meminta pendapat sambil melenggang ke cermin tinggi yang ada tak jauh dari mereka.
Kaos yang dipilih Nano barusan berwarna merah polos dengan bordiran kecil di bagian dada kiri. San mendekat untuk menyentuh kaos itu. "Bagus bahannya. Adem, ukurannya pas. Cocok sih sama warna kulit kamu. Tapi warnanya merah gini, emang kamu pede pake warna-warna nge-jreng kek gini?"
Nano mencebik sambil mematut diri di depan cermin.
"Pede-pede aja sih. Ya udah, aku mau cobain dulu." Cowok itu melenggang pergi ke salah satu bilik kamar ganti. Dengan cepat ia mencoba kaos itu. Cocok kok kaosnya. Walaupun warnanya memang mencolok seperti yang dikatakan San tadi, tapi ini bagus dan pas untuknya.
Setelah memutuskan untuk tetap membeli kaos yang itu, Nano segera berganti lagi. Begitu ia melangkah keluar, ia berpapasan dengan seseorang bertubuh tinggi yang berdiri tepat di depan biliknya. Cowok itu mengenakan topi berbahan denim, kaos turtleneck biru tua garis-garis berlengan panjang, celana jeans pendek dan masker hitam yang hanya menampilkan sorot matanya saja. Ketika kedua mata mereka bertemu, cowok misterius itu menunduk.
"Oh, sorry, sorry. Masuk aja. Aku udah selesai kok."
Cowok berpakaian tertutup itu hanya mengangguk kecil lalu masuk ke dalam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Saat melewati tubuhnya, Nano sempat mencium aroma tubuh cowok itu yang terasa familiar baginya. Tapi langsung Nano tepis pikiran itu jauh-jauh. Mungkin itu hanya kebetulan saja.
Dengan langkah cepat, Nano kembali pada San di tempat semula.
"Biar aku pegangin yang ini, kamu bisa nyari baju yang lain," bantu San sembari merebut kaos yang tadi dicobanya. Nano cuma mengangguk lalu fokus kembali ke barisan kaos-kaos itu.
Tangannya yang berjalan-jalan mendadak berhenti tepat di atas kaos yang memiliki warna hitam legam dengan corak merah dan sedikit warna jingga gelap. Melihat kaos itu mengingatkannya pada Adi.
Begitu diangkat, memang benar kaos itu bagus dan sepertinya memang cocok untuk bocah itu.
"Itu nggak kebesaran ya, No?" celetuk San.
"Emang kebesaran kalo aku yang pakek," balas Nano menggantung. Ia tersenyum kecil saat memegangnya.
.
***
.
Tibalah mereka berdua di taman hiburan yang menjadi destinasi kedua. Dari jauh terdengar sayup-sayup suara teriakan orang-orang yang tampaknya menikmati wahana-wahana ekstrem yang beberapa di antaranya dapat memacu adrenalin.
Dengan cuaca yang secerah ini, berkunjung ke taman hiburan adalah hal yang sempurna. Dari samping, Nano melihat raut muka San yang juga terlihat excited untuk segera merasakan keseruan yang sama.
"Mau naik apa dulu nih, No?" tanya San.
"Aku pengen naik rollercoaster yang di sana." Nano mengacungkan jari telunjuknya.
"Kamu yakin mau naik itu, No?"
"Kenapa emangnya?"
"Emang kamu nggak takut mabuk?"
"Justru bagian paling serunya ya itu, pas kamu udah turun terus muntah-muntah," timpal Nano lalu tertawa.
San membalasnya dengan menoyor kepala Nano. "Aku yakin kamu bakal langsung lemes abis naik itu."
"Wah, ngeremehin nih ceritanya? Kamu mau taruhan?" Nano mendengus tak terima.
"Apa?"
"Kita naik wahana-wahana itu satu-satu. Entar yang duluan muntah harus traktir yang menang buat makan di kafetaria," tantang Nano.
"Engga mungkin aku bakalan kalah."
Nano semakin bersemangat. "Ya udah, ditambahin kalo gitu. Entar yang kalah musti mijitin yang menang. Gimana? Deal?"
"Deal!"
.
***
.
Nahas, Nano dan San sama-sama muntah bebarengan begitu turun dari wahana Hysteria yang menjadi wahan ke delapan mereka.
"Yaa! Kamu muntah duluan!" seru Nano sambil menunjuk-nunjuk muka San dengan tawa yang meledak-ledak.
"Kan muntahnya bareng, No."
"Nggak ada! Kamu kan hoek-nya duluan. Cuma jeda enam detik tapi tetep aku yang menang!" ujar kembaran Mira itu sambil tertawa menang. Sedangkan San masih berjongkok di situ dengan wajah pucat.
Karena tak tega, Nano mendekat sambil memijat tengkuk San biar muntahnya segera reda. Biar pun Nano juga muntah, tapi tak separah San yang sepertinya sejak sebelum naik Hysteria wajahnya sudah tampak pucat lebih dulu.
"Kita rehat dulu, San," usul Nano. San cuma mengangguk.
Mereka berdua pun berjalan menuju kafetaria untuk beristirahat di sana.
"Nih. Pakek ini." Nano menyodorkan minyak kayu putih berbentuk roll-on. San menyambarnya dan menggunakannya di sekeliling lehernya sendiri. Nano cuma menyengir sambil menyeruput minuman yang telah ia pesan tadi. Dengan rasa yang agak masam dan bersoda, berharap rasa mual yang juga ia rasakan akan berangsur menghilang.
Namun alih-alih mualnya hilang, Nano malah jadi ingin buang air kecil. "Aku ke toilet bentar ya."
"Ngapain?" usil San sambil membaui minyak kayu putih di tangannya.
"Yeee, pakek nanya lagi!"
Ketua kelasnya itu cuma terkekeh begitu Nano menyelonong pergi dengan sedikit terbirit.
Cepat-cepat Nano buang air kecil di salah satu bilik di toilet pria. Sesudah itu ia keluar untuk mencuci tangan di depan barisan wastafel yang memiliki cermin besar. Dirinya terhenyak beberapa detik begitu melihat seseorang di sana yang tampak berdiri sambil melipat kedua lengan. Dia menatap Nano tanpa berkedip selama beberapa saat lamanya, lalu menunduk sambil membenarkan letak topinya
Itu cowok yang di mall tadi, cowok misterius yang mengenakan pakaian serba tertutup, dengan topi denim dan masker hitamnya. Dengan ragu, Nano berjalan mendekati wastafel panjang itu untuk mencuci tangannya.
Dari hidungnya, Nano kembali mencium aroma parfum dari tubuh cowok itu yang rasanya familiar, tapi Nano tidak bisa mengingatnya secara jelas.
"Permisi, Mas," Nano berjalan pergi melewati cowok itu sambil merunduk sopan. Cowok itu hanya berdehem pelan sambil mengangguk satu kali pada Nano. Anehnya Nano merasa seperti pernah mengenali gerak-gerik dan ciri-ciri fisik cowok itu. Tapi ia tidak bisa menebaknya.
Karena tidak mau ambil pusing, Nano memutuskan untuk melupakannya saja. Toh kalau cowok itu kenal dengan dirinya pasti dia akan memanggil nama Nano. Kalau tidak, berarti memang mereka tidak saling kenal dan Nano sudah salah orang.
Sekembalinya dari toilet, Nano kembali ke mejanya.
"Lama banget, abis ngapain sih?" pancing San.
"Abis main-main."
"Ha?!"
"Abis pipis, San. Masak mau main-main? Emang di toilet mau main apaan cobak?"
San terkekeh sambil mencondongkan tubuhnya ke depan dengan tangan terlipat. "Ya, siapa tahu kan kamu emang lagi mainin sesuatu."
Satu tinjuan mendarat di lengan kiri San. Nano menggerutu, sedangkan San langsung meminta maaf dengan alasan bercanda.
Mereka berdua pun lanjut mengobrol sambil menikmati minuman beberapa camilan yang telah mereka pesan. Awalnya mereka membicarakan masalah perkuliahan dan tugas-tugas mereka akhir-akhir ini, yang lambat laun topik pembicaraannya melenceng ke permasalahan pribadi.
Tak disangka ketua kelas Nano itu diam-diam pandai mengalihkan arah obrolan dengan mulus.
"Jadi, kapan terakhir kali kamu pacaran?" tanya San sedikit berhati-hati.
Nano memiringkan kepala sambil berusaha mengingat. "Baru putus beberapa bulan yang lalu sih."
"Loh? Putus? Sama cewek mana, No?" tanya San penasaran. Yang ditanyai hanya menggeleng pelan.
"Kamu nggak kenal dia kok."
San tak menyerah begitu saja. "Trus putusnya gegara apaan?"
"Bisa nggak sih kita ngga ngobrolin dia?" balas Nano agak terganggu. Pertanyaan San membuatnya flashback dengan masa lalunya. Masa-masa saat dia dan Sophie masih berhubungan. Dan kenangan itu tidak akan mungkin terulang kembali.
"Iya deh, iya. Terus kenapa kamu nggak nyari pacar lagi sekarang?"
Nano mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan putih sambil menghembuskan napas pelan. "Mungkin enggak dulu deh, San. Aku lagi nggak pengen ngebuka hati buat siapapun."
Kepala San bergerak naik turun. Nano sepertinya masih merasakan sakit hati akibat kegagalan hubungan yang dialaminya.
"Kalo kamu gimana? Siapa pacar kamu sekarang?" sergah Nano cepat-cepat sebelum San mengalihkan obrolan.
"Aku ngga punya cewek, No."
Nano mendecakkan lidah. "Mana ada cowok secakep kamu ngga punya pacar."
"Aku serius, No. Aku cuma lagi HTS-an sama cewek dari jurusan lain sih. Dia dulu satu SMA sama aku."
"Serius HTS-an?" Mata Nano berbinar mendengarnya. Ia sudah tahu kalau San itu memang melajang sejak awal berkenalan. Namun ia tak menyangka ketua kelasnya itu sedang berada dalam hubungan tanpa status. "Kok HTS? Emang kamu ngga nembak dia?"
"Dia yang nembak duluan."
Nano dibuat terpukau. Bibirnya melisankan kata 'wow' tanpa suara sambil bertepuk pelan beberapa kali.
"Luar biasa ketua kelasku ini! Terus kamu terima atau kamu tolak?"
San mengangkat sedotan putihnya untuk menghisap minumannya beberapa teguk sebelum membalas. "Aku bilang jujur kalo saat itu aku ngga ada perasaan apa-apa sama dia. Tapi abis itu aku bilang ke dia buat ngejalanin seperti biasanya aja. Siapa tau lama-lama aku bakal suka sama dia."
"Trus sekarang kamu udah suka sama dia?"
Yang ditanya hanya mampu menggeleng. "Aku nggak yakin. Keknya belum."
"Belum? Emang udah berapa tahun sejak kamu mulai HTS-an sama dia?"
San kembali menyadarkan punggungnya ke belakang. "Mungkin sekitar dua tahun."
"Dan dia masih bertahan buat nungguin kamu bisa cinta balik ke dia?"
"Dia yang mau kok. Lagian sekarang aku juga lagi pedekate sama orang lain."
Alis Nano bertautan mendengar kalimat terakhir dan San. "Pedekate?! Demi apa?!"
"Iya, pedekate."
"Sama siapa kamu pedekate?" sergah Nano cepat.
Senyum kecil tersungging di wajah San melihat reaksi random Nano. "Kamu kenal kok sama orangnya. Tapi aku ngga bisa ngasih tau ke kamu."
Tidak mau digantung setengah jalan, Nano menggoyang-goyangkan lengan kiri San untuk meminta penjelasan lebih jauh. "Kasih tau lah, San. Ya? Ya? Ya? Aku janji deh ngga bakal bocorin ke siapa-siapa."
"Enggak. Udah, udah! Cukup sampek situ aja ngobrolin soal pacaran."
"Yaah, nggak seru!"
"Kamu mau aku ngelupain taruhan pas di depan tadi?"
Nano hanya bisa cemberut. Ia sebenarnya ingin tahu siapa cewek yang dengan San dekati. Tapi di saat yang sama dirinya juga sadar diri. "Iya, iya. Aku nggak nanya lagi."
"Ya udah, sana balik kursimu. Biar aku pijitin pundak kamu," ujar San yang membuat Nano mendengus cepat.
Dengan satu gerakan, kembaran Mira itu memutar kursinya memunggungi San.
Si ketua kelas menarik kursinya sendiri untuk mendekati kursi Nano. Dari belakang tampak jelas kulit leher Nano yang berwarna kuning langsat. Aroma parfum Nano yang tercium manis langsung menyeruak di hidungnya.
Dengan hati-hati kedua tangannya mulai memijat pundak Nano. Ada perasaan gugup yang tiba-tiba muncul dari dadanya saat jemarinya menyentuh langsung kulit leher Nano. Seperti sebuah perasaan yang membuncah. Bahkan kegugupannya terukir jelas di mukanya. Beruntung Nano tidak bisa melihat betapa kikuknya San sekarang.
"Aah..., terus, San. Enak banget rasanya," timpal Nano dibarengi suara erangan yang justru menggelitik telinga San, membuat kegugupan yang ia rasakan kian menjadi.
"Enak ya, No?"
"Enak banget sumpah! Aah! Kamu jago banget!" balasan Nano yang sedemikian rupa tanpa disangka membuat San menegang di tempatnya. Sebelum semuanya berubah jadi canggung, San berusaha untuk mencairkan suasana hatinya yang kini membingungkan.
"Lain kali boleh lah kamu gantian yang mijitin aku."
"Itu mah gampang," balas Nano sambil terpejam menikmati gerakan tangan San yang tak begitu terampil memijat, tapi tetap terasa pas, tidak terlalu kuat, dan tidak terlalu lembut.
Seulas senyum tersungging di wajah Nano sebelum ia membuka matanya lagi sambil meraih minumannya dari atas meja. Saat ia akan menyeruput minumannya, tatapannya secara tidak sengaja bertemu dengan seseorang.
Seorang cowok yang sudah dia temui dua kali hari ini. Dan ini kali ketiga mereka berpandangan. Cowok itu duduk tak jauh dari meja dia dan San, dengan tangan terlipat di atas meja dan sorot mata yang tak dapat ditebak.
Memang sorot matanya tak bisa ditebak, tapi otak Nano seperti berputar mencari-cari ingatan tentang cowok itu di memori jangka pendeknya yang buruk, siapa tau dia kenal. Karena sepertinya Nano memang sudah bisa menebak siapa cowok itu.
.
***
.
Jam digital di ponsel Nano sudah menunjukkan pukul setengah enam petang, menyadari ia pulang terlampau sore. Begitu San menurunkannya di depan, Nano langsung masuk cepat-cepat dan berjalan menuju kamar Adi, yang kini juga menjadi kamarnya untuk sementara waktu.
Begitu ia membuka pintu kamar, tampak tubuh Adi yang terbaring di atas ranjang tertutup selimut tebal. Dihampirinya cowok itu lalu dengan satu gerakan, Nano menyibak selimut dan menemukan hal yang membuatnya yakin akan suatu hal.
Adi langsung menegakkan punggungnya lalu mengucek-ngucek matanya seperti baru bangun tidur. "Loh, Cel. Kamu baru pulang."
Nano tidak menggubrisnya. Dia malah bersedekap sambil meneliti setiap jengkal tubuh Adi dari atas rambut sampai ujung kaki. Pakaian yang dikenakannya sama dengan cowok misterus yang ditemuinya tadi siang. Turtleneck lengan panjang warna biru tua garis-garis, serta celana jeans pendek.
Segera Nano menaiki ranjang, mendekati tubuh Adi untuk memastikan satu hal lagi.
Adi yang melihat Nano mendekat langsung tersenyum lebar sambil merentangkan kedua lengannya hendak merengkuh tubuh Nano. Tapi sebelum Nano sempat dipeluk bocah itu, dia langsung menunjuk wajah Adi sambil membentak marah.
"Kamu diam!"
Bocah itu terkejut melihat sikap Nano, dan terpaksa menurut dengan raut wajah tampak gelisah seperti menyembunyikan sesuatu.
Pelan-pelan, Nano mendekati tubuh Adi. Dengan jarak beberapa sentimeter, wajah Nano sudah berada persis di ceruk leher Adi yang kokoh itu.
Aromanya sama. Tak diragukan lagi.
Ketika Nano hendak menarik diri, kedua lengan Adi langsung melingkar di tubuhnya. Ia terbanting ke samping dengan Adi yang masih memeluknya sambil menciumi pundak Nano dengan gemas karena tak mampu menahan diri.
Mendapat perlakuan seperti itu justru membuat Nano jadi makin naik pitam. Dengan sekuat tenaga ia melepaskan diri, tapi tetap tak bisa. Tenaga bocah itu lebih kuat.
Sebuah ide pun langsung terlintas di otak Nano. Dengan cepat ia mencubit puting kanan Adi untuk melawan pelukan kuat dari bocah itu.
"Ahhh!" desah Adi sambil berusaha melepaskan cubitan Nano.
Berhasil!
"Kamu sekarang nakal ya, No? Udah berani mainin nipple," goda Adi dengan raut kesakitan, tapi berusaha tersenyum menggoda dengan alisnya yang naik turun.
Nano segera berdiri dengan muka marah. Tebakannya benar. Adi adalah cowok misterius itu. Pantas saja dia tidak mendapatan ledakan pesan Whatsapp dari bocah itu. Biasanya jika Nano berada jauh dari Adi, pasti bocah SMP itu tak henti-hentinya mengirim pesan random. Dan sejak ia keluar rumah tadi, Adi tak mengiriminya pesan satu pun.
Cowok bernama lengkap Adinata Andreas itu meringis bersalah melihat mimik muka Nano yang tampak gusar. Saat Adi hendak membuka ujung bibirnya untuk mengatakan sesuatu, Nano langsung mengangkat telapak tangannya di depan wajah.
"Nggak! Jangan sekarang! Kita ngomongin ini nanti abis makan malam!" putus Nano lalu beranjak pergi dari kamar Adi, meninggalkan Adi sendirian di sana dengan perasaan campur aduk.
(Bersambung...)
Previous Chapter | Next Chapter
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say