Never Let You Go (Bab 17)

Bab 17
Matamu Berbicara






"Aku udah kenyang. Mau tidur dulu," ujar Nano dingin sambil beranjak dari meja makan, meninggalkan Mira dan Adi yang baru habis separuh piring.

Melihat kakak kembarnya yang tiba-tiba bertingkah aneh membuat Mira bingung. Ia menoleh menatap Adi. "Di, kamu tau nggak Mas Nano kenapa? Kok tiba-tiba jadi aneh gitu? Atau jangan-jangan... kalian berdua lagi ada masalah ya?"

Adi cuma menanggapinya dengan senyum kecut dan gelengan samar. Sejujurnya ia tahu apa penyebab Nano jadi begitu, tapi tidak mungkin ia akan menceritakan semuanya pada Mira.

Tapi meski begitu, Adi tidak pernah merasa menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya seharian ini. Maksudnya dengan menguntit Nano dan San. Karena walau bagaimana pun, Adi menyukai cowok itu dan tidak ingin San mencuri kesempatan untuk berduaan dengannya. Tidak boleh sebelum Adi berhasil menjatuhkan kepemilikan atas Nano.

Beberapa saat setelah Nano pergi, ponsel Adi yang ia letakkan di samping piringnya pun bergetar. Begitu dibuka, ternyata itu pesan WhatsApp dari Nano.




Hanya dengan membaca beberapa kata yang diketik oleh Nano membuat bulu kuduknya meremang hebat. Sambil menelan ludah, Adi menyelam ke dalam pikirannya lebih jauh mencari rangkaian kata yang pas untuk membalas pesan singkat dari Nano, dan gawatnya tak ada satu pun yang cocok.

Sampai akhirnya Adi menyerah. Sambil memgacak-acak rambutnya sendiri, ia kembali fokus pada layar smartphone-nya.



Ya! Dia memutuskan untuk membalasnya dengan sticker karena ia tak begitu yakin apakah membalas Nano dengan kata-kata manis akan mengubah mood saudara kembar Mira itu.

"Kamu ngga apa-apa kan, Di?" celetuk Mira.

Adi menoleh melihat wajah Mira yang tampak cemas. Sepertinya perhatian yang Nano tunjukkan kepada orang-orang sekitarnya selama ini memang sifat yang dimiliki secara turun-temurun. Atau entahlah, Adi tak yakin.

"Hm." Cuma anggukan lemas yang dapat Adi perlihatkan untuk sekarang. Perasaannya saat ini sungguh-sungguh campur aduk sampai dirinya sendiri bingung. Ia berharap semoga habis berbicara empat mata dengan Nano, semuanya akan kembali baik-baik saja seperti sedia kala.

.


* * *


.


Kedua kaki Nano yang semula tertekuk kini diluruskannya hingga menyentuh pinggiran pembatas balkon kamar Adi. Dengan sabar, ia menunggu Adi hingga bocah itu selesai menghabiskan makan malamnya.


Bukan tanpa sengaja ia menolak menerima penjelasan dari Adi tadi sore, tapi ia menyadari jika hal ini bukan perkara sepele. Melainkan ada hal lain yang sepertinya Nano sudah bisa menebaknya, tapi ia sendiri masih ragu-ragu dengan tebakannya.


Seusai mengirim pesan singkat lewat WhatsApp, cowok bernama lengkap Marcelino Akshara itu kembali mengantongi ponselnya di saku celana jeans pendek miliknya sambil menghela napas panjang.


Pada masalah ini sebenarnya Adi lah orang yang melakukan kesalahan, tapi tak disangkal sekarang malah Nano yang merasakan jantungnya berdegup cepat, seakan-akan dirinya tidak siap akan sesuatu.


Kalau dipikir-pikir lagi, ia sesungguhnya tak benar-benar marah dengan bocah itu. Dia hanya ingin mengetahui alasan di balik polah tingkah Adi yang semakin ke sini jadi semakin ke sana. Tidak jelas dan semakin mengada-ngada. Dan ia butuh kejelasan yang pasti.


Angin malam yang perlahan membelai lembut sekujur tubuhnya membuat Nano sedikit gemetar kedinginan. Ia jadi menyesal kenapa memakai celana jeans yang pendeknya sampai di atas lutut saat ini.


Namun ketika dirinya sudah terlanjur berdiri dari tempatnya untuk mengambil selimut, napasnya tercekat kaget saat tubuhnya hampir saja berbenturan dengan tubuh tinggi Adi yang entah sudah berapa lama berdiri di ambang sliding door balkon kamar itu. Sambil tersenyum, cowok SMP itu menyodorkan selimut pada Nano. "Nih, biar ngga dingin!"


Untuk beberapa detik, kelopak matanya berkedip beberapa kali memandangi senyum di wajah Adi yang rupawan itu. Bahkan dengan cahaya minimalis dari lampu balkon saja, harus Nano akui kalau Adi tetap terlihat ganteng, hingga sesaat kemudian ia tersadar ketika Adi mendehem.


Lantas selimut itu diraihnya dan segera ia pakai untuk menutupi beberapa bagian tubuhnya yang terbuka. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melangkah mendekati pembatas balkon dan meletakkan salah satu lengan di sana.


Seakan bisa membaca pikiran, Adi pun perlahan ikut berdiri di samping kanannya setelah menutup sliding door dari belakang punggung.


"Udah tau dingin, malah pake hotpants." Adi berniat untuk mencairkan suasana dengan celetukannya yang jahil. Namun Nano tak menanggapinya. Tetap diam dengan sorot mata yang lurus ke depan namun kosong.


Ketidakberhasilannya dalam menghadapi sikap Nano yang sekarang ini benar-benar tidak menguntungkan.


"Kamu mau langsung jelasin atau musti aku tanyain dulu?" lirih Nano dingin.


Setelah menghela napas sedikit lega karena akhirnya kembaran Mira itu mau membuka mulut, Adi berkacak pinggang. "Oke! Aku kalah kali ini! Dan aku mau bilang sorry karna udah ngikutin kamu sejak tadi padi. Ngikutin ke mall sampek ke taman hiburan. Aku salah karna engga minta ijin dulu."


Mendengar hal itu membaut kepala Nano naik turun secara perlahan, kemudian ia menunduk memandangi kebun selama beberapa saat lamanya sebelum berucap kembali.


"Kenapa kamu ngikutin aku?"


"Emang ngga boleh?"


"Ya ngga boleh lah!" Nano mendecak. "Emang apa yang bikin kamu punya hak buat ngintilin aku?"


"Tapi a-aku ngga mau kamu kencan berduaan doang sama si ketua kelasmu itu, Cel."


"Kencan apaan sih? Aku sama dia enggak kencan, Di! Nggak usah mikir yang macem-macem deh!" Nano terdengar mulai meninggikan nada suaranya.


"Tapi aku nggak suka, Cel! Aku—"


"Aku juga nggak suka kalo diikutin kek gitu, Di! Bisa ngga sih kamu ngasih ruang buat aku? Ngasih aku kesempatan biar aku bisa ngejalanin hal-hal normal di luar tanpa ada gangguan dari kamu?! Hah?!" bentak Nano yang tanpa mereka sadari, mereka berdua kini telah berdiri berhadap-hadapan cukup dekat dengan kepala Nano yang terpaksa agak mendongak.


Sedangkan alis Adi tampak bertautan dengan mimik muka yang kesal. Tulang rahangnya sedikit bergerak-gerak karena menahan emosi.


"KARNA KAMU MUSTI TAU KALO AKU ITU SUKA SAMA KAMU DAN AKU NGGAK BISA NGELIAT KAMU BERDUAAN SAMA ORANG LAIN!!!"


Tertegun.


Degup jantung Nano seolah bergejolak aneh.


Untuk pertama kalinya dalam hidup, Nano tak dapat membalas perkataan Adi yang cepat dan tegas itu. Seperti kehilangan pita suaranya begitu menyaksikan pengakuan Adi, yang kini tampak bersungut-sungut menahan perasaannya dengan napas tersengal-sengal.


Bahkan untuk memperlihatkan ekspresi kagetnya pun Nano tak mampu saking bingungnya. Karena kedua mata Adi tampak begitu jujur saat cowok SMP itu mengucapkannya, seolah-olah matanya juga berbicara hal yang serupa.


"Ka-kamu bilang ap—"


"Lupain aja!" sergah Adi kemudian memotong kalimat Nano yang belum rampung. Pundaknya yang dari menegang sekarang jadi gontai sembari melangkah mundur. Perlahan, ekspresi Adi yang tadi tampak agak emosi kini berubah menjadi sendu tak bersemangat.


Lalu cowok itu pun langsung pergi meninggalkan balkon tanpa sepatah kata pun. Dari balik kaca tembus pandang itu, Nano bisa melihat Adi mengambil jaket dari lemari serta menyambar kunci —entah kunci motor atau kunci mobil— dari dalam kabinet yang tak jauh dari lemari pakaian, melangkah keluar meninggalkan kamar tanpa menutup daun pintunya kembali.


Kini menyisakan Nano yang berdiri di balkon kamar sendirian dengan perasaan yang kian tak menentu, bertemankan selimut pemberian Adi serta angin malam yang dinginnya seolah-olah berusaha menamparnya untuk kembali ke kenyataan karena ia tak sempat menahan kepergian cowok SMP itu.


Dirinya terlambat, dan kini tinggal penyesalan yang ikut menyelimuti hatinya.


.


***


.


Di atas ranjang kamar Adi, saudara kembar Mira itu cuma bisa memainkan smartphone-nya dengan perasaan gundah. Jam dinding besar di atas televisi layar lebar itu jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul enam pagi lebih seperempat, membuat Nano jadi semakin cemas karena cowok SMP itu belum menunjukkan batang hidungnya sejak pertengkaran yang terjadi semalam.


Bahkan akibatnya Nano cuma bisa tidur sekitar kurang lebih dua jam, dan bangun sebelum fajar. Dan si Adi yang masih belum pulang membuatnya jadi merasa bersalah, sekaligus bingung harus apa. Pokoknya semuanya bercampur jadi satu memenuhi pikirannya, membuatnya tak mampu berpikir jernih sedikit pun.


Padahal seharusnya Nano lah orang yang semalam berhak emosi. Perbuatan yang dilakukan oleh bocah itu benar-benar mengganggu privasinya. Namun di sisi lain, dia juga tidak tahu harus bagaimana menanggapi pernyataan hati bocah itu, dimana hal tersebut menjadi satu-satunya alasan mengapa bocah itu mengikutinya seharian kemarin.


Ingin sekali Nano menelponnya, sekadar untuk menanyakan keberadaan bocah itu sekarang supaya rasa cemasnya bisa berkurang sedikit, tapi dia gengsi.


Dirinya tak memungkiri akan kecemasan pada Adi, mengingat bocah itu suka nekat jika sedang kacau. Pemikiran-pemikiran yang seperti itu membuat Nano semakin gelisah dan tanpa sadar dirinya mengigit-gigit kuku jemarinya.

Membayangkannya saja sudah membuat Nano bergidik. Ia menoleh mendapati sebuah kantong kertas di atas meja nakas yang letaknya tak jauh. Hatinya mencelos. Mungkin jika tidak terjadi pertengkaran semalam, ia sudah menyerahkan kantong kertas itu pada Adi. Isinya kaos yang sengaja ia beli untuk bocah itu, tapi belum sempat ia serahkan.

"Aah! Kenapa jadi rumit gini sih?!" serunya sambil menendang nendang ranjang dengan tumit. Ia jadi marah pada dirinya sendiri sambil meraupkan kedua tangannya ke muka.

Blam!

Pintu kamar yang terdengar seperti habis ditutup itu mengejutkan Nano. Ketika ia mendongak ke arah sumber suara, di sana bisa ia lihat Adi yang barusan masuk kamar dan kini bocah itu juga menatapnya. Mereka beradu pandang.

Tak ayal kepulangan Adi itu membuat rasa cemas di hati itu musnah saat itu juga, membuat tubuhnya jadi terasa lebih ringan akibat beban tak kasat mata yang dari semalam ia rasakan.

"Kamu darimana aja?" tanya Nano langsung dengan suara yang dia buat agak dingin agar terdengar seolah tidak peduli. Namun suara yang keluar dari dalam mulutnya justru terdengar parau dan sedikit bergetar.

Tanpa memberikan respon apapun, wajah Adi berpaling dari pandangannya. Cowok itu tak menggubrisnya sama sekali, membuat Nano bingung harus berbuat apa.

Perlahan, bocah SMP itu melangkah mendekati ranjang lalu langsung menjatuhkan tubuhnya di samping Nano, dengan posisi membelakangi saudara kembar Mira itu.

Sontak, bau rokok yang menyengat kuat dari tubuh Adi langsung menyerang organ penciuman Nano. Yang lebih mengejutkannya lagi, ada sedikit aroma alkohol di badan bocah itu, yang tentu membuat Nano semakin resah.

"Di," panggilnya lirih. Bocah itu masih diam.

"Adi," panggil Nano lagi. Tetap tak ada jawaban.

Baru saat Nano hendak menepuk lengan Adi, terdengar suara dengkuran halus dari bocah itu. Ternyata ia langsung tertidur setelah ia merebahkan tubuhnya.

Padahal Nano ingin dirinya dan Adi berbicara untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi semalam, namun sepertinya ia tak bisa melakukannya. Lebih tepatnya ia tak tega membangunkan bocah itu yang terlihat lelah sejak dia menginjakkan kaki di dalam kamar.

Akhirnya Nano hanya bisa turun dan menghampiri sisi ranjang yang dekat dengan Adi. Dengan hati-hati, ia melepaskan jaket bocah itu yang kini ia sadari ternyata benar-benar beraroma alkohol. Setelah ia lempar jaket itu ke tempat baju kotor, Nano membenarkan posisi tidurnya supaya bocah itu dapat beristirahat dengan nyaman, menaikkan kepalanya di atas bantal, serta tak lupa menarik selimut hingga menutupi dada bocah itu.

Lihatlah, begitu perhatiannya Nano walaupun mereka berdua sekarang sedang tidak akur.

.


***


.


Kembaran Mira itu mengira bahwa cepat atau lambat, Nano pasti menyesali ucapannya lalu meminta maaf. Karena biasanya bocah itu tak bisa jauh-jauh dari Nano. Namun yang terjadi selanjutnya sungguh di luar harapan.

Adi dan Nano sama-sama bungkam hingga hampir lima hari berturut-turut tanpa jeda. Bahkan setiap malamnya Nano harus tidur sendirian, dan Adi selalu muncul setiap pagi harinya dengan tubuh beraromakan asap rokok bercampur alkohol yang menyengat. Dan bocah SMP itu langsung tidur begitu saja tanpa menghiraukan Nano sedikit pun.

Malam ini juga sama seperti malam-malam sebelumnya. Nano hanya bisa meringkuk di atas ranjangnya sambil memeluk lutut dengan kepala yang menoleh miring ke kanan, tempat Adi biasanya tidur.

Tak jauh dari situ, tatapan Nano tertumbuk pada foto Adi dalam bingkai kecil yang terpajang di samping lampu tidur. Ia menggeser tubuhnya sedikit untuk meraih foto itu dengan tangan kanannya, lalu ia perhatikan secara seksama. Di dalam foto, tampak Adi yang mengenakan seragam basketnya melakukan dribble di dalam sebuah arena basket indoor. Foto yang diambil secara candid itu tampak bagus dan hidup, apalagi melihat ekspresi Adi yang tampak maskulin.

Tanpa sadar Nano tersenyum samar. Mungkin ini terdengar aneh, tapi Nano saat ini benar-benar rindu akan tingkah bocah itu yang seringkali mengganggunya. Ia rindu dengan polah bocah itu yang tiba-tiba menyentuhnya, memeluknya, mengendusnya, menggodanya, dan hal-hal lainnya yang kerap kali membuat cowok bernama lengkap Marcelino Akshara itu naik pitam.

Saat ia menyadari matanya mendadak berkaca-kaca tanpa sebab, Nano segera menaruh kembali foto Adi ke tempatnya semula. Ia menggeleng dengan cepat lalu meninju-ninju ubun-ubunnya sendiri, mencoba menghilangkan pemikirannya soal Adi yang sepertinya mulai terasa janggal.

Ada sesuatu yang perlahan muncul dan membingungkan perasaannya. Dan menurutnya ini bukanlah hal yang bagus apalagi mengetahui bahwa semua yang terjadi semakin hilang kendali membuat Nano harus cari jalan keluar secepatnya.

Segera ia beranjak untuk menemui Mira di kamarnya. Ia tak punya pilihan lain selain meminta bantuan, paling tidak satu atau dua pendapat, dari adik kembarnya mengenai permasalahan yang terjadi antara dirinya dan putra pemilik mansion yang mereka tinggali saat ini.

Langsung saja Nano melangkah masuk ke dalam kamar karena pintu kamar Mira dalam posisi terbuka lebar. Cewek itu tampak sedang duduk di atas ranjangnya sambil menonton televisi sambil bersenderan di ranjang. Kondisi Mira tampak beratus-ratus kali lebih baik sekarang. Berkat beberapa pembantu di sini yang senantiasa mengawal Mira supaya pemulihannya lebih cepat.

Andaikan dulu Nano tak mengiyakan tawaran orang tua Adi, mungkin hidupnya bakal jadi lebih sulit. Dia harus kuliah, kerja, dan menjaga Mira sekaligus. Itu benar-benar hal yang mustahil. Jadi dirinya cukup bersyukur karena tawaran orang tua Adi sangat amat membantunya.

"Kenapa, Mas?" tanya Mira begitu Nano membaringkan tubuhnya sendiri di sebelah lalu memejamkan mata.

"Masalah sama Adi?" tanya Mira lagi dan Nano hanya bisa menangguk sambil manyun.

Mendengar hal itu membuat Mira menghela napas. Diarahkannya remote tv itu ke depan untuk mengecilkan volumenya.

"Trus sekarang masalahnya sama Adi apaan?" Mira sudah melemparkan pertanyaan untuk yang ketiga kalinya.

Mata Nano terbuka. Sambil tiduran, ia mendongak menatap wajah adiknya secara terbalik. "Adi suka sama aku, Mir."

"Trus?"

Melihat reaksi Mira yang tampak biasa saja itu membuat kening Nano berkerut. "Kamu ngga kaget gitu?"

Mira mengangkat remote tv untuk memukulkannya ke kepala kakak kembarnya. "Makanya jadi cowok tuh peka dikit kek. Aku yang cuma ngeliat kalian berdua aja udah bisa nebak dari jauh-jauh hari."

Nano mencibir. Memang benar jika dirinya bukan tipe orang yang gampang peka terhadap sesuatu yang seperti itu. Maksudnya sesuatu seperti orang yang suka padanya, orang yang memberinya kode-kode cinta, atau lain sebagainya, Nano kurang peka. Mungkin hal itu juga lah yang menjadi alasan lain putusnya dirinya dengan Sophie.

"Trus abis dia nembak kamu, kamu tolak, Mas?"

Nano menggeleng.

Mendengar jawaban Nano membuat Mira mengangkat tangannya di depan mulut. "Jadi mas nerima dia? Kalian udah pacaran?"

"Enak aja! Aku bukan homo!" protes Nano sambil menonjok pelan paha kanan adiknya.

"Emang apa salahnya sih, Mas? Jadi homo atau bukan, kan mereka juga tetep manusia. Mereka juga punya hati, mereka punya cinta."

Nano mendengus pelan setelah ia menegakkan punggungnya untuk duduk. "Aku ngga tau, Mir."

"Emang ceritanya gimana sih kok si Adi bisa-bisanya punya nyali gede buat nembak kamu, Mas?"

Dan mengalirlah rentetan kalimat dari bibir Nano, menceritakan kejadian yang terjadi lima hari lalu itu. Semuanya ia curahkan pada adiknya termasuk tentang penguntitan seharian waktu itu, hingga perang dingin yang terjadi antara mereka berdua sampai detik ini.

Mira yang mendengarkan dengan seksama cuma bisa mengangguk pelan. Adik Nano itu mengerti sekarang kenapa akhir-akhir ini ia jarang melihat Adi di rumah.

"Trus perasaan mas gimana? Emang mas beneran nggak ada rasa sama sekali buat Adi?"

Nano ingin memberitahu adiknya kalau dirinya mulai merasa rindu kelakuan bocah itu. Tapi malu mengakuinya karena takut di sangka berubah jadi homoseksual. "Aku nggak tau, Mir. Pusing."

Perlahan, Mira menggeser tubuhnya untuk mendekati Nano. "Gini ya, Mas. Kalo aku boleh ngasih saran, cobak deh mas yang minta maaf duluan. Soalnya gimanapun juga kan mas lebih tua dari Adi, dan harusnya lebih bisa ngalah, apalagi tuh bocah masih SMP loh. Toh nggak ada salahnya juga buat mas."

Mendegarnya membuat Nano mengangkat bahu. Ucapan Mira memang ada benarnya. Tapi masalah Adi yang menyukainya....

"Soal Adi yang suka sama mas, kalo mas masih bingung sama perasaan mas, mending langsung bilang aja deh sama dia. Atau kalo enggak, mas tanya dulu ke diri mas, mas juga suka sama Adi atau enggak." Ucapan Mira sedikit mencerahkan isi pikiran Nano.

Tapi di sisi lain, Nano masih bingung dengan apa yang dia rasakan pada Adi.

"Toh Mira juga ngga masalah kok kalo kalian berdua sama-sama suka. Kapan lagi punya calon ipar kaya?" celetuk Mira mencoba mencairkan suasana hati kakaknya.

Nano cuma menepuk paha adiknya agak keras. "Hus! Kamu ini, Mir! Kamu pengen mas kamu ini jadi homo?"

"Kalo itu bisa bikin mas bahagia, kenapa enggak?" balas Mira sambil memainkan alisnya, membuat Nano geregetan lalu mencubit kedua pipi adik kembarnya itu ke kanan kiri. Mira hanya cemberut sambil berusaha melepaskan tangan Nano dari wajahnya.

Baiklah, tampaknya Nano harus sedikit melakukan introspeksi diri selama beberapa waktu sebelum memutuskan untuk berbicara lagi dengan Adi. Selain itu ia juga harus mencari cara supaya Adi tidak mendiamkannya, harus ada trik untuk memancing bocah itu supaya mau diajak mengobrol empat mata.




(Bersambung...)


Previous Chapter | Next Chapter



Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)