Generation (Chapter 17)



Gerak waktu masih berhenti saat ini. Om Raju, Ari, Mas Agung, dan Titi sekarang berada di UKS, merawat Juli yang tadi sempat pingsan karena ketakutan setengah mati.

Disana ada dua siswa lain yang sedang berbaring di matras yang berbeda, juga seorang penjaga UKS wanita. Ari ingat, wanita ini adalah penjaga UKS yang sama waktu dulu pipinya terluka karena goresan silet dari Tomi. Tapi wanita berjilbab cokelat tua itu hanya diam tak bergerak karena berhentinya waktu.

Sedangkan Titi mengipasi badan Juli yang pingsan dengan sebuah buku tipis yang ada di atas meja penjaga UKS. Ia agak merasa aneh saat melihat perawakan Ari sekarang yang terlihat sedikit lebih tua dan tidak memakai seragam sekolah dalam sekejap.

"Ri... ini sebenernya... ada apa sih? Kenapa waktu bisa berhenti kayak gini?" tanya Titi sambil mendorong kacamatanya ke belakang setelah menyibakkan bagian bawah kerudungnya ke pundak. Kini ia sedikit lebih tenang daripada tadi ketika waktu mendadak berhenti.

Ari pun tersenyum kecil. "Oh iya, Ti. Aku lupa. Kamu pasti kaget dan bingung pas waktu tiba-tiba berhenti tadi. Kayaknya aku musti jelasin dari awal lagi deh. Tapi nanti dulu ya, nunggu Juli bangun dari pingsannya. Aku males njelasin dua kali."

Alis Titi tampak bertautan begitu Ari berucap demikian. "Emang ada apa?? Kenapa semuanya jadi.... Ah! kok aku jadi bingung sendiri sih? Kamu mau jelasin soal apa, Ri? Terus kenapa Mas Agung ada disini pake baju rumah sakit? Bukannya dia lagi koma? Terus bapak ini siapa?" tanya Titi sambil menatap Mas Agung dan Om Raju bergantian lalu kembali ke Ari dengan tangan kanan yang masih sibuk mengipasi Juli.

Yang ditanya malah mendesah sambil meraupkan kedua tangannya ke muka. Ari datang dari masa depan, dan tentu ia tahu lebih banyak hal daripada Ari yang sekarang. Termasuk mengenai sesuatu yang tidak diketahui orang lain yang hidup di masa sekarang.

"Mas Agung barusan aku sembuhin dari komanya. Terus yang disampingnya ini Om Raju, ayahnya Mas Agung. Ceritanya panjang pokoknya. Kita tunggu Juli bangun dulu, baru nanti aku bakal ceritain ke kamu, Juli, juga Mas Agung dan Om Raju sekalian," jawab Ari lalu merapatkan kedua bibirnya, membentuk senyum mungil nan rapuh.

Ya, mungkin keputusannya kali akan tepat dengan membiarkan Titi dan Juli mengetahui segala hal tak wajar yang tengah terjadi.

"Ta-tapi... bukannya kamu tadi pake seragam? Kok sekarang uda nggak pake lagi? Terus kok gaya rambut kamu tiba-tiba berubah kayak gitu? Terus kok wajah kamu kayak jadi sedikit tua? Terus~.."

"Aku butuh bantuan dari kamu dan Juli," sanggah Ari cepat-cepat, memotong pertanyaan Titi yang bertubi-tubi dan belum sepenuhnya selesai.

"Kamu bikin aku makin penasaran setengah mati, Ri," gerutu Titi lalu memilih untuk fokus merawat Juli supaya segera siuman. Sedangkan Ari memandang Mas Agung dan Om Raju dengan tatapan meminta maaf. Titi memang begitu super-cerewet kalau dihadapkan dengan sesuatu yang membuatnya penasaran.

Dan ia berharap semoga segala usahanya dapat membuahkan hasil. Sekecil apapun kemungkinan yang terjadi, ia yakin kesungguhan hatinya akan membantu dirinya untuk melalui semua ini.

.
* * *
.

Suasana di kelas terasa membosankan bagi Ari. Walaupun Titi, Juli, dan Nicholas sedang berdebat hebat mengenai kasus penyanyi dangdut yang tengah dilanda masalah karena menghina Pancasila.

Ari menikmati kue nagasari yang dibawa Titi sambil memandang ke luar kelas, mencoba mencari ketenangan sendirian dalam pikirannya sendiri.

Ia jadi kepikiran cowok yang sekarang duduk di sampingnya itu. Kalau diingat-ingat lagi, sepertinya Nicholas dulu pernah menunjukkan kemampuan levitasi-nya pada Ari, Tomi, Mas Agung, dan Kak Geraldine. Dia ingat itu.

Mungkin kejadian-kejadian berat yang menimpanya akhir-akhir ini memaksa otaknya untuk menimbun beberapa ingatam yang bahkan terjadi beberapa waktu yang lalu.

Tapi pas tadi pagi ia bertanya ke cowok itu, dia jawab kalau dia sebenernya tidak punya kemampuan apapun.

Apapun.

Ini benar-benar kontradiktif, kan? Ari perlu penjelasan sejelas-jelasnya dari Nicholas.

Sebelum hal ini semakin membuatnya bingung. Ia menoleh ke arah Nicholas dan hendak bertanya pada cowok itu mengenai masalah ini saat tiba-tiba Juli bersuara aneh.

"Cubit aku, Ti!" ujar Juli dengan nada tinggi. Dia dan Titi terlihat memandang ke depan, ke arah Nicholas dan Ari dengan pandangan kosong dan sedikit linglung.

"Cepetan cubit aku!" seru Juli sekali lagi, membuat otak Nicholas berpikir jahil. Dengan cepat ia menjulurkan tangannya ke depan dan mencubit lengan kiri Juli keras-keras, membuat cewek fujoshi itu berteriak kesakitan.

"Aw! Lepasin! Sakit tahu! Goblok!" omel Juli marah-marah sambil mengelus-elus lengannya sendiri setelah menyingkirkan tangan Nicholas dengan kasar.

Yang dimarahi malah mendengus sambil tertawa kecil. "Lagian kamu sendiri sih yang minta dicubit. Aku kan cuma mau nolongin, Jul."

Juli memberengut sambil mengumpat pelan lalu mengobrol dengan Titi sambil berbisik-bisik. Ari memutar bola matanya sambil menggeleng melihat tingkah aneh kedua cewek di depannya itu. Barangkali mereka sedang membicarakan masalah wanita.

Itu bukan hal yang penting. Sekarang Ari harus meminta penjelasan pada Nicholas mengenai pertunjukkan kemampuan levitasi-nya waktu itu.

"Nic, kamu bilang kamu nggak punya kemampuan levitasi, kan?" tanya Ari memulai dengan volume agak kecil.

Sontak, raut wajah Nicholas langsung berubah, terlihat setengah serius dan setengah ingin menghindar untuk membicarakan lagi masalah ini. "Iya, Ri. Emangnya kenapa?"

"Nah, bukannya waktu itu kamu pernah nunjukkin kemampuan levitasi-mu? Kan waktu itu kamu pernah mbanting tubuh kamu ke atas meja keca di markas ekskul teater, terus mejanya nggak kenapa-kenapa. Kamu masih inget kan?" tanya Ari bersungguh-sungguh.

Nicholas menghembuskan napas sambil mengangguk pelan dengan mata yang terpejam selama beberapa detik.

"Terus kok bisa kayak gitu? Emangnya kalo itu bukan levitasi, kok kamu bisa ngelakuin itu?" tanya Ari dengan tatapan menyelidik. Memang terasa aneh jika Nicholas mengakui tidak punya kemampuan tapi bisa melakukan hal seperti itu.

Yang ditanya kembali menghembuskan napas panjang lalu membasahi kedua lapisan bibirnya dengan lidah. "Itu bukan levitasi, Ri. Itu salah satu manipulasi energi berbentuk ilusi yang diberikan salah satu penjahat itu padaku."

Ari menatap Nicholas dengan dalam seolah ingin penjelasan yang lebih rinci.

Nicholas tidak punya pilihan lain. Ia harus menceritakan segalanya, membuat dirinya transparan tanpa ada yang ditutup-tutupi. "Jadi salah satu dari mereka punya kemampuan yang aneh gitu, bisa memanipulasi pengelihatan orang lain. Dia mentransfer sedikit energinya padaku supaya aku bisa bohongin kamu dan kamu percaya kalo aku juga punya kemampuan. Tapi aku cuma bisa melakukannya satu kali aja, dan aku putusin buat ngeluarin energinya saat itu."

Oh, jadi seperti itu. Ari bisa mengerti sekarang kenapa Nicholas bisa melakukan levitasi.

Yah, bagaimana pun juga, cowok itu sudah mau jujur padanya. Dan jawaban Nicholas sudah cukup untuk membuat rasa penasarannya mengabur dan lenyap. Kini Ari bisa lebih tenang.

Saat ia hendak menggigit kue nagasarinya lagi, ia menyadari kalau Titi dan Juli memandanginya sejak tadi dengan tatapan menyelidik dan kasihan pada waktu yang sama, membuat Ari risih.

"Napa liatin aku kayak gitu sih?" omel Ari lalu meraba-raba wajahnya dengan lugu, "Perasaan aku nggak punya jerawat deh."

Dua cewek itu malah tertawa kecil lalu kembali berbisik-bisik satu sama lain.

Baiklah, ini mulai terasa aneh bagi Ari. Dimulai dari mereka berdua yang tadi mendadak menatap ke depan dengan mata kosong. Lalu si Titi yang tiba-tiba minta dicubit.

Terus sekarang dua cewek itu bertingkah hampir seperti gadis-gadis genit nan alay yang berusaha "menggoda" Ari.

"Nic, urusin tuh, pacar-pacar kamu!" celetuk Ari yang membuat Nicholas tersedak pisang goreng lalu terbatuk.

"Sialan kamu, Ri! Jul, minta airnya dong! Uhuk! Uhuk!"

Juli mengeluarkan botol air mineralnya dari dalam tas lalu memberikannya pada Nicholas. "Jangan di kokop. Awas loh!"

"Bawel!" balas Nicholas lalu langsung menegak air mineral.

Sedangkan Titi masih memperhatikan Ari dengan seksama. Memandang wajahnya yang tersirat beban abstrak. Pantas saja anak ini dari tadi tampak sedikit diam.

Ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Begitupun Juli. Mereka berdua baru tahu hal ini tadi. Ari dari masa depan lah yang menceritakan segalanya.

Gadis berjilbab dan berkacamata itu sadar bahwa laki-laki yang duduk di depannya sambil menikmati kue nagasari itu bukanlah orang yang suka mengumbar masalah pribadinya sendiri dan mengharap perhatian banyak orang. Dan hal itulah yang membuat Titi kagum dengan Ari.

Bahkan jika Titi sekarang berada di posisi Ari, dia mungkin sudah tidak bisa berpikir waras lagi. Menanti dengan hati berdebar-debar, kapan orang-orang jahat yang hendak membunuh Ari itu menampakkan diri lalu menyerangnya. Memikirkan orang-orang di sekitarnya yang berusaha keras untuk melindunginya, merelakan waktu dan tenaga mereka.

"Ri," panggil Titi.

Ari menoleh. "Hm? Ada apa, Ti?"

Titi tersenyum kagum. Walaupun ada banyak masalah yang sedang dihadapi dan membuatnya jadi sedikit pendiam, tapi anak itu masih bisa bersikap biasa di depan teman-temannya.

"Enggak ada apa-apa kok. Cuman pengen manggil aja."

Ari memutar bola matanya tepat saat ponselnya berdering. Segera ia keluarkan dan menekan tombol hijau lalu ditempelkan ke telinga tanpa melihat siapa yang menghubunginya saat ini.

"Halo?"

"HALOOO?!! ARI??" pekik suara seorang wanita dari arah seberang, membuat anak itu menjauhkan ponsel dari telinga sambil memandang rentetan nomor tak dikenal di layar ponselnya.

Tapi teriakannya.... sepertinya Ari kenal deh dengan suaranya. Siapa tahu juga jangan-jangan itu orang iseng atau apalah itu yang sejenisnya.

Ia menyuruh teman-temannya mendekat sambil menempelkan jari telunjuk kanannya ke bibirnya sendiri dan mendesis pelan.

Dengan hati-hati Ari menekan tombol loudspeaker dan menaruh ponselnya di tengah-tengah mereka berempat.

"Iya, saya Ari. Ini siapa ya?" tanya Ari sopan.

"Ini, Kak Hana, Ri! Aku nemuin si Agung yang dari masa depan tergeletak di depan rumahku!"

Terlambat! Ari tidak sempat mematikan loudspeakernya!

Di pandangnya wajah pucat kedua gadis di depannya itu sambil mengambil ponselnya di atas meja dengan agak kasar.

Ari tersenyum meringis pada mereka berdua, sedangkan Nicholas juga tampak gugup, mengingat kalau setahu dia, Titi dan Juli tidak pernah tahu-menahu soal masalah yang kini dihadapi oleh Ari.

"Eh, anu. Sori, ternyata ini nomernya Kak Hana, guys! Hehe...," kata Ari gugup.

"Oh, itu kakaknya Mas Tomi, kan? Yang becandanya sering kelewatan itu? Ah, dia gak pernah bosen apa gangguin kamu, Ri?" Nicholas berniat memberi bantuan. Namun kedengarannya malah seperti alasan yang mengada-ada.

"Enggak gitu juga keleus, Nic. Eh, bentar dulu ya, aku jawab telponnya Kak Hana dulu. Bentar-bentar...," Ari berjalan keluar meninggalkan Nicholas, Titi, dan Juli yang masih bergeming di bangku mereka masing-masing di dalam kelas.

Tanpa Ari dan Nicholas sadari, Titi dan Juli sudah berubah menjadi dua gadis yang berbeda dari sebelumnya sejak beberapa menit yang lalu.

Titu yang sekarang memiliki kemampuan telepati tingkat tinggi, berkat Ari dari masa depan yang membantu melancarkan aliran energi yang ada di kepalanya, memudahkan untuk mengakses kapabilitas otaknya lebih luas lagi. Mungkin tanpa bantuan Ari dari masa depan, Titi tidak akan pernah bisa memunculkan kemampuan alaminya itu.

Sedangkan Juli memiliki kemampuan yang sama langkanya dengan kemampuan regenerasi milik Ari. Namun kemampuannya lebih cenderung bisa diandalkan untuk orang banyak. Itu kata Ari dari masa depan.

Tapi sialnya dia tidak sempat memberi tahu Juli seperti apa kekuatannya. Ari dari masa depan cuma bilang kalau kemampuan Juli memiliki kemampuan yang masih sulit dimunculkan walaupun aliran energi di kepalanya sudah diperlancar sedemikian rupa. Mungkin nanti Juli bisa tahu cara memunculkan kemampuannya sendiri.

Kata Ari dari masa depan, setiap orang memiliki kemampuan yang unik, hanya saja pikiran-pikiran mereka yang terlalu realistis dan kurang imajinatif membuat aliran energi di otak mereka tersumbat oleh energi negatif yang menggumpal.

Dan kali ini, ia memilih Titi dan Juli untuk menjadi kartu As-nya dalam rangka membantu Ari. Tentu saja kedua gadis itu sangat bersedia menolong Ari. Mereka berdua tidak rela sahabatnya itu dijahati orang. Apalagi Ari dan Tomi sekarang menjadi real-couple favorit Titi dan Juli.

Pokoknya tidak ada yang boleh mengganggu mereka berdua. Kalau sampai ada yang mengganggu, hadapi aku sama Juli dulu!, batin Titi sambil men-telepati Juli mengenai apa yang ia katakan barusan. Mereka berdua saling bertatapan dan tersenyum sambil mengangguk kompak sekilas.

Hingga beberapa persekian detik berikutnya, wajah Titi mendadak berubah pucat pasi begitu mendengar percakapan Ari dengan kakaknya Tomi, Kak Hana, secara disengaja.

Ia mendengar bahwa Mas Agung dari masa depan tiba-tiba sudah tergeletak di depan pagar rumah Kak Hana tanpa mengenakan atasan. Kepalanya berlumuran darah.

Titi ingat, bukankah tadi Ari dari masa depan mengatakan kalau Mas Agung dari masa depan sedang berada di panti asuhannya Nicholas? Itu berarti sekarang tidak ada yang berjaga di sana.

Dan napas Titi langsung tercekat begitu mendengar satu kalimat Kak Hana yang membuat jantungnya hampir melompat keluar dari tubuhnya.

Di bagian dada dan perut Mas Agung dari masa depan terdapat tulisan yang mengancam.

"Panti asuhan pukul 4 atau game over."

Sialan! Itu artinya selama ini para penjahat itu sudah memperhatikan gerak-gerik mereka semua. Ini benar-benar gawat!

Setelah Ari mengatakan pada Kak Hana kalau ia hendak meminta ijin untuk pulang pada guru piket, Titi langsung men-telepati Juli mengenai apa yang telah di dengarnya, mengabaikan Nicholas yang sebenarnya tengah berbicara pada Juli.

"Kita harus ke sana. Kita bantu mereka," balas Juli lewat pikirannya. Titi mengangguk paham karena dengan mudah ia bisa membaca seluruh pikiran Juli.

"Tapi gimana dengan Nicholas?" tanya Juli pada Titi sambil sesekali membalas perkataan Nicholas dengan anggukan dan senyuman.

Titi menoleh pada Nicholas sambil sambil membetulkan letak kacamatanya. "Nic, supaya kamu tetep aman, kamu musti ikut sama Ari sekarang," ucap Titi tiba-tiba dengan kata-kata yang tidak bisa dipahami oleh Nicholas.

Ketika Nicholas menelan pisang gorengnya dan membuka mulut, berniat untuk bertanya lagi, Juli langsung menimpali. "Nggak usah banyak tanya sekarang. Kemasi buku-buku ke dalam tas. Ini semua berkaitan soal Ari"

Nicholas menatap kedua gadis itu dengan tatapan aneh. Soal Ari....??? Jangan-jangan mereka berdua sudah tahu? Tapi darimana?

Namun ia tetap mengikuti perintah mereka dengan agak sebal. Apalagi saat Ari kembali dari luar kelas dengan terburu-buru dan wajah yang terkesan gugup, membuktikan bahwa memang ada yang tidak beres saat ini.

"Sori, guys. Kayaknya aku musti cabut dulu sekarang. Tomi barusan bilang kalo Kak Hana mendadak maag-nya kambuh lagi. Jadi ini aku sama Kak Tomi musti bawa Kak Hana ke rumah sakit sekarang, soalnya dia sendirian di rumah. Oh iya. Nic, kamu kayaknya musti ikutan juga."

Nicholas yang masih belum mencerna sepenuhnya kata-kata Ari barusan cuma mengangguk bego lalu menoleh menatap Titi yang tersenyum maksa dan Juli yang memandang keluar jendela dengan kedua tangan mengepal.

"Ya udah, hati-hati ya, Ri, Nic," balas Titi. Ari mengangguk cepat lalu menggendong tas punggungnya. Kedua laki-laki itu langsung melesat keluar begitu berpamitan pada Titi dan Juli.

Dan tentu saja Juli dan Titi tidak akan tinggal diam begitu saja. Para penjahat itu juga sudah berhasil menyulut amarah mereka.

.

.

.

(Bersambung cantik....)

.

.

Previous Chapter| Next Chapter 

Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)