Generation (Chapter 18)
Di dalam bus umum yang penuh dan berdesak-desakan, Titi dan Juli meluncur ke panti asuhannya Nicholas, namun mereka harus rela berdiri karena tidak dapat tempat duduk. Tapi itu tidak masalah. Mereka harus sampai ke sana secepatnya.
Mereka berdua khawatir jika Mas Agung dari masa depan sedang berada di rumahnya Tomi, itu artinya tidak ada seorangpun yang berjaga di panti asuhan itu.
Walaupun mereka hanyalah dua orang gadis yang baru saja mendapatkan kekuatan dan belum terlalu berpengalaman, mereka sudah bertekad bahwa apapun yang terjadi, mereka tidak ingin sahabat mereka, Ari, terbunuh konyol begitu saja. Apalagi jiwa fujoshi mereka yang kuat membuat nyali mereka semakin besar. Tidak akan ada yang bisa memisahkan Ari dan Tomi selama ada mereka berdua, walaupun sebenernya mereka masih belum siap berkorban nyawa sih. Namun mereka juga ingin melindungi saudara-saudara Nicholas yang ada di panti asuhan itu. Pokoknya yang penting untuk saat ini Titi dan Juli ingin memastikan bahwa gedung panti asuhan itu baik-baik saja.
Lagipula saat ini bukan hanya mereka berdua saja kok yang sedang menuju ke panti asuhan Nicholas. Kak Geraldine juga ikut. Titi yang tadi meminta gadis itu untuk ikut setelah menjelaskan bahwa mereka berdua tahu apa yang sebenarnya terjadi serta memberitahu mengenai kejadian yang menimpa Mas Agung dari masa depan, dan berkat pertolongan dari Kak Geraldine yang notabene seorang anggota OSIS, mereka mendapatkan ijin dari guru piket.
"Jadi kalian berdua udah tahu apa yang selama ini terjadi sama Ari? Juga sama grup rahasia kami?" tanya Kak Geraldine yang berdiri. Pertanyaan yang sama yang sudah dilontarkan gadis itu pada Titi dan Juli selama empat kali setelah meninggalkan gerbang sekolah.
"Kak Geraldine bawel, kan tadi udah aku jawab" balas Titi lewat telepati pada Kak Geraldine, juga pada Juli. Gadis yang sempat menjadi kakak senior pendamping Titi waktu MOS itu tampak melebarkan mata karena terkejut, sementara Juli terkekeh geli melihat ekspresi Kak Geraldine yang tampak konyol.
"Mending kita ngomongnya dalem pikiran aja," usul Titi yang diikuti anggukan dari Juli dan Kal Geraldine. Titi memejamkan matanya erat-erat, memusatkan pikirannya pada dua gadis yang berdiri di samping kiri dan kanannya itu lalu membuka mata kembali setelah telepatinya sudah terhubung ke mereka berdua.
"Lalu sekarang apa rencana kita? Nggak mungkin kan kita ke sana tanpa rencana. Apalagi kalo tiba-tiba nanti para penjahat itu ternyata ada di sana. Kana bisa runyam," Kak Geraldine tiba-tiba langsung meminta pendapat sebelum Titi memberi kode untuk mulai berbicara.
"Kita liat dulu sikonnya. Kalau kita enggak bisa menanganinya, baru nanti aku coba telepati ke yang lain supaya bantu kita," balas Titi.
Juli langsung cemberut. "Kalian berdua sih enak udah tau kemampuan kalian kayak gimana. Aku? Ari dari masa depan aja gak ngasih tau. Konyol kan nanti jadinya kalo aku nggak bisa bantu apapun."
Titi hanya menahan tawa sambil menepuk-nepuk pundak Juli. "Sabar, Jul. Kan katanya Ari dari masa depan kemampuan kamu juga akan keluar sendiri nanti."
Memang agak riskan juga sih kalau mengajak Juli yang masih belum tau bentuk kemampuannya seperti apa. Namun dia yakin, Ari dari masa depan mengerti kenapa ia tidak memberitahu kemampuan Juli ini. Dan sekarang Juli cuma punya satu tujuan, yaitu membantu Ari.
* * *
Ari junior duduk di berhadapan dengan Ari senior (dari masa depan) di sisi kanan dan kiri tempat tidur Tomi yang sekarang telah terbujur lemas tubuh Mas Agung dari masa depan di sana. Mereka berdua berusaha menyembuhkan luka-luka yang ada di tubuh Mas Agung. Di kamar itu juga ada Tomi yang berdiri di samping Ari junior dengan ekspresi super cemas. Sebenarnya ia lebih khawatir pada Ari junior, takut kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti waktu itu saat ia hampir saja mati karena menggunakan kekuatannya di atas titik batas kewajaran, karena ia belum terlalu berpengalaman.
Sementara yang lainnya, Kak Hana, Mas Agung dari masa sekarang dan Om Raju langsung tancap gas menuju panti asuhan, karena mereka yakin para penjahat itu tidak pernah main-main dengan ancaman mereka.
Terlihat luka-luka di tubuh Mas Agung itu mulai mengering, tapi pria itu tak kunjung siuman. Mungkin ada beberapa luka dalam yang memerlukan waktu lebih lama untuk disembuhkan.
Tomi yang tidak tahan berdiri terus akhirnya mengambil tempat di samping Ari junior yang masih memakai seragam sekolah, sama seperti dirinya, dan mendudukkan pantatnya di sana sambil memeluk Ari dari belakang. Tentu saja yang dipeluk malah mengomel tak jelas karena risih. Terlebih di sana juga ada Ari senior yang tampak tersenyum jahil pada tingkah Tomi yang seperti itu. Ari senior menghela napas lalu wajahnya menjadi agak muram.
Sebenarnya jauh dalam hati ia juga berharap bisa bermesraan dengan Tomi seperti itu. Namun Tomi di masanya sudah meninggal terlebih dulu. Dan sekarang satu-satunya jalan untuk mengembalikan keadaan seperti semula adalah membantu Ari dan Tomi dari masa sekarang untuk bertahan hidup apapun resikonya.
"Jangan ganggu ah! Ini nanti Mas Agung malah nggak sembuh-sembuh loh," gerutu Ari sambil menggeliatkan badannya supaya Tomi segera melepas kaitan lengannya yang sukses melingkar di pinggang Ari.
"Kamu jangan maksain diri, sayang. Nanti kalo kejadian kaya yang kemarin gitu terjadi lagi gimana?" tanya Tomi berbisik di telinga kanan Ari junior dengan nada lembut dan khawatir yang menyatu.
"Aku nggak peduli! Mas Agung harus sembuh!" balas Ari dengan nada tinggi. Ya, benar. Mas Agung sudah rela datang dari masa depan untuk membantunya. Jadi kalau sampai terjadi apa-apa padanya, maka Ari tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.
Hingga tanpa ia sadari, setetes air jatuh di pipinya. Bukan air mata, melainkan darah yang keluar dari pelupuk mata Ari junior.
Tubuh Ari mendadak lemas dalam sekejap lalu tergolek lemas di pelukan Tomi.
Napas Tomi tercekat kuat. "Ari! Ari! Hei!" Ia yakin bahwa Ari menggunakan kemampuannya berlebihan lagi. Dan Tomi terbelalak begitu menemukan air mata darah yang mengalir di pipi kekasihnya itu.
Pada saat yang sama, Ari dari masa depan mendadak menghentikan aktivitasnya menyembuhkan Mas Agung dengan tatapan layu, lalu tersungkur di atas tubuh Mas Agung dengan pisau belati yang menancap tepat di punggungnya.
Tomi terkesiap. Jantungnya berdebar di sertai perasaan takut yang luar biasa. Belati itu sama dengan belati yang dulu sempat mengenai Ari dari masa sekarang saat berkunjung ke Inggris dulu.
Dan disana rupanya, di luar jendelanya yang terbuka lebar, tampak tiga orang mencurigakan yang tengah berlari mendekati rumahnya. Walaupun Tomi belum pernah bertemu atau berhadapan langsung dengan penjahat-penjahat itu, tapi ia yakin itu mereka.
Oh tidak! Jangan-jangan mereka hanya memancing perhatian Tomi dan teman-temannya? Sial!
Dengan sigap, Tomi langsung bangun dan menggendong Ari di depan dadanya. Tepat pada saat dia hendak menarik pintu kamarnya, sebuah belati menusuk betis kanannya, membuat Tomi mengerang kesakitan dan jatuh berlutut. Namun ia masih berusaha untuk tidak melepaskan Ari dari gendongannya.
Bagaimana ini?! Tomi tidak mampu untuk berlari lagi dengan keadaan seperti ini!
Tomi menunduk menatap wajah Ari yang masih terpejam dengan jejak darah yang mengaliri pipinya.
Apakah hubungan mereka harus sampai di sini?
Apakah kisah cinta mereka akan berakhir di sini?
Apakah riwayat mereka akan habis di tangan para penjahat itu?
Tomi menatap keluar jendela. Penjahat-penjahat itu mulai dekat dan salah satu dari mereka hendak melempar pisa belati lagi ke arahnya.
Cowok itu merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga Ari dengan baik.
Dia memang kekasih yang kurang baik untuk Ari.
Ya, mungkin satu-satunya hal yang bisa dipikirkan oleh Tomi sekarang adalah pasrah. Jika memang hidupnya berakhir sampai di sini saja, ia tidak keberatan selama Ari berada di dekatnya saat ia mendekati mautnya sendiri.
Tomi mengusap darah yang mengotori kedua pipi Ari sambil tersenyum pahit. Bahkan cowok itu belum sempat memberi apapun pada Ari.
Tomi tersenyum mengingat bayang-bayang masa lalu yang mengalir cepat di otaknya, dulu saat ia masih berupa boneka milik Ari. Ia selalu dimanja, disayang, bahkan ia selalu menjadi teman tidur Ari setiap malam.
Tomi ingin seperti itu lagi, ingin saat-saat seperti itu terjadi di setiap detik dalam hidupnya. Mungkin ia ingin lebih daripada itu. Cowok itu ingin menjaga Ari, melindunginya, selalu di sisinya. Bahkan ia sudah berjanji dalam hatinya, tidak ada satu orang pun yang boleh memiliki Ari selain dirinya.
Memikirkannya saja sudah membuat hati dan pikirannya terasa tercabik.
Ia masih ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Ari. Dan jika Tuhan mengijinkan, ia ingin menikmati masa tua bersama anak itu. Namun kelihatannya keinginan yang selama ini ia impi-impikan itu tidak akan pernah terwujud. Tomi menundukkan kepalanya untuk mengecup bibir Ari, merasakan kelembutan bibir Ari saat salah satu dari penjahat itu melempar pisau belati ke arah kepala Tomi.
Tomi memejamkan mata. Ia sudah pasrah dengan apapun yang terjadi sampai pada akhirnya ia mendengar suara angin mulai melambat lalu berhenti. Segera ia membuka matanya dan terhenyak begitu melihat sebuah pisau belati mengambang beberapa milimeter tepat di sisi kiri kepalanya.
Waktu telah berhenti.
Apa Tuhan barusan mendengar doanya?
Ataukah ini ilusi sesaat sebelum ia masuk menuju gerbang kematian?
Tidak! Itu bukanlah pertanyaan yang masuk akal!
Tomi menoleh ke arah ranjang dan agak kaget saat mendapati tubuh lemah Mas Agung dari masa depan yang ternyata sudah setengah siuman. Pria itu memejam tak kuat. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, jadi saat ia memaksa tubuhnya untuk menggunakan kemampuan chronokinesis, kepalanya terasa amat sakit.
Tomi menoleh ke luar jendela, dimana ketiga penjahat itu sudah hampir mencapai jendela kamarnya. Dua pria dan satu wanita. Louis, Paul, dan.... Kim. Yah, sepertinya itu nama mereka. Ari senior dulu pernah bercerita pada ia dan yang lain saat makan malam pertamanya di rumah Ari.
"Mas Agung!" Tomi tidak bisa bergerak. Betis kirinya yang tertusuk pisau belati terasa sangat sakit untuk digerakkan, tapi Ari tak pernah lepas dari pelukannya.
"Kamu cepat pergi sebelum kemampuanku nyampek batas, Tom! Pergi dan selametin Ari sekarang juga! Cepet! Waktuku nggak banyak!" teriak Mas Agung dengan suara yang kedengarannya mirip seperti rintihan.
"Tapi Mas Agung gimana? Nggak mungkin aku ninggalin Mas Agung dan Ari dari masa depan yang sekarang terluka di pangkuan Mas Agung itu!"
"Nggak perlu cemasin kami! Aku akan bawa Ari kembali ke masa depan! Dan mungkin aku sama Ari nggak bakal bisa balik ke sini lagi! Jadi tolong jaga Ari baik-baik!"
Tomi membuka mulutnya hendak menimpali kalau mungkin lebih baik sekarang ia membunuh para penjahat itu sebelum mereka membunuh Ari. Tentu saja itu satu-satunya pikiran yang melintas di benak Tomi sekarang. Koreksi, mungkin bukan sekarang, tapi sepanjang hari. Ia tidak pernah memikirkan hal lain selain membunuh mereka.
Tapi melihat kondisi yang tidak memungkinkan karena Mas Agung yang kian melemah dan hampir sekarat lagi, ia tidak punya pilihan, dan ia juga tak punya banyak waktu lagi untuk berpikir lebih jauh. Lagipula dengar-dengar, para penjahat ini punya kemampuan yang berada di atas rata-rata. Jadi mau tidak mau, Tomi harus menahan egonya saat ini.
Cowok itu akhirnya cuma bisa mengangguk nurut dengan perasaan tidak rela. "Mas Agung, makasih udah mau bantuin aku sama Ari."
"Cepatlah, Tom!!" teriak Mas Agung yang sudah tidak kuat lagi.
Tomi mengangguk cepat. Dengan susah payah, ia berusaha berdiri sambil menggendong tubuh Ari dari masa sekarang dengan kaki kanannya yang masih baik-baik saja.
Setelah itu ia kembali fokus pada pikirannya sendiri untuk melakukan satu bentuk transformasi yang tidak pernah ia lakukan saat hormon adrenalinnya memacu kesadarannya ke tingkatan yang lebih tinggi, seperti sekarang ini. Mungkin ini akan sedikit sulit, tapi ia harus mencobanya.
Beberapa detik setelahnya, nampak seragam Tomi bagian belakang mulai bergerak-gerak dengan kasar dan cepat. Namun Tomi masih terpejam dan berkonsentrasi secara sepenuhnya hingga nampak urat-urat yang muncul di atas pelipisnya.
"Cepatlah, Tomi!" Mas Agung dari masa depan sudah kehilangan kesabarannya tepat pada saat kemeja seragam Tomi terkoyak total dan jatuh ke lantai memperlihatkan tubuh topless Tomi yang tampak maskulin disertai sepasang sayap besar berbulu cokelat terang yang tumbuh di kedua tulang belikat pada punggung cowok itu.
Transformasinya kali ini mengubah Tomi menjadi sesosok malaikat bersayap. Ia sendiri juga tidak menyangka kalau ia bisa melakukan transformasi ini di saat-saat genting.
Tanpa basa-basi lagi, Tomi mengepakkan sayapnya lalu dengan cepat terbang keluar jendela sambil menggendong Ari di depan dadanya. "Ari, bertahanlah, sayang," bisiknya lirih lalu menatap ke depan, terbang menuju panti asuhan Nicholas yang entah berada di mana. Tomi tidak tahu tempatnya karena belum ada seorang pun yang memberitahunya.
Pada saat ia melewati ketiga penjahat itu, waktu kembali bergerak normal lagi.
Sepertinya pilihannya tepat. Mungkin kalau dia memilih untuk kukuh dan memaksa diri untuk mencoba membunuh ketiga penjahat itu, ia akan kehabisan waktu. Bisa saja malah ia yang akan terbunuh.
Tomi menoleh ke belakang saat ia sudah terbang cukup tinggi.
Nahas, ia melihat si wanita dari komplotan penjahat itu sekarang sedang terbang mengejarnya tanpa bantuan apapun. Wanita itu memiliki rambut merah menyala, dengan tatapan aneh yang menakutkan.
Tomi yang mulai panik itu dengan mempercepat kecepatan terbangnya. Ia tidak boleh tertangkap.
Namun cowok itu terbang tanpa tujuan! Bagaimana ini?! Dimana ia bisa mendapatkan pertolongan di saat-saat seperti ini?!
Tunggu dulu, sejauh yang ia tahu, panti asuhan Nicholas berada di perbatasan antara Tulungagung dan Blitar. Jadi otomatis Tomi sekarang harus menuju ke arah utara.
Yah! Ini satu-satunya harapan yang ia miliki sekarang!
Ini semua demi cowok yang ada di dalam gendongannya itu.
Ari harus tetap bertahan hidup apapun resikonya.
.
.
(Bersambung...)
.
Previous Chapter| Next Chapter
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say