Generation (Chapter 19)
Sayap Tomi masih berusaha mengepak lebih cepat dan lebih cepat demi menghindari wanita terbang itu sambil menggendong Ari. Walaupun semakin lama ia juga merasa semakin lemah karena transformasinya kali ini membutuhkan tenaga psikis yang cukup besar. Tak apa. Apapun akan ia lakukan demi Ari. Bahkan nyawanya sekalipun. Mati sekalipun ia tak peduli.
"Bertahanlah, bentar lagi kita sampai," suara Tomi terdengar parau di telinganya sendiri. Ia tidak tahan melihat Ari terluka seperti ini. Tak akan sanggup melihat orang yang ia cintai melukai dirinya sendiri dengan ceroboh seperti ini. Namun Tomi tahu, bahwa Ari memiliki hati yang lembut dan bersahabat dari pada kelihatannya. Ari adalah malaikatnya.
Di sisi lain, Tomi juga berpikir, mungkin Ari akan butuh waktu yang sangat lama untuk sembuh, karena tidak ada Ari masa depan yang bisa menyembuhkannya seperti waktu itu. Mungkin Ari tidak akan bisa sadar selamanya.
Mendadak, jantung Tomi berdegup keras satu kali dan membuatnya terbatuk kencang mengeluarkan darah yang mengenai baju Ari.
Tomi sudah hampir melewati batasnya. Ia tahu tubuhnya tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi dengan transformasi sayapnya.
"Sial!!" umpat Tomi sambil menoleh kebelakang, berharap kalau wanita terbang itu hilang.
Tapi dia masih berada di belakangnya, masih ulet mengejarnya dengan cara terbang dengan begitu mudahnya tanpa bantuan apapun, seperti sihir.
Pada saat ia dan Ari mulai mendekati daerah perbatasan Tulungagung dan Blitar, tubuh Tomi mulai lemas. Gendongannya pada Ari hampir terlepas kalau ia tidak sigap memperbaiki posisi tangannya.
Saat ia berharap supaya kekuatannya bertahan sedikit lebih lama, ternyata Tuhan berkehendak lain. Sayap Tomi menyusut dengan sangat cepat, dan hilang di balik kulit yang menyelimuti tulang belikatnya. Tomi mulai kehilangan kesadarannya saat itu juga, membuat dirinya dan Ari jatuh dari posisi yang cukup tinggi untuk membuat mereka berdua meninggal seketika jika langsung menghantam tanah.
"Maafin aku, Ri," bisik Tomi sedih sebelum ia benar-benar pingsan di udara. Gendongannya pada Ari terlepas.
Mereka berdua meluncur turun ke tanah dengan sisa-sisa cinta mereka berdua yang baru saja terjalin beberapa hari.
Sebulir air mata Tomi muluncur dari sudut mata kanannya dan ikut terbang menangisi takdir dari Tuhan yang sepertinya sangat sulit untuk ditentang.
Namun dibalik itu semua, Tuhan pasti sudah memberikan takdir yang terbaik untuk semua insannya di dunia, termasuk untuk Ari dan Tomi.
Dan saat mereka berdua tinggal beberapa puluh meter hampir menghantam tanah, seorang gadis kecil tanpa disangka melihat Ari dan Tomi dari belakang sebuah rumah.
Gadis itu tersentak melihat dua titik kecil yang ia pandang dari jauh itu adalah dua tubuh yang melayang bebas tanpa parasut atau benda apapun yang membantu mereka berdua untuk mendarat.
Langkahnya tergerak seketika dan kedua tangannya terulur ke depan. Saat kelopak matanya terpejam, gadis kecil itu terjengkang ke belakang dengan begitu kerasnya karena tidak cukup kuat untuk menahan kecepatan luncur Ari dan Tomi. Tapi ia masih berusaha.
Ia punya kekuatan.
Kekuatan yang ia miliki harus ia gunakan untuk melindungi orang lain. Itulah pesan dar ayahnya sebelum meninggal setahun yang lalu.
"Tuhan! Bantu aku!!!" teriak gadis kecil itu dengan kedua mata yang mulai memerah karena menahan beban tak kasat mata yang melebihi batas kemampuannya.
Perlahan, tubuh Tomi dan Ari yang meluncur tak sadarkan diri di udara itu mulai melambat.
Dan saat tubuh mereka berdua tinggal lima meter lagi jaraknya dengan tanah di halaman belakang, gadis itu pingsan dan tubuh Ari serta Tomi jatuh tergeletak begitu saja di atas rerumputan liar.
***
Titi, Juli, dan Geraldine tiba di rumah panti pada saat Mas Agung, Nicholas dan Om Raju baru saja memarkirkan mobil yang mereka tumpangi. Ada juga sesosok wanita berusia sebaya yang keluar dari mobil dengan bola mata yang mirip dengan bola mata Ari. Itu adalah mamanya Ari. Om Raju tadi sempat menjemput wanita itu di tempat kerjanya sebelum kemari.
"Kalian!" panggil Geraldine sambil berlari kecil menghampiri mereka, Titi dan Juli mengekor dari belakang.
Sepertinya situasinya mulai agak sulit sekarang. Titi merasa mereka semua dalam keadaan terpojok yang sangat tidak mengenakkan. Segalanya berubah menjadi rumit sampai-sampai ia melihat halusinasi aneh, yaitu sesosok tubuh transparan berpakaian putih yang terbang melintas di atas mereka semua dan akhirnya berhenti tepat di samping kanan Geraldine.
Bulu kuduk Titi merinding saat itu juga. Apakah kekuatannya ini bisa membuatnya melihat hantu...? Tidak. Hantu itu tidak ada! Titi tidak takut tahayul seperti Juli. Ia jauh lebih berani. Dan juga penasaran.
Titi mengucek-ngucek matanya sejenak untuk memastikan bahwa itu bukan hanya halusinasi semata, lalu berjalan mendekati sesosok putih yang membelakanginya itu.
Titi berputar mengelilingi tubuh transparan itu sambil bertingkah seolah-olah kalau ia tidak bisa melihatnya dengan berpura-pura memainkan ponselnya.
Dan saat Titi sudah bisa melihat wajah dari tubuh transparan itu, napasnya terdekat, ponselnya terjatuh. "Astaga!!!" pekik Titi tanpa sadar yang membuat semua orang melempar pandangan padanya, termasuk tubuh transparan yang tampak sedang bersedih itu.
Wajah itu...
Tapi bagaimana bisa ia menjadi bertubuh transparan seperti ini...
Apa mungkin...
Mata Titi dan mata milik tubuh transparan itu saling bertemu. Segaris senyum mendadak tersinggung di wajah sosok yang tampak tembus pandang itu. Titi menjadi semakin berdebar dengan hipotesa-hipotesa singkat dan tidak masuk akal yang muncul di pikirannya.
"Ada apa, Ti? Kamu kenapa?" tanya Juli yang melihat tingkah aneh temannya itu. Titi ingin berucap, tapi sulit sekali. Ia tidak tahu harus berkata apa, yang ada dia malah tergagap tidak jelas. Ia yakin bahwa semua orang disana tidak melihat sosok transparan itu. Jadi ia tidak mungkin mengatakan pada mereka mengenai apa yang tengah ia lihat sekarang.
"Ah... Um.. A-anu...," Titi dengan sigap memumut ponselnya secepat kilat, "Aku kebelet pipis. Nic, toiletnya mana?" tanya Titi memasang ekspresi palsu sambil memijat-mijat perutnya sendiri seperti orang yang ingin kencing di celana.
Setelah Nicholas memberitahu letak toilet, Titi langsung berjalan melewati tubuh transparan itu, memberi kode supaya tubuh transparan itu mengikutinya, karena ia tidak bisa melakukan telepati pada sosok astral itu. Sepertinya kemampuan pikirannya hanya sebatas untuk makhluk yang berwujud.
Mungkin ia tampak kurang sopan karena meninggalkan mereka semua tanpa berkenalan dengan wanita yang memiliki mata mirip Ari itu, tapi ini lebih penting.
Karena sosok bertubuh astral yang sekarang mengekor di belakangnya sekarang adalah Ari sendiri.
Arinanda Djapri sendiri.
"Titi?! Kamu bisa ngelihat aku?" Ari terus saja merepet seperti itu saat mereka berdua sedang berjalan ke arah samping rumah panti ini, bukan ke toilet. Ada beberapa anak panti di sekitarnya, jadi Titi tidak ingin membuka suara dulu walaupun ia sangat ingin sekali.
Hingga mereka tiba di tempat yang agak sepi dekat pagar tanaman yang rimbun.
"Ari! Ya Tuhan! Kenapa kamu bisa jadi kayak gini?" tanya Titi langsung tanpa basa-basi. Ari yang berwujud tembus pandang itu tampak melompat bahagia setelah tahu kalau Titi ternyata memang bisa melihatnya.
Ari mendekat, hendak memeluk Titi dan segera menceritakan semua yang ia alami, namun tubuhnya hanya mampu menembus tubuh Titi, lewat begitu saja seperti gumpalan asap. Ari memandang kedua telapak tangannya lalu mengepal.
Titi pun bingung harus berbuat apa. Ia juga ingin menepuk pundak Ari, namun Ari sudah membuktikan kalau mereka berdua tidak bisa saling sentuh.
Ari mengumpulkan napasnya dan memutuskan untuk mengesampingkan kesedihan yang ia rasakan saat ini. "Aku sekarat, Ti."
"Ha? Maksud kamuh?! Lalu dimana Tomi? Dimana Mas Agung dan Ari dari masa depan??!" Titi menolongnya dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
Ari menggeleng lemah. "Aku sekarat lagi saat mencoba menyembuhkan Mas Agung, tapi penjahat-penjahat itu datang dan bikin kacau semuanya. Tubuh astralku terlepas dari tubuh asliku. Mas Agung dan Ari dari masa depan sudah kembali ke masanya saat kami diserang penjahat-penjahat itu."
Ari menangis kencang kemudian, namun tidak ada air mata yang keluar. Tidak, ia tidak boleh menangis sekarang, Tomi sedang dalam bahaya. "Tomi melakukan transformasi sayap lalu terbang menggendong tubuh asliku dan terbang melarikan diri dari mereka, dan sekarang salah satu dari mereka mengejar Tomi. Tapi pasti Tomi tidak bisa menahan transformasi seperti itu dengan waktu yang lama. Tolong selamatkan, Tomi. Bantu aku, Tis," urai Ari dengan putus asa.
Titi meradang hanya karena mendengarnya. Rasanya ingin dia cabik-cabik tubuh orang-orang itu dengan tangannya sendiri hingga serpihan terkecil. "Dimana posisi Tomi sekarang?! Beritahu aku! Cepat!"
-
(Bersambung....)
-
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say