Generation (Chapter 20)



Hari sudah semakin siang. Titi yang beberapa waktu lalu bertemu dengan tubuh halus milik Ari kini tengah berlari secepat yang ia mampu untuk berlari ke kembali ke panti asuhan setelah tadi ia sempat kabur secara diam-diam karena tubuh astral Ari memberitahu dirinya kalau Tomi berada dalam bahaya. Tadi Titi sudah berada di daerah dimana Ari terakhir kali bersama Tomi. Namun disana tidak ada siapapun, pada saat yang sama tubuh astral Ari menemuinya lagi di tempat itu juga dan memberi tahu bahwa Tomi sudah berada di panti asuhan bersama dengan tubuh fisik Ari. Dan beberapa detik kemudian tubuh astral Ari menghilang dalam sekejap mata. Titi yang merasakan suatu kejanggalan pun memutuskan untuk langsung kembali lagi ke panti asuhan. Tidak mungkin tubuh astral Ari bisa menghilang begitu saja.

Di daerah sini tidak ada ojek ataupun angkot serta angkutan umum sejenisnya, jadi Titi harus menggunakan otot-otot kakinya sekarang untuk berlari sekencang-kencangnya.

Diliriknya lagi jam tangan miliknya yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah satu jam lebih dia meninggalkan panti asuhan. Mungkin mereka semua sedang mencari dirinya. Mungkin juga tidak, karena semua orang di sana tengah fokus pada Ari dan Tomi.

Ketika ia hendak melewati sebuah belokan dekat area persawahan, tiba-tiba secercah cahaya kilat menyilaukan menyambar tepat beberapa meter di depannya, membuat tubuh Titi terpental ke belakang dengan begitu keras. Tubuhnya terjengkang.

"Aduh!! Aw!!" pekik Titi. Tidak ada luka yang berarti, namun ia merasa punggungnya sedikit linu. Titi siaga. Langit tidak sedang mendung, jadi ini pasti ulah seseorang. Atau mungkin salah satu dari mereka menemukan posisi Titi saat ini?

"Bajingan!!" geram Titi dengan tangan mengepal kuat. Segera saja ia bangkit dan memutar kepalanya ke segala arah untuk menemukan siapa pelakunya.

Sesaat kemudian, Titi lengah. Sesuatu seperti balok kayu menghantam punggungnya dengan kuat, membuatnya oleng lalu rubuh lagi. Titi terkapar di tanah.

Lalu tiga orang yang berwajah asing mengelilinginya, dan salah satunya adalah wanita. Mereka adalah orang-orang yang memburu Ari.

"Bagus sekali! Sempurna! Kita jadikan dia sebagai umpan!" seru si wanita sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan girang.

"Betul, seperti rencana kita tadi. Kita sekap dia, lalu kita minta si cowok yang punya kekuatan regenerasi itu untuk datang ke perangkap kita," tambah pria yang memakai topi hitam untuk menutupi kepalanya yang tak memiliki sehelai rambut pun itu. Sedangkan pria yang satunya, yang memiliki luka jahitan di pipi kirinya hanya diam dan berjongkok sambil menepuk-nepuk pipi Titi.

Titi pun membuka mata pada saat itu juga, membuat ketiga orang itu tersentak, bahkan si pria bercodet di pipi itu langsung berdiri.

"BANGSAT!!"

Mendadak, seorang gadis berseragam SMA meninju pria punggung pria yang bercodet tadi dengan mudahnya, namun ternyata pukulan yang ia berikan luar biasa kuat hingga si wanita dan si pria bertopi ikutan terpelanting beberapa puluh meter ke area persawahan. Gadis si peninju itu tampak terperangah dengan perbuatannya barusan. Ia bahkan memperhatikan tangannya sendiri seakan tak percaya kalau dia melakukan hal semacam itu hanya dengan tangan kosong.

Titi pun langsung bangkit dibantu oleh gadis yang tadi meninju mereka.

"Kamu nggak apa-apa, Ti?" tanyanya.

"Thanks, Jul. Aku nggak apa-apa. Omong-omong sejak kapan kamu bisa ninju sampek kayak gitu?" tanya Titi pada Juli. Titi lah yang sudah memanggil Juli dengan telepatinya, karena ia tahu bahwa sejak ia kabur beberapa saat yang lalu, Juli menguntitnya. Tapi Titi memilih untuk pura-pura tidak sadar.

"Aku nggak tau, Ti! Ya ampun! Ini keajaiban banget! Serasa kayak jadi superhero!" pekik Juli lebay.

Titi tersenyum geli. Mungkin karena alasan inilah Ari dari masa depan tidak memberi tahu Juli mengenai kekuatannya. Kekuatan Juli terlalu berbahaya jika praktikkan.

Dan Juli memang berkata benar, mereka memang superhero dadakan yang masih baru mengenal kekuatan alami mereka. Tapi sekarang tidak ada waktu untuk bergurau. Situasi seperti ini benar-benar riskan dan berbahaya.

"Ayo kabur!" Juli hendak melangkah kabur, namun Titi segera menghentikannya. Para penjahat itu masih berada di sana, dan ini adalah kesempatan besar baginya untuk membantu Ari dan Tomi.

Ari dari masa depan sudah membantunya menggali kekuatan kedua gadis itu mencapai batas maksimal untuk membantu mengatasi masalah yang rumit ini.

Sekali lagi, Titi bukanlah orang yang penakut seperti Juli. Ia lebih menyukai tantangan, dan Ari dari masa depan tidak akan memunculkan kekuatan alami mereka berdua tanpa alasan. Dan Titi yakin kalau inilah alasannya.

Hanya Titi dan Juli yang bisa melawan mereka berdua. Kalau ia memilih mundur, maka semuanya tidak akan pernah selesai, kalau ia memilih maju, maka ia memiliki kesempatan untuk menang. Walaupun mereka kalah jumlah, tapi kekuatan yang Titi dan Juli miliki sudah berada di level paling tinggi. Jadi manuver apapun yang mereka lakukan dengan kekuatan mereka, pasti bisa berhasil.

"Kita nggak boleh kabur, Jul. Ini kesempatan kita buat ngalahin mereka. Ari dari masa depan pasti meminta bantuan kita berdua untuk hal ini, yaitu mengalahkan orang-orangan yang memburu Ari," Titi membenarkan kerudungnya supaya kepalanya bisa lebih leluasa bergerak.

"Ta-tapi, Ti, kita cuma berdua. Mereka bertiga loh. Apalagi mereka udah pada dewasa. Mereka pasti juga kuat!"

"Kita jauh lebih kuat, Jul! Yakin deh! Bahkan tanpa rencana pun kita bakal berhasil! Kalau nggak kita akhiri sekarang, nyawa Tomi dan Ari bakal terus berada dalam bahaya!" Titi berusaha mengatakan kata-kata positif untuk memberi keberanian pada Juli.

Juli mengerjap. Betul juga apa yang dikatakan Titi. Ini semua untuk Ari, juga Tomi.

"Sekarang, kamu alihkan perhatian mereka dulu, biar aku pikirkan cara terbaik untuk mengalahkan mereka!" titah Titi pada Juli. Juli mengangguk patuh karena ia tahu kalau kekuatan Titi tidak bisa digunakan untuk berkelahi. Selain ini Titi lebih pemikir dan sering mengambil keputusan yang tepat dalam segala hal.

Juli berlari ke arah tiga orang yang baru saja bangkit di sela-sela tanaman padi yang baru menguning.

Titi langsung berpikir dalam-dalam, mencari jalan keluar di dalam kepalanya yang mungkin bisa ia gunakan dalam mengalahkan mereka bertiga.

Sesuatu mengenai manuver kekuatannya. Kekuatan telepati yang sudah maksimal ini pasti memiliki kemampuan khusus dalam sesuatu. Kekuatan pikiran yang bisa mengalahkan....

Tapi kekuatan apa....?

Titi baru sana mengenal kekuatan ini beberapa waktu lalu dan sekarang ia butuh sesuatu yang sangat berarti untuk membantunya menang.

Di sisi lain, Juli yang berlari dan sudah berjarak beberapa meter dengan mereka langsung menghantamkan kedua kepalan tangannya ke tanah sawah, membuat tanah ini bergetar hebat, kemudian retak dengan cepat lalu bongkahan bongkahan besar langsung mencuat ke atas. Namun hanya dua pria itu saja yang masing-masing kakinya terjepit bongkahan tanah, di wanita malah terbang ke atas seperti burung.

Si pria bertopi hitam mengangkat tangan kanannya ke atas seperti ingin memanggill sesuatu dari langit. Dan tanpa terelakkan, sejurus petir menyambar tubuh Juli. Juli hanya sanggup menutupi kepalanya sendiri, takut akan rasa sakit yang ia rasakan jika terkena sedikit saja petir itu.

"JULI!!!" pekik Titi dari kejauhan.

Namun Juli salah, tubuhnya seperti tokoh Hulk dalam komik. Ia bahkan hanya merasakan bulu kuduknya yang merinding ketika petir yang hebat itu menyambar tubuhnya. Ia lupa bahwa Ari dari masa depan sudah memunculkan kekuatannya secara maksimal. Jadi dia tidak perlu menyia-nyiakan kesempatan yang ia miliki sekarang.

Dengan cepat, Juli berlari mendekat dan meraih kedua kepala pria itu lalu ditundukkan dan dia hantamkan ke tanah sawah dengan begitu mudahnya hingga mereka berdua tampak lemas. Juli sebenarnya tidak suka menyakiti orang lain dan berbuat sesuatu semacam ini. Namun jika menyakiti mereka dapat menyelamatkan teman-temannya, Juli bahkan bisa lebih berbahaya daripada kilatan petir sekalipun. Tapi untuk membunuh, Juli tidak akan pernah melakukannya.

Lalu buru-buru ia mencabut sebuah pohon berukuran sepaha dari tanah lalu menaruhnya secara perlahan di atas tubuh kedua pria itu yang sekaligus mengunci kedua tangan mereka.

Pria yang bercodet itu tampak tidak pernah menunjukkan kemampuannya. Atau mungkin di memiliki kemampuan yang tidak bisa digunakan untuk berkelahi, sama seperti kemampuan Titi.

Atau.....

Mungkin pria bercodet itulah yang menemukan posisi teman-temannya dengan mudah. Juli yakin kalau kekuatan pria bercodet itu seperti semacam radar. Kedua pria itu merintih kesakitan dengan masing-masing jidat yang berdarah-darah. Juli berhasil mengatasi mereka berdua dengan mudah.

Sedangkan si wanita terbang yang tadi sempat menghindar saat salah seorang temannya memanggil petir kini mendekati Titi yang lagi-lagi dalam keadaan lengah karena terlalu fokus memikirkan jalan keluar. Ia menarik lengan kiri Titi secara paksa lalu diangkatnya terbang ke atas. Titi meronta-ronta dalam keterbatasan nya.

"Hahaha! Dasar gadis goblok!" tawa si wanita itu terdengar melecehkan. "Kamu apakan temanmu itu? Bisa-bisanya dia patuh sama mu kayak orang bodoh? Ha?!"

Titi masih berusaha melepaskan cengkeraman menyakitkan dari tangan wanita itu yang kini masih memegang lengannya dengan kuat. Titi bukannya menyuruh Juli, dia menyemangati temannya itu supaya tidak mudah dikalahkan oleh rasa takut. Bukan menyuruh.

Tunggu dulu.....

Menyuruh....

Kekuatan pikiran....

Mungkin.....

Titi langsung memusatkan pikirannya dan melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak tadi.

Hipnotis.

-


***


-

Suara dengungan yang lemah di telinganya membuat Tomi membuka kedua matanya dengan cepat dan langsung menegakkan punggung. Pikirannya langsung mengarah pada Ari saat itu juga.

"Dimana Ari?! Dimana dia?!" racaunya tanpa memerhatikan bahwa ada banyak orang yang kini tengah berada di dalam ruangan yang sama dengan mayoritas anak di bawah umur. Ada juga beberapa wajah yang familiar baginya yang kini tengah berdiri beriringan satu dengan yang lain. Mereka tampak murung dan bersedih.

Tak salah lagi, Tomi sekarang sudah berada di panti asuhannya Nicholas. Ada juga Kak Hana dan Geraldine  yang memasang wajah sedih seperti yang lainnya.

Kak Hana mendekatinya, "Kamu istirahat dulu. Jangan banyak gerak."

Tomi memandang wajah kakak perempuannya itu dengan seksama, terlihat jelas jejak airmata yang mengering di permukaan kedua pipinya. Bahkan bola matanya juga tampak sedikit memerah seperti habis menangis. Nicholas yang berdiri di belakang Kak Hana juga menampakkan raut wajah lesu sambil mengurut-urut puncak hidungnya sendiri.

Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Mereka semua tidak ada yang mau memberitahu Tomi dimana Ari berada, sementara mereka tidak tahu seperti apa tingkat rasa cemas yang ia miliki saat ini.

"Minggir kalian!!" jerit Tomi sambil melompat dari atas kasur dan keluar dari ruangan itu, menerobos beberapa anak panti asuhan yang berdiri menutupi pintu. Tomi menuju ke seluruh kamar yang ada di bangunan itu. Cahaya yang masuk melewati jendela kaca di beberapa kamar yang ia masuki menandakan bahwa hari sudah sangat sore.

Sampai ia tiba di suatu ruangan gelap dengan pencahayaan minm dengan beberapa orang yang menangis tersedu mengelilingi sebuah jasad yang terbujur kaku dengan wajah super pucat di atas kasur.

Tomi berseru menerjang ke arah mereka dan menghalau kasar orang-orang yang menyentuh tubuh yang kini sudah tak bernyawa itu. Jantungnya serasa meledak saat itu juga begitu melihat bahwa wajah pucat yang kini tepat berada di bawah wajahnya itu adalah Ari.

Seluruh saraf di tubuhnya menegang saat ia menyentuhkan ujung jemarinya mengelus pelan kening cowok yang ia sayangi itu yang sekarang terasa begitu dingin.

Tomi tidak mampu lagi menahan gejolak pedih yang sudah meremukkan akal sehatnya hingga tak berbekas. Masa depannya seperti runtuh begitu saja melihat kekasihnya telah terlelap dalam tidur panjang tanpa akhir.

"Pergi kalian semua! Keluar dari sini!!" teriaknya kasar pada orang-orang yang masih berdiri sedih di ruangan itu. Om Raju salah satunya, ia melangkah mendekat, berniat untuk menenangkan Tomi. Namun cowok itu malah berteriak kembali sebelum Om Raju sempat berkata sesuatu.

"Ku bilang pergi!! PERGI!!" raung Tomi yang kini kian menjadi di sela tangisnya yang tertahan. Tomi yang selama ini pantang untuk menitikkan air mata, kini akhirnya menangis sejadi-jadinya sambil merengkuh jasad Ari yang makin lama makin dingin.

Tomi melepaskan pelukannya perlahan dengan air mata yang masih tumpah. Di tatapnya wajah Ari dengan sendu. Jejak darah kering masih tersisa di sudut-sudut mata cowok yang kini sudah ia sayangi sejak ia berwujud boneka.

Bibirnya bergetar hebat. Berucap pun rasanya sulit. Rasanya seperti kiamat yang tiba-tiba menghantam dunianya hingga ia merasa sangat hancur sekarang.

"ARI!!" teriak dua orang bersamaan dari arah pintu kamar yang membuat Tomi menoleh marah.

Titi dan Juli yang tiba-tiba datang dengan pakaian kotor dan sedikit koyak pun terbelalak tak percaya melihat tubuh Ari sudah kaku.

"Ya Allah!" bahkan Juli langsung berlutut dan menangis dalam diam.

Sedangkan Titi....

Ia lebih terpukul secara psikis. Kedua matanya memandang nanar jasad Ari. Mungkin inilah alasannya kenapa tubuh astral Ari tadi menghilang begitu saja.

Ari sudah meninggal.

Titi mencoba menahan beban tubuhnya yang membuat kedua lututnya seakan hampir lumpuh.

Apakah ini akhir dari segala perjuangan yang baru saja ia lakukan bersama Juli? Apakah semuanya harus berakhir setragis ini saat masalah utamanya telah mereka berdua atasi?

Takdir benar-benar mempermainkan mereka semua. Ari sekarang sudah tiada.

-

-

(Bersambung)

-


Comments

Popular posts from this blog

7 Cerita Boyslove Wattpad Terbaik Versi Qaqa Kazu

Generation (Chapter 24/ Final)

Heartbeat (Chapter 21/ Final)