Generation (Chapter 22)
Sebelum semuanya semakin runyam dan terlambat, Titi harus segera menanyai mama Ari. Mengenai masa lalu mendiang suaminya dan tujuannya menghidupkan Tomi menjadi manusia yang sebenarnya. Kemungkinan untuk menemukan cara untuk mengembalikan Ari supaya dapat hidup kembali memang kecil, tapi selama kemungkinan itu di atas nol persen, segalanya masih mungkin untuk terjadi.
Takdir masih bisa diubah jika Tuhan menghendaki.
Setibanya di teras, Titi langsung berlutut di depan mama Ari yang masih duduk melamun lalu menangkupkan kedua tangannya di atas tangan wanita yang tampak setengah gila itu. Jujur, sebenarnya gadis berjilbab dan mengenakan kaca mata berbingkai hitam itu tak terlalu sanggup menghadapi mama Ari yang seperti ini. Ia pasti akan membayangkan jika hal tersebut terjadi pada ibunya sendiri.
Titi membasahi bibirnya sambil bernapas sedalam-dalamnya. "Tante, kita masih punya kesempatan buat ngembaliin Ari supaya bisa hidup lagi."
Wanita yang tampak membuka mulut hendak mengusir Titi itu langsung bungkam. Ia menatap Titi dengan guratan penuh rasa penasaran di dahinya.
"Coba tante ingat-ingat, apakah mendiang suami tante punya suatu rahasia atau tujuan ngehidupin Tomi jadi manusia? Saya pikir aneh jika beliau ngelakuin itu tanpa alasan yang jelas," lanjut Titi tanpa menunggu balasan terlebih dahulu.
Mama Ari memejam cepat lalu matanya membulat seperti baru saja hidup kembali dari lamunan panjangnya. Tangannya meraih dan menggenggam tangan Titi seerat yang ia bisa, membuat Titi yakin bahwa ada cara untuk mengembalikan Ari untuk kembali bersama mereka semua.
Lagi, Titi berusaha membujuk mama Ari untuk menggali ingatan masa lalunya dengan hipnotis ringan. "Kalo mendiang suami tante saja bisa menghidupkan benda mati tanpa unsur kehidupan sama sekali, saya yakin, beliau pasti punya pemikiran yang lebih jauh menatap ke depan. Ngehidupin Tomi menjadi manusia bukan hanya untuk menjaga Ari aja, tapi juga menjaga nyawa Ari, Tante," kata Titi dengan beberapa penekanan kata yang lebih meyakinkan.
Napas Mama Ari tercekat. Dirinya mengingat sesuatu. "TOMI! Semua tanggung jawab suamiku ada di pundak Tomi! Tante nggak terlalu yakin, tapi jika memang benar, Tomi pasti mewarisi sesuatu yang bisa dilakukan oleh suamiku. Hanya saja... Tomi harus mengeluarkan energi psikisnya di level tertinggi untuk membuat otak dan jantung Ari kembali berfungsi! Dia harus....."
"Cukup, Tante," potong Titi tiba-tiba. Senyumnya mengembang begitu ia tahu bahwa cara itu memang ada. Ia berhutang budi pada Salma. "Tante bisa jelaskan pada kami semua tentang cara itu nanti. Sekarang kita harus ke kamar dan ngelakuin apa yang harusnya dilakuin sejak tadi."
Mama Ari mengangguk dengan wajah penuh antusias. Wanita itu langsung beranjak dari kursinya dan berlari ke dalam. Ia memanggil teman-teman serta kerabat Ari yang memiliki kemampuan khusus supaya masuk ke dalam kamar dimana jasad kaku Ari berada.
Titi bahagia melihatnya. Paling tidak untuk sekarang, ia dapat membuat mama Ari melupakan kesedihannya dan segera melakukan sesuatu yang semoga saja dapat mengembalikan Ari.
Ari harus kembali.
Ari harus tetap hidup.
Untuk mama Ari...
Untuk teman-teman Ari...
Dan untuk kekasih Ari yang sudah hampir gila karena kehilangan sosok pendamping hidupnya...
Tomi.
-
-
***
-
Matahari sudah tenggelam di tepi barat, jadi kamar itu sekarang hanya di terangi oleh lampu neon kekuningan berintensitas lima watt yang tidak terlalu remang.
Saat ini, pintu kamar itu tertutup rapat, namun tak terkunci. Di sana ada Mas Agung, Kak Geraldine, Om Raju, Kak Hana, Titi, Juli, Mama Ari, serta Tomi. Mereka semua mengitari kasur yang menjadi tempat jasad Ari dibaringkan.
Setelah mama Ari membujuk dan menjelaskan pada Tomi bahwa Ari kemungkinan dapat dihidupkan kembali, Tomi langsung memaksa wanita itu untuk melakukan apapun.
"Tapi, Nak. Ada satu masalah yang harus kamu tanggung," mama Ari memandang Tomi lekat-lekat. Ia masih tak sanggup memandang jasad Ari yang permukaan kulitnya semakin membiru kaku.
"APAPUN, TANTE! APAPUN BAKAL SAYA LAKUIN DEMI ARI!" sahut Tomi yang kini terlihat seperti orang yang mengalami kerusakan psikis.
Wanita itu memegang kedua pundak Tomi lalu memejamkan mata dengan kening berkerut dan membukanya lagi. "Kamu harus mengorbankan nyawamu untuk menggantikan nyawa Ari!"
Deg!
Jantung Tomi berdenyut menyakitkan, seperti ada sesuatu yang menyumbat aliran darah di rongga jantungnya. Antusiame yang tadi ia tunjukkan pada semua orang di kamar itu kini mengabur dan mencair saat itu.
"Enggak! Jangan, Tomi! Tante, jangan paksa Tomi!" teriak Kak Hana histeris. Ia sungguh tak rela jika melihat adiknya mengorbankan nyawanya sendiri. Walaupun selama ini ia tampak tidak begitu akur dengan Tomi, namun dialah orang yang sejak kecil menjaga cowok itu. Sampai kapanpun Kak Hana tak akan sanggup merelakan Tomi, walaupun pada kenyataannya Tomi bukanlah adik kandungnya.
Lihatlah! Bahkan yang lainnya pun tampak ragu dan tak menduga cara satu-satunya untuk menghidupkan Ari kembali adalah mengorbankan Tomi. Termasuk Titi yang menutup mulutnya, terkejut karena tak percaya.
Om Raju juga. Dialah satu-satunya orang berkemampuan khusus yang usianya paling dewasa. Tapi ia juga tak mampu berbuat banyak. Menginterupsi pun bakal percuma. Ia tak punya alasan apapun untuk membujuk Tomi dalam mengambil keputusan.
Mengorbankan nyawanya sama saja dengan mengubur hidup-hidup angan-angan terbesarnya untuk hidup bahagia berdua bersama Ari. Bahkan ia sudah memiliki berbagai rencana untuk hubungan mereka kedepannya.
Tomi, lupakan itu semua!
Ingatlah jasa mendiang papa Ari yang sudah memberimu kesempatan untuk hidup dan bisa berbicara langsung pada Ari. Bisa mencintainya secara nyata, walaupun hal itu tak bisa berlangsung lama. Beliaulah yang paling berjasa dalam hidupnya. Dan sekarang tugasnya untuk melindungi Ari mungkin hanya bisa sampai di sini.
Berhenti di tengah jalan yang masih menyisakan jarak tak kasat mata untuk mencapai kebahagiaan sejati.
Tomi rela serta tak rela secara pada waktu yang bersamaan, namun ia sadar bahwa hidup Ari jauh lebih berharga.
Mendiang papa Ari menghidupkannya dengan tujuan untuk supaya Tomi bisa menggantikan posisinya untuk menjaga Ari.
"Baiklah! Akan kulakukan!" jawab Tomi mantap.
"Tomi! Enggak! Tomi, jangan lakukan itu.... Please! Dengerin kakak, Tom!" pekik Kak Hana sambil menahan lengan kanan adiknya.
Tomi menatap Kak Hana dengan senyum sendu. Setelah sekian lama, baru kali ini cowok itu memberikan senyum pada kakaknya, walaupun senyum itu terlihat begitu menyakitkan untuk dilihat. Tomi meraih kedua tangan Kak Hana lalu bertutur lembut, "Jangan khawatir, Kak. Aku bakal tetep hidup kok. Jujur, walaupun selama ini aku sering bandel dan nggak begitu dengerin ucapkan Kak Hana, aku tetep sayang sama kakak. Kakak lah yang jadi panutanku sejak kecil. Lagian papa Ari lah yang udah bikin aku bisa hidup kayak gini. Bisa punya kakak yang hebat kayak Kak Hana aja aku udah seneng. Apalagi aku juga udah bisa ngobrol sama Ari, orang yang selalu jadi tujuan hidupku. Jadi paling enggak, biarin aku ngebales semuanya. Aku janji kok aku bakal berusaha untuk tetep hidup!"
Kak Hana langsung merangkul adiknya itu dan menangis pilu.
Tomi memeluknya balik sambil mengusap-usap punggung Kak Hana. Ia merasa bersalah karena sudah membohongi kakaknya. Cowok itu memberikan harapan palsu pada Kak Hana dengan berkata kalau ia bakal tetap hidup. Padahal ia sendiri tak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kak Hana melepas pelukannya pada Tomi. "Kamu harus janji, Tom!"
Tomi membalasnya dengan anggukan pelan. Segalanya harus dipercepat. Tomi meminta mama Ari untuk menjelaskan tahap-tahap yang harus mereka semua lakukan untuk menyukseskan misi hidup dan mati ini.
Beberapa saat kemudian, mereka semua langsung berdiri di tempat mereka masing-masing sambil menggenggam tangan satu sama lain, membentuk setengah lingkaran yang memutari kasur dengan Titi yang berada di tengah-tengah.
Jadi intinya, mereka semua berusaha untuk menciptakan energi regenerasi buatan. Energi dari semua orang yang ada di kamar itu dijadikan media atau jalan bagi Tomi untuk memberikan nyawanya pada Ari.
Seperti yang ia katakan sejak awal, mama Ari tidak terlalu yakin cara ini bakal berhasil atau tidak, tapi yang ia tahu, pola itu sama persis dengan pola saat Ari dan mendiang suaminya mengobati orang lain.
Walaupun ia sendiri tak punya kekuatan khusus, tapi ia paham betul struktur pemindahan energi oleh kemampuan regenerasi yang dimiliki oleh mendiang suami dan anaknya itu.
Sesuai permintaan mama Ari, Titi sudah menghipnotis alam bawah sadar Tomi supaya ia dapat mengerahkan seluruh kemampuan psikisnya. Sedangkan yang lain cukup memusatkan konsentrasi mereka pada Titi, yang kemudian titik fokus mereka akan dikumpulkan menjadi satu oleh Titi, lalu ia teruskan energi dari semua orang pada Tomi dan Ari sekaligus.
Mama Ari menarik napas cepat lalu menatap Tomi yang sudah menduduki jasad Ari dan memegang kedua tangan milik Ari yang terkulai kaku. "Apa kamu siap?" tanyanya.
Tomi menoleh memandang wajah pucat Ari. Mungkin ini adalah yang terakhir kalinya ia menatap wajah itu. Dengan cepat, ia merundukkan punggungnya dan mencium bibir dingin Ari dengan perasaan campur aduk.
Sedih karena harus meninggalkan kekasihnya.
Bahagia karena ia mungkin bisa membuat Ari hidup kembali.
Terpukul karena menyaksikan cintanya berakhir di ujung jalan.
Entahlah! Semua seakan bersatu padu membuat hatinya beku dan tidak bisa merasakan apa-apa selain niat sungguh-sungguh untuk menghidupkan Ari kembali.
Melihat hal itu membuat mama Ari tak kuasa menahan air matanya. Kalau ia punya cara lain yang lebih baik tanpa mengorbankan nyawa orang lain, pasti semuanya tidak akan seperti ini.
Titi pun juga. Dirinya sejak tadi diam, tapi otaknya terus bekerja sejak tadi, mencari jalan lain agar Tomi tidak mati. Karena di antara yang lain, dirinyalah yang dianugerahi kekuatan pikiran maksimum yang paling memiliki kapabilitas tinggi dalam memecahkan masalah. Namun sampai saat itu otaknya terus saja menemui jalan buntu setiap memikirkan jalan keluar, dirinya seperti berada di dalam bangunan labirin besar yang membentang luas tanpa ada arah yang pasti untuk dituju.
Setelah Tomi melepaskan ciumannya, dia kembali menoleh pada mama Ari sambil mengangguk mantap.
"Baik kalau begitu. Semuanya, konsentrasikan titik fokus kalian pada Titi, dan Tomi, kerahkan seluruh energi psikismu."
Dan suasana berubah menjadi hening. Sepi di dalam kamar itu, kecuali anak-anak panti yang masih menunggu di luar kamar.
Tomi sudah mulai mengerahkan semuanya yang diikuti dengan berubahnya warna seluruh permukaan kulitnya menjadi sedikit kemerahan.
Beberapa saat kemudian, Titi berhasil mengunci seluruh titik fokus semua orang yang ada di dalam kamar itu. Ia berusaha menyalurkan sebuah jalan supaya Tomi dapat melakukan transfer energi.
Tanpa terduga, cahaya lampu di kamar itu menjadi meredup, berkelip sebentar lalu mati, digantikan dengan cahaya putih lurus yang bersinar dari kedua bola mata Titi ke arah tubuh Tomi dan Ari.
Namun cahaya itu tak cukup kuat. Titi baru sadar kalau energi dari mereka saja ternyata masih belum cukup. Ia butuh energi lebih, kalau tidak Tomi akan mati sia-sia kalau begini. Tapi jika ia menghentikan prosesinya sekarang, semua rencana bakal hancur berantakan.
Sedangkan fokusnya pada Tomi dan Ari tak boleh goyah sedikitpun.
Sekali lagi, semua keputusan berada pada Titi.
Ia bingung, pikirannya mulai melayang ke mana-mana, membuat konsentrasinya mulai memudar saat ia berasumsi bahwa rencana ini akan berakhir dengan kegagalan. Cahaya dari bolah matanya mulai meredup. Semakin lama semakin memudar.
Ini gawat! Benar-benar gawat!
Tomi bisa mati sia-sia kalau begini! Apa yang harus Titi lakukan?!!!
-
-
-
(Bersambung....)
-
Previous Chapter| Next Chapter
Comments
Post a Comment
Komen yuk, say